Friday, March 31, 2017

Kenapa Doa Belum Dikabulkan

"Minta izin masuk rumah itu tiga kali, jika diizinkan untuk kamu (masuklah) dan jika tidak maka pulanglah!"
(HR Bukhari dan Muslim)

Seseorang yang mengetuk pintu atau membunyikan bel lebih dari tiga kali apalagi sambil bersikeras mencari sang penghuni rumah hingga memutar mencari jalan masuk ke belakang rumah dan tidak memasuki rumah dari pintu depannya pun tidak mengucapkan salam ketika masuk adalah sebuah tanda kurangnya adab dalam dirinya.

Hal yang sama berlaku dalam hubungan kita dengan Allah Ta'ala. Kita yang tengah berusaha mengetuk pintu-Nya agar Dia berkenan mengabulkan permohonan kita. Bisa jadi sang pintu tidak dibuka karena kita tidak mengikuti peraturan Sang Pemilik semesta, tapi kita sudah keburu dongkol dan berkeluh kesah dalam hati kenapa pintunya tidak juga dibuka, mengapa doa tidak dikabul, mengapa permintaan belum terwujud.

Sangat sedikit hamba-Nya yang kemudian melihat ke dalam diri sendiri untuk kemudian membenahi hati dan memperbaiki ketaatan kita. Karena taat kepada Allah dan RasulNya adalah syarat turunnya rahmat.

"Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat"(QS Ali Imran [3]:132)

Maka upaya kita mengetuk pintu-Nya harus diiringi dengan upaya mengikuti semua aturan yang Sang Pemilik rumah tetapkan. Mencoba untuk apik di semua hal, mengikuti apa yang Rasulullah perintahkan dengan takzim. Barangkali ada akhlak tertentu yang belum kita bangun, barangkali ada ibadah tertentu yang belum kita tegakkan, barangkali kita salah menempatkan fokus dalam kehidupan maka harus banyak mentafakuri diri dan perjalanan hidup.

Kita mau kemana?
Apa yang kita cari?
Sudah siapkah kita jika malam ini raga kita selesai berfungsi kemudian jiwa berpindah ke alam barzakh?

Jangan sampai kita dicabut nyawa menyimpan prasangka buruk kepada Allah Ta'ala sambil mengeluh kenapa Allah tidak menolong, padahal diri kita yang belum rapih mengikuti aturan Sang Pemilik semesta sehingga pintu-pintu permohonan belum dibukakan []

Tugas Terbesar Manusia

Apa tugas terbesar kita sebagai manusia di penggal kehidupan yang singkat di dunia ini?

Bekerja keras untuk memahami Al Quran sedemikian rupa sehingga kita bisa memetakan diri kita ke dalam Al Quran.
Sebab hal yang paling shahih dalam membangun agama (ad diin) adalah ketika semua langkah hidup kita adalah refleksi dari Al Quran, ketika itu terjadi maka kita akan dikatakan telah mengimani Al Quran sepenuhnya. Mengimani kenabian Rasulullah Muhammad SAW pun tidak akan bisa tanpa melampaui pengimanan yang benar terhadap Al Quran, oleh karenanya iman kepada rasul-rasul menduduki peringkat keempat dalam skema rukun iman, setelah beriman kepada Allah, para malaikat dan kitab-kitabNya.

Kalaupun kita sudah mulai belajar Al Quran tapi dalam keseharian sepertinya Al Quran dengan kehidupan kita seperti dua sungai yang berjauhan dan tidak berhubungan maka sebenarnya kita tengah hidup dalam sebuah kerugian yang besar! Ketika kita di satu sisi memandang kehidupan dan tenggelam di dalamnya kemudian menempatkan Al Quran hanya dalam sekat-sekat kehidupan lain yang bersifat ritual semata maka betul-betul ada yang salah di situ. Kita harus SERIUS memohon kepada Allah, inayah-Nya, hidayah-Nya, taufik-Nya agar diberi rezeki oleh Allah Ta'ala berupa kedekatan hati dengan Al Qu'an.

Jika kita semua sudah mencapai titik itu, ketika antara diri dan Al Quran seperti cermin, atau secara efektif kita sudah menjadikan Al Quran sebagai imam besar kita, baru rasanya bermakna hidup ini, dan itulah tugas terbesar kita sebagai manusia

(Adaptasi dari Kajian Hikmah Al Quran yang disampaikan oleh Mursyid Zamzam AJT, 30 Desember 2015)

Tuesday, March 21, 2017

Kita Terlahir Sebagai Seorang Filsuf

SETIAP ANAK ADALAH SEORANG FILSUF

"Ma, apakah kita sekarang sedang bermimpi?"
"Sama sekali tidak sayang." jawab si mama dengan pede.
"Mama yakin?"
Mama: ....

Demikian cuplikan dialog antara seorang ibu dengan lelakinya yang berusia 3 tahun. Pertanyaan yang sama dilontarkan oleh Rene Descartes, filsuf berkebangsaan Perancis di abad ke-17, "Bagaimana seseorang bisa yakin bahwa ia tidak tengah bermimpi?"

Anak-anak secara natur adalah seorang filsuf. Filosofi berasal dari kata berbahasa Yunani "philo", berarti cinta dan "sophos" yang bermakna hikmah. Sejak kecil anak-anak dengan fitrahnya yang masih murni senang mempertanyakan semua hal, keping-keping pengetahuan yang membangun konsep besar dari seluruh alam ciptaan.

Selain itu imajinasi anak yang belum terpasung oleh sekat-sekat normatif memungkinkan ia melihat fenomena dari berbagai sudut. Contohnya ada dalam dialog antara Ali, seorang anak lelaki berusia lime tahun yang tiba-tiba berceletuk kepada tantenya, "Tante, masa depan kita bisa berpengaruh kepada masa lalu ya?". Sang tante yang sedang lincah menggerakkan jari jemarinya di layar smartphone langsung tersenyum geli - seraya mentertawakan ungkapan keponakannya- "Ya ngga lah, yang benar itu masa lalu berpengaruh membentuk masa depan kita". Sang tante yang memang bukan filsuf dan tidak juga tertarik untuk berpikir dalam menampik ajakan sang keponakan untuk mengeksplorasi kemungkinan "masa depan bisa berkontribusi kepada masa lalu seseorang". Kemudian kakaknya, yang berusia 9 tahun dan masih belum begitu "terpasung" alur berpikirnya mencoba mendukung gagasan sang adik, "Maksudnya mungkin begini tante, kalau seseorang belajar dengan baik hari ini, tentu ia akan meraih hasilnya berupa nilai yang bagus. Nah ketika seseorang berpikir tentang kebaikan yang akan dipetik di masa depan dan membuat ia lebih termotivasi untuk belajar disitulah peran masa depan bisa berkontribusi kepada masa lalu seseorang." Sang kakak menjelaskan dengan antusias dan berharap mendapatkan respon yang positif dari sang tante.

Si tante kemudian mengalihkan pandangannya dari layar smartphone yang sejak tadi menyerap seluruh waktu dan - sepertinya juga jiwanya - kemudian menatap dua bersaudara itu dalam-dalam, kemudian berkata "Kalian ini ada-ada saja. Itu adalah pemikiran yang salah. Yang benar adalah masa lalu kita membentuk masa depan. Titik"
Sambil lanjut meraih benda elektronik kotak yang menyerap demikian banyak waktu dan perhatiannya selama beberapa tahun terakhir.
Sang adik dan kakak hanya saling berpandangan dan melempar senyuman penuh arti seakan berkata "hopeless...".

Setiap anak adalah seorang filsuf, jiwa suci yang rindu akan sebuah nilai kebenaran (al haq). Dan perjalanan awal untuk menelusuri jalan pengenalan alam dan dirinya adalah dengan mempertanyakan semua hal. Adalah sang dewasa yang sudah terjerat oleh "rutinitas harian" yang kerap tidak sabar dalam melayani keingintahuan anak yang begitu menggelora. Sehingga ungkapan seperti, "udah jangan banyak tanya!" atau jurus mengalihkan seperti "sudah malam ayo tidur!" secara tidak sadar lambat laun memudarkan pijar daya tafakur dalam diri anak. Setidaknya, kalaupun kita pun tidak mengetahui jawabannya, jujur saja dengan berkata "Wah, mama juga belum tahu, mari kita cari sama-sama jawabannya.". Apapun itu jangan sampai api semangat anak dalam mencari kebenaran padam. Seperti sang maestro seni Picasso katakan, "Setiap anak terlahir menjadi seniman. Masalahnya adalah bagaimana untuk menjaga jiwa seni sang anak hingga ia dewasa.". Anak-anak kita - termasuk kita sendiri - terlahir sebagai filsuf, kita cinta kebenaran dan jiwa kita akan selalu mencari informasi tentang Sang Al Haq yang tak jarang harus didapatkan dengan mempertanyakan sebuah konsep kebenaran yang sedang kita genggam per saat ini. Karena kebenaran yang diyakini di satu hari bisa jadi berhala di hari lain. Benar kiranya apa kata Socrates, "A life that is not questioned is not worth living."

(Referensi : "Every child is a philosopher". Dr. Bahar Eris. Seorang akademisi dan penulis yang memperdalam pendidikan dan perkembangan bakat pada anak-anak. Associate Professor di Bahcesehir International University, Turki.)

Monday, March 20, 2017

Boleh Mendengki Kepada Dua Orang Ini

"Ada tiga perkara yang tiada terlepas (bahkan) orang mukmin daripadanya, yaitu: dengki, buruk sangka dan hati yang berjauhan)"

Dengki ini penyakit kronis dan berbahaya yang kerap luput dari pantauan seseorang. Ia bisa merayap halus dan tak nampak bagaikan semut hitam yang berjalan di atas batu hitam di kegelapan malam.

Orang yang hatinya mempunyai kedengkian tidak senang apabila saudaranya atau orang lain mendapat kenikmatan atau berprestasi karena ia tak mau merasa tertinggal. Pada saat yang bersamaan di hati kecilnya akan bersorak sorai bila teman atau saudaranya mendapat kemalangan, sambil menyiramkan kata-kata pedas "Tuh kan kubilang juga apa! Aku kan sudah kasih tahu! Dasar keras kepala!Rasain lo!" Itu adalah tabiat pendengki.

Sumber dari rasa dengki adalah kecintaan kepada obyek-obyek yang membuat hatinya bergejolak itu. Seseorang bisa jadi memiliki obsesi ingin terpandang dan bergemuruh hatinya saat sahabat dekatnya yang lebih dianggap terkenal dan lebih sukses. Seseorang mungkin menyimpan keinginan untuk memperoleh derajat status sosial tertentu, maka ia bisa dibuat jadi tidak nyenyak tidur tatkala mengetahui tetangga sebelah mendapat kenaikan pangkat dan gaji. Apapun itu sang pendengki selalu berkutat kepada hal-hal yang ada di luar dirinya dan sulit untuk sekadar bisa menikmati hidup dan bersyukur atas apa yang ada.

Sungguh kasihan orang yang memelihara kedengkian di dalam hati, hidupnya pasti kerap tidak tenang dan ia seperti menyelubungi dirinya sendiri dengan awan kesedihan. Sekuat apapun upayanya untuk menonjolkan diri dan menyetarakan diri dengan siapapun yang ia punya kedengkian terhadapnya pastinya hanya akan menghasilkan kelelahan abadi. Karena setiap orang mempunyai jatah rejeki yang berbeda-beda. Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya, "Dan janganlah kalian iri hati terhadap karunia yang telah Allah lebihkan kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain.’’ (QS an-Nisa [4]: 32).

Tapi, memang sulit memang untuk tidak mendengki, manusia sepertinya punya natur kompetitif. Sang junjungan memberikan rambu, silakan mendengki, kepada dua orang:

“Tidak dibenarkan hasad (iri hati/dengki) kecuali terhadap dua kasus: (Pertama) laki-laki yang dikaruniai Al-Qur’an oleh Allah, lalu ia membacanya dalam qiyam diwaktu-waktu malam. (Kedua) laki-laki yang dikarunia kekayaan oleh Allah, Lalu ia menginfakkannya diwaktu-waktu siang dan malam” (H.R.Muslim dan Ibnu Majah) - Selamat mendengki []

Sunday, March 19, 2017

Syukur Dalam Rumah Tangga

Dalam menempuh bahtera rumah tangga, sepasang suami istri bisa menciptakan surga di rumahnya dengan sebuah sikap kebersyukuran.

Berapapun rejeki yang suaminya bawa ke rumah disyukuri, alhamdulillah.
Ketika masa senang datang alhamdulillah, begitu pun saat susah disyukuri, alhamdulillah.
Apapun bentuk rumah tangga dan kadar rejeki diterima dengan alhamdulillah.
Walaupun hanya ada nasi dan garam untuk makan, alhamdulillah.
Hanya dengan hati yang bersyukur apapun yang dihadapi menjadi kebaikan.

Perhatikan, masa senang dan masa susah akan hilang.
Masa penantian dan ujian pun akan berlalu.
Semua hal akan dipergilirkan dalam kehidupan. Para tamu Tuhan yang datang dan pergi.
Akan tetapi cinta adalah abadi.
Kasih sayang dan kesabaran adalah abadi.
Hati yang bersyukur adalah abadi.
Maka jangan sampai kehidupan melalaikan kita dari meraih kekayaan yang hakiki. Itulah sebaik-baik kekayaan yang akan menemani kita hingga kehidupan akhirat. Insya Allah

(Adaptasi dari "Marriage" yang disampaikan oleh Bawa Muhaiyyaddeen)

Saturday, March 18, 2017

Merangkai Keping Ad Diin

Suatu hari si kecil menangis sambil minta tolong mamanya untuk menyatukan keping mainannya supaya kembali utuh. Saya bilang sama dia, `Sini mama bantu, tapi semua keping mainannya harus diberikan sama mama.´ karena ia masih memegang beberapa bagian di tangannya.

Kejadian dalam keseharian yang berfungsi menjadi pengingat.


Pantas saja ad diin saya belum tegak betul. Karena ia masih terpecah. Lebih dari itu, sebagian pecahan saya persembahkan kepada Tuhan seraya memohon `ihdinashiraathal mustaqiim` agar ditegakkan ad diin dalam diri, namun pada saat yang bersamaan banyak keping lain yang saya berikan kepada hawa nafsu, kepada keinginan pribadi, kepada ambisi diri, kepada .... kepada...masya Allah...

Al Baqarah Sang Punuk Al Quran

Seekor unta bisa berjalan di padang pasir berhari-hari tanpa makan karena di dalam punuk sang unta sari-sari makanan - terutama dalam bentuk lemak - tersimpan dengan kapasitas bisa mencapai sekitar 36 kg.

Bicara tentang punuk unta, Rasulullah SAW bersabda, "Segala sesuatu itu mempunyai punuknya tersendiri, sedangkan punuk Al-Qur’an adalah surat Al-Baqarah. Di dalamnya terkandung penghulu ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu ayat Kursi." (HR Abu Hurairah).

Sebagaimana fungsi punuk unta untuk menyimpan sari makanan, maka dalam surat Al Baqarah semua esensi topik dalam Al Quran juga tersimpan di sana.

Berikut beberapa riwayat yang menyebutkan ihwal keutamaan surat Al Baqarah.

"Barangsiapa membaca dua ayat terakhir dari Al Baqarah di malam hari, maka cukuplah baginya untuk melindungi -dari marabahaya- " (HR Bukhari-Muslim)

"Apabila kamu merebahkan diri di pembaringan, maka bacalah Ayat Kursiy. Karena dengan begitu malaikat Allah akan selalu menjagamu dan syetan tidak akan mendekatimu sampai pagi."(HR Bukhari)

"Janganlah kalian menjadikan rumah kalian laksana kuburan, karena sesungguhnya syetan akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al Baqarah." (HR Muslim)



Surat Cinta Yang Tersembunyi

Selama manusia hidup masalah akan selalu membayanginya, itu natur kehidupan.
Yang menjadi persoalan bukan masalah yang ada akan tetapi bagaimana seseorang menyikapi masalah itu.
Ada yang melarikan diri dari masalah.
Ada yang berkeluh kesah dan lemah saat dirundung masalah.
Ada yang sibuk berkutat dengan mencari solusi untuk keluar dari permasalahan itu.
Sikap kita saat berhadapan dengan masalah mencerminkan kadar penghadapan wajah kita kepada Allah Ta'ala. Semakin dekat seseorang kepada Rabbnya, segala problematika kehidupan bagaikan menjadi anak-anak tangga untuk semakin mendekat kepada-Nya. Alih-alih terlalu mengandalkan kemampuan diri untuk menyelesaikan masalah dan menghabiskan waktu melompat-lompat dari menyelesaikan satu masalah ke masalah yang lain tapi kehilangan rasa kedekatan hati kepada Dia Sang Pengutus masalah. Karena di balik semua pontang-panting kehidupan tersembunyi surat cinta dari Dia yang rindu untuk dikenal.[]

Sunday, March 12, 2017

Tidakkah selaiknya kau takut kepada Sang Pemilik ombak?

"Sekiranya seorang yang sempurna imannya mengguncang sebuah gunung niscaya gunung itu akan bergeser dari tempatnya." Demikian sabda Nabi Isa 'alaihissalam.
Begitu pula sabdanya kepada seorang pengikutnya dari kaum Hawariyin yang menemuinya di lautan, lalu ia pun berjalan bersama Nabi Isa di atas air.

Isa a.s. kemudian berkata, "Berikan tanganmu wahai orang yang tipis keimanannya!" Kemudian orang itu pun berjalan bersama sang nabi di atas ombak.
Lalu Isa a.s. bertanya, "Apakah engkau takut kepada ombak?"
Ia menjawab, "Ya."
Isa a.s. pun berkata, "Tidakkah selaiknya kau takut kepada Sang Pemilik ombak?"

***

Bagi seorang yang derajat imannya sudah kuat, keadaannya di dunia tidak memengaruhi penghadapan hati dan kebersyukurannya kepada Allah Ta'ala.
Seperti ketabahan Ayyub a.s. yang menerima sekujur raganya didera penyakit dan kehilangan orang-orang yang dikasihinya.
Lalu dedikasi seorang Nuh a.s. yang melaksanakan tugas menyampaikan risalah selama 950 tahun lamanya, walaupun ia telah diberi pengetahuan perihal hanya akan ada beberapa orang saja yang menjawab seruannya.
Juga kebersahajaan Rasulullah Muhammad s.a.w, beliau pernah ditawarkan oleh Jibril a.s. emas seluas dataran Mekkah yang dengannya beliau bisa membangun kerajaan yang megah dan berdakwah dengan gagah perkasa.

Akan tetapi sang Ayyub memilih menerima tamu yang dikirim Sang Kekasihnya walaupun itu berupa sesuatu yang menyakitkan.
Nabiyullah Nuh a.s. tetap berdiri tegak melaksanakan tugasnya merenda hari hingga memenuhi waktu tugasnya selama 950 tahun, walau telah mengetahui secara kuantitatif hasil yang akan didapatkan bisa dibilang "tidak berhasil".
Dan sang insan yang mulia, Rasulullah Muhammad s.a.w lebih memilih lapar - mengikat batu di perutnya demi mengganjal rasa lapar dan hidup dalam kesederhanaan seraya berkata "..aku lebih senang sehari lapar dan sehari kenyang. Tatkala hari yang aku merasakan lapar, aku merendah diri dan berdo’a kepada-Mu, sementara tatkala hari yang aku merasakan kenyang, aku bersyukur dan memuji-Mu."

Hamba yang sejati, walaupun kekuatan iman mereka mampu mengubah dunia, mereka tidak lakukan itu seenaknya,
demikian etika luhur yang mereka bangun dengan Sang Khalik.
Adalah mudah bagi mereka hanya sekadar menghilangkan penyakit dari tubuh, mengubah daun menjadi emas atau melakukan sekian banyak mukjizat. Namun mereka adalah manusia-manusia yang telah mati dari keinginan pribadinya, karena jiwanya sudah demikian berserah diri dalam karsa Allah Ta'ala.

Lagipula, mukjizat yang paling hebat di dunia ini sesungguhnya adalah ketika seseorang berubah menjadi baik hatinya (taubat) dan manakala seorang insan tertransformasi jiwanya. Hal yang satu ini tak ada yang bisa mengintervensi karena datangnya cahaya hidayah murni kuasa Allah Ta'ala.

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Alloh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Alloh lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS Al Qashash: 56).

Oleh karena itu dikatakan Al Qur'an sebagai mukjizat terbesar yang dibawa Rasulullah Muhammad saw, jauh melebihi kedahsyatan pagelaran mukjizat Musa a.s. yang membelah lautan. Karena Al Qur'an mampu dengan efektif mentransformasi jiwa-jiwa manusia yang terpuruk dan lalai dengan kehidupan akhiratnya.

Marsalahnya sudah sejauh mana kita telah ditransformasi oleh Al Qur'an? Sudah sedekat apa interaksi kita dengannya? Sudah sesering apa waktu kita luangkan untuk sekadar beraudiensi dengannya?

Sang Nabi Isa a.s. menguji tauhid seseorang dengan dihadapkan dengan gelombang di lautan. Kita pun sudah pasti pernah, sedang dan akan berhadapan dengan gelombang kehidupan kita masing-masing yang kita dibuat termehek-mehek karenanya, yang kita dibuat susah tidur malam dibuatnya, hingga tak jarang membuat orang berputus asa dari janji Allah dan dengan mudahnya memalingkan wajah kepada berhala-berhala kehidupan yang selalu menggapai-gapai manusia-manusia yang lemah imannya itu.

Kiranya pertanyaan Sang Nabi relevan untuk kita renungkan, saat kita masih dibuat khawatir oleh bayangan tentang hari esok, dibuat resah oleh doa-doa kita yang belum dikabulkan dan dibuat gentar hati oleh kekurangan rezeki lahir dan batin. Semua ombak-ombak kehidupan yang membuat kita takut. Hingga sang Nabi pun berkata, "Tidakkah selaiknya kau takut kepada Sang Pemilik ombak?" []

Tuesday, March 7, 2017

Ihwal Pembunuhan Bayi Sparta

Di bumi ini pernah hidup sebuah bangsa yang orang-orangnya dikenal sebagai salah satu pasukan tempur terhebat di jaman Yunani kuno. Menurut Barry Jacobsen, seorang pakar sejarah , "Orang Sparta bukanlah pembuat tembikar, mereka juga bukan seniman - mereka tidak melakukan apapun selain bertempur. Ketika seorang anak lelaki Sparta menginjak usia delapan tahun, dia dilatih untuk melakukan satu hal, yaitu membunuh musuhnya."

Konon bayi-bayi Sparta yang terlahir lemah dan sakit-sakitan dan tampaknya tidak akan bisa digembleng menjadi seorang petarung akan langsung dibunuh. Kejam? Iya begitulah perilaku manusia untuk sekadar bertahan hidup. Kebetulan bangsa Sparta hidup pada jaman dimana peperangan kerap terjadi dan satu-satunya cara untuk mempertahankan kelangsungan hidup adalah dengan memperkuat pertahanan diri atau lebih dahulu menaklukkan musuh.

Insting manusia untuk mempertahankan kehidupan bisa jadi bergeser fenomenanya, di jaman ini dimana peperangan hanya terjadi di sebagian kecil belahan bumi maka medan pertarungan mewujud berupa jerih payah meraih kenyamanan hidup dan mempertahankannya. Orang demikian terbuai oleh dongeng "meraih kesuksesan hidup" dengan janji-janji manis "pensiun dini", "menjadi cepat kaya di masa muda", "cara cepat mendapatkan passive income" yang kalau ditilik lebih dalam sebenarnya bisa jadi mematikan potensi jati diri yang harusnya berkembang. Masalahnya tidak banyak orang yang mau bersusah payah melalui masa "growing pains". Bagaikan benih yang harus pecah dan merasakan rasa perih keluar dari cangkangnya agar sang kecambah bisa tumbuh dan merentangkan diri ke langit untuk menghirup udara segar dan mencecap sapuan sinar matahari yang menyehatkan dirinya, akan tetapi keluar dari tanah "comfort zone" bagi kecambah juga berarti harus siap menghadapi hujan, angin dan tak jarang gangguan makhluk yang menjejakkan kakinya di permukaan tanah. It's a painful process dan melelahkan bagi sebuah benih untuk bisa tumbuh menjadi pohon yang kuat menjulang ke langit hingga bisa menghasilkan buahnya.

Kembali ke ihwal pembunuhan bayi-bayi Sparta. Di jaman ini manusia mungkin tidak membunuh raga sang bayi, akan tetapi tatkala potensi manusia dikerdilkan dan ditempatkan dalam kotak-kotak kecil berupa "rangking kelas", "lulusan terbaik", "masuk jurusan favorit" secara perlahan dan pasti berbagai potensi manusia yang sebenarnya tidak pas untuk dimasukkan dalam kotak tersebut dimatikan. Sama seperti memaksakan diri menilai keunggulan seseorang hanya dilihat dari kemampuannya untuk memanjat pohon yang pasti akan dimenangkan oleh kelompok kera. Lalu bagaimana nasib sang ikan yang jago berenang, sang burung yang lihai terbang dan gerombolan semut yang berupa makhluk kecil namun kelompok pekerja keras yang berjasa memakmurkan tanah?

Itulah tantangan kita hidup di tengah jaman ketika nilai kemuliaan kerap diukur dari segala pencapaian lahiriah dan materi. Seolah-olah kalau seseorang belum mencapai level manager atau direksi dikatakan belum sukses, kalau ia belum bergaji sekian digit dianggap medioker, kalau tidak mempunyai gaya hidup tertentu dianggap tertinggal dan sekian banyak kotak-kotak yang kembali mengkerdilkan jiwa sehingga ia tidak bebas berekpresi dan terpasung dalam pakem "apa kata dunia".

Tentang bayi Sparta yang terbunuh itu, barangkali setidaknya kita bisa menyelamatkannya di saat ini. Mulai dari diri sendiri, mulai dari jujur kepada diri sendiri dan membebaskan pikiran kita dari jeratan ekspektasi orang banyak. Sebuah proses yang tidak mudah, bagaikan membebaskan perbudakan dalam diri, butuh pertolongan-Nya, and to begin with it takes a lot of courage to start!

Monday, March 6, 2017

Silence is the language of God

Dalam diammu tersimpan kekuatan yang luar biasa.
Yang bisa mengubah sang 'dabbah'* menjadi makhluk langit.
Diammu membuka mata air di dalam dirimu sendiri,
Maka diamlah, diamkan amarah, kekesalan, dan segala keluhanmu yang meluap-luap itu.
Terimalah keadaan hari ini dengan penerimaan yang baik.
Bekerjalah, tunaikan amanahmu dengan penuh pengabdian.
Biarkan mereka yang mencibirmu, maafkan mereka yang mengumpatmu, karena mereka tidak tahu dalam diammu sesungguhnya Engkau sedang mendengarkan Yang Maha Kuasa tengah berkata-kata.
Lanjutkan perjalananmu dalam sepi yang syahdu, cukup hanya Dia yang menjadi saksi segala jerih payahmu.
Hanya dalam diam engkau bisa mendengar-Nya...

"Silence is the language of god, all else is poor translation."
- Rumi

*"Sesungguhnya sejahat-jahat Dabbah di sisi Allah ialah orang yang tuli lagi buta, merekalah orang2 yg tidak memikirkan".(QS 8:22)

Saturday, March 4, 2017

Run From What's Comfortable!

Apa episode dalam hidup yang paling membuat Anda menyesal?
Lantas, bagaimana Anda menyikapinya?
Rasa sesal adalah salah satu emosi terbesar yang seorang manusia pernah (atau akan alami). Sebuah survei di Amerika yang melibatkan ratusan orang menyimpulkan ada tiga area dimana orang kerap menimbulkan penyesalan, yaitu berkaitan dengan pendidikan, karir dan hubungan interpersonal. Ketiganya berhubungan dengan kehilangan kesempatan yang bisa jadi merubah jalan hidup seseorang.
Ini menarik, perasaan menyesal karena kehilangan kesempatan untuk melakukan sesuatu ternyata direspon lebih berat oleh tubuh kita dibandingkan penyesalan karena kita telah melakukan sesuatu. Dan Gilbert, seorang ilmuwan yang mendalami tentang kebahagiaan dari Universitas Harvard mempunyai penjelasan tentang ini. Dikatakan bahwa tubuh manusia mempunyai sistem imun psikologis terhadap perbuatan yang kita sesali yaitu dengan mekanisme rasionalisasi. Otak akan merespon rasa tidak nyaman ini dengan melancarkan seribu satu rasionalisasi agar kita bisa menerima episode itu dengan lebih lapang hati dan mencoba menggapai-gapai hal positif dari kejadian itu. Hal ini dilakukan karena tubuh kita tidak mau didominasi oleh emosi negatif berupa penyesalan yang bisa berakibat buruk dalam jangka waktu yang lama. Sebaliknya, apabila seseorang menyesal karena ia seharusnya melakukan apa yang ia luput darinya maka otak kesulitan untuk menghadirkan gambaran tentang sesuatu itu dan berbuat sesuatu dengannya, simply because...there was not any memory there! Selain itu perasaan bersalah bahwa seseorang seharusnya bisa melakukan sesuatu menambah intensitas rasa sesal itu.
Oh, ada satu lagi yang banyak orang amat sesalkan, yaitu menghabiskan waktu, energi dan pikiran untuk mengkhawatirkan sesuatu yang tidak beralasan. Sayangnya banyak orang yang terjebak dalam hisapan lumpur kecemasan akan masa depan ini, sesuatu yang menghambat mereka untuk mengambil "leap of faith" dan mendorongnya keluar dari "comfortable zone" sebagai syarat utama agar jiwanya bisa berkembang.
Sang guru, Jalaluddin Rumi berpesan:
"Run from what's comfortable. Forget safety. Live where you fear to live!"
So, what stop you?