“Kau kurban tahun ini?”
“Insya Allah”
“Wow hebaat…”
Dalam hati: rasanya tak layak kata hebat itu disematkan pada diri ini. Lha wong harta yang dikurbankan itu dari-Nya semata. Iya memang syariatnya lewat kerja keras kita, masa mau jatuh dari langit? Cara Allah memberi di alam ini selalu melalui ciptaan-Nya yang lain. Itu adabnya.
Saya lantas merenung. Betapa tidak setaranya secuil pengorbanan yang kita persembahkan dengan semua ganjaran yang Dia berikan. Bahkan orang yang tidak berkurban pun tetap Dia rawat dengan baik.
Apa sebenarnya hakikat kurban? Ketika kita memberikan sesuatu yang pada hakikatnya bukan milik kita, kok bisa disebut berkorban?
Saya hanya bisa membuat jembatan imajinasi lewat sebuah peristiwa dengan anak saya. Suatu hari dia membeli minuman kesayangannya dengan uang jajannya sendiri. Well, uang jajan yang saya berikan kepada dia tentunya. Jadi boleh dikata dia membeli minuman itu dengan uang pemberian orang tuanya. Saat menyeruput minuman di suatu hari yang panas, dia berhenti untuk berbagi minuman itu dengan saya. Padahal saya tidak meminta dan tidak suka juga dengan jenis minuman seperti itu. Tapi saya menangkap niat tulus dia, keinginan berbaginya dan cinta yang dia tampilkan dengan menahan diri tidak untuk menghabiskan minuman itu yang saya yakin dia sangat ingin melakukannya. Maka untuk menyambut niat baiknya itu saya terima tawarannya dan menyeruput sedikit saja untuk kemudia dikembalikan kepadanya. This is apparently the dance of the universe, to give and receive.
No comments:
Post a Comment