Wednesday, August 29, 2012

Syariat - Thariqat - Haqiqat - Makrifat

Seseorang dikatakan telah beragama dengan sebenarnya apabila telah mencapai jenjang ma'rifatullah, karena hanya ketika seorang mengenal siapa dia sembah barulah agamanya tegak dengan kokoh, sehingga ia menyembah Allah bukan berdasarkan prasangka semata.

Hal ini juga ditegaskan oleh Rasulullah saw yang bersabda, 'Awaluddiina ma'rifatullah'. Makrifat kepada Allah adalah tahapan awal beragama.

Seorang waliyullah telah memetakan jalan menuju makrifatullah dalam peta sederhana yang berumuskan: Syariat - Thariqat - Haqiqat - Makrifat. Dengan demikian, perjalanan untuk mencapai makrifatullah dimulai dengan menegakkan sendi-sendi syariat di dalam diri yang mencakup syariat lahir dan batin. Bila seseorang serius menetapi jalan penataan jiwa, maka dia telah berthariqat. Dan bila seseorang sudah berthariqat, dengan izin Allah akan terbuka aspek haqiqat. Kenapa demikian? Karena dengan berthariqat hijab-hijab yang ada dalam hati mulai runtuh satu per satu, sehingga lama kelamaan akan terbuka aspek al haq, ini adalah janji Allah, 'Akan Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap ufuk (hal yang terjauh dari diri kita) dan ke dalam anfus (jiwa-jiwa)' QS [41]:53.

Setelah melampaui tahapan haqiqat, dimana seseorang dapat mengenal aspek hakiki di balik semua ciptaan Allah, baik itu kondisi yang ada di luar dirinya maupun dirinya sendiri, barulah sampai ia pada tahapan makrifat, yaitu mengenal Sang Pencipta.

Hanya setelah seseorang bermakrifat maka dia beragama yang sebenarnya dengan kokoh. Karena bisa jadi ia sudah syahadat, shalat, zakat dan naik haji tapi masih goyah pengetahuannya tentang siapa Allah sebenarnya, bagaimana Ia mengatur kehidupan, dimana letak keadilan Allah.

Kerap kali ketika diberi ujian kehidupan sang hamba merasa bingung, stress, bahkan berprasangka buruk kepada Allah. Apabila kita berjalan dengan menyimpan prasangka buruk kepada Allah, artinya belum mengenal Allah, dengan sendirinya agamanya belum tegak sempurna.

Wallahua'lam.

(Disajikan dari materi Serambi Suluk yang disampaikan oleh Zamzam AJT)

Bersuluk Adalah Menata Batin

Proses bersuluk adalah perjalanan seorang hamba mensucikan dirinya menuju Allah Ta'ala, hal ini sudah berlangsung sejak manusia pertama, Adam as. Dalam perkembangannya muncullah berbagai istilah, ada tasawuf,sufi dsb. Sebetulnya tasawuf hanya nama dari sebuah proses yang sudah dilakukan manusia sejak awal. Istilahnya bisa berubah-ubah seiring dengan waktu dan tempat.

Para sufi dalam tarekat adalah orang yang banyak berkecimpung dalam menata yang batin. Karena seringkali aspek syariat batiniyah kurang diperhatikan. Padahal hadits Rasulullah mengatakan diantaranya 'tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada kibir, takabur/bangga diri, walau hanya sebesar dzarrah'. Jadi yang menjamin ke surga bukan hanya shalat, zakat, shaum, tapi juga tidak boleh takabur, merendahkan orang lain, mengeluh dsb adalah syariat batin yang sama disebutkan oleh Rasulullah saw.

Walaupun para sufi sangat serius mengelola batin mereka, bukan berarti mereka menyepelekan aspek syariat lahiriyah, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang menegakkan shalat, rajin melakukan ibadah sunnah, dan menegakkan aspek-aspek fiqih dalam syariat, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw.
Wallahua'lam

 (Disajikan dari materi Serambi Suluk yang disampaikan oleh Zamzam AJT)

Pembahasan Hadis Tiga Pilar Ad Diin

Dari hadis tentang 3 pilar ad diin diterangkan bahwa ketiga pilar agama itu adalah Al Islam, Al Iman dan Al Ihsan.

Kalau kita baca secara teliti, bukanlah Jibril yang bertanya kepada Rasulullah, karena sudah tentu Jibril sudah sangat tahu apa itu ad diin - sebagaimana Rasulullah mengetahui itu. Akan tetapi peristiwa ini adalah untuk mengajari para sahabat tentang apa yang dimaksud dengan ad diin.

Oleh karena itu kita harus betul-betul mempelajari ketiga pilar ini. Kadang dalam ber-ad diin kita baru berkutat dalam aspek Al Islam, dalam pengertian kalau sudah shalat, zakat, shaum dan naik haji seolah-olah sudah menegakkan ad diin. Padahal aspek syariat sendiri ada syariat lahir dan syariat batin, belum lagi pilar iman dan ihsan yang halus, aspek iman dan ihsan sulit mengukurnya dibanding dengan aspek syariat.

Seseorang bisa jadi zakat dalam jumlah banyak dan naik haji berkali-kali tapi korupsi jalan terus, maka berarti belum menegakkan ad diin. Sama halnya seperti seorang wanita ahli ibadah yang dalam satu riwayat diadukan seorang sahabat kepada Rasulullah, karena wanita itu kerap menyakiti tetangganya dengan kata-katanya, maka Rasulullah langsung tegas mengatakan bahwa wanita itu ahli neraka.

Demikianlah Allah mengajarkan kepada kita melalui hadis tersebut betapa penting kita memperhatikan ketiga pilar untuk membangun ad diin dalam diri kita masing-masing. Wallahua'lam

(Diramu dari materi kajian Serambi Suluk yang disampaikan oleh Zamzam AJT)

Tuesday, August 28, 2012

Hadits Tentang 3 Pilar Ad Diin

Dari Umar radhiallahuanhu juga dia berkata :

Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata:

“ Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan.

Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “ anda benar“.

Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya “. Dia berkata: “ Beritahukan aku tentang tanda-tandanya “, beliau bersabda: “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya “, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “ Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian “.

(Riwayat Muslim)

Suluk dan Tarekat : Sebuah Pengantar

Suluk berasal dari Bahasa Arab 'salaka' yang artinya menempuh sesuatu atau melintasi/memasuki sesuatu. Jadi, kalau dikatakan melintasi sesuatu tentu ada jalan (thariq) yang ia pijaki. Oleh karena itu istilah suluk terkait erat dengan thariqah atau tarekat dalam bahasa kita.

Ketika orang berthariqah atau menempa jiwa menuju Allah, itu artinya bersuluk. Tapi aspek apa dari manusia yang dikatakan bersuluk? Apakah orang yang secara fisik melakukan zikir ribuan kali atau melakukan perjalanan menuntut ilmu atau bermeditasi itu serta merta dikatakan bersuluk? Karena ternyata tidak semua orang yang shalat itu bersuluk, tidak semua yang zikir itu bersuluk dan tidak semua muslim itu bersuluk. Jadi ada hal lain selain menetapi tata syariat lahiriah yang kita kerjakan.

Ada istilah 'perjalanan ruhani' atau 'perjalanan spiritual', terjemahan latin ruh memang spirit. Walaupun demikian sebenarnya istilah ini kurang tepat karena ruh itu berasal dari alam jabarut. Jadi istilah yang tepat adalah 'tazkiyatun nafs' atau pemurnian jiwa. Dengan demikian, yang bersuluk adalah jiwa (nafs) manusia.

Orang yang melakukan proses pensucian jiwa disebut 'salik' atau pejalan. Dalam Bahasa Persia dikenal dengan istilah 'darwish' sedangkan dalam Bahasa Arab dikenal sebagai 'zahid' - yang berzuhud, atau 'muriid'. Istilah 'muriid' artinya 'ia yang menghendaki', yaitu menghendaki Allah.

Seorang yang menempuh jalan suluk adalah dia yang mencari Allah, menata dirinya dengan syariat dan berakhlak baik. Dalam suluk dikenal tingkatan perjalanan, yang juga dikenal sebagai empat jenjang menuju Ad Diin (agama), yaitu:
1. Syariah
2. Thariqah
3. Haqiqah
4. Ma'rifah

Setelah bersyariat, kita bertarekat, maka istilahnya 'salaka', memasuki sesuatu. Jadi setelah kita menetapi kaidah syariat diperluas perjalanannya. Karena bertarekat itu berarti memasuki dunia pengalaman jiwa yang hidup, bukan sekedar teori. Pengalaman saya pribadi setelah bertarekat menjadi lebih mengerti istilah-istilah kunci dalam Al Quran seperti : iman, qalb, hawa nafsu, syahwat, alam barzakh, kekafiran, kemusyrikan dll - yang selama ini saya anggap sudah paham. Tapi lebih dari itu semua, setelah bertarekat, pencarian kepada Allah menjadi lebih fokus, terukur dan terbimbing di bawah panduan seorang mursyid.

Adapun salik juga dikenal sebagai seorang sufi, istilah dari tashawwuf yang makna esensinya adalah 'pemurnian'. Dalam proses pemurnian jiwa ini tak jarang seorang salik mengalami 'mukasyafah' atau keterbukaan sesuatu, sehingga ia makin memaknai agamanya.

(Disajikan dari materi Serambi Suluk yang disampaikan oleh Zamzam AJT)

'It is better to travel well than to arrive' - Buddha