Monday, June 30, 2014

Saat Gentar Dalam Kondisi Kekurangan

Menanti penyelesaian dari Allah adalah ibadah, barangsiapa rela dengan rezeki sedikit, maka Allah rela pula dengan sedikit amal yang dikerjakannya.
(Riwayat Ibnu Abud Dunya)
Rezeki itu Allah yang memberikan, lihat saja seorang bayi lahir tanpa membawa apapun dan tak berdaya. Dengan rahmat-Nya dia mejadikan kasih sayang yang membuat orang tua dan orang sekitarnya merawat sang bayi. Ketika bayi lahir ASInya tersedia, kalaupun ASI tidak didapatkan dari sang ibu bisa Allah hadirkan ibu sepersusuan atau diberinya orang tua rejeki untuk memberi susu bagi sang bayi tercinta.
Sesungguhnya kalau setiap manusia mau berserah diri seperti bayi yang tidak berdaya maka Allah sebenarnya selalu menjamin rejeki setiap orang. ASI yang keluar melalui ibu hanya simbol saja, dalam kehidupan selanjutnya akan ada bentuk 'ASI-ASI' lain asal kita memaksimalkan ikhtiar masing-masing.
Jadi, jangan gentar menghadapi kekurangan dalam kehidupan, jangan panik lalu grasa-grusu hutang sana-sini apalagi rebut hanya masalah ekonomi dalam rumah tangga, itu tidak baik. Kita punya Allah Yang Maha Memberi Rezeki, mintalah kepadanya baik-baik sambil terus ikhtiar tanpa harus ngoyo.
(Disajikan ulang dari Pengajian Hikmah Al Quran : Hikmah Surat Al Baqarah yang disampaikan oleh Zamzam AJT)

Monday, June 23, 2014

Memberi Dalam Kekurangan

"Akan tiba pada umat manusia suatu masa yang penuh kesulitan dimana seorang mukmin kikir dengan apa yang ada di kedua tangannya dan melupakan keutamaan."
(Rasulullah saw)
Tiada seorang pun kecuali akan didatangi masa sulit atau kekurangan.
Keuangan sedang mepet tiba-tiba Allah datangkan orang yang meminjam uang; Waktu sedang sibuk-sibuknya tiba-tiba orang tua minta diantar sana-sini; Badan sedang cape tiba-tiba tetangga datang minta tolong diantar hendak melahirkan.
Rasulullah saw mengingatkan bahwa manusia cenderung bersifat kikir dan enggan mengulurkan tangan saat berada dalam kesempitan, padahal itu justru merupakan keutamaan. Oleh karena itu salah satu sifat orang yang bertaqwa adalah mereka yang memberikan rezekinya di waktu lapang maupun sempit. Rezeki itu bermacam-macam bentuknya, tidak selalu berupa material, bisa jadi keluangan waktu, kekuatan fisik, kemampuan untuk mendengarkan dsb.
Maka berlomba-lombalah untuk berbuat kebajikan baik di saat lapang maupun sempit.[]
(Disajikan ulang dari Kajian Hikmah Al Qur'aan yang disampaikan oleh Zamzam AJT)

Friday, June 20, 2014

Mengapa Penting Mempelajari Sejarah

Manusia terlahir di dunia ini tidak lepas dari ordinat ruang dan waktu.
Kapan kita dilahirkan? Peristiwa apa yang mengelilingi kita? Apa jaman yang tengah dihadapi sekarang? Bagaimana masa lalu kita dan orang tua?
Suka atau tidak suka, kita semua terikat dengan sejarah masing-masing. Oleh karenanya tidak bisa menutup mata, cuek terhadap sejarah atau bahkan mencoba memotong sejarah masing-masing dengan alasan 'terlalu kelam untuk diingat', karena sesungguhnya setiap penggal kehidupan kita sangat berharga dan tidak ada yang sia-sia karena semua datang dari desain Sang Maha Pencipta.
Di kitab suci pun kita menemukan banyak kisah tentang Nabi, Rasul dan para Shiddiqin, karena semua itu memberikan bekal dan arahan untuk kita dalam menghadapi kehidupan. Akan tetapi kebanyakan manusia terperangkap oleh urusan per hari ini, kesibukan hari ini, butuh uang hari ini dan setan pun akan sibuk menutup pandangan kita dari melihat permasalahan secara utuh agar kita pontang-panting menghabiskan usia hanya dengan disibukkan dengan urusan dunia yang tidak ada habis-habisnya.
Penting untuk belajar sejarah, karena itu memberikan visi dan kita bukan sekedar belajar data sejarah, peradaban dan berjuang memperbaiki masyarakat tapi mencari sesuatu yang ada sentuhan Tuhan di dalam sejarah itu, jadi target kita adalah Allah-nya, kita berjuang untuk mencintai dan dicintai oleh-Nya.
(Disajikan ulang dari pengajian Hikmah Al Qur'an yang disampaikan oleh Zamzam AJT)

Wednesday, June 18, 2014

Jalan Memperbaiki Hidup

"Barangsiapa memperbaiki hubungannya dengan Allah, maka Allah akan memperbaiki hubungannya dengan manusia."
(Rasulullah saw)
Kita semua punya masalah dalam kehidupan, ada yang bermasalah dengan pasangannya, anaknya, tetangganya, mertuanya, rekan sekerjanya; ada yang terlilit hutang; ada yang tidak betah dalam pekerjaan; ada yang gelisah menanti jodoh; ada yang cemas menghadapi ujian dan lain sebagainya.
Orang yang mengandalkan usahanya akan langsung sibuk mencari penyelesaian yang bersifat horizontal; yang bermasalah dengan pasangan mungkin mencari konselor pernikahan; yang punya hutang mungkin sibuk meminjam kesana-kemari; yang menanti jodoh mungkin sibuk memasang profil di biro jodoh atau mendadak rajin ikut pengajian di mesjid, apapun itu masing-masing seperti panik ingin segera melepaskan diri dari masalah yang tengah dihadapinya.
Orang yang cerdas dan tauhidnya kuat adalah mereka yang respon pertamanya menghadapi masalah adalah dengan menjerit kepada Sang Pemberi masalah. Tak mengapa jika kemudian ia pun berikhtiar sana-sini, namun hatinya sudah keburu ditambatkan pada Yang Maha Kuasa menghilangkan masalah itu dari kehidupannya.
(Kajian Kitab Al Hikam)

Mencari Nada Pribadi

Dunia dan kehidupan yang berjalan di dalamnya adalah bagaikan sebuah simfoni yang agung, maka tujuan utama setiap ciptaan adalah untuk menyempurnakan penciptaan simfoni ini.
Manusia menghabiskan tahun demi tahun dalam hidupnya, kebanyakan dalam keadaan tidak bahagia, tidak menemukan kebahagiaannya yang hakiki, senantiasa merasa ada ruang hampa dalam hati terdalam yang seringkali tidak dapat dijelaskan. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya setiap jiwa mengetahui bahwa dirinya diciptakan untuk menyanyikan suatu nada tertentu dalam hidup yang sekali ini, dan apabila nada itu belum ditemukan maka sang jiwa tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati.
Tidak ada satu jiwa pun yang berkata "Aku telah puas dalam kehidupan ini, aku tidak mempunyai keinginan lagi." Siapapun dia, apapun statusnya, baik ia kaya atau miskin, berada dalam kelimpahan atau berkubang dalam kekurangan, dalam semua kondisi kehidupan - manusia dalam hati yang paling dalamnya akan merasakan suatu kerinduan, menunggu sesuatu.
Apa sesungguhnya yang ia nantikan?
Yaitu untuk memenuhi misi hidupnya masing-masing. Suatu momen sakral manakala sang jiwa berhasil menemukan nada pribadinya dalam konstelasi harmoni simfoni semesta.
Selama manusia belum menemukan misi hidupnya, maka ia belum memainkan nada universal yang telah digariskan dan inilah sebenarnya tragedi terbesar dalam hidup. Karena sesungguhnya jika seseorang belum diberi rahmat Tuhan mengenali misi tersebut maka hidupnya hanya akan terombang-ambing dari satu kejadian ke kejadian lain sambil kehilangan maknanya yang terdalam. Ia akan dilanda kebingungan dan kehampaan di dalam hatinya.
Maka terbekatilah ia yang Tuhan berikan jalan mengenali jati diri sejatinya, menemukan nada pribadinya dalam semesta dan menjalankan misi hidupnya di dunia ini.[]
(Hazrat Inayat Khan)

Ketika "Aku" Menghilang

Sufi sejati adalah seseorang yang berjuang untuk mengecilkan egonya setiap saat, hingga 'Bagaikan unta memasuki lubang jarum' (Al Qur'an).
Apa yang dimaksud dengan egoisme?
Yaitu apapun, baik itu pikiran, tindakan, sikap yang mementingkan diri sendiri. Ini untuk'ku', ia milik-'ku', 'aku' tersinggung', bukan 'gue' banget, bukan tipe'ku', suami-'ku', anak-'ku', harta-'ku' ..dan banyak 'aku'-'aku' yang lain. Apapun yang berfokus pada si 'aku'.
Di sisi lain adalah wajar jika setiap manusia memiliki ketertarikan dan kemelekatan pada apapun yang disukainya. Pada saat yang bersamaan ketergantungan hatinya pada obyek-obyek itu membuatnya merasa was-was, takut, khawatir akan kehilangan hal yang dicintai hingga hidupnya tidak tenang.
Lalu, bagaimana seseorang bisa menjembatani kedua hal tersebut?
Seorang Sufi dapat lebih ringan melaluinya dengan cara BERSERAH DIRI, meleburkan diri untuk tiada. I AM NOTHING, I AM NO ONE.
Seperti yang Syamsuddin Tabrizi katakan, "Manakala diri sendiri tiada, maka Allah akan muncul..."
(Terjemahan bebas dari 'Practical Sufism' oleh Syaikh Kabir Helminski)

Melatih Fokus Diri

Seorang salik adalah ia yang sedang melatih dirinya untuk fokus, melayani hidangan Allah yang sedang hadirkan di hadapannya.
Pada intinya setiap orang akan memberi perhatian penuh pada hal-hal yang ia anggap penting dalam hidupnya, maka coba perhatikan dalam-dalam hal apa saja yang selama ini menarik perhatian kita masing-masing.
Untuk melihat apa yang mendominasi hati dan pikiran kita mudah sekali, perhatikan saat kita sedang sholat, apa yang sering melintas dalam kepala atau hati kita? Apakah pekerjaan? Urusan rumah tangga? Keuangan? Anak? Apapun bayangan yang terpantul dalam pikiran kita adalah cerminan atas hal-hal yang mendominasi hati pada saat itu. Padahal saat sholat semestinya kita mendedikasikan waktu yang 'hanya' beberapa menit itu untuk berkomunikasi dengan Allah Ta'ala semata.
Melatih konsentrasi saat sholat kita juga bisa terapkan untuk fokus dalam keseharian, misalkan kita sedang mengikuti pengajian atau paparan seorang guru di sebuah ruangan, biasanya bila ada sahabat lain yang masuk kemudian ke dalam ruangan kita secara refleks akan mengalihkan wajah kita menoleh kepadanya. Nah, bayangkan apabila kita sedang diajak berbicara oleh Allah Sang Penguasa langit dan bumi kemudian kepala kita tolah-toleh kesana-kemari tertarik oleh berbagai obyek yang melintas dalam hati, bagaimana kiranya perasaan-Nya?
Maka kita mulai berlatih untuk fokus kepada hal-hal yang sedang kita hadapi, pada sesuatu yang kita anggap penting bagi dunia dan akhirat. Kita berlatih untuk tidak mudah teralihkan perhatiannya kepada hal yang bukan tujuan utama. Berlatihlah dari hal yang halus dan terlihat 'kecil' dengan demikian kita sudah membiasakan diri menjaga pintu hati masing-masing.
(Syaikh Kabir Helminski)

Wednesday, June 11, 2014

Surat Perdamaian Nabi Muhammad saw kepada Biara St. Catherina

Nabi Muhammad saw dalam suratnya kepada Biara St.Catherina berjanji:

Ini adalah sebuah pesan dari Muhammad ibn Abdullah, sebagai sebuah janji kepada mereka-mereka umat kristen, jauh dan dekat, kami (Nabi/Muslim) bersama mereka (Umat Kristen)

Sesungguhnya aku, pembantu-pembantuku, penolong-penolongku, dan pengikutku akan membela mereka (Umat Kristen), karena umat kristen adalah wargaku. dan demi Allah, aku menentang siapa pun yang membuat mereka tidak senang.

Tidak ada paksaan bagi mereka. Tidak pula bagi hakim-hakim mereka untuk dilepaskan dari pekerjaan mereka atau pun pendeta-pendeta mereka diusir dari biara-biara mereka. Tidak ada satu pun orang yang boleh menghancurkan tempat peribadatan mereka, merusak, atau mengambil sesuatu darinya untuk di bawa ke rumah-rumah Muslim

Siapa pun dari mereka melanggar hal-hal tersebut, dia akan melanggar Janji Allah dan durhaka kepada Nabinya. Sesungguhnya, mereka (Umat Kristen) adalah sekutuku dan mendapat perlindunganku dari semua hal yang mereka tidak sukai.

Tidak ada satupun yang dapat mengusir atau memaksakan mereka (umat Kristen) untuk berperang. Muslim harus berpihak kepada mereka (Umat Kristen). Jika seorang wanita Kristen menikahi pria Muslim, tidaklah dia dapat memaksakan kehendak tanpa persetujuannya. Wanita tersebut tidak dapat dilarang untuk mengunjungi gereja di mana dia berdoa. Gereja-gereja mereka harus dihormati. Mereka tidaklah boleh dicegah untuk memperbaiki gereja-gereja mereka ataupun menganggu kesucian dari kitab-kitab suci mereka.

Tidak ada satu pun bangsa (muslim) yang dapat melanggar janji ini sampai hari kiamat.


***

Tuesday, June 10, 2014

Ketika 'Aku' Tiada

Sufi sejati adalah seseorang yang berjuang untuk mengecilkan egonya setiap saat, hingga 'Bagaikan unta memasuki lubang jarum' (Al Qur'an).
Apa yang dimaksud dengan egoisme?
Yaitu apapun, baik itu pikiran, tindakan, sikap yang mementingkan diri sendiri. Ini untuk'ku', ia milik-'ku', 'aku' tersinggung', bukan 'gue' banget, bukan tipe'ku', suami-'ku', anak-'ku', harta-'ku' ..dan banyak 'aku'-'aku' yang lain. Apapun yang berfokus pada si 'aku'.
Di sisi lain adalah wajar jika setiap manusia memiliki ketertarikan dan kemelekatan pada apapun yang disukainya. Pada saat yang bersamaan ketergantungan hatinya pada obyek-obyek itu membuatnya merasa was-was, takut, khawatir akan kehilangan hal yang dicintai hingga hidupnya tidak tenang.
Lalu, bagaimana seseorang bisa menjembatani kedua hal tersebut?
Seorang Sufi dapat lebih ringan melaluinya dengan cara BERSERAH DIRI, meleburkan diri untuk tiada. I AM NOTHING, I AM NO ONE.
Seperti yang Syamsuddin Tabrizi katakan, "Manakala diri sendiri tiada, maka Allah akan muncul..."
(Terjemahan bebas dari 'Practical Sufism' oleh Syaikh Kabir Helminski)