Sunday, August 31, 2025

 Salah satu tanda kedewasaan seseorang adalah sebuah kesadaran bahwa kehidupannya tidak dimulai saat dia dilahirkan di dunia dan tidak berakhir dengan kematian jasadnya.

Amsterdam, jelang siang hari 11.51 di tengah penerjemahan “Bandoeng en Haar Hogevlakte”

Minggu, 31 Agustus 2025 / 8 Rabi’ul Awwal 1447 H

Tuesday, August 19, 2025

Saat kita meragukan Allah

 Nama Nabi Yeremia a.s. (atau Uzair a.s) namanya tidak tercantum dalam Al Quran, tapi kisahnya ada dalam surat Al Baqarah 259, tentang seseorang yang bertanya kepada Allah, 


“Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah kehancurannya?”


Mohon diingat bahwa untuk setingkat nabi, bahkan sekadar mempertanyakan kebijakan Allah bisa dihukumi keras. Saking demikian dekatnya mereka kepada Allah. Mirip kita akan lebih merasa tersakiti oleh pernyataan yang sama yang datang dari orang yang kita anggap dekat.


Nabi Yeremia adalah salah seorang nabi yang ditugaskan untuk mengawal dan menjaga kaumnya, Bani Israel. Tetapi ketika beliau menyaksikan bagaimana Allah Ta’ala mengizinkan orang Babilonia di bawah pimpinan Nabukadnezar II sekitar tahun 586 SM meluluhlantakkan penduduk Yerusalem beserta bait sucinya hingga tak bersisa satu tanda kehidupan pun. Sifat manusiawinya muncuk dan melontarkan pertanyaan yang bernuanda keraguan itu. 


Dalam kitab Jila’ al-Khatir, Syaikh Abdul Qadir mengatakan bahwa karena Uzair mempertanyakan Allah bagaimana membangun kembali negeri yang sudah dilumat itu maka Allah menghukum beliau dengan mencabut kenabiannya selama 100 tahun.


Sekarang kita berefleksi. Berapa kali kita meragukan kebesaran dan kekuasaan Allah sambil berkata sompral “ah itu ngga mungkin” atau “dia mah ngga akan berubah”. Kita kerap menjatuhkan hukuman kepada fenomena kehidupan lantas dengan seenaknya melabel “itu tidak mungkin” atau “sudah tak bisa lagi”. Masalahnya di saat yang bersamaan otu mulut berucap “Allahu Akbar” setiap shalat. Katanya Allah Maha Besar, tapi saat kesulitan dan fenomena kehidupan datang menjelang kok jadi ciut keyakinan kita. Mungkin karena pernyataan saat shalat itu masih “lip service”. Hati sih masih meragukannya. Buktinya banyak cemas dan khawatir menghadapi ujian hidup. Seolah-olah Allah tak berkutik. 


Maka menjalani kesulitan dan ujian kehidupan itu sudah menjadi makanan orang beriman. Hanya lewat itulah jiwa kita bertumbuh pengetahuannya dan kuat keyakinannya. Agar saat kita dipanggil pulang di alam persinggahan (barzakh) kita bisa menjawab dengan lantang pertanyaan sang malaikat “Siapa Rabbmu?”


“Allah”

Bukan yang lain.


(Lukisan Yeremia di reruntuhan Yerusalem oleh Horace Vernet, 1844)




Sang Guru Kesabaran

 Guru pertama yang memberi pelajaran tentang kesabaran dalam hidup saya temukan dalam sosok almarhum nenek saya. Beliau, Mbah Oemijati adalah ibunda dari mama. 


Mbah Oemi adalah sosok yang sangat santun. Tak ada dalam ingatan saya selain wajah beliau yang senantiasa ceria dan penuh kasih sayang. Saya selalu merasa aman bersamanya. 


Beliau tahu saya kutu buku, cara beliau membelikan saya buku adalah dengan memberi saya ‘pekerjaan’ sebagai pencabut uban beliau. Sehelai uban beliau hargai 5 sen. Dan saya sangat bersemangat mengerjakannya, karena uban beliau banyak! Haha.😅


Dari anak-anaknya pun saya mendengar banyak keteladanan dari Mbah Oemi ini. Diantaranya kesabaran beliau dalam mengurus suami dan anak tirinya yang dia tak bedakan dengan anak yang lain. Sedemikian rupa hingga sang anak tiri ini tidak merasa seperti anak tiri dan bahkan sangat dalam cintanya kepada ibu tirinya hingga saat Mbah Oemi meninggal saya menyaksikan sendiri anak tertuanya ini, yang saya panggil sebagai Pakde Sis, menangis tersedu-sedu sambil memeluk gundukan tanah tempat jasad Mbah Oemi dibaringkan di bawahnya.


Kisah keteladanan lainnya adalah tentang ketabahan dan kesabarannya sebagai ibu dari 12 anaknya. Bagaimana beliau me-manage dua butir telur untuk bisa dimakan oleh seluruh anggota keluarga selama masa krisis ekonomi negara dan berdampak ke keluarga pada saat itu. Mbah menjalaninya dengan senyum dan syukur. Alhamdulillah semua anaknya terpelihara. Tak ada satu pun yang terlantar atau mati kelaparan. 


Mbah Oemi mengajarkan kepada saya tentang kesabaran bukan dengan teori atau mengutip dalil-dalil. Beliau sudah menjadi kesabaran itu sendiri. Sehingga pancaran cahaya kesabarannya bisa saya rasakan. Dan itu rasanya yang menjadi salah satu warisannya yang luar biasa kepada anak cucunya.

Dengan ridho beliau ditempa oleh ujian dari Allah hingga pohon kesabaran itu bertumbuh dan buah-buahnya bisa dinikmati oleh kami. 


Sekarang, semenjak menjadi seorang ibu saya menjadi lebih paham. Bahwa kita perlu menjalani sekian takdir kehidupan yang tak masuk akal dan mungkin dianggap sebagai sebuah kegagalan atau bahkan tragedi oleh orang banyak. Tapi sebenarnya itu adalah sebuah pendidikan Ilahiyah untuj menempa jiwa kita agar dia menumbuhkan sifat-sifat-Nya. Dan saat kita berbuah dengan sifat-sifat kebaikan, yang menikmati buah-buah itu adalah anak cucu dan orang-orang sekitar kita. Karena tak ada pohon yang memakan buahnya sendiri.


Terima kasih Mbah Oemi, sudah mengajarkan banyak tentang kesabaran. Masih terngiang di telinga bagaimana beliau rajin membaca Surat Al Waaqi’ah setiap hari. Semua pelajaran hidup ini saya bawa sebagai bekal hidup dan diturunkan pada anak-anak, juga semoga generasi berikutnya. Semoga jadi amal jariyah yang menemani hari-hari beliau di alam barzakh. Yang hanya masalah waktu kita pun akan menyusul. Al Fatihah untuk Mbah Oemi.❤️




Monday, August 11, 2025

Stop comparing lifes

 Stop comparing. It will make you feel more miserable, because you will lose so much peace when you measure your life with someone else’s life.

Amsterdam, 11 August 2025, 9.40 am

Hot summer day and school holiday.




Tuesday, August 5, 2025

Agar kita makin yakin

 Hidup itu untuk membangun keyakinan kepada Allah.

Semakin kita yakin dan menyandarkan diri kepada-Nya semakin Dia bekerja membereskan seluruh keperluan hidup kita, bahkan sampai hal yang tak terjangkau oleh akal bawah kita sekalipun. Sesuatu yang tidak terbayangkan oleh kita saat ini, tapi Dia tahu.

Tentu saja perlu kesabaran untuk membangun keyakinan. Dan tentu kita harus punya pengalaman berada dalam situasi yang tak berdaya, dimana tak ada seorang pun yang bisa menolong lalu tiba-tiba kita menyaksikan keajaiban dalam kehidupan. Dalam hal keseharian. Di tengah himpitan kehidupan yang membuat kita kerap merasa putus asa. Tidak terbayang dari mana jalan keluarnya, tapi ada saja solusi yang datang walaupun di saat terakhir. Itulah saat Allah, Sang Rabb tengah memperkenalkan Diri-Nya.

Jadi jangan kecil hati menghadapi tantangan kehidupan.

Percayalah bahwa Tuhan yang sama yang membentangkan jalan di tengah lautan bagi Musa dan kaumnya adalah Tuhan yang sama dimana kita bersujud kepada-Nya saat shalat.

Yakinlah bahwa Tuhan yang sama yang menyelamatkan Nabi Daniel dari serangan kawanan singa di dalam gua tertutup adalah Tuhan yang sama yang kita menengadahkan wajah ke langit saat berdoa memohon kepada-Nya.

Sadarilah bahwa Tuhan yang sama yang membuat api yang berkobar menjadi dingin dan membuat Nabi Ibrahim selamat adalah Tuhan yang sama tempat kita mengadu saat kita berseru, “Ya Allah tolong aku…”

Sahabat, lautan masalah yang membentang, ancaman singa kehidupan dan api ujian dalam hidup bisa dengan ajaib tunduk dengan kuasa-Nya karena semua tak lain hanya ciptaan-Nya.

Jangan putus asa dengan rahmat-Nya. Jangan kecilkan kuasa-Nya. Hadapi masalah sebesar apapun dengan gagah berani. Jangan pernah mengeluhkan kepada Allah betapa besar masalahmu tapi pandang masalah itu dalam-dalam dan katakan dengan lantanh bahwa kau punya Tuhan Yang Maha Besar yang bisa menundukkan semua. Ya, semuanya…

Kuncinya tawakal total. Maka saksikan bagaimana Dia bekerja.


Walibi, 5 Agustus 2025

18.06

Sambil ngasuh anak-anak liburan musim panas