Tuesday, June 28, 2016

Agar Tidak Terseret Oleh Pandangan Kebanyakan Orang

Salah satu ilusi yang paling banyak menggerus manusia adalah waham tentang kesuksesan. Seolah-olah parameter kesuksesan hanya diukur oleh pencapaian duniawi atau spiritual. Menurut waham orang banyak seseorang dikatakan sukses apabila punya jabatan yang tinggi, gelar akademik yang berjejer di belakang namanya, lulusan perguruan tinggi luar negeri, memiliki harta yang banyak, dsb. Juga ukuran kesuksesan di sisi spiritual dinilai dengan adanya pengikut yang banyak, dianggap berilmu tinggi, dipandang mempunyai kemampuan khusus dsb.
Demikian rupa sehingga kebanyakan manusia tergopoh-gopoh dalam ajang lomba mencari keunggulan di mata manusia, yang jika ditilik adalah suatu letupan hawa nafsu yang bermuara dari sifat tamak.

Padahal orang yang paling mulia di mata Allah adalah yang paling taqwa, yang paling menggenggam urusan yang merupakan amanah yang dikalungkan kepada diri masing-masing. Adapun manusia memang cenderung membeda-bedakan dengan membuat kotak-kotak derajat manusia, seolah pekerjaan yang satu lebih mulia dari pekerjaan yang lain, seolah urusan yang satu lebih bergengsi dibanding urusan yang lain, namun sesungguhnya kebanyakan manusia tidak menghukumi berdasarkan kebenaran, oleh karenanya tidak kokoh landasan mereka.

Singkat kata, orang yang masih tersibukkan dirinya dengan mencari ketenaran dan kemuliaan di mata manusia sesungguhnya belum paham dan belum punya kesadaran tentang persoalan mandat Ilahiyah yang ditanam di dalam qalb masing-masing jiwa. Sebaliknya orang yang sudah paham mengenai konsep misi hidup yang berlandaskan ketaqwaan dia akan teguh jalannya dan tidak goyah oleh cibiran atau pandangan rendah manusia, tidak malu dibilang miskin, bodoh atau kurang, karena ia hanya memedulikan penilaian dari Allah Ta'ala. Maka kuatkanlah tujuan masing-masing diri kita bekerja untuk Allah Ta'ala supaya tidak terseret dalam sesat pandang kebanyakan manusia.

(Adaptasi dari Kajian Kitab Al Hikam 19 Juni 2016 yang disampaikan oleh Kang Zam, mursyid penerus Thariqah Kadisiyah)

Kalau Hati Masih Berat Dalam Beribadah

Ingat rasanya saat kita jatuh cinta pada seseorang?
Rela menunggu berlama-lama bahkan di bawah guyuran hujan deras demi menanti kekasih tercinta.
Rela berbagi makanan dan menahan keinginan untuk memberikan yang terbaik untuk sang pujaan hati.
Begitu pun dengan anak kita, kita rela memberikan apapun untuk kebahagiaannya, bahkan pada saat tertentu rela mempertaruhkan nyawa untuk mereka.
Demi cinta apapun kita tempuh.

Sekarang, kalau diajak puasa beberapa belas jam saja masih terasa kepayahan; diajak mengurangi waktu tidur untuk beraudiensi dengan-Nya di malam hari dengan intim masih dirasa berat. Bisa jadi itu pertanda hati kita masih belum begitu menggebu kecintaan kepada-Nya.



Guru saya berpesan bahwa tujuan akhir dari menempuh jalan suluk adalah menjadi hamba yang didekatkan, agar kita bisa beribadah kepada Allah dengan ikhlas, bersih, tanpa ada sebuah kelelahan karena kita mencari Dzat yang kita cintai, dan barangsiapa yang mengenal Allah akan mencintai.

Saturday, June 25, 2016

Perbantahan Para Malaikat Tinggi

Telah diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal ra., bahwa pada suatu pagi Rasulullah saw terlambat mendatangi kami untuk shalat subuh, hingga hampir-hampir kami melihat matahari terbit. Kemudian Rasulullah saw muncul dengan bergegas dan iqamah shalat pun dikumandangkan. Lalu Rasulullah saw mengimami shalat shubuh dengan mempercepat shalatnya, dan setelah salaam Beliau saw memanjatkan do’a.
Kemudian Beliau saw berkata kepada kami, “Tetaplah kalian semua berada di dalam shaf seperti itu!”
Lalu Rasulullah saw menghadapkan wajahnya ke arah kami, lalu berkata, “Sekarang aku akan mengabarkan kepada kalian, hal apa yang telah membuatku terlambat menemui kalian untuk shalat shubuh”.
Rasulullah saw berkata, “Sesungguhnya semalam aku bangun, kemudian mengambil wudhu dan melakukan shalat sebanyak yang telah dikadarkan kepadaku. Aku tertidur di dalam shalatku, dan aku merasakan kantuk yang amat berat. Tiba-tiba saja aku berjumpa dengan Rabb-ku yang tampil dalam seindah-indah rupa (ahsani shurah).
Kemudian Dia Tabaraka wa Ta’ala berkata, “Wahai Muhammad!”. Aku menjawab, “Labbaik ya Rabbi”. Lalu Dia bertanya, “Dalam perkara apakah para al-Malaa-ul ‘Alaa (malaikat-malaikat berderajat tinggi) saling berbantah?”. Aku menjawab, “Aku tidak tahu”. Rabb-ku bertanya kepadaku tiga kali.”
Rasulullah saw berkata, “Lalu aku melihat Dia meletakkan telapak tangan-Nya di antara kedua pundakku, hingga aku merasakan dinginnya jari-jemari-Nya di antara dadaku. Lalu bertajallilah (tampaklah) kepadaku segala sesuatu dan aku menjadi memahaminya ('araftu).
Kemudian Dia berkata kepadaku, “Wahai Muhammad!”. Aku menjawab, “Labbaik ya Rabbi”. Dia bertanya, “Dalam perkara apakah al-Malaa-ul ‘Alaa saling berbantah?”. Aku menjawab, “Dalam perkara kafarat-kafarat (penebus-penebus dosa)”.
Dia bertanya, “Apakah kafarat-kafarat dosa itu?”. Aku menjawab, “(Yaitu) langkah-langkah kaki untuk berjamaah, duduk-duduk di masjid setelah shalat, dan menyempurnakan wudhu pada saat-saat yang tidak disukai”
Dia bertanya, “Dalam perkara apa?”. Aku menjawab, “Dalam perkara memberikan makanan (kepada yang membutuhkan), dalam bertutur kata yang lemah lembut, dan dalam mengerjakan shalat malam di saat manusia tengah nyenyak tidur”.
Dia berkata, “Mintalah kepada-Ku!”
Aku berkata, “Allahumma ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu taufik untuk mengerjakan kebaikan-kebaikan (al-khairaati) dan meninggalkan kemunkaran-kemunkaran (al-munkaraati), agar aku mencintai orang-orang yang miskin, dan agar Engkau mengampuni serta merahmati aku. Dan jika Engkau berkehendak menimpakan fitnah kepada suatu kaum, maka wafatkanlah aku tanpa terkena fitnah”
“Aku memohon kepada-Mu, akan kecintaan kepada-Mu dan kecintaan kepada orang-orang yang mencintai-Mu, serta kecintaan kepada amal-amal yang dapat mendekatkan kepada cinta-Mu!”.
Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya hal ini adalah kebenaran (haqqun), maka pelajarilah baik-baik hal ini dan kuasailah!”.
(Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan oleh Al-Imam Ahmad).

Hadist ini merupakan penjelasan dari Al-Qur’an surah Shaad [38]: 67-70. “Katakanlah, berita itu adalah berita yang besar (nabaun ‘adzhim) yang kamu berpaling daripadanya. Aku tida memiliki pengetahuan seikitpun tentang al-Malaa-ul ‘Alaa ketika mereka berbantah-bantahan. Tiada diwahyukan kepadaku, melainkan bahwa sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang nyata”.

Bandung, malam 21 Ramadhan 1437 (26 Juni 2016).

Sunday, June 19, 2016

Mengapa Mengangkat Tangan Ke Langit Saat Berdoa?

"Wahai Guru, mengapa kita dianjurkan untuk mengangkat tangan ke arah langit ketika berdoa?"
"Anakku yang budiman, pada awalnya tidak dikenal atas-bawah-kiri dan kanan. Arah-arah ini Dialah yang menciptakan dengan perantaraan penciptaan manusia. Karena manusia diciptakan memiliki kepala dan kaki, maka disebutlah nama atas bagi sesuatu yang mengiringi kepala dan nama bawah bagi sesuatu yang mengiringi kaki. Kemudian Allah ciptakan dua buah tangan bagi manusia, biasanya salah satu tangan lebih kuat dibandingkan tangan yang lain. Maka disebutlah nama kanan bagi tangan yang lebih kuat dan arah yang lain disebut kiri.
Jadi, pahamilah bahwa penamaan arah-arah itu adalah hal yang baru sesuai dengan gerakan yang dilakukan manusia. Seandainya manusia diciptakan dengan bentuk bulat seperti bola maka arah-arah itu tidak akan ada sama sekali.
Sedangkan Allah Ta' ala Dia Maha Tinggi dari segala penamaan, Ia meliputi segala sesuatu. Adalah manusia yang melabeli sesuatu sebagai baru, lama, lambat, cepat, baik, buruk, tinggi dan rendah. Namun pada hakikatnya semua yang mewujud di alam berasal dari sumber yang sama. Seperti halnya cahaya putih yang terurai menjadi warna pelangi setelah melalui sebuah prisma. Itu mengapa kita diajarkan untuk berupaya melihat kebaikan pada apapun yang sedang dan telah terjadi, yang kita anggap baik dan buruk sejatinya sebuah kebaikan semata yang datang dari pancaran sinar kasih-Nya.
Adapun mengangkat tangan ke langit ketika bermohon itu karena langit adalah kiblat do'a. Dan di dalamnya juga terdapat isyarat kepada kemuliaan dan ketinggian. Sungguh Dia itu Maha Tinggi di atas seluruh yang maujud."
(Adaptasi dari Ihya 'Ulumuddin yang ditulis oleh Imam Al Ghazali)
"Janganlah kamu mendekati sholat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan."
(QS An Nisaa':43)
Ada yang mengatakan 'mabuk' karena banyaknya susah. Dan ada yang mengatakan karena cinta dunia.
Betapa banyak orang yang mengerjakan sholat dan tidak minum khamar padahal ia tidak mengetahui apa yang ia ucapkan dalam sholatnya.
Mabuk itu datang pada orang yang lalai, tenggelam cita-citanya dan khawatir dengan dunia.
(Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya 'Ulumuddin)
Kebanyakan umat Islam ketika berbicara tentang topik haram masih berkutat pada: babi, alkohol, zina dan hal-hal yang sifatnya perbuatan fisik. Padahal bermewah-mewahan adalah haram, pamer perhiasan, pakaian, benda-benda mewah dan menimbulkan riya adalah haram, berlaku boros - besar pasak daripada tiang adalah haram.
Semua itu adalah gerakan di dalam hati, memang tidak nampak secara fisik maka kerap luput dari pandangan orang luar dan diri sendiri. Walaupun sebenarnya setiap diri dibekali hati nurani yang bisa merasakan manakala diri sedang sombong, sedang berbangga diri, sedang menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak pas. Akan tetapi karena nafsu telah sekian lama terbiasa merajai keinginan dan menggerakkan maka orang tersebut tidak sadar bahwa nafsunya telah mencampurkan satu keharaman dengan keharaman lain.
Bulan Ramadhan ini adalah momen baik untuk introspeksi. Saat raga dikosongkan dari memenuhi nafsunya maka saat itulah gejolak hawa nafsu menjadi melemah dan itu sangat membantu kita untuk lebih melihat ke dalam diri. Demikianlah kita mencoba seminimalnya selama satu bulan suci ini untuk sebanyak mungkin tunduk kepada-Nya, kepada bisikan-Nya semata sehingga Allah Ta'ala melihat kita sedang berjuang pada jalan-Nya dan ia berkenan memberi petunjuk kepada hati kita tentang jalan yang sepatutnya kita tapaki dan secara bertahap menjarak dari kesesatan hidup.
"Orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, niscaya benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik."
(QS Al Ankabuut [29]:69)
(Adaptasi dari buku Muhasabah Diri, Bab Menahan Diri Dari Kenikmatan, karya Imam At Turmudzi)
Manifestasi Allah pada cermin Rasulullah SAW adalah yang paling sempurna, paling akurat, dan paling indah;
manakalah engkau menangkap imaji-Nya di dalam cermin Rasulullah SAW maka engkau akan menangkap sebuah kesempurnaan yang bahkan engkau tidak akan dapatkan manakala berkontemplasi tentang-Nya pada cerminmu sendiri...Oleh karena itu, jangan mencoba berkontemplasi mengenai Allah selain dari pantulan cermin Rasulullah SAW.
- Ibnu 'Arabi dalam Futuhat Al Makkiyah

Siapa orang yang paling paham Al Qur'an?


Orang yang paling paham Al Qur'an adalah Rasulullah SAW, ia dan Al Qur'an adalah bagaikan kembaran, maka dikatakan bahwa Rasulullah adalah seperti Al Qur'an yang berjalan.
Syaikhul Akbar Ibnu 'Arabi berkata, "seorang insan kamil adalah saudara Al Qur'an". Adapun insan kamil tertinggi adalah Rasulullah SAW, beliaulah orang yang tingkah laku dan akhlaknya berdasarkan Al Qur'an. Oleh karena itu kita diperintahkan mengikuti Nabi.
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku…”
(Q.S: Ali Imran: 31)
Jadi perjuangan kita melaksanakan sebanyak mungkin sunnah Rasulullah adalah agar dicintai Allah. Dengan demikian tidak patut kita mencemooh orang yang sedang berjuang mengikuti sunnahnya, misalnya ia memakai celana yang cungkrang, berjenggot panjang dsb, walaupun mereka golongan keras sekali pun, Ibnu 'Arabi tidak pernah memaki orang-orang yang keras pada yang sudah ada pada zamannya. Mereka sedang bertahap mengikuti sunnahnya tentu akan dihargai di mata Allah Ta'ala. Kita semua berjuang untuk agama dengan pengetahuan masing-masing.
Maka tekunlah mengikuti apa yang Rasulullah tuntunkan dalam hidup kita. Mulai dari mendawamkan doa-doa yang Rasulullah ajarkan sejak bangun hingga kembali tidur, saat melaksanakan pembagian waris memakai hukum yang diajarkan Rasulullah, mau nikah dan cerai memakai cara Rasulullah dsb. Karena jaminan mengikuti langkah-langkah Nabi maka niscaya Allah mencintai kita.
(Adaptasi dari pengajian pengantar riyadhoh 27 Mei 2016 yang disampaikan oleh Zamzam A.J. Tanuwijaya , Mursyid Thariqah Kadisiyyah)

Monday, June 13, 2016

Konsep Ibnu Arabi Tentang Ahlul Bait


Ibnu 'Arabi tidak sepakat untuk mengartikan "Ahl" dalam kata Ahlul Bait terbatas hanya para keluarga atau orang yang berasal dari keturunan Rasulullah SAW. Beliau mengatakan bahwa dalam Bahasa Arab, misalnya istilah "al al-rajul" berarti mereka yang akrab atau dekat dengan orang tersebut.

Syaikhul Akbar juga mengutip ayat Al Qur'an surat 40:46 "..masukkanlah Fir'aun (āl Firʿawn) dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras."Di ayat itu jelas bahwa "āl" di sini tidak merujuk kepada keluarga dari Fir'aun akan tetapi para penasihat dekatnya yang bersekutu dalam kejahatan.

Oleh karena itu penggunaan kata "āl" dalam kaitannya dengan Rasulullah SAW tepat dipahami sebagai mereka yang dekat dengan Rasulullah SAW dalam konteks iman.

Dengan demikian kita bisa memahami ayat Al Qur'an yang menyuruh kita untuk bershalawat; "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk āl Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya."(QS [33]:56). Ketika ditanya oleh para sahabat bagaimana mereka dapat melakukan hal itu, Rasulullah SAW bersabda "Katakanlah Allahumma shalli āl Muhammad" - Allah memberkahi mereka yang dekat kepada Muhammad dan - "wa shalli āl Ibrāhīm" dan Allah memberkahi mereka yang dekat dengan millah Ibrahim.

(Adaptasi dan terjemahan dari tulisan Claude Addas berjudul The Muhammadian House: Ibn ʿArabī’s concept of ahl al-bayt di dalam Journal of the Muhyiddin Ibn 'Arabi Society, Vol. 50, 2011)

Friday, June 10, 2016

Mengapa Shalat Menghadap Kiblat?

"Wahai Guru, mengapa kita harus menghadap kiblat saat shalat?"
"Anakku yang terkasih, arah kiblat adalah tempat adanya Baitullah. Maka menghadap kiblat adalah memalingkan zhahir wajahmu dari seluruh arah agar fokus menghadapkan wajah ke Baitullah Ta'ala.
Wajah kita adalah representasi dari identitas diri kita, siapa diri kita, angan-angan dan cita-cita kita semua hendaknya diselaraskan ke arah Baitullah, sebuah titik simbolisasi kehadiran Allah di situ. Sebagaimana wajah itutidaklah akan menghadap ke arah Baitullah kecuali dari berpalingnya dari selainnya, maka hati itu tidak menghadap Allah 'Azza wa Jalla kecuali dengan mengosongkan dari sesuatu yang selain-Nya, itu mengapa kita dilarang menoleh kiri kanan pada saat sholat agar belajar khusyu.
Tentu tidak mudah mengosongkan hati selain kehendak-Nya, karena gelora syahwat dan hawa nafsu akan senantiasa meniupkan jutaan keinginan. Ingin rumah yang itu, ingin pasangan yang itu, ingin mobil baru, ingin bisnis itu, ingin pekerjaan yang itu, ingin meraih posisi itu dan banyak lagi. Maka melalui sholat kita belajar untuk mengosongkan hati dari kehendak diri, dari cita-cita dan ambisi diri yang masih banyak bercampur hawa dan syahwat itu. Oleh karenanya coba menghadap Allah dalam sholat tidak membawa keinginan ini dan itu tapi diamkan saja hati kita sediam-diamnya dan sebaliknya coba tanya kepada Dia 'apa gerangan yang Engkau inginkan dariku ya Allah?'
Tentang hal ini Rasulullah SAW bersabda, "Apabila hamba berdiri kepada sholatnya maka keinginannya, wajahnya dan hatinya kepada Allah 'Azza wa Jalla maka ia pergi seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya."
Semoga Allah Yang Maha Membimbing hamba-Nya menuntun hatimu untuk berserah diri wahai anakku terkasih."

Thursday, June 9, 2016

Cahaya Ramadhan dan Cahaya Al Qur'an

"Bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya telah diturunkan Al-Qur'aan, sebagai petunjuk bagi umat manusia dan penjelasan-penjelasan dari al-Huda dan al-Furqan" -Al-Baqarah [2]:185-
Allah SWT berfirman kepada Nabi Musa as: “Wahai Musa! Sesungguhnya Aku akan memberikan kepada umat Muhammad dua cahaya, agar tidak ditimpa oleh dua bahaya kegelapan!”
Musa as bertanya, “Apa yang Engkau maksud dengan dua cahaya itu wahai Tuhanku?”
Allah SWT menjawab: “Cahaya Ramadhan dan cahaya Al-Qur’an”
Musa as kembali bertanya, “Apa yang Engkau maksud dengan dua bahaya kegelapan, wahai Tuhanku?”
Allah SWT menjawab: “Adapun dua bahaya kegelapan adalah kegelapan alam kubur dan kegelapan Hari Qiyamah!”
(Dari postingan Kang Zam, 5 Juni 2016)

Makna Fana'

Shulthan Awliya, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, dalam kitabnya “Adab as-Suluk wa at-Tawasshul Ilaa Manaazil al-Muluuk”, berkata:
Fana'lah engkau dari makhluk dengan senantiasa mentaati hukum Allah SWT. Fana'lah engkau dari cintamu kepada makhluk Allah dengan senantiasa mengikuti perintah-Nya, dan fana’lah engkau dari kehendakmu sendiri dengan rela menerima semua tindakan Allah. Dengan demikian engkau layak menjadi cawan ilmu Allah.
Ciri bahwa dirimu telah fana' dari makhluk Allah SWT adalah engkau menjadi tidak bergantung kepada mereka, engkau tidak gentar terhadap mereka dan engkau tidak berputus asa atas apa-apa yang mereka miliki.
Ciri bahwa engkau telah fana' dari diri dan nafsumu adalah engkau meninggalkan seluruh usaha dan ketergantungan diri kepada sebab di dalam mendapatkan manfaat dan menolak mudharat. Maka janganlah engkau bergantung pada dirimu dalam meraih manfaat, menolak mudharat, serta dalam mempertahankan dan menolong dirimu sendiri. Tetapi, serahkanlah semua itu kepada Dia Dzaat yang memelihara dirimu dari awal hingga akhir, sebagaimana dulu saat engkau masih berada di dalam rahim ibumu, saat engkau masih kecil, dan di dalam buaian.
Adapun ciri bahwa kehendakmu telah fana' di dalam perbuatan Allah SWT adalah engkau tidak memiliki kehendak sama sekali di hadapan Kehendak-Nya. Engkau tidak memiliki tujuan, kebutuhan, ataupun pengharapanmu sendiri. Karena, bersama Kehendak Allah, engkau hanya akan menginginkan Kehendak-Nya semata. Bahkan, tindakan Allah-lah yang mengalir dalam dirimu, sehingga engkau menjadi kehendak dan tindakan-Nya. Anggota tubuhmu tenang, hatimu tenteram, dadamu lapang, wajahmu bercahaya, batinmu sejahtera, dan engkau tidak membutuhkan apapun selain dari Dia. Engkau digerakkan oleh Kuasa-Nya, dan lisan keabadian pun menyerumu, lalu Rabb semesta alam akan mengajarimu, mengenakan jubah cahaya dan Keagungan-Nya kepadamu. Kemudian, Dia mendandanimu dengan pakaian kebesaran, memberimu kedudukan seperti yang telah diberikan-Nya kepada para salaf ahli ilmu.
Dirimu menjadi lebur selamanya, tidak ada lagi endapan hasrat dan kehendak dalam dirimu, bagaikan wadah yang pecah dan tidak lagi berisi cairan maupun kekeruhan. Engkau bersih dari tindakan manusiawi, dan batinmu hanya menerima Kehendak Allah SWT. Saat itulah engkau melampaui tatanan yang umum pahami tentang hukum, sehingga mereka menganggap itu sebagai kesaktianmu, padahal senyatanya itu adalah Kehendak dan Tindakan Allah Ta'ala. Dan pada saat itulah engkau termasuk golongan orang-orang yang telah dihancurkan hatinya, mereka yang kehendak manusiawinya telah pecah, hasrat alaminya telah lenyap karena dipenuhi kehendak ketuhanan (iraadah rabbaniyyah) dan syahwah idhaafiyyah, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw: "Tiga hal yang aku telah dijadikan mencintainya di dunia ini: perempuan-perempuan (an-nisaa’), wewangian, dan dijadikan-Nya shalat sebagai cahaya mata (kesenangan)-ku." (HR. An-Nasa'i)
Allah SWT berfirman dalam Hadits Qudsi: “Aku bersama orang-orang yang telah hancur hatinya karena Aku”
Allah tidak akan bersamamu sebelum seluruh diri, hasrat dan kehendak dirimu hancur. Jika engkau telah pecah dan tidak ada sesuatu pun tersisa dalam dirimu, maka Dia akan menumbuhkanmu untuk-Nya. Dia akan menjadikan kehendak dalam dirimu, dan engkau pun akan berkehendak sesuai dengan Kehendak-Nya itu. Jika di dalam kehendak (iraadah) itu ada hasrat dirimu, maka Allah Ta'ala akan menghancurkannya karena keberadaan dirimu di dalamnya, sehingga engkau menjadi orang yang hancur hatinya untuk selamanya. Allah SWT akan senantiasa memperbarui iraadah itu, dan akan melenyapkannya saat dirimu ada di dalamnya. Demikian terus menerus hingga sampai batas waktu dan sampai pada pertemuan.
Inilah makna, "Aku bersama orang-orang yang hancur hatinya karena Aku". Adapun makna ucapan kami "… ketika engkau berada di dalam-Nya", adalah saat engkau merasa tenang dan tenteram berada di dalam Kehendak-Nya. Dalam sebuah Hadits Qudsi disebutkan bahwasanya Allah SWT telah berfirman, "HambaKu yang mu'min senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Maka, saat Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat, menjadi tangannya yang dengannya ia bertindak, dan menjadi kakinya yang dengannya ia melangkah" (HR. Bukhari). Dalam redaksi lain, "... maka, dengan-Ku ia mendengar, dengan-Ku ia melihat, dengan-Ku ia bertindak, dan dengan-Ku ia berfikir."
Demikianlah keadaanmu dalam fana', yakni lenyap dari dirimu sendiri. Jika engkau telah lenyap dari dirimu sendiri dan dari makhluk yang lain, dan engkau tidak mengharapkan kebaikan mereka serta tidak takut akan kekejian mereka, maka yang tersisa hanyalah Allah sendiri sebagaimana sebelum Dia menciptakanmu dan menyelamatkanmu dari keburukan dan menenggelamkanmu ke dalam lautan kebaikan-Nya, hingga engkau menjadi wadah bagi semua kebaikan, menjadi pemancar semua kenikmatan, kebahagiaan, suka cita, cahaya, rasa aman dan ketenteraman.
Fana' adalah tujuan dan harapan akhir dari perjalanan setiap Waliyullah. Fana’ adalah istiqamah yang diusahakan oleh setiap Wali dan para Abdal terdahulu. Mereka berusaha untuk fana' dari kehendak dirinya, hingga kehendaknya diganti dengan Kehendak Al-Haqq 'Azza wa Jalla. Dengan Kehendak Allah inilah mereka berkehendak hingga mereka wafat. Oleh karena itulah mereka disebut sebagai Abdal.
Sehingga, satu-satunya dosa yang mereka lakukan adalah menyekutukan Kehendak-Nya dengan kehendak yang keluar dari diri mereka sendiri, entah penyekutuan itu karena kelalaian, keterlupaan, atau karena terbuai di dalam suatu hal (ahwaal ruhaniyah) dan kedahsyatan tertentu. Lalu, Allah SWT menemui mereka dengan kasih-Nya, dengan penyadaran dan pengingatan, sehingga mereka tersadar dan cepat kembali serta memohon ampunan kepada Allah SWT. Sungguh, selain malaikat, tidak ada yang terbebas dari berkehendak, para Nabi dijamin terbebas dari hasrat (hawaa), sedangkan yang lain tidak ada yang dijamin bebas dari kehendak dan hasrat (hawaa). Adapun para Wali, mereka hanya dijaga (yahfazh) dari hasrat, dan para Abdal dijaga dari kehendak, tetapi mereka tidak dijamin terbebas dari keduanya. Yakni, dalam keadaan tertentu, para Wali dan Abdal ini juga memiliki kecenderungan pada kehendak dan hasrat dirinya, namun Allah SWT senantiasa menyadarkan mereka dengan Rahmat-Nya.

Monday, June 6, 2016

Apa Arti Bau Mulut Orang Puasa Lebih Wangi Dari Minyak Kesturi?

"Wahai Guru, apa maksud hadits yang mengatakan "..Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada minyak kesturi." karena pada kenyataannya bau mulut orang yang sedang shaum - maaf kalau boleh jujur bahkan tidak bisa dikatakan wangi."

Sang Guru tersenyum sambil berkata, "Anakku yang Allah kasihi. Wangi yang muncul dari sumber wewangian apapun yang engkau anggap paling enak baunya di muka bumi ini adalah datang dari elemen yang terkandung di dalam bunga, minyak atau bibian tertentu. Wangi itu ada karena memang Allah Ta'ala membuatnya menjadi mengeluarkan wewangian yang sedap.

Adapun bau mulut yang tercipta dari nafas orang yang sedang puasa adalah spesial dan lebih mulia dalam pandangan Allah, karena orang yang puasa adalah hamba-Nya yang sedang belajar mengosongkan dirinya sendiri. Mereka berupaya menahan lapar dan haus juga aktivitas seksual dan gerakan dalam hati yang bisa merusak nilai puasa demi untuk-Nya. Jadi bau nafas orang yang puasa datang dari upaya sang hamba dalam tunduk berserah diri pada ketetapan-Nya di dalamnya ada nilai sebuah perjuangan yang Allah tentu sangat hargai, oleh karenanya Dia berfirman "Puasa adalah untukku, Aku sendiri yang akan memberikan pahalanya".
Maka berbahagialah orang-orang yang berpuasa.

Dengan logika yang sama engkau bisa lihat anakku, betapa perbuatan yang kita lakukan untuk meraih ridho-Nya walaupun terlihat buruk di hadapan manusia akan tetapi bernilai tinggi di mata-Nya. Pesan lain yang terkandung dalam hadits ini juga adalah agar dirimu tidak dibuat takut oleh penilaian manusia dan tidak tergantung pada riuh rendah pujian atau cacian dari mereka. Karena seringkali yang mereka puji-puji belum tentu baik ataupun yang mereka cela belum tentu buruk di hadapan Allah."[]

Sunday, June 5, 2016

Surat Syaikh Syarafudin Maneri Tentang Shaum

Surat yang ditulis tentang shaum oleh Syaikh Syarafudin Maneri, seorang guru sufi dari India yang ditujukan kepada muridnya yang bernama Qazi Syamsuddin.
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Wahai Syamsuddin, sesungguhnya para pemangku kebenaran dan keihsanan telah berkata: “Seperti halnya kekuatan raga tergantung pada makanan dan minuman, maka kekuatan jiwa tergantung kepada kondisi menahan lapar dan haus. Karena dalam ranah Tuhan, rasa lapar adalah jamuan yang sangat khusus.” Dikatakan bahwa salah sifat Tuhan adalah sebagai
berikut:
“Dan Dia yang memberi makan, bukan Dia yang diberi makan.” (QS Al An’aam [6]:14)
Jika seorang hamba mendekat melalui shaum, maka sesuai dengan kesepakatan para ulil albab maka ia berjalan di atas permadani yang membawanya mendekat kepada Allah. Sang hamba pun kemudian menjadi semakin berjarak dari sifat insaniyahnya. Ketika seseorang shaum dengan niatan “menjadikan perbuatannya mendekati perbuatan Tuhan,” kemudian ia pada saat yang sama mampu memberi makan hamba yang lain, maka dengannya ia makin mendekati kualitas Sang Maha Kasih. Sang hamba kemudian akan semakin menjauh dari tarikan ragawiyah dan menikmati pancaran kedekatan jiwa dengan-Nya, sebaimana Allah Rabbul ‘Aalamin telah berfirman, “Mereka yang shaum akan menikmati dua kebahagiaan, yaitu saat berbuka dan saat bertemu dengan Tuhannya.”
Apa sebenarnya kebahagiaan yang tersedia saat si hamba berbuka? Sang pencari Tuhan adalah bagaikan seseorang yang menempuh perjalanan jauh untuk bertemu sang kekasih. Syarat yang diberikan kepadanya adalah “Jika kau ingin bertemu dengan-Nya, maka shaumlah!”. Oleh karena itu ia menahan keinginan ragawinya selama perjalanan kembali.
“Dan kepada Rabb-mu lah kembali segala sesuatu.”(QS An Najm [53]:42)
Dan di akhir perjalanan, saat waktu shalat maghrib telah tiba dan kuda yang menopang dia dalam perjalanan telah ditambatkan. Sang pejalan menerima sajian alfalfa (sejenis tumbuhan yang kaya gizi) dan segelas air untuk menyudahi shaumnya pada hari itu dan memberi tenaga kepada sang pejalan. Pada saat itu hilanglah semua kepayahan yang ia telah alami sepanjang hari.
Adapun kebahagiaan kedua bagi orang yang berbuka sesungguhnya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Itu adalah sesuatu yang harus dialami, seperti kata pepatah “Siapapun yang belum mencecap rasa sesuatu sesungguhnya belum mengetahui apapun tentang hal itu.” Antara Tuhan dengan hamba-Nya terbentang 70.000 hijab, jika saja salah satu hijab itu tersingkap maka apapun yang ada di hadapannya akan tenggelam dalam balutan sinar-Nya. Lalu siapa yang mampu mengungkapkan dengan kata-kata sebuah pengalaman seperti itu? Inilah maksud sebuah pepatah “Adalah sia-sia membicarakan sesuatu yang telah demikian jelas!”
“Buatlah perutmu lapar dan badanmu kehausan, dengannya semoga engkau bisa melihat Tuhan di dunia ini.”Demikian firman Tuhan.
Wahai saudaraku, lalu mengapa raga ini harus menanggung sekian kepayahan? Berkaitan dengan shaum Rasulullah SAW bersabda, “Setiap amalan seorang hamba akan mendapat pahala hingga tujuh puluh kali lipat, kecuali shaum. Shaum yang dikerjakan demi mendapatkan ridho-Nya akan diganjar langsung oleh-Nya.” Maka saudaraku, sadarilah ganjaran yang sangat mulia saat seorang hamba menempa dirinya melalui shaum, sesungguhnya ia tengah diangkat dari kegelapan kecenderungan-kecenderungan hawa dan syahwat yang melingkupi dirinya untuk mendekat kepada-Nya hingga ke langit ketujuh meraih momen saat melihat wajah-Nya terjadi bagai mereka yang mencari-Nya dengan sungguh-sungguh.
Ibadah shaum sangat dianjurkan bagi para salik. Bagi mereka yang ingin mendengarkan titah Tuhan lebih jelas dalam hatinya, mereka akan menjalankan shaum selama empat puluh hari. Oleh karena itu dianjurkan untuk melanjutkan shaum Ramadhan dengan shaum di bulan syawal.
Seorang syaikh berpesan kepada muridnya, “Seorang murid dianjurkan memiliki tiga hal : Pertama, kecuali engkau ditaklukan oleh rasa kantuk, maka tidurlah sesedikit mungkin; Kedua, kecuali jika engkau harus mengemukakan sesuatu yang penting, maka sedikitlah berbicara; yang ketiga, kecuali jika engkau tak kuasa menanggung rasa lapar, maka shaumlah.”
Wahai saudaraku, sesungguhnya siklus makan dan memenuhi kebutuhan syahwat adalah menyibukkan kita dari memandang-Nya. Maka ketika seseorang mencoba mengosongkan dirinya melalui shaum kehadiran-Nya akan semakin jelas terasa. Sungguh menahan diri tarikan syahwat sembari duduk di karpet jamuan di hadapan-Nya adalah jauh lebih baik dibanding berpesta pora di dalam istana-Nya tanpa kehadiran Sang Maha Raja.
Wassalam (Adaptasi dan terjemahan dari Bahasa Inggris oleh Tessa Sitorini)

Wednesday, June 1, 2016

Berpuluh Tahun Susah Di Dunia Tak Ada Bandingannya Dengan Susah di Akhirat Sejam Saja

"Wahai guru kalau memang Allah itu Maha Pengasih mengapa Dia ijinkan berbagai malapetaka, kesulitan dan penderitaan di muka bumi?

"Duhai anakku yang terkasih, membaca kehendak Sang Maha Pencipta di balik segala fenomena dibutuhkan hati yang jernih dan jauh dari prasangka buruk kepada-Nya. Hal pertama yang kau harus yakini bahwa Dia TIDAK MUNGKIN mencederai apalagi menyakiti semua ciptaan-Nya yang Ia ciptakan dengan landasan cinta kasih.

Adapun berbagai kesulitan hidup dan berbagai ujian dalam kehidupan yang beragam itu setiap halnya adalah dihadirkan menyelinap di antara keseharian kita dengan membawa obat bagi hati masing-masing. Perumpamaannya bagaikan pakaian yang kotor maka ia harus dicuci dengan baik, semakin erat noda di pakaian menempel maka proses pencuciannya pun makin khusus. Nah jiwa kita yang tadinya dilahirkan suci seiring dengan waktu terkena pengaruh sekitarnya, dari orang tua, saudara, keluarga besar, teman dan lingkungan sekitar. Terpaan pengaruh itu berlangsung setiap hari tanpa disadari. Anda bayangkan anakku, bagaimana kiranya engkau memakai pakaian yang tidak dicuci selama satu tahun lamanya, tentu tidak nyaman dan sangat kotor bukan?

Nah hati kita setelah belasan bahkan puluhan tahun pun memudar kejernihannya bahkan tidak sedikit yang hitam pekat karena tertutup hijab yang demikian tebal. Maka Allah Ta'ala menurunkan mekanisme pembersihan yang jitu bagi setiap insan, semua sudah ditakar dengan presisi di Lauh Mahfudz.

Anakku yang budiman, kesulitan hidup apapun yang dirimu hadapi, sakit hati separah apapun yang pernah engkau alami ataupun jenis penderitaan apapun yang sedang engkau tempuh sungguh tidak ada bandingannya sama sekali dibandingkan dengan dirimu berpulang kepada-Nya dalam keadaan hati yang gelap gulita. Karena realitas kehidupan di alam berikutnya akan sangat ditentukan oleh kondisi hati kita masing-masing. Maka terima semua takdir hidupmu dengan baik, karena sungguh di dalamnya ada obat yang mujarab bagi hati kita yang sedang sakit. Adapun bersabar menanggung kesulitan hidup seberat apapun di kehidupan di dunia yang singkat ini sama sekali tidak ada bandingannya dengan menanggung kepayahan di alam akhirat selama satu jam saja. Maka dari itu, bersabarlah anakku, semua akan terbuka hikmahnya cepat atau lambat insya Allah.[]