Lisan kita berkata “laa ilaa ha ilallah”
Tapi saat kesulitan hidup datang menerjang
yang lebih kita andalkan adalah bantuan orang lain. Lalu jika yang kita
andalkan tidak memenuhi harapan kita, amarah kita meluap kepada yang
bersangkutan. Maka tenggelamlah kita dalam pusaran arus di samudera kehidupan
yang dalam. Menggapai-gapai segenap ciptaan-Nya yang sebenarnya tak berdaya
memberikan bantuan apapun tanpa Dia izinkan.
Lisan kita berkata “Allahu Akbar!” Lantang
sekali.
Tapi saat ego diri terasa disinggung, yang
lebih besar adalah amarahnya. Tuhan seakan tenggelam dalam amukan deru ombak
keganasan diri sendiri yang seakan ingin melahap dan menerjang apa saja yang
ada di hadapannya.
Lisan kita berkata “Alhamdulillah”,
terutama saat mendapat kesenangan – yang biasanya terkait dengan kesenangan
dunia yang mengenyangkan hawa nafsu dan syahwat.
Tapi saat Tuhan yang sama mengirimkan
sakit, duka cita, kekurangan, keterlambatan, maka lisan kita kelu untuk
mengucapkan kata syukur yang sama. Bukti bahwa kita masih memilah-milah
pemberian dari-Nya, alih-alih melihat tangan yang menyampaikan itu semua.
Kalau kita boleh jujur dan bercermin ke
dalam diri, betapa sering kita berkhianat kepada-Nya. Betapa banyak kita
mengucapkan kata-kata sakral yang membawa nama Allah tanpa kita pahami maknanya
bahkan seenaknya dilanggar sendiri.
Untung Allah Maha Penyabar. Level
kesabarannya jauh tak terhingga dibanding kesabaran kita yang setitik atom dan
tak terlampau kuat menahan derita. Sehingga walaupun kita berkali-kali mengucap
kata-kata itu dan berkali-kali pula melanggar ucapan kita sendiri. Dia akan
senantiasa berkata, “Datanglah…datanglah wahai hamba-Ku…walaupun beribu kali
kau melanggar sumpahmu. Tapi datanglah lagi, datanglah…”
No comments:
Post a Comment