Wednesday, September 16, 2015

Allah Tidak Mungkin Berbuat Kesalahan

Guru saya sering berpesan bahwa takdir hidup setiap orang sudah dikadar dengan sangat teliti, tidak mungkin ada beban atau masalah hidup yang tidak mampu ditanggung oleh seseorang. Ibaratnya setiap orang sudah punya desain masing-masing, kalau ia mobil balap formula 1 pasti desain kehidupannya laiknya di sirkuit mobil balap akan berbeda dengan orang yang desainnya mobil off-road, kontur kehidupannya pun akan berundak-undak dan licin. Yakinlah di tahap manapun kita berada, Dia tidak pernah salah menempatkan hamba-Nya. Yang perlu dilakukan agar kita bercermin dan melihat diri yang paling dalam, jenis mobil apakah kita? Karena jenis dan permasalahan dalam kehidupan akan disesuaikan dengan kemampuan diri masing-masing, dengan demikian tiada beban hidup yang tak sanggup kita pikul. Bukankah Allah tidak menzalimi hamba-hamba-Nya seujung rambutpun.

Pikiran Kita Derita Kita

Sebenarnya yang membuat manusia menderita adalah pikiran dan keinginannya sendiri yang tidak terkendali. Tingkah laku kita yang grasa-grusu dan tidak sabaran berakibat mengoyak-ngoyak benteng kesabaran dalam diri sendiri. Akhirnya kebanyakan manusia terjebak dalam ilusi pikirannya, "seandainya saya punya ini saya pasti lebih bahagia, seandainya saya menikah dengan si anu pasti surga dunia, "dan berbagai jembatan-jembatan maya yang melayang di dalam benak terbentang dari momen saat ini ke negeri antah berantah yang entah kapan terlaksana. Tentu ada batas tipis antara keinginan yang disertai adanya kesempatan dan kemampuan dibandingkan dengan mengharapkan pepesan kosong.
Tidak ada lain untuk bisa menenangkan diri di tengah gelombang kehidupan yang kadang menggila - selain dengan menguatkan urat kesabaran kita masing-masing. Sabar menunggu penyelesaian masalah dari Allah setelah kita ikhtiar yang optimal. Bukankah Allah juga yang menciptakan langit dan bumi dalam waktu enam hari, sedangkan mudah saja bagi Dia untuk menciptakan semuanya dalam sekejap mata. Artinya alam semesta naturnya adalah berproses. Sama dengan diri kita, kita terlahir tidak langusng dewasa, berproses dari mulai bayi yang tidak punya gigi, kemudian belajar tengkurap, merangkak, berjalan dsb. Semua ada masanya, kita harus mengerti dan menghargai sunatullah ini.

Tiga Janji Hamba Dengan Tuhannya

Dalam Sebuah Hadits Qudsi Allah SWT ber-Firman : ..
"Aku membagi Shalat menjadi dua bagian, untuk Aku dan untuk Hamba-Ku".
Artinya, tiga ayat diatas Iyyaka Na'budu Wa iyyaka nasta'in adalah Hak Allah, dan tiga ayat kebawahnya adalah urusan Hamba-Nya.
Ketika Kita mengucapkan "Alhamdulillahi­Rabbil 'alamin". Allah menjawab : "Hamba-Ku telah memuji-Ku"....
Ketika kita mengucapkan "Ar-Rahmanir-Ra­him", Allah menjawab : "Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku".
Ketika kita mengucapkan "Maliki yaumiddin", Allah menjawab : "Hamba-Ku memuja-Ku"
Ketika kita mengucapkan “Iyyaka na’ budu wa iyyaka nasta’in”, Allah menjawab : “Inilah perjanjian antara Aku dan hamba-Ku”.
Ketika kita mengucapkan “Ihdinash shiratal mustaqiim, Shiratalladzinaan’amta alaihim ghairil maghdhubi alaihim waladdhooliin.”,
Allah menjawab : “Inilah perjanjian antara Aku dan hamba-Ku. Akan Ku penuhi yang ia minta.” (H.R. Muslim dan At-Turmudzi)
Dengan demikian ada tiga perjanjian antara hamba dengan Tuhannya yang tertuang di dalam surat Al Fatihah. Janji yang pertama adalah "iyyaka na'budu" hanya kepada-Mu kami menyembah. Janji kedua adalah "wa iyyaka nasta'in" dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan. Janji ketiga adalah "ihdinash shiratal mustaqiim" tunjukilah kami ke shiraathal mustaqiim.
Ketiga janji itu juga hakikatnya merupakan solusi dari sekian banyak masalah yang ras manusia telah, sedang dan akan alami. Pada saat yang bersamaan secara tersirat mengabarkan bahwa adalah sebuah keniscayaan manusia cenderung tidak beribadah kepada Sang Khaliq dengan sebaik-baik penghadapan, cenderung meminta tolong kepada selain-Nya manakala bala ujian datang mendera dan kebanyakan manusia cenderung tidak mau ditunjuki ke shiraathal mustaqiim.[]

Monday, September 14, 2015

Hati-Hati Guru Palsu

Alkisah di sebuah desa terdapat seseorang yang dianggap orang suci dan kerap mendemonstrasikan berbagai keajaiban. Orang pun berduyun-duyun mendatanginya untuk meraih berkat dan meminta nasihat.
Pada suatu hari terjadi sebuah kegemparan gegara kambing jantan salah satu warga kepalanya tersangkut ke dalam pot perunggu yang biasa digunakan warga untuk mengambil air dari sungai. Sang pemilik kambing yang malang sudah berusaha menarik kepala kambing kesayangannya itu, akan tetapi tanduknya yang lebar menyulitkan upaya tersebut.
"Ayo lakukan sesuatu, kalau tidak kambing itu akan mati!" teriak salah satu warga. Akhirnya karena berbagai upaya yang dilakukan gagal, berbondong-bondonglah sang pemilik kambing dan warga desa meminta pertolongan orang yang mereka anggap suci dan selalu dapat memberi solusi atas berbagai kesulitan hidup.
Tibalah kambing yang kepalanya masih tertutup pot itu di hadapan sang orang suci, ia pun mencoba dari berbagai sudut untuk melepaskan kepala kambing dari dalam pot perunggu, tapi upayanya pun tampak tak membuahkan hasil. Dia kemudian berkata, "Kita terpaksa harus menggunakan pisau!"
Sang orang suci memotong kepala kambing dengan pisau sehingga terpisah antara kepala dan badan. Kambing malang itu pun mati, akan tetapi kepalanya masih tersangkut di dalam pot. Sehingga sang orang suci berkata, "Baiklah, sekarang kita gunakan kapak yang besar untuk membelah pot!"
Dengan mengerahkan tenaga sekuatnya sang orang suci mengayunkan kapak itu ke arah pot yang melingkupi kepala kambing yang telah mati itu sehingga pecahlah pot perunggu itu berkeping-keping. "Nah, beres kan?" ujarnya.
Warga desa pun bersorak kegirangan dan tidak sedikit di antara mereka yang berkata, "Ya, wahai maha guru, sungguh engkau yang selalu bisa membantu kami menyelesaikan permasalahan hidup. Bagaimana kami bisa berterima kasih atas segala bantuanmu." Warga desa memuja sang orang suci dan menghujaninya dengan berbagai hadiah dan pesta syukuran sebagai tanda terima kasih.
Anakku, seperti inilah saat seseorang mengikuti ajaran orang yang dianggap suci tanpa menggunakan akal sehat, tanpa bertafakur dan tanpa ilmu dan kebijaksanaan, maka mereka akan mengalami nasib yang serupa dengan sang pemilik kambing yang akhirnya kehilangan kambing dan pot perunggunya. Yang warga desa lihat adalah bahwa si kepala kambing telah terlepas dari pot dan mengacuhkan fakta bahwa kambing itu mati dan potnya pecah berkeping-keping.
Anakku tersayang, hati-hatilah. Banyak orang yang dianggap guru dan orang bijak seperti ini di dunia. Mereka tampaknya memberi solusi dan membantu akan tetapi justru malah merusak. Carilah guru yang mengerti kebijakan sejati, ia yang mengerti apa yang setiap manusia bawa ke dalam kehidupan ini, mengerti dari mana manusia berasal dan apa yang akan dilalui di alam berikutnya. Hanya dengan bimbingan guru sejati seperti ini jiwamu akan selamat. Kalau tidak engkau akan bernasib sama seperti sang kambing...
(Terjemahan bebas dari "The Golden Words of a Sufi Sheikh", Muhammad Raheem Bawa Muhaiyyaddeen)

Bagaimana Menjadi Pengikut Rasulullah SAW

Manakala Rasulullah SAW memulai tugas kenabiannya di Mekkah, masyarakat di sana sudah mulai menyembah 360 macam berhala yang mereka tempatkan di Ka'bah. Bahkan setelah Rasulullah dan para sahabat mulai gencar berdakwah di Mekkah dan Madinah tidak sedikit orang yang menolak mengikuti Islam. Namun apakah kemudian orang-orang yang menolak mengikuti jalan Rasulullah diasingkan?
Tidak sama sekali. Bukanlah tugas Sang Nabi untuk memecah belah masyarakat. Islam menyeru pengikutnya untuk tidak berbuat aniaya kepada mereka yang tidak memilih jalan yang sama. Islam memang menganjurkan para penganutnya untuk menyebarkan ajaran kebaikan ini dengan cara-cara yang baik karena Islam adalah kasih sayang, toleransi, dan pancaran berbagai sifat-sifat baik Allah Ta'ala.
Seperti halnya Sang Nabi yang mentransformasi para pengikutnya melalui kemilau cinta dan sifat-sifat rahmaniyyah (kasih sayang), masing-masing diri kita juga hendaknya mulai mentransformasi sifat-sifat jahat, keras, malas, kaku, dengki, amarah, sombong, keluh kesah dalam diri kita sendiri yang bercokol sekian lama di dalam ka'bah hati masing-masing. Hanya dengan cara demikian kita betul-betul bisa menjadi pengikut Rasulullah SAW dan menolong agama-Nya.
(Terjemahan dan adaptasi dari The Spread of Islam. Dalam Buku Islam & World Peace. Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen)