A Closure
Monday, February 28, 2022
Salah Strategi
Salah satu hal yang saya pelajari dari saat saya menjalani masa 4 malam dan 5 hari karantina di hotel saat tiba di tanah air tempo hari adalah bahwa betapa salahnya strategi yang saya andalkan selama ini. Yaitu bahwa jika saya punya banyak waktu luang maka saya lebih bisa banyak mengerjakan tugas penulisan.
Sekilas secara rasional sepertinya rencana itu demikian solid. Saya sudah menghitung berapa deadline editing dan tulisan yang bisa saya kerjakan di saat karantina. Tapi nampaknya Allah ingin menyoroti ihwal hari saya yang lebih bergantung kepada strategi dan kondisi dibanding bergantung kepada-Nya. Walhasil target yang tercapai hingga akhir masa karantina hanya berkisar 25%nya saja yang terselesaikan. Bahkan di bawah hasil kerja saya sehari-hari di tengah kesibukan mengurus anak dan keluarga. Entah kenapa somehow Allah buat ada saja hal lain yang harus saya lakukan, bahkan saat sendiri di kamar dan tak harus mengerjakan hal ini dan itu. Strange but true…
Pelajarannya adalah, jaga hati agar tawakalnya kepada Allah semata. Tidak menyandarkan diri kepada kemampuan diri, tidak pada keluangan yang ada, pun tidak pada sekian banyak keberlimpahan yang Allah bukakan. Pada akhirnya semua terjadi karena kehendak Allah. Jika Dia berkehendak beres saja semua urusan kita tapi sebaliknya kalau kita yang ngoyo ingin mengambil alih kemudi kehidupan maka kita akan Dia biarkan terlunta-lunta dari satu masalah ke masalah yang lain tanpa pernah sempat mengerjakan amanah utama dari Dia.
Tuesday, February 15, 2022
Karantina dan Keterkurungan
Bayangkan, menunggu 10 tahun lamanya untuk bisa jalan-jalan mudik sendiri dan melepas rindu dengan keluarga dan teman-teman. Tahu-tahu setelah akhirnya menginjakkan kaki di tanah air tidak bisa kemana-mana. Terkurung dalam kamar hotel. Semua rencana aktivitas tertunda. It’s such a strange feeling. I am here but yet I feel like not here yet. Can’t even meet anyone yet. Satu-satunya kontak dengan manusia adalah para petugas pengantar makanan dan yang tadi pagi colok-colok hidung dan mulut saya.
Saya jadi bisa mulai membayangkan bagaimana rasanya jiwa yang terkurung dalam jasadnya sendiri. Dia punya potensi banyak, bisa berbuat banyak, bisa berkontribusi banyak, tapi toh terkurung. Kalau karantina mending, masih dikirim makanan. Tapi jiwa yang terkurung karena hati manusia penuh dosa dan tak mencari Allah akan lumpuh tak berdaya. Na’udzubillahimindzaalik.
Dan ironinya kebanyakan manusia tidak sadar kalau jiwanya masih terpenjara dan lumpuh. Dia hidup tapi tidak hidup. Bisa melihat tapi sebenarnya buta. Bisa mendengar tapi sebenarnya tuli. Yaitu buta dan tuli kepada kebenaran. Tidak mengenal al-haq, tidak mengenal sajian kebenaran yang Dia bentangkan di setiap helai hamparan takdir kehidupannya. Di titik tertentu dia akan merasakan kehampaan, kebosanan, kekeringan karena natur setiap manusia pada dasarnya adalah mengenal Tuhan. Mengenal Sang Pencipta. Dan itu tidak mungkin bisa dicapai tanpa melalui proses pengenalan diri sendiri, siapa jiwa kita. Sang entitas yang terkurung di dalam diri sendiri. The biggest irony in life.
Monday, February 14, 2022
Terjebak Ilusi
Dunia ini medan ilusi yang kuat sekali. Hanya akal yang kuat bisa menembusnya, dengan pertolongan Allah. Sejarah menunjukkan berabad-abad manusia terjebak dalam ilusi bahwa dunia itu datar, atau bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi. Karena memang fenomena itu yang sepertinya dipersepsi oleh indera yang terbatas.
Dulu belum ada teknologi teleskop atau bahkan pesawat ulang-alik luar angkasa atau para ilmuwan yang bisa menemukan bahwa bumi adalah bagian dari konstelasi planet-planet lain di dalam Galaksi Bimasakti. Sekarang kita bisa tertawa kalau ada orang yang mengatakan bumi datar atau meyakini bahwa matahari berputar mengelilingi bumi. Karena kita sudah belajar fakta yang sesungguhnya.
Masalahnya, ilusi yang mirip masih bisa memerangkap kita. Ilusi apa itu? Ilusi bahwa satu-satunya cara untuk memenuhi hajat hidup kita dan keluarga adalah dengan memiliki sumber penghidupan yang layak. Dan yang dimaksud layak secara praktis diterjemahkan sebagai ingin memiliki penghasilan atau gaji yang besar. Kenapa? Karena syahwat tak berdaya begitu dihadapkan dengan gaji yang kurang dari 3 juta rupiah per bulan. Inginnya 10 juta, atau sekalian saja 20 juta per bulan agar lebih leluasa atau bahkan lebih, tidak akan ada batasnya jika ingin mengikuti hawa nafsu dan syahwat.
Lantas, apakah salah memiliki keinginan punya penghasilan sejumlah itu? Tidak salah. It’s legit. Pasti kita bisa menyodorkan argumen-argumen yang valid berupa pos-pos pengeluaran yang dibutuhkan dan bahkan yang diidamkan.
But…what if I tell you that having a steady paycheck and regular income to support our livelihood is just another illusion that our mind or our socieaty has created?
Bagaimana kalau saya katakan bahwa Allah itu punya cara yang tak terhingga untuk memberi rezeki hamba-hamba-Nya tanpa harus dibatasi skema gaji tetap, keuntungan dan hal yang material? Apakah Allah sedemikian tak berdaya memenuhi setiap hajat kebutuhan ciptaan-Nya – sementara kita setiap shalat menyeru “Allahu Akbar” –katanya Allah Maha Besar tapi pada kenyataannya jika dihadapkan dengan kesempitan rezeki dan kesulitan mencari kasab rasanya kita lebih sibuk mencari jalan keluar yang bersifat horizontal, meminjam kira dan kanan, gali lubang, tutup lubang, mendekati si anu bahkan kalau perlu ngedukun.
Kok Allah seakan tak berkutik mengurus sekadar penghidupan kita dan keluarga dan disebut nama-Nya sebagai penghias shalat yang tampaknya hanya berfungsi sekadar menggugurkan kewajiban saja. So we’re less feel guilty about it. Atau karena sudah biasa shalat. Atau malu kalau tidak shalat. Social pressure.
Kenapa kita harus mendikte Allah bahwa agar keluarga dan anak-anak kita terjamin masa depan dan kebahagiaannya harus sekolah di sekolah yang itu, harus punya rumah yang itu, punya pekerjaan yang itu. How do we know that our scenario is the best scenario?
Pernahkah terpikir bahwa sebenarnya Allah sudah punya rencana untuk kita semua. Ada alasannya semua disegel di Lauh Mahfuzh (kalau kita betul-betul mengimaninya). Bahwa tinta ciptaan telah kering. Karena Dia sudah menjaminkan rezeki setiap ciptaan. Rezeki yang sangat berlimpah tapi sayangnya banyak orang berakhir kehidupannya bahkan tak bisa mengisi penuh kantung rezeki yang telah disiapkan. Almarhum Mursyid saya mengeluarkan angka presisi untuk ini, yaitu jumlahnya tak melebihi 1/10 bagian saja. Dan rezeki yang dimaksud adalah rezeki yang lahir batin.
Lantas, apa yang salah? Barangkali selama ini kita terjebak ilusi itu tadi. Ilusi sudah benar beragama. Ilusi sebuah makna kesuksesan. Ilusi tentang what is good life is all about. Kita lantas meminta hal-hal yang berdasarkan alam ilusi kita. Minta gaji x juta rupiahlah, minta posisi ini dan itu, minta keadaan yang itu lalu pontang-panting mengandalkan diri dan kehidupannya dalam mengejar itu. Tuhan hanya nama yang muncul dalam sebuah siulan sesaat saat shalatnya yang bagai kilat itu. Itupun mending masih shalat.
Kasihan sebenarnya manusia yang terjebak ilusi itu. Siang malam dia terjebak dalam dunia ilusi dan dia pikir dia hidup di dalamnya, tapi jiwanya tak bergerak kemana-mana. Diam membeku. Tak akan paham tentang kebenaran. Selalu akan merasakan kekosongan dalam hatinya. Sebuah kekosongan khas dunia ilusi yang tak akan dapat dipuaskan dengan elemen yang sama dari dunia ilusi yang berupa pangkat tinggi, gelar mentereng, berbagai barang mewah, you name it : mobil Bugatti la voiture noire, jam tangan Patek Phillipe, tas Hermès Kelly Rose Gold dll. Semua itu hanya mendatangkan kesenangan sesaat. Ya, kesenangan bukan kebahagiaan. And yet many people mistakenly think pleasure as happiness.
Lalu bagaimana agar bisa keluar dari dunia ilusi? Or, can we ever get out of this world of illusion?
Oh yes you can (and no, I am not part of Obama’s campaign team) but you have to have the courage to take the red pill (remember the movie Matrix when Morpheus offered Neo to take the blue or red pill). He said, “This is your last chance. After this, there is no turning back. You take the blue pill - the story ends, you wake up in your bed and believe whatever you want to believe. You take the red pill - you stay in Wonderland and I show you how deep the rabbit-hole goes.”
Morpheus menyebut “wonderland” dari buku anak terkenal karangan Lewis Caroll berjudul Alice in Wonderland yang mengisahkan petualangan seorang anak perempuan menjalani dunia yang sangat menakjubkan dengan fenomena yang tidak pernah ia temui sebelumnya. Di wonderland, kucing dan kura-kura bisa bicara, bahkan benda-benda bisa berkata-kata dan memiliki perasaan. Singkat kata sebuah dunia dengan sebuah aturan yang tampaknya tidak logis.
Tapi di dunia ilusi ini memang bukankah tak semua bisa dipecahkan dengan logika. Dan tak mungkin semua bisa diselesaikan dengan logika. Karena daya jangkau logika itu sangat terbatas. Jika hanya mengandalkan logika, rasanya orang akan mulai berpikir 1000 kali untuk memiliki anak, sekarang biayanya semakin mahal. Jika mengandalkan logika, rasanya kakek dan nenek saya tidak bisa dulu menghidupi 12 anaknya dalam suasana pasca perang dan kehidupan ekonomi yang sangat pas-pasan. Kalau hanya menuruti logika banyak pasien divonis memiliki penyakit berat yang mestinya sudah terukir namanya di nisannya masing-masing tapi mereka masih menikmati kehidupan hingga saat ini. Begitulah banyak hal dalam hidup yang di luar jangkauan logika. Tapi tetap saja kita demikian mengandalkan hitung-hitungan logika kita yang berkata kalau tidak punya pendapatan sekian susah hidup kita, masa depan anak tak terjamin, rumah tangga akan terancam, and so on and so forth. Tak sekalipun kita bahkan melirik akan Dia Yang selalu hadir dan kuasa membuat kita melampaui semuanya. Ya, semuanya. Asal kita berani keluar dari dunia ilusi dengan menaruh logika setelah iman. And by all means take that leap of faith, take the red pill!
Sunday, February 13, 2022
Why Zebras Don't Get Ulcers?
Saturday, February 12, 2022
Jodoh tak lari kemana
Buraidah bin Muhammad As-Sa'adi, yang memberitakan dari ayahnya, bahwa telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw, kemudian ia memohon kepada Rasulullah saw,
Bahaya Kelimpahan
Ngobrol sama pak supir sepanjang perjalanan dari airport sampai hotel. Dimulai dari pertanyaan saya, "Bagaimana dampak kondisi pandemi begini bagi keuangan keluarga?"
"Memang berkurang sih bu. Tapi ah, saya orangnya praktis.
Dulu waktu saya meminang istri, awalnya keluarga istri minta uang biaya menikah 100juta. Saya bilang orang tua tidak punya sebanyak itu. Ini saya punya 10juta, kalau mau ayo! Ternyata istri udah kadung cinta kali ya bu, udah nikah 15 tahun dan punya dua anak sekarang.
Waktu awal-awal menikah, sempat perusahaan tempat kerja saya terkena krismon dan gulung tikar. Istri sempat khawatir mau makan apa. Saya bilang, "Balajarlah dari orang Sunda, makannya daun-daunan aja tapi kulitnya mulus"😅 (saya sempat dibuat ngakak di bagian sini)
Terus waktu punya anak, istri sempat khawatir ga bisa ngasih susu buat anak. Saya bilang, tuh di belakang ada kandang sapi, tinggal ambil susu ke sana!
Saya orangnya praktis-praktis aja bu. Ga musingin hal2 begitu...."
Dan anaknya baik-baik saja sudah menginjak Rezekinya ada saja. Waktu saya punya anak, penghasilan keluarga mengandalkan hanya pendapatan saya sebagai supir angkutan umum. Anehnya bisa melewati semua. Padahal kalau dipikir-pikir anak pertama lahir harus dengan operasi Caesar dan yang kedua lagir prematur keduanya besar biayanya. Sekarang anak-anak saya sudah menginjak usia sekolah di SMP. Katanya cita2 keduanya ingin jadi dokter. Aamiin😊
Percakapan seru menyusuri jalanan Jakarta di malam hari yang penuh kemerlap lampu2 jalan dan gedung2. Jakarta, i'm back...
Friday, February 11, 2022
Thursday, February 10, 2022
Ladang Amal
Dulu kalau pulang ke rumah saya lihat bungkus makanan berserakan di rumah lengkap dengan piring, mangkok dan gelas kotor rasanya bergejolak hati.
Namanya hidup berumah tangga harus tepo seliro dengan kebiasaan suami. Yang biasa ninggalin kaos kaki keleleran sana sini, berbeda cara melipat baju, beda cara menata alat-alat makan di dalam mesin pencuci piring. Benar apa yang pernah saya baca dalam sebuah artikel bahwa pertengkaran dalam rumah tangga biasanya muncul dari hal yang kecil-kecil begitu. Sesimpel perbedaan cara menggulung odol🤷♀️
Tentang mengerjakan urusan rumah tangga, saya sempat terpengaruh dengan imbauan kaum feminis - terutama di Barat yang menggembar-gemborkan "Bagi rata urusan pekerjaan rumah tangga! Laki dan perempuan harus sama porsinya!" Tapi gara-gara itu perasaan saya sempat tak karuan karena punya ekspektasi tinggi bahwa suami harus mengerjakan sebagian pekerjaan rumah tangga. "At least, clean up your own mess!" Begitu sindir saya kalau bekas-bekas makanan dan piring kotor mulai berserakan. Sebenarnya tidak ada masalah dengan konsep ini jika diutarakan dengan tanpa emosi. Tapi pada kenyataannya emosi itu ada, berarti ada harapan yang tak tercapai.
Lalu saya mulai merenung, kalau masalah sepele sehari-hari ini saja bisa demikian menguras emosi dan memadamkan kehangatan di rumah tangga, rasanya tiba saatnya untuk mencari cara pandang yang baru. It's just simply doesn't work for me.
Kemudian suatu saat saya bermimpi bertemu almarhum Nenek saya, seorang figur perempuan kuat, tahan banting dan senantiasa tersenyum menjelang kehidupan sesulit apapun. Beliau seperti memberi pesan, "Yang penting ikhlas" Kalimat yang tampaknya klise karena sering didengar, tapi entah kenapa saat itu demikian menghunjam di hati. Dan setelah itu saya berdoa kepada Allah agar diberikan hati yang ikhlas.
Sekarang kalau saya melihat fenomena yang sama yaitu rumah berantakan, saya tidak lalu misah-misuh. Tentu tetap saya komunikasikan baik-baik, tapi bukan dengan nada judgmental. But most of the time, sudahlah saya bereskan saja diam-diam karena sekarang saya melihat itu sebagai sebuah ladang amal. Sebuah tawaran investasi yang disodorkan di hadapan mata. Sekarang saya sudah bisa tersenyum menghadapi situasi yang serupa. Alhamdulillah😊
#renungan emak2
Sunday, February 6, 2022
Ada Saatnya…
Semua ada saatnya
Ada saatnya si kecil gelantungan saat mamanya shalat, sekarang sudah bisa shalat berjamaah dengan tertib.
Ada saatnya si kecil menangis saat mama tidak ada di sekitarnya, sekarang ditinggal beberapa jam bahkan beberapa hari dia sudah bisa mengerti.
Ada saatnya shalat dalam keadaan menggendong si kecil yang rewel seharian karena demam, sekarang kalau sakit dia sudah tiduran sendiri.
Ibu, anak kita tak selamanya merengek-rengek, tak selamanya menangis saat ditinggal sebentar, tak selamanya bergantung betul kepada kita.
Semua ada saatnya
Memang kadang terasa lama dan melelahkan dalam menjalaninya. Tapi justru disitu benih pohon diri kita tengah ditumbuhkan. Benih yang sedang ditanam di kedalaman tanah yang gelap dan senyap, hanya menunggu waktu pada saatnya ia pecah kecambah. Yang si benih harus lakukan adalah menyerap air dari sekitarnya. Air itu adalah lambang pengetahuan. Sesuatu yang membuat segalanya bermakna. Maka syukuri segenap aktivitas kita, agar si jiwa menyerap air pengetahuan hikmah yang Dia simpan disana.
Pengorbananmu ibu, kerja keras dan segenap pengabdianmu hanya layak dibalas oleh Yang Maha Pencipta, as a reward for raising human being. Hang in there. This too shall pass…
Thursday, February 3, 2022
Bukan Sekadar Interupsi
Wednesday, February 2, 2022
"If you don't have it you cannot share it"