Wednesday, November 27, 2013

Arti Khusyu Dalam Kehidupan

"Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.
Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu
(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya."
(QS Al Baqarah [2]: 45-46)

Disini terlihat bahwa sabar merupakan kunci mendapatkan pertolongan Allah. Bahkan untuk shalat pun diperlukan kesabaran. Maka dikatakan bahwa hal ini tidak mudah, kecuali buat mereka yang khusyu. Siapakah orang-orang yang khusyu dalam kehidupan itu? Yaitu orang-orang yang mengharapkan bertemu Allah, ini adalah aqidah dasar. Artinya orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.

Kalau kita masih menganggap akhirat itu sesuatu yang masih nun jauh di sana berarti kita belum mengintegralkan diri antara kehidupan hari ini dan hari nanti. Padahal kalau kita hanya berkutat di hari ini saja tanpa menghadirkan akhirat pasti akan tersandung dalam kebingungan, kekecewaan, dan keputus-asaan. Tapi sebaliknya bila kita mulai menjalani kehidupan akhirat di saat ini, bahwa surga dan neraka itu bisa mulai dirasakan per hari ini. Karena saat kita tidak menerima kehidupan, ngedumel dan tidak harmoni dengan kehendak-Nya sesungguhnya kita sedang menjatuhkan diri dalam neraka kehidupan. Akan tetapi dengan hati yang senantiasa terpaut mengharapkan pertemuan dengan-Nya sekalipun getir kehidupan yang dijalani, dia akan berkata "ah tidak apa-apa disini sementara menderita, nanti disana Allah ganjar dengan yang lebih baik; ah tidak apa-apa tidak dapat di dunia, nanti Allah simpankan untuk kehidupan yang akan datang…"

Monday, November 25, 2013

Ketika Tak Berdaya Dalam Kehidupan

"Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu"
(QS Al Baqarah [2]: 45)

Kata penolongmu (wasta’inu) dalam ayat tersebut berkaitan dengan doa yang senantiasa kita panjatkan dalam shalat; "iyyakana’budu wa iyyakanastain ihdinashiraathal mustaqiim." (QS Al Fatihah). Kita hanya minta pertolongan kepada Allah Ta’ala, ketika kita diseberangkan dalam jembatan shiraathal mustaqiim, itu petanya. 

Kenapa harus mohon pertolongan-Nya ketika diseberangkan dalam Shiraathal Mustaqiim? Karena dalam proses penyeberangan itu seorang insan akan dibersihkan, dibenarkan, diluruskan kehidupannya. Fenomenanya bisa tiba-tiba harta berkurang banyak, tiba-tiba susah mencari rezeki, tiba-tiba keluarga bermasalah, tiba-tiba terjebak hutang banyak, semua hal yang membuat kita tak berdaya.

Ingat, seorang insan pasti akan melewati suatu episode hidup dimana dia dalam keadaan tidak berdaya, kalau merasa tenang karena masih ada deposito, ada teman atau keluarga yang bisa membantu, itu namanya belum fakir. Fakir itu saat hati kita menjerit, "Ya Allah saya khawatir sekali…" Jadi kalau hati masih tenang-tenang saja, berarti belum sampai kondisi difakirkan dalam hidup.

Ketahuilah bahwa anugerah Allah itu akan turun sejauh kefakiran kita, semakin kurang fakir semakin sedikit anugerah-Nya. Saat kita tidak berdaya dalam hidup itulah saat dimana Allah hendak hadir ke dalam diri kita, Ia hendak tampil dan dikenali, kalau kita masih mengandalkan semua selain Allah, maka kehadiran-Nya akan terhijab, tak dikenali, maka kita pun tidak merasakan pengabdian yang dalam kepada-Nya.

Jadi, bersiap diri untuk menghadapi saat dimana alam semesta kita dibungkam tak berdaya; teman-teman tidak membantu, harta tidak ada, mursyid pun tidak memberi pertolongan. Dia kemudian bertanya "ayo mau kemana kamu mengadu?", baru kemudian kita bersungkur di hadapan-Nya dan berkata "ya Allah, hanya Engkau harapanku…" Kita lantas menjadi benar-benar mengandalkan Allah.

Pantang Mencela Orang Lain

Seorang muslim pantang mencela orang lain, karena setiap diri pasti punya kelemahannya masing-masing, diperbudak oleh syahwat atau hawa nafsunya masing-masing, hanya memang ada yang nampak jelas dan ada yang tidak nampak. Seringkali orang yang nampaknya melakukan suatu kesalahan dicela habis-habisan, dipergunjingkan, padahal yang menggunjingkan juga banyak penyakit hatinya. Lebih baik orang sederhana tapi mengenal kelemahan dirinya dibandingkan orang yang terlihat hebat tapi tidak mengenal kelemahan dirinya, karena orang yang diperkenalkan dengan kelemahan dirinya tanda Allah hendak menuntunnya. Salah satu tanda taubat kita benar adalah menyadari kelemahan diri, tidak ada gunanya lisan basah dengan istighfar setiap hari tapi diri merasa hebat, maka itu istighfar yang masih kosong dan hampa. Selama kita belum mengenal kelemahan diri maka kita tidak akan merasa fakir di hadapan-Nya, dan orang yang belum merasa fakir praktis tidak akan berjalan jiwanya (bersuluk). ***

Melihat Hidup Yang Tak Beraturan

Kisah Bani Israil yang diperbudak di zaman Mesir hingga kemudian menemukan ka’bahnya di Yerusalem sesungguhnya adalah kisah setiap insan, itu akan berlaku untuk setiap individu yang mencari Allah Ta’ala. Tugas kita masing-masing untuk bisa mengidentifikasi apa arti laut yang terbuka dalam hidup kita, apa arti terkatung-katung di Padang Tih selama 40 tahun dsb. Dengan harapan memasuki usia 40 tahunan kita sudah bertemu diri, menemukan shiraathal mustaqiim-nya. Rasulullah saw bersabda “Orang yang dalam shiraathal mustaqiim walaupun hidupnya terlihat tak beraturan (awut-awutan) tapi sesungguhnya dia melangkah dalam jalan yang haq”. Sang hamba telah berjalan dalam jalan yang tegak, berarah, teguh, kokoh, tidak lemah, lain dengan manusia yang tidak berjalan dalam shiraathal mustaqiim walaupun terlihat hebat di mata kebanyakan manusia.

Rasulullah saw pun bersabda “Tidak akan mencapai iman yang sempurna hingga ia melihat manusia seperti unta-unta dan seperti anai-anai yang berhamburan’.
Apa anai-anai itu? Ia adalah gambaran bagi sesuatu yang berhamburan tak punya arah.
Di dalam QS Al Qari’ah dikatakan bahwa “Al Qari’ah adalah suatu hari dimana keadaan manusia seperti anai-anai yang berhamburan”, hari itu bukan hanya terjadi nanti di alam akhirat, karena kiamat itu dua macam, ada kiamat kubro (kiamat besar) dan kiamat shugro (kiamat kecil). Di dalam diri manusia juga ada Al Qori’ahnya, kapan? Yaitu ketika tajali Allah hadir dalam diri seorang insan.

Jadi, orang yang Allah telah bertajali dalam dirinya itu adalah suatu kondisi keimanan dimana orang itu akan melihat manusia seperti anai-anai yang berhamburan atau hidup seperti ternak, tidak ada arah, terjebak dalam hiruk-pikuk dunia dan lupa akan amanah utamanya.***

Bagaimana Mengetahui Tindakan Kita Sejalan Dengan Kehendak-Nya?

Ada yang bertanya, “Bagaimana menentukan bahwa semua rasa dan tindakan kita sejalan dengan kehendak Allah?”
Tugas kita berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya serta sabar dalam kehidupan hingga Allah memberikan tanda-tanda.
Seseorang bisa sabar, rajin shalat, bergairah menuntut ilmu dsb itu buat kita sekedar tanda bahwa Allah sedang meniup bahtera kita, karena sungguh surga tidak akan bisa terbeli dengan semua amal kita.

Kita harus mensyukuri semua bentuk niatan baik, ilham dan tindakan baik yang Dia tiupkan. Amal itu terkait dengan ibadah hati, tidak berarti orang yang raganya sehat dan bugar kemudian otomatis rajin ibadahnya, bahkan bisa sebaliknya, ragasang orang itu Allah jadikan lemah tapi hatinya senantiasa bergairah beribadah kepadanya. Maka berbuat baiklah dimanapun dan kapanpun***

Apa Tanda Allah Ridha Kepada Kita?

Apa tanda Allah ridha kepada kita?
Begini saja,apakah kita sudah ridha dengan segala ketetapan yang Allah berikan dalam hidup kita? Apakah kita sudah belajar menerima masa lalu kita? Kesalahan yang kita dan orang lain lakukan? Keburukan atau kesialan dan kehidupan? Tidak mudah memang menerima hal-hal yang menyakitkan hati. Tapi tauhid dasarnya adalah bahwa segala sesuatu datang dari tangan-Nya, pasti tersimpan kebaikan yang banyak di dalamnya.

Semakin kita ridha bersama Allah, firasat hati kita akan semakin tajam. Jadi belajarlah ridha dulu sebelum mengatakan sesuatu itu haq atau tidak, karena bagaimana bisa belajar membaca sesuatu yang haq kalau kita tidak belajar ridha dengan qadha-Nya. Kalau masih bercampur, kadang ridha-kadang tidak, itu artinya mencampur aduk antara yang haq dan yang batil, tanda saja bahwa kita memang belum pada maqam ridha.

Ketika kita masih mengeluh, menjerit manakala didatangkan kesulitan dalam hidup, tandanya masih belum ridha, ia masih menangkap bentuk fenomena fisiknya “Aduh saya sakit hati, aduh saya sedang dihajar...dsb”. Adapun bagi orang yang bertaqwa kepada Allah, ia memandang bahwa semua urusan ada di tangan Tuhan, ia tidak melihat fenomenanya menyakitkan atau tidak, menyusahkan atau tidak, rugi atau untung, ia hanya akan mengatakan ini dari Allah Ta’ala. Kalaupun dia dicengkram oleh kesakitan menanggung beratnya ujian, dia hanya mengatakan “tangan Tuhan”, tidak fokus kepada bara apinya, tapi lebih melihat ke Dia yang sedang menjamah dirinya. Percayalah sahabat, ketika kita melihat sebuah bencana dengan keyakinan ini datang dari-Nya semata, tidak akan binasa kita ini, pasti kebaikan...pasti kebaikan..tidak akan binasa.***

Hati-Hati Menggunakan Firasat

Hati-hati dalam menggunakan firasat, kita harus belajar dulu sampai ke tahapan diridhai Allah, baru akan terasa mana yang haq (benar) dan mana yang tidak. Kalau dalam hati kita masih tercampur aduk bisa berbahaya, kita bisa mengira sesuatu itu haq padahal batil dan sebaliknya. 

Jadi tumbuhkan titik ridha dulu, cinta kepada Allah Ta’ala, karena itu tanda Allah ridha kepada kita. Entah apa yang membuat Dia ridha, kita hanya tiba-tiba dibuat mencintai-Nya, mencintai kehendak-Nya, mencintai ketetapan-Nya, memang bukan kita yang aktif, diberi begitu saja. Maka berbuat kebajikanlah banyak-banyak.

Tentang kebajikan (al birr) lihat QS Al Baqarah ayat 177.
...Kebajikan itu ialah orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan, peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan masa peperangan.***

Membebaskan Jiwa dari Dominasi Jasad

Proses membebaskan jiwa kita dari pengaruh jasad adalah proses yang panjang. Setelah sekian puluh tahun lamanya jasad kita terbiasa dengan pola makan tertentu, pola tidur tertentu, memiliki selera tertentu, keinginan tertentu yang semuanya seperti membentuk siapa diri kita, padahal semuanya kebanyakan terpengaruh dari orang tua, masa asuhan, keluarga dan masyarakat sekitar. 'man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu', kenali dirimu maka engkau akan mengenali Rabb-mu, proses membebaskan jiwa dari pengaruh jasadiyah merupakan bagian dari proses pengenalan diri.

Lalu dimulai dari mana? Minimal kita mengimani dulu bahwa kehidupan kita yang tampaknya berserakan dan tak berhubungan ini ada hubungannya dengan Al Quran, minimal itu. Karena kalau sudah tidak yakin dengan Al Quran maka Al Quran itu tidak akan bekerja untuk kita, jadi sesuatu yang tidak diyakini tidak akan mujarab.

Prinsipnya jika sudah ada kepercayaan bahwa ada hubungan antara kita dengan Al Quran, baru akan terbuka rahasianya. Kalau tidak peduli dengan Qurannya, dibaca pun tidak, tidak peduli dengan nasib kita, dan kita pun tidak berusaha mencari jawaban pertanyaan dalam kehidupan selain hanya menunggu entah mentor yang menerangkan, entah pak ustadz, maka sungguh harta karun itus tidak akan terbuka. Jadi masing-masing harus membuka sendiri, kenapa? Karena setiap orang beda-beda kepalanya, beda-beda ujiannya, beda jalan hidupnya. Tidak ada yang mengetahui dengan detil kehidupan sahabat sekalian kecuali diri sendiri dan Allah Ta'ala.***

Mengenal Kebenaran

"Janganlah engkau mencampur adukkan al haq dengan al bathil"
(QS Al Baqarah [2]: 42)

Al haq atau sering diterjemahkan kebenaran, adalah semua urusan yang berasal dari Allah. Dalam suluk kita mencoba untuk berserah diri kepada Allah Taála, mencoba ikhlas dengan pengaturan-Nya dalam kehidupan, itu sama dengan membiarkan Al Haq masuk ke dalam diri kita. Ini sebetulnya yang paling berharga dari seorang insan, elemen keberserah dirian.

Jadi orang yang hebat itu bukan yang bisa terbang, jalan di atas air, pandai ini-itu, punya ini-itu, sakti mandraguna dsb. Orang yang hebat itu adalah orang yang bisa melihat Al Haq dalam kehidupan, itu tidak mudah. Orang yang berkarakter seperti Bani Israil akan terpana dengan atribut lahiriyah, makanya pada zaman mereka alam 'diacak-acak', dibelah lautan, diangkat gunung dan lain-lain tapi kemudian hanya sedikit dari mereka yang melihat kebenaran, walaupun Allah Taála sudah mendemonstrasikan besar-besaran melalui Nabi-Nya mukjizat yang agung. Sebaliknya, pada zaman Rasulullah saw tidak begitu banyak peristiwa mukjizat namun banyak yang dapat melihat kebenaran. Sesuai kata Ali ra, "Seandainya langit terbelah pun tidak akan menambah keimananku kepada Allah Taála". Karena memang iman sesungguhnya tidak perlu bukti seperti itu.

Ketika seseorang hanya mendengarkan kebenaran dari orang yang penampilannya memukau, retorikanya baik dan seolah banyak mukjizatnya, sesungguhnya ia akan mudah terjebak dalam dunia fenomena dan sulit melihat kebenaran yang tersembunyi. Sebaliknya dia akan menuduh seorang ulama benar (Haq) dengan kata-kata "Wah ramalannya tidak terbukti, tidak bisa menyembuhkan orang yang sakit "dsb. Kalau kita senantiasa menuntut bukti ya susah, karena sebenarnya mukjizat itu diperuntukkan bagi orang kafir, bukan untuk orang beriman. Istilah mujizat itu adalah sesuatu yang melemahkan, yang menundukkan, jadi memang fenomenanya dibuat menakjubkan agar menundukkan kebandelan dan meruntuhkan kesombongan orang yang bersangkutan. Jadi, jangan terlalu terpana dengan atribut dunia yang ada pada seseorang, coba benar-benar tafakuri, renungi apa yang membuat seseorang benar.

Tanda Hati Sudah Berserah Diri

Saat kita menyiapkan hati agar ingin diatur Allah dalam kehidupan, maka Al Haq akan mulai mengalir ke dalam diri. Kehadiran Al Haq dalam diri akan meruntuhkan konsep yang salah dalam pikiran, waham yang tidak tepat dalam kehidupan dan sikap yang tidak pas. Tadinya takut miskin jadi kurang takut, tadinya kurang berani menjadi mengalir keberaniannya. Kalau kita minta diatur oleh Allah Ta'ala, maka Dia akan mengatur, sebaliknya kalau sekadar bicara ingin diatur oleh Allah tapi hatinya belum siap, maka Al Haq tidak akan pernah tampil dalam diri kita, sekalipun kita riyadhoh (latihan olah jiwa) setiap hari sekalipun. Jadi semua berawal dari niat.

Proses mengalirnya Al Haq dalam diri kita menandakan kita sudah mulai berada pada status orang yang berserah diri kepada Allah Ta'ala. Apapun yang kita miliki diserahkan kepada Allah Ta'ala, Sang Pemilik semua, apakah itu kepandaian kita, cita-cita kita, kegelisahan kita, kesedihan kita, anak kita yang kita khawatirkan masa depannya, serahkan semuanya. Kalau sudah kosong nanti Al Haq akan muncul dan semua kegelapan kita akan diganti dengan cahaya kebenaran.***

Perbedaan Dua Penyikapan Hidup

Seorang mukmin itu Allah atur kehidupannya. Kita harus memahami ini, bahwa kehidupan kita sejak lahir hingga meninggal nanti itu Allah atur sebenarnya, semuanya berada dalam satu garis di Lauh Mahfuzh, siapapun kita hanya ada satu garis kehidupan. Kemanapun kita merancang dan berencana yang akan terjadi tetap saja ketetapan-Nya.

Orang yang tidak paham dalam kehidupan akan merasa hidupnya penuh derita dan rintangan, "Kok saya sudah berusaha tapi gagal terus, kenapa hidup saya awut-awutan, kenapa masa lalu saya kelam sekali, kenapa suami saya begini, kenapa istri saya begitu, kenapa anak saya susah diatur dsb" Semua itu membuat seolah-olah hidup kita berantakan, seolah-olah kita salah jalan, seolah-olah kita gagal.

Orang yang hatinya terang dan yang hatinya gelap akan mengalami takdir kehidupan yang sama, hanya bedanya orang yang dalam kegelapan sepanjang hidupnya hanya sibuk berkeluh-kesah, protes dan berprasangka buruk kepada Allah Ta'ala. Sedangkan bagi orang yang hatinya dibuka dengan cahaya Allah ia telah diberi pengetahuan yang haq, maka walaupun ia mengalami ujian yang sama berat tapi hatinya tetap bersyukur.

Ujian dan kesulitan hidup hanya akan membuat orang yang tertutup hatinya menjadi sebuah penderitaan, sedangkan bagi orang yang beriman semua adalah kebaikan. Semua mengalami kesulitan yang sama dalam hidup hanya yang satu dihiasi dengan sumpah serapah dan sampah keluhan dalam hatinya, sedangkan yang satu hatinya penuh dengan senyum dan kebersyukuran kepada Allah Ta'ala. ***