Tuesday, March 24, 2015

Halaal Belum Tentu Thayyib

Konsep "halaal" erat kaitannya dengan "thayyib" (diterjemahkan sebagai baik) ; "nikmat" dan "syukur" dalam Al Qur'an (QS An Nahl [16]: 114). Sebuah gambaran bahwa dalam hidup manusia juga mesti memerhatikan aspek batin yang halus, karena yang disebut halaal sudah jelas aturannya. Misal mengkonsumsi babi, darah, melakukan hubungan intim sebelum menikah adalah tidak halaal. Sedangkan apa yang baik bagi seseorang bisa jadi tidak baik bagi orang lain.

Pengetahuan apa-apa yang baik bagi diri sendiri terkait dengan "nikmat" yang Sang Pencipta berikan kepada manusia. Suatu "nikmat" yang terentang panjang sejak adanya perjanjian di alam persaksian (QS [5]: 7). Artinya nikmat hakiki manusia mestilah ada uhbungannya dengan fitrah diri setiap insan. Suatu ciptaan-Nya yang paripurna, yang para malaikat pun diperintahkan untuk bersujud kepadanya.

Dengan demikian pengetahuan tentang sesuatu yang "thayyib" bagi diri sifatnya sangat personal, karena ia berakar kepada jati diri masing-masing. Mengkonsumsi suatu makanan bisa jadi thayyib buat seseorang tapi merusak buat yang lain, mengunyah banyak buku bisa jadi thayyib buat si fulan tapi bersifat racun buat temannya. Mengetahui kadar diri yang benar itulah pasti yang "thayyib" bagi diri seseorang, apakah itu makanan, tempat tinggal, pasangan, pekerjaan, jam tidur, dan semua hal yang melingkupi kehidupannya. Mari kita berjuang mencari hal yang "thayyib" bagi diri kita masing-masing.[]

Wednesday, March 18, 2015

Bukan Masalah Banyaknya Amal


"Tidak dapat dianggap banyak amal-amal yang keluar dari qalb yang menginginkan dunia, sedangkan tidak dapat dianggap sedikit amal yang keluar dari hati yang tidak menginginkan dunia."
- Syaikh Ibnu Atha'illah
Orang yang tampak banyak ibadahnya, giat beramal tapi sebenarnya hatinya menginginkan kemasyhuran, ingin dianggap sholeh, senang dengan pujian dst. Geliat hati yang tersembunyi dari kebanyakan manusia tentu tampak jelas di hadapan Allah Yang Maha Teliti. Maka amal-amal yang tampaknya banyak dan hebat itu sebenarnya tidak bermakna di hadapan-Nya. Akan tetapi bisa jadi orang yang biasa saja penampakannya dan amalnya menempati derajat tinggi di mata Allah Ta'ala karena hatinya hanya mengharapkan ridha-Nya.
Setiap manusia tanpa kecuali akan tertarik hatinya oleh hembusan dunia, maka Rasulullah saw mencontohkan untuk banyak-banyak istighfar, memohon ampunan akan kelalaian dan keberpalingan hati dari-Nya.[]

Saturday, March 14, 2015

Bukan Masalah Besar Kecilnya Dosa

Sesungguhnya bukan masalah besar kecilnya dosa di mata manusia,
karena dosa kecil yang dianggap remeh bisa jadi besar di mata Allah
adapun perbuatan nista yang diminta ampun dengan sepenuh hati bisa hilang dalam sekejap dengan rahmat-Nya.

Dosa itu urusan pribadi seseorang dengan Tuhannya,
sama sekali bukan wilayah makhluk untuk menentukan sesuatu itu berdosa atau tidak
Biarlah itu menjadi 'privilege' Yang Maha Kuasa.
Yang kita lakukan adalah berbuat sebaik mungkin dalam hidup.
Menebarkan rahmat dan kasih sayang-Nya.[]


Thursday, March 12, 2015

Tanda Hati Bercahaya

Iman itu cahaya yang Allah Ta'ala sematkan ke dalam hati (qalb) hamba-hamba yang Ia kehendaki.
Apabila hati mulai mendapat sentuhan cahaya iman, mulai terasa perubahan dalam diri seseorang.
Di antara tanda-tandanya adalah muncul inspirasi-inspirasi untuk berbuat kebaikan.
Mulai mencuat ilham-ilham untuk memperbaiki hidup.
Sifat-sifat baik mulai terbit.
Jika hati seseorang sudah teraktivasi, makin sering sang hamba mengadu kepada Allah Ta'ala terutama apabila masalah datang menerpanya. Itulah salah satu fungsi iman.[]


Tuesday, March 10, 2015

Apa Yang Membuat Manusia Beriman?

 Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. 
(QS Al An'aam [6]: 111)

Seseorang bisa beriman itu murni karena adanya kehendak Allah Ta'ala. Kalaupun ia berguru pada seorang syaikh yang dianggap paling alim sekalipun dan belajar agama mendalam bertahun-tahun belum tentu orang itu bisa mendapatkan cahaya iman di dalam hatinya.

Apa yang membuat seseorang beriman memang misteri besar. Bisa jadi hal yang tampaknya kecil seperti membereskan sepatu di depan mesjid, menolong anjing yang sedang kehausan, atau membantu menyeberangkan orang di tengah lalu lintas ramai. Ada hal yang seseorang pernah kerjakan di masa lampau yang menarik perhatian-Nya dan kemudian Dia berkenan mengganjarnya dengan limpahan cahaya keimanan.

Jadi, jangan terlampau terpaku dengan hal yang gemerlap secara spiritual untuk bisa mendapatkan keimanan, hidup yang bersahaja dengan hati yang tawadhu dan memancarkan banyak kasih sayang dan rahmat-Nya dalam keseharian bisa jadi lebih efektif untuk membuat-Nya menoleh kepada hati kita.[]

Monday, March 2, 2015

Hak-hak Suami

Menikah merupakan bentuk pengabdian seorang istri kepada suami.
Ketaatan kepada suami merupakan kewajiban mutlak bagi seorang istri, selama ketaatan itu bukan dalam kemaksiatan.

Rasulullah saw bersabda, “Jika seorang istri meninggal dunia dan suaminya dalam keadaan ridha kepadanya, maka ia akan masuk surga.”

Dikisahkan seorang pria akan bepergian jauh. Ia berpesan kepada istrinya agar tidak turun ke lantai bawah rumahnya. Pada suatu hari, ayah perempuan yang berada di lantai bawah itu jatuh sakit. Perempuan itu ingin menengok ayahnya yang sakit, namun ia teringat pesan suaminya. Akhirnya, ia mengirim seorang utusan kepada Rasulullah saw untuk menanyakan apa yang seharusnya ia lakukan. Lantas Rasulullah saw menyampaikan pesan, “Taatilah suamimu!”
Karena sakitnya semakin parah, ayah perempuan itu meninggal dunia. Lalu perempuan itu mengirim seorang utusan lagi kepada Rasulullah saw untuk menanyakan apa yang harus dilakukannya. Rasulullah saw kembali menyampaikan pesan, “Taatilah suamimu!”
Akhirnya, ayah perempuan itu dikuburkan. Lalu Rasulullah saw menyampaikan pesan kepada perempuan itu bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosa ayahnya karena ketaatannya kepada suaminya.

Rasulullah saw bersabda, “Neraka telah diperlihatkan kepadaku. Aku melihatnya, lalu tampaklah kebanyakan penghuninya adalah kaum perempuan.”
“Apa sebabnya, ya Rasulullah?” tanya para sahabat.
“Karena kaum perempuan banyak mencela suami dan melupakan jasa baik mereka,” jawab Rasulullah saw.

Rasulullah saw bersabda, “Surga telah diperlihatkan kepadaku. Aku melihat sedikit sekali kaum perempuan di dalamnya.”
“Di manakah kaum perempuan, ya Rasulullah?” tanya para sahabat.
“Mereka disibukkan oleh perhiasan dan pakaian.”

‘Aisyah r.a. menceritakan bahwa seorang gadis datang kepada Rasulullah saw lalu berkata, “Ya Rasulullah, saya akan dilamar, namun saya tidak suka menikah. Apakah hak seorang suami atas istrinya?”
Rasulullah saw menjawab, “Jika di atas telapak kaki suamimu ada nanah lalu kamu menjilatinya, kamu belum dianggap memenuhi haknya.”
Gadis itu berkata, “Jika demikian saya tidak akan menikah saja.”
Rasulullah saw bersabda, “Jangan begitu. Kamu harus menikah karena banyak kebaikan di dalamnya.”

Ibnu Abbas bercerita bahwa seorang perempuan dari Khats’am datang kepada Rasulullah saw. Lalu ia berkata, “Aku seorang janda yang ingin menikah. Apakah hak suami atas istrinya?”
Rasulullah saw menjawab, “Sebagian dari hak suami adalah jika ia ‘menghendaki dirimu’, kamu tidak boleh menolak sekalipun saat itu kamu berada di atas punggung unta. Kamu tidak boleh memberikan sesuatu tanpa izinnya. Jika kamu tetap mengerjakannya, dosanya bagimu sedangkan pahalanya bagi suamimu. Janganlah kamu berpuasa sunnah tanpa seizinnya. Kalau kamu tetap mengerjakannya, rasa lapar dan hausmu tidak akan diterima Allah. Jika kamu pergi dari rumahmu tanpa seizinnya, malaikat akan melaknatmu sampai engkau kembali lagi ke rumah atau bertaubat.”

Rasulullah saw bersabda, “Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud kepada manusia, aku pasti akan memerintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya, karena besarnya hak suami atas istrinya.”

Rasulullah saw bersabda, “Waktu terdekat bagi seorang perempuan kepada Tuhannya adalah saat ia berada di rumahnya. Shalatnya di halaman rumahnya adalah lebih baik daripada shalatnya di masjid. Shalatnya di dalam rumah adalah lebih baik daripada shalatnya di halaman rumah. Shalatnya di kamar adalah lebih baik daripada shalatnya di rumah, padahal kamar itu masih terdapat di dalam rumah juga. (Hal ini adalah untuk menunjukkan bahwa kamar lebih tertutup).

Rasulullah saw bersabda bahwa perempuan itu adalah aurat (tidak boleh dilihat). Jika ia keluar rumah, setan akan menghiasinya. Beliau pun berkata bahwa seorang perempuan mempunyai sepuluh aurat. Jika ia menikah, suaminya menutup satu auratnya. Lalu, jika ia meninggal dunia, kubur menutup seluruh auratnya.

Hak-hak suami atas istrinya sangat banyak. Namun yang terpenting hanya dua:
  1. Menjaga diri dan diam di rumah.
  2. Tidak menuntut suami dengan sesuatu yang tidak dibutuhkan dan menjaga diri dari memakan sesuatu dari pekerjaan yang haram. Kebiasaan perempuan salaf jika suaminya akan pergi bekerja, mereka berkata, “Jauhilah olehmu mencari pekerjaan dengan cara yang haram. Sesungguhnya kami dapat bersabar dengan menahan lapar dan kesulitan, namun tidak dapat bersabar jika dihadapkan kepada api neraka.”

Sekelompok laki-laki bertanya kepada seorang perempuan yang ditinggal bepergian oleh suaminya, “Apakah engkau rela ditinggal pergi suamimu, sedangkan ia tidak meninggalkan nafkah sedikit pun?”
Perempuan itu menjawab, “Sepanjang yang saya ketahui, suami saya hanyalah orang yang bisa makan, bukan pemberi rezeki. Saya mempunyai Tuhan Pemberi Rezeki. Jika orang yang hanya bisa makan pergi, maka tinggallah saya dengan Pemberi Rezeki.”

Di antara kewajiban seorang istri adalah tidak menghambur-hamburkan uang suaminya, bahkan seharusnya ia menghematnya. Rasulullah saw bersabda, “Seorang istri tidak diperbolehkan memberikan makanan tanpa izin suaminya sekalipun kurma basah yang dikhawatirkan busuk jika tidak dimakan. Jika seorang istri memberikan makanan atas izin dan kerelaan suaminya, ia akan memperoleh pahala sebagaimana yang diperoleh suaminya. Namun, jika ia memberi makanan tanpa kerelaan suaminya, suaminya akan mendapat pahala sedangkan ia mendapat dosa.”


Orang tua berkewajiban mendidik anak perempuannya tentang tata krama kepada suaminya. Sebagaimana yang dilakukan Asma’ binti Kharijah al Farazi. Ia berkata kepada anak gadisnya yang baru menikah, “Putirku, kini engkau akan meninggalkan rumah tempat engkau dibesarkan. Engkau akan pindah ke rumah orang yang tidak engkau ketahui sebelumnya. Jadilah engkau bumi agar suamimu menjadi langit bagimu. Jadilah engkau hamparan baginya agar ia menjadi tiang bagimu. Jadilah engkau hamba perempuan baginya agar ia menjadi hamba laki-laki bagimu. Janganlah engkau menjauhinya. Jagalah hidung, pendengaran, dan matanya. Jangan biarkan hidungnya mencium sesuatu darimu kecuali bau harum. Janganlah biarkan ia mendengar sesuatu darimu kecuali perkataan yang baik. Janganlah pula engkau biarkan ia melihat sesuatu darimu kecuali keindahan.”

(Syaikh Abdul Qadir Jailani)

Hak-Hak Istri



Hak-hak istri atas suami sangat banyak, di antaranya suami harus memperlakukan mereka dengan akhlak yang baik, menerima dengan sabar perlakuan mereka yang menyakitkan, dan menyayangi mereka atas kekurangan akalnya. Allah SWT berfirman:

Pergaulilah mereka dengan baik (QS An Nisaa’ [4]: 19)

Lalu, mengenai besarnya hak mereka, Allah berfirman:

Mereka telah mengambil dari kalian perjanjian yang teguh (QS An Nisaa’ [4]: 21)

Teman dalam perjalanan (QS An Nisaa’ [4]: 36)

Perempuan termasuk salah satu dari tiga hal yang diwasiatkan Rasulullah saw. Sesaat sebelum meninggal beliau berwasiat, “Jagalah shalat. Perhatikan budak yang kalian miliki, janganlah mereka diberi beban di luar kesanggupannya. Bertakwalah kalian dalam menghadapi perempuan; mereka adalah tawanan yang berada dalam kekuasaan kalian; kalian telah menahannya dengan amanat Allah dan telah menghalalkan alat kelaminnya dengan kalimat Allah.”

Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa bersabar atas keburukan akhlak istrinya, Allah akan memberikan pahala sebagaimana pahala yang diberikannya kepada Nabi Ayub a.s. atas kesabarannya menanggung ujian.”

Beliau juga bersabda, “Barangsiapa yang bersabar atas keburukan akhlak suaminya, Allah akan memberinya pahala sebagaimana pahala yang diberikan kepada Asiyah istri Fir’aun.”

Yang termasuk akhlak baik seorang suami adalah bersikap sabar atas perbuatan istrinya yang menyakitkan, bukan menjauhinya. Lalu, bersifat lembut atas kecerobohan dan kemarahan mereka dalam rangka meneladani sunnah Rasulullah saw. Beliau pun biasa bersabar menghadapi kecerewetan dan bantahan istri-istrinya, sehingga salah seorang dari mereka tidak mau berbicara kepada beliau sampai sehari semalam.

Istri Umar bin Khaththab pada suatu hari membantahnya, Umar berkata, “Sungguh berani engkau membantahku!”
Istri Umar berkata, “Istri-istri Rasulullah saw pun membantah beliau, padahal beliau lebih baik darimu.”
Umar berkata, “Sungguh celaka Hafshah, jika ia pun membantah Rasulullah saw.”
Lalu Umar berkata kepada Hafshah, “Janganlah kamu terhasut oleh A’isyah. Ia adalah kecintaan beliau dan perempuan yang sangat ditakuti bantahannya.”

Diriwayatkan, A’isyah membantah Rasulullah saw. Ibu A’isyah tentu saja marah melihat perilaku putrinya itu terhadap Nabi saw. Namun, Rasulullah saw bersabda, “Biarkanlah, karena ia ingin melampiaskannya lebih banyak lagi.”
Ketika itu, masuklah Abu Bakar. Lalu Rasulullah saw memintanya untuk menengahi persoalan mereka. Beliau berkata kepada A’isyah. “Siapa yang akan berbicara terlebih dahulu, engkau atau aku?”
A’isyah berkata, “Silahkan, namun Anda jangan mengatakan kecuali yang sebenarnya.”
Melihat sikap A’isyah seperti itu kepada Rasulullah saw, Abu Bakar menempelengnya hingga mulut A’isyah berdarah. Lalu Rasulullah saw menarik A’isyah ke belakang punggungnya sambil berkata kepada Abu Bakar, “Bukan untuk hal ini kami mengundang anda. Kami pun tidak berharap anda melakukan hal ini.”

Pada suatu waktu, A’isyah marah-marah kepada Rasulullah saw, sehingga ia berbicara di luar batas, “Engkaukah yang mengaku seorang Nabi?”
Mendengar perkataan A’isyah, beliau hanya tersenyum dengan penuh kesabaran. Lalu, beliau bersabda, “Aku tahu saat engkau marah dan saat engkau ridha.”
A’isyah berkata, “Bagaimana engkau mengetahui hal itu?”
“Jika engkau ridha, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Muhammad.’ Akan tetapi jika engkau marah, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Ibrahim.’” Jawab Rasulullah saw.
Lantas A’isyah berkata, “Engkau benar. Aku memang menghindari namamu bila sedang marah.”

Rasulullah saw berkata kepada A’isyah, “Aku bagimu seperti Abu Zar’in kepada Ummu Zar’in. Hanya saja aku tidak menceraikanmu.”

Rasulullah saw pernah berkata kepada para istrinya, “Janganlah kalian menyakiti aku disebabkan A’isyah, karena demi Allah, tidak turun wahyu Allah kecuali saat aku sedang berada di samping A’isyah.”

Anas r.a. berkata bahwa Rasulullah saw adalah orang yang sangat berkasih sayang terhadap kaum perempuan dan anak-anak. Diantara sifat kasih sayangnya, beliau bersabar atas gangguan mereka, bermain dan bersenda gurau sehingga menyenangkan mereka.
Beliau pernah berlomba lari dengan A’isyah. Pada suatu saat, A’isyah memenangkan pertandingan itu, dan pada saat lainnya beliaulah yang memenangkannya. Lalu beliau bersabda, “Kemenanganku kali ini untuk menebus kekalahanku tempo hari.”

Rasulullah saw adalah orang yang dapat menyenangkan istri-istrinya. A’isyah bercerita bahwa pada suatu hari ia mendengar suara orang-orang Habasyah sedang mengadakan suatu permainan pada hari ‘Asyura. Rasulullah saw lantas berkata kepadanya, “Apakah engkau ingin melihat permainan mereka?”
“Ya,” jawab A’isyah.
Kemudian beliau memanggil mereka agar bermain di dekat rumahnya. Setelah itu beliau berdiri di antara dua pintu lalu memanjangkan tangannya.
“Aku berdiri sambil menyandarkan daguku ke tangan beliau sehingga aku dapat melihat permainan mereka,” kata A’isyah.
Beliau lalu berkata, “A’isyah, sudah cukup?”
“Sebentar lagi, dua atau tiga kali lagi,” kata A’isyah.
Beberapa lama berselang, beliau bertanya,  “A’isyah, sudah cukup?”
“Ya, sudah cukup,” jawab A’isyah.
Lalu beliau memberi isyarat kepada orang-orang Habasyah itu agar mengakhiri permainannya. Mereka pun kemudian berlalu. Rasulullah saw bersabda, “Orang mukmin yang sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan yang paling lembut kepada keluarganya.”

Rasulullah saw bersabda, “Orang yang paling baik dari kalian adalah yang paling baik kepada istrinya, dan akulah yang paling baik kepada istriku.”

Umar r.a. yang terkenal akan kekerasan wataknya berkata bahwa seorang laki-laki harus bersikap seperti seorang anak dalam keluarganya. Namun, jika mereka meminta pertolongan, ia tampil sebagai seorang laki-laki sejati.

Luqman al Hakim juga berkata bahwa seorang suami harus bersikap seperti seorang anak kecil dalam keluarganya. Namun, di tengah kaumnya ia tampil sebagai seorang laki-laki sejati.

Dalam Tafsir al Khabar al Marwi, dikatakan bahwa Allah sangat membenci seorang suami yang berwatak keras dan sombong dalam keluarganya.

Seorang perempuan Arab menyifati suaminya yang sudah demikian sbb:
“Demi Allah, suamiku adalah seorang periang, jika ada di rumah. Seorang pendiam jika pergi ke luar. Ia mau makan apa saja tanpa bertanya-tanya tentang sesuatu yang tidak ada. Ia senang bersenda gurau dan baik akhlaknya, namun ia tidak berbuat sesuatu yang dapat menjatuhkan wibawanya.”

Al Hasan berkata bahwa tidaklah seorang suami menuruti kemauan hawa nafsu istrinya kecuali Allah pasti memasukkannya ke dalam neraka.
Umar r.a berkata, “Janganlah kalian menuruti kemauan hawa nafsu istri kalian agar mendapat berkah.”

Dikatakan, ada saat untuk bermusyawarah dengan istri dan ada saat untuk menolak keinginan mereka. Rasulullah saw bersabda, “Celakalah seorang suami yang menjadi budak istrinya.”
Yang beliau maksud adalah jika seorang suami menuruti hawa nafsu istrinya, berarti ia menjadi budaknya. Ia dikatakan celaka, karena ia telah memutarbalikkan hak yang telah diberikan oleh Allah.
Allah telah memberi kekuasaan kepada suami untuk mengatur istrinya, bukan sebaliknya.
Jika terjadi demikian, sebenarnya ia telah mengikuti jejak setan, sebagaimana firman Allah SWT, (Setan berkata), “Mereka pasti akan kusuruh untuk mengubah makhluk ciptaan Allah (QS An Nisaa’ [4]: 119).


Hak seorang suami adalah ditaati oleh istrinya. Oleh karena itu, Allah menamai kaum laki-laki dengan al qawwamunaa a’laa an nisaa’, yaitu menjadi pemimpin kaum perempuan. Dalam ayat lain, Allah menamainya dengan sayyid, artinya tuan, sebagaimana firman-Nya: Mereka berdua (Yusuf dan Zulaikha) mendapati tuannya (suami Zulaikha) berada di muka pintu (QS Yusuf [12]: 25).

(Syaikh Abdul Qadir Jailani)