Sunday, November 25, 2012

Perbedaan Orang Yang Sabar dan Orang Yang Ridha

Ketahuilah bahwa orang yang bersabar belum tentu ia ridha. Sebaliknya orang yang ridha pasti sabar, karena orang yang ridha dapat menerima dengan pasti segala akibat apa pun. Hal demikian ibarat seseorang yang lupa menaruh sekantung urang dirham miliknya, sedangkan ia tidak memiliki apapun selainnya. Dadanya menjadi bergejolak dipenuhi rasa sedih akan bayangan kemiskinan yang ia alami. Hal itu tampak jelas dalam keadaan dan raut wajahnya yang dipenuhi rasa sedih. Kemudian seorang yang sangat kaya, selalu menepati janji, dermawan dan terpercaya berkata kepadanya: “Pada awal tahun nanti saya akan mengganti setiap dirham (dari hartamu yang hilang itu) dengan satu dinar.” Orang yang kehilangan tadi menjadi tenang karena ucapan orang ini, sebagian dari gejolak hati dan rasa gundahnya pun menjadi tenang. Tetapi ia masih merasa sedih dan dadanya masih terasa sempit. Artinya, selama tenggang waktu menunggu hingga awal tahun nanti ia dapat bersabar walaupun terpaksa, tetapi ia terus diliputi oleh keinginannya dan rasa sedihnya itu. Dalam keadaan terpaksa bersabar ini, bebannya menjadi ringan.

Perumpamaan lain adalah seorang yang tidak tahu apakah ia kehilangan sekantung uang dirham miliknya, karena ia memiliki banyak rumah yang dipenuhi permata yang tidak ternilai harganya. Sehingga ia tidak merasa kehilangan sekantung dirham tersebut, ia tidak memperdulikannya. Keadaannya seperti orang yang kehilangan satu fals, sedangkan ia memiliki sekantung dirham.

Orang yang pertama kegembiraan mereka karena harta dan keadaan, sedangkan orang yang kedua kegembiraannya karena Allah, serta keutamaan dan rahmat-Nya. Ia senantiasa mengharap perlindungan dan pertolongan dari Allah. Orang yang pertama hatinya tertawan oleh bentuk-bentuk kebendaan, ia telah dibelenggu oleh manisnya kebendaan. Orang yang kedua hatinya telah merasa tenang oleh kedekatannya kepada Allah. Orang pertama kecenderungan hatinya terhadap segala sesuatu kebendaan. Sedangkan orang kedua selalu disibukkan oleh Allah, ia senantiasa kembali dan menuju kepada-Nya.

Kenikmatan Menerima Kehendak Allah SWT

Kenikmatan menerima kehendak Allah Swt dalam hatimu hanya dapat dirasakan sebatas kadar cintamu kepada-Nya. Dan kadar cintamu kepada-Nya dapat kau rasakan sejauh kadar ma’rifat (pengetahuan)mu akan kekuasaan-Nya. 

Semakin kamu mengenal-Nya bahwa Allah Swt adalah Yang Tertinggi di atas apapun maka semakin tinggilah kedudukan-Nya dalam dirimu, dan semakin cintalah kamu terhadap-Nya. Oleh karena itu, pepatah mengatakan, “Orang yang paling mencintai Allah adalah orang yang paling mengetahui-Nya dan paling mengenal-Nya.” 

Dalam hal ini Badil Al ‘Uqaili berkata, “Barangsiapa mengenal Allah, ia akan mencintai-Nya. Dan barangsiapa mengenal dunia ini, maka ia akan bersikap zuhud terhadapnya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak). 

Berkata Sufyan Ats Tsauri rahimahullah, “Hajjaj bin Farafishah menyitir perkataan Badil rahimahullah berikut ini, ‘Barangsiapa tidak mampu mengendalikan diri, maka ia hanya dapat menerima segala ketetapan dan kehendak Allah sebatas keimanannya saja, ia dapat bersabar atas segala perkaranya sebatas ketakwaannya saja dengan dipenuhi rasa berat hati serta kehidupan yang susah dan sulit. Dan barangsiapa mampu mengendalikan dan mengarahkan dirinya, maka nafsunya akan tunduk serta terlepas dari perangai buruknya dan Allah akan memberinya pertolongan serta menepati janji-Nya.”

Para Kekasih Allah, Tidak Ada Kekhawatiran Pada Mereka

“Para kekasih Allah, tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak (pula)mereka berduka cita.”(QS Yunus [10]:62

Hati mereka bercahaya oleh keyakinan, sehingga keadaan mereka tidak berubah walaupun ketika mendapat musibah. Setiap mereka mendapat kesulitan atau kemudahan, rasa takut atau rasa aman, hina atau mulia, musibah atau kenikmatan, mata hati mereka akan segera melihat bahwa hal yang menimpa mereka memang telah tertulis dalam Lauh Mahfuzh sebagaimana yang mereka alami saat itu, dan hal ini sudah menjadi ketetapan dari Allah Swt. Dalam diri mereka tidak ada keinginan atau hawa nafsu yang memberatkan mereka dalam menerima ketetapan Allah ini. Mereka menyambut ketetapan-Nya dengan wajah yang riang gembira dan berseri-seri. Mereka adalah orang-orang yang selalu rela dan bersabar
.
Kebalikan dari mereka adalah orang-orang yang menerima ketetapan dari Allah dengan rasa tidak senang dan berat hati. Hal ini disebabkan karena keinginan mereka masih kuat dan hidup dalam diri mereka, ditambah dengan keyakinan yang lemah sehingga mereka tidak melihat adanya kehendak dan kasih sayang Allah pada mereka dalam menetapkan perkara tersebut. Mereka tidak merasakan adanya kenikmatan dalam menerima kehendak Allah ini. Kenikmatan menerima kehendak (yang seharusnya mereka rasakan) telah bercampur dengan pahitnya nafsu, sehingga kenikmatan tersebut lenyap terbawa pahitnya hawa nafsu, sebagaimana halnya kamu menemukan pahitnya obat, lalu kamu mencampurnya dengan madu atau gula dan sebagainya sehingga dapat mengalahkan rasa pahit serta menghilangkannya.



Agar Tidak Berduka Cita Di Dunia

Orang-orang yang diberi pemahaman oleh Allah selalu berusaha mengendalikan dan mengintrospeksi dirinya. Mereka berujar, “Bagaimana caranya agar kami tidak berduka cita atas hilangnya kekayaan dan kenikmatan duniawiyah, dan bagaimana caranya agar kami tidak banyak mengangankan kesenangan duniawiyah ini?” Mereka mencari sebab darimana datangnya bahaya yang menimpa mereka (yang disebabkan keinginan duniawiyah). 

Mereka dapati bahwa ketika diri mereka menginginkan sesuatu, mereka mengatakan dan mengangankannya kemudian berusaha mencari dan mendapatkannya sekuat tenaga, mereka berikan harapan pada diri mereka akan keberhasilan mendapatkannya. Ternyata ketika mereka tidak berhasil meraihnya, mereka bersedih dan berduka atasnya. Akhirnya mereka dapat memahami bahwa sedih dan duka ini diakibatkan oleh angan-angan untuk mendapatkan keinginan tersebut, juga karena mereka memberikan suatu harapan pada diri mereka akan keberhasilan mendapatkannya. Akibatnya, diri mereka terlanjur merasa senang jika keinginan tersebut tercapai, dari sini semakin kuatlah nafsu untuk mendapatkannya. 

(Setelah memahami hakikat ini) akhirnya mereka berusaha mengendalikan diri dengan cara meninggalkan keinginan-keinginan dan memutus angan-angan sehingga padamlah api syahwat dan keinginan dalam diri mereka. Mereka berusaha melawan hawa nafsu dan ajakannya hingga akhirnya hawa nafsu pun tunduk. Jika datang suatu perkara atau terlintas suatu keinginan dalam hati, mereka tidak mengangankannya juga tidak memberikan suatu harapan, mereka menunggu kepastian takdir yang telah tertulis di Lauh Mahfuzh sebelum Allah menciptakan langit dan bumi, mereka menyerahkan semua urusan pada Allah, tunduk pada kebijaksanaan Allah Swt seperti tunduknya seorang hamba pada tuannya. 

Maka (dengan sebab ini) mereka dapat hidup di dunia ini dengan mendapat derajat yang tinggi di sisi-Nya, dengan kedudukan yang paling mulia, hati yang sangat tenang dan kehidupan yang bahagia dan tentram di bawah naungan agama Islam. Mereka mati (dari segala keinginan dan angan-angan duniawiyah) dengan membawa kesenangan dan kebahagiaan, sehingga mereka dapat berjumpa dengan Tuhan yang tidak murka. Mereka ridha terhadap Allah, dan Allah pun ridha terhadap mereka. Mereka diberi pertolongan, kemauan dan kekuatan batin, kebersihan hati dan kemenangan terhadap musuh di dunia ini, dan mendapat kedekatan serta kasih sayang Allah di akhirat nanti.
 
“Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, sesungguhnya golongan Allah itulah
golongan yang beruntung.” (QS Al Mujaadalah [58]:22)

(Imam At Tirmidzi)

Friday, November 23, 2012

Ketika Jiwa Guncang

-->
Seorang ahlul yaqiin apabila karena keyakinannya masih kurang atau karena dikuasai hawa nafsu dan syahwat lalu jiwanya goncang dan bimbang akan jaminan Allah Swt, maka ia akan berkata pada jiwanya: “Wahai jiwa! Mengapa kamu goncang?” Jiwa akan menjawab, “Karena aku diciptakan selalu butuh dan memiliki keinginan-keinginan. Aku tidak bisa melihat tempat apapun, aku pun tidak mengetahui waktu juga kadar perkiraannya. Cara mencapainya bagiku adalah sesuatu yang samar!” 

Lalu ia kembali berkata pada jiwanya, “Wahai jiwa! Jika engkau memang beriman kepada Rabb-mu, maka sudah selayaknya apabila firman-Nya, serta janji, jaminan dan tanggungan-Nya lebih kuat dan lebih kau percaya daripada apa yang kau lihat. Karena penglihatan terkadang salah, terkadang engkau pun tersihir oleh keindahannya. Engkau melihatnya seperti itu padahal sebenarnya tidak seperti itu. (Penyihir pada dasarnya tidak merubah keadaan sesuatu, melainkan hanya merubah panglihatan orang yang melihatnya seolah-olah sesuatu yang dilihatnya itu tidak seperti keadaan lazimnya). 

Firman Rabbul ‘Alamiin lebih benar, lebih kuat dan lebih dapat dipercaya daripada penglihatanmu sendiri. Jika sekiranya engkau diperlihatkan sesuatu oleh rajamu, engkau pasti percaya dan merasa tenang. Maka sudah sepatutnya engkau harus lebih percaya dan lebih tenang akan jaminan Raja diraja; Allah Rabbul ‘Alamiin. Seandainya engkau memiliki sebuah buku catatan dimana didalamnya tertulis nama orang-orang yang berhutang kepadamu, tercatat di dalamnya si Fulan berhutang 1000 Dirham, si Fulan 1000 Dinar, si Fulan 10.000 Dirham, apakah engkau akan merasa tenang?” Apabila kamu mendapati jiwamu menuntut untuk melihat buku tersebut, dan (setelah melihatnya) ternyata ia tidak goncang atau bimbang karena mendapati orang-orang yang tercantum namanya adalah orang-orang yang dapat dipercaya serta selalu menepati janji, maka berikanlah padanya “buku catatan Rabbul ‘Alamiin” yaitu Al Qur’an Yang Mulia, yang tersimpan dalam Lauh Mahfuzh, yang diturunkan oleh Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang dibawa oleh Ruh yang terpercaya (Ar Ruuhul Amiin: Jibril a.s.) ke dalam hati Muhammad, Rasulullah saw, utusan Tuhan semesta alam. Kemudian bukalah lembaran-lembarannya, maka kau akan mendapati “ayat rizki” dimana Allah berfirman:

“Tidak ada satu binatang melata pun di bumi ini melainkan kewajiban Allah lah memberi rizki mereka.” (QS Hud [11]:6)

Lalu katakanlah pada jiwamu, “Wahai jiwa yang tenang, ketika engkau mendapati nama orang-orang yang tertulis dalam buku itu engkau merasa aman dan tidak takut menjadi faqir, dan engkau pun menjadi tenang. Lihatlah Mushaf ini, didalamnya tertulis “kewajiban Allah lah memberi rizki mereka” Apakah Mushaf ini lebih agung, lebih benar, lebih baik dan lebih menepati janji ataukah buku catatan piutang itu? Apakah engkau tidak merasa malu bertemu Rabb-mu dalam keadaan seperti ini? Aku dapat memahami mengapa engkau merasa guncang dan bimbang setelah sebelumnya engkau merasa yakin akan jaminan-Nya. 

Semua ini adalah karena engkau memiliki banyak keinginan; engkau ingin mulia lalu engkau berusaha lari dari kehinaan, engkau menginginkan berbagai macam kenikmatan makanan lalu engkau lari dari kemiskinan, engkau punya keinginan tercapai cita-cita lalu engkau lari dari kegagalan pencapaiannya. Engkau menjadi guncang hanya karena engkau menginginkan rizkimu datang saat ini juga, sedangkan Tuhan-mu menghendakinya di saat yang lain. Engkau menginginkan keadaan tertentu padahal Tuhanmu menghendaki keadaan yang lain. Engkau menginginkan suatu ketenangan dalam suatu hal, sedangkan Tuhan-mu menghendakinya dalam bentuk yang lain. Engkau menginginkan banyak hal, tetapi Tuhan-mu menghendaki hal yang bahayanya lebih sedikit, sehingga engkau tidak dikalahkan oleh keinginanmu dan dilemparkan ke dalam jurang kecelakaan. Akhirnya dengan penuh penderitaan dan keluh kesah engkau akan mendatangi para hakim melalui berbagai cara yang hina, kotor, dan tipu daya yang menjijikkan demi ketenangan nafsumu. Lalu engkau akan menolak hukum-hukum yang menjadi hak Allah Swt, engkau tidak segan untuk memutus silaturahim, membenci sesama, menganggap remeh hak-hak kaum muslimin dan orang-orang yang beriman, lari dari memenuhi hak-hak mereka, dan engkau menjauhi orang-orang yang terhormat di sisi Allah, sehingga akhirnya engkau menjadi sangat zhalim dan sewenang-wenang. Saat itulah ancaman Allah terngiang di telingamu melalui firman-Nya:

“Kami akan memasang timbangan yang adil pada hari Kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Jika (amalan itu) hanya seberat atom pun Kami pasti akan mendatangkan (pahala)nya. Cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (QS Al Anbiyaa [21]:47)


Agar Hati Menjadi Tenang

Dalam hal rizki dan sumber kehidupan, ahlul yaqiin menyerahkan sepenuhnya kepada Allah serta menjadikannya sebagai Wakil (yang kepada-Nya dipasrahkan segala perkara). Karena mereka telah yakin bahwa Allah lebih menyayangi mereka daripada mereka sendiri terhadap dirinya, Allah lebih berhak terhadap diri mereka karena Allah telah menciptakan dan membentuk mereka, lalu menyusun dan menjadikan mereka makhluk yang sempurna serta seimbang.

Mereka sama sekali tidak memiliki ilmu dan kuasa atas apa-apa yang telah diatur oleh-Nya. Mereka meyakini bahwa Allah adalah Raja Yang Maha Kuasa dan Maha Perkasa, Allah berbuat sesuai kehendak-Nya. Ilmu Allah telah sempurna, Ia mengetahui apa yang akan terjadi pada mereka, apa yang bermanfaat dan apa saja yang membahayakan mereka.

Lauh Mahfuzh telah mencatat mereka beserta segala sesuatu yang berkaitan dengan mereka. Allah dapat dicapai oleh hati secara nyata. Bagi mereka, segala hal yang dicapai dan didapat oleh hati adalah lebih dapat dipercaya daripada hal yang tidak dapat dilihat oleh hati. Mereka tidak meragukan kemampuan hati ini. Allah menciptakan Lauh Mahfuzh dan menetapkan takdir-takdir mereka bukanlah karena Allah membutuhkan hal tersebut, tetapi agar hati manusia lebih mantap, agar jiwa menjadi tenang dan tentram atas apa-apa yang telah tertulis di Lauh Mahfuzh.

Sehingga apabila nafsu menjadi tenang, ia akan konsentrasi beribadah, menjaga hukum-hukum Allah, dan melaksanakan segala perintah-Nya. Segala bisikan dan keinginan nafsu pun hilang dalam hati, karena nafsu telah putus asa ketika mengetahui bahwa segalanya telah digariskan. Dalam keputusasaan inilah nafsu menjadi tenang dan tentram.

Tanda Hati Bercahaya

Orang yang hatinya diberi cahaya oleh Allah Swt, makrifatnya akan kuat dan dipenuhi cahaya keimanan. Hatinya menjadi istiqamah dan mantap. Jiwanya menjadi tenang, tentram, penuh percaya dan yakin. Ia akan menyerahkan segala perkara dan urusannya pada Allah Swt. 

Jika setan membisikinya dalam urusan rezeki dan sumber kehidupannya, hatinya tidak gundah atau goncang, karena ia sungguh yakin bahwa Allah sangat dekat padanya, Allah tidak pernah lalai atau lupa, Allah Maha Pengasih dan Penyayang, Allah Maha Pengampun dan Welas Asih, Allah Maha Adil dan tidak akan berbuat zalim, Allah Maha Kuasa, tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi-Nya, Allah melindunginya dan Allah tidak perlu perlindungan dari yang lain. 

Sebagaimana Allah telah menciptakannya dalam keadaan memiliki keinginan dan kebutuhan, maka Allah pun akan memberinya sesuai dengan kehendak-Nya, bukan kehendak hamba-Nya, dengan kadar yang ditentukan oleh-Nya, bukan oleh hamba-Nya, dalam waktu yang ditentukan-Nya, bukan oleh hamba-Nya. 

(Imam At Tirmidzi)

Thursday, November 1, 2012

Bangun Dalam Keadaan Buta

Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku Maka baginya penghidupan yang sempit Dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta Padahal sungguh sebelumnya ia adalah orang yang melihat (QS Thahaa [20: 124-125)

Akan ada suatu masa dimana setelah akhir kehidupan alam raya, kiamat tiba dan setelah itu semua manusia akan dibangkitkan di alam mahsyar. Jiwa-jiwa yang dibangkitkan itu akan dipasangkan dengan raga yang baru, raga yang merupakan cerminan dari kondisi terakhir hati manusia saat ia meninggal. Jadi raga manusia saat itu bisa lebih baik atau lebih buruk daripada raga yang ia miliki sewaktu di dunia.

Apabila ketika ajal menjemput hatinya masih buta, maka si raga baru akan buta, seperti yang digambarkan di ayat Al Quran di atas. Bahkan Rasulullah saw bersabda bahwa di akhirat nanti ada orang yang dibangkitkan raganya manusia tapi kepalanya unta, atau raganya seperti harimau (karena meninggal masih menyimpan amarah, yang merupakan sifat hewaniyah), ada yang bangkit mempunyai lidah yang sangat luas karena lisannya selama di dunia sering menghina orang. Tidak sedikit riwayat mengenai kehidupan alam setelah kiamat diceritakan. Artinya raga yang dibentuk kembali dalam kehidupan berikutnya akan tergantung kepada kondisi hati seseorang saat ia meninggal. Kalau hati busuk, penuh kebencian, amarah dan dendam maka bentuk raga akan tak beraturan, sebaliknya kalau hatinya baik maka bentuk raganya baik pula.

Dalam kisah Nabi Isa Al Masih, berkata beliau saat berkunjung ke pemakaman “Ini (kuburan) orang yang sudah meninggal, mari kita lihat apa yang dia bawa saat ia meninggal”. Karena Nabi Isa adalah Ruhullah, maka bisa membangkitkan orang yang telah mati. Kemudian sang nabi berkata “Bangkitlah hai hamba Allah!” Begitu bangkit orang itu langsung berkata “mana keledaiku, mana keledaiku?” Menunjukkan bahwa saat ia hidup yang mendominasi pikirannya adalah keledainya. Suatu gambaran bahwa apa yang terbawa mati di alam pikiran juga akan terekam dan mewujud di sana.

Maka kalau kita meninggal jangan sampai urusan dunia terbawa, bisa dibayangkan di alam mahsyar nanti cari ‘keledai’nya masing-masing, tentu melelahkan dan menyiksa. Bukan berarti kita tidak boleh menikmati atribut dunia, silahkan saja asal jangan sampai ‘nangkring’di hati kita sehingga kadar cinta-Nya melebihi kecintaan kepada Allah, kecintaan kepada beribadah kepada-Nya.

Semoga kita termasuk hamba-Nya yang dibangunkan di alam nanti dalam keadaan baik. Aamiin.

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)