Wednesday, October 30, 2024


 “SO WE CAN CONTINUE LIVING”


Kadang kita ditakdirkan berada dalam sebuah keadaan yang dizalimi sedemikian rupa - dalam berbagai level - sehingga kita harus berhijrah. Bisa jadi pindah pekerjaan, pindah rumah tangga, atau dalam penuturan ibu dari Syria berikut, dia terpaksa harus meninggalkan kampung halamannya untuk bertahan hidup.


Perang yang berkecamuk di Syria sekitar 10 tahun yang lalu membuat Abdel, seorang ayah dengan istri dan anak di dalam kandungan sang ibu mencari jalan sebisa mungkin untuk mengungsikan keluarganya dari zona perang. Saat itu, rute evakuasi yang paling cepat dan memungkinkan adalah hijrah melalui jalur laut. Dia harus merogoh saku dalam-dalam untuk membayar uang sejumlah 7000 dolar Amerika per kepala untuk sekadar punya tempat di dalam perahu tua yang kadang sudah tidak layak tapi masih digunakan berkali-kali itu. Kadang si penjual tak memperhitungkan keselamatan penumpang, hanya menjual sebanyak-banyaknya dengan memanfaatkan kepanikan massa sehingga tidak sedikit para pengungsi yang berakhir mati tenggelam di laut.


Akhirnya Abdel dan sang istri yang sedang hamil besar itu mendapatkan perahu. Mereka semoat terkatung-katung di atas lautan beberapa hari tanpa minum dan makanan. Nyaris mati. Hingga akhirnya diselamatkan oleh tim penyelamat.


Saya berkesempatan bicara langsung dengan mereka. Setiap kali Abdel bercerita tentang hari dimana dia mengungsi, air mata menggenang di pelupuk matanya. “Saya melihat sehari-hari bagaimana anak-anak bermain di luar dan tak lama kemudian kembali dengan lubang di kepala atau dadanya. Saya tidak mau itu terjadi kepada anak-anak saya. Kita harus hijrah. So we can continue living”


Sekarang, setelah 10 tahun berselang, saya masih bertegur sapa setiap kali bertemu Abdel dan istri serta anak-anaknya di jalan. Ya, mereka dikarunai dua anak laki-laki yang sehat dan cerdas. Mereka bersekolah, bersepeda dan melanjutkan hidup. Abdel dan istrinya bekerja bergantian di sebuah restoran untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Yes, life goes on.

 

“Bukankah bumi Allah luas sehingga kami dapat berhijrah di sana?” QS An Nisaa:97


(photo ikustrasi pengungsi dari Syria dari shutterstock)

Saturday, October 26, 2024

 AGAR TAK KHAWATIR SOAL REZEKI


Rezeki itu sudah diaturkan oleh Allah. Saat janin di dalam kandungan ibunda usia 120 hari, ditentukan empat ketetapan hidup bersamaan dengan ditiupkan jiwa dan ruh sang bayi ke dalam jasadnya yang masih kecil. Rezeki ditetapkan pertama, diikuti oleh ajal, amal lalu kebahagiaan dan kesedihannya. Semua sudah dikadar dengan demikian teliti agar khazanah yang ada di dalam jiwa masing-masing orang bertumbuh dengan baik.

Maka, tak perlu pusing ihwal rezeki. Optimalkan ikhtiar tapi tawakal hanya kepada Allah, bukan kepada usaha kita atau yang selain Allah. Agar tauhid kita terjaga. Supaya ma'rifatnya pun diraih.

Dalam Al Qur'an, istilah "rezeki" diulang di 123 ayat. Dan kebanyakan terkait dengan "al maa'idah", bukan sembarang makanan tetapi makanan dari langit. Makanan buat jiwa kita, agar aql jiwa bertumbuh dan menjadi semakin mengenal Allah. Otomatis dia akan mengenal diri dan kehidupannya. Pengenalan ini menjadikan dia semakin kokoh dalam menapaki takdir kehidupan. Tak akan terombang-ambing oleh perubahan yang akan selalu ada. Tak akan dibuat mudah resah oleh kesempitan hidup yang merupakan bagian dari pemurnian jiwa.

Hidup itu ada orientasinya. Kadang kita dibuat dalam kelapangan, tapi ada masa-masa kita dalam kesempitan. Terima dan berdamailah dengan itu semua. Agar kita bisa menjadi hamba-Nya yang bersyukur.

Ardenne, Belgia
Liburan musim gugur, 27 Oktober 2024

Wednesday, October 9, 2024

Menemukan Kebahagiaan

 "Orang hanya akan bahagia jika menemukan hal yang pas dengan dirinya"

- Zamzam AJ Tanuwijaya, Mursyid Thariqah Qudusiyah


Selama berabad-abad lamanya orang menafsirkan kebahagiaan. Beragam konsep dan teori serta metode dicoba dikembangkan untuk membuat orang bahagia. Bermacam produk dan hiburan tertentu diluncurkan untuk membuat manusia bahagia. Tapi kenapa kenyataannya tidak sedikit orang yang merasa tidak bahagia bahkan dirinya merasa menjalani kesengsaraan hidup?

Konsep bahagia dalam Al Quran tersemat dalam kata "thayyibah", dimana akar kata yang sama diulang sebanyak 50 kali dalam berbagai ayat yang tersebar di dalam Al Quran. "Thayyib" terkait dengan konsep diri, karena yang dinamakan bahagia adalah ketika kita menemukan, bekerja, berkecimpung dalam hal yang pas bagi diri kita yang hakiki. Yaitu sang jiwa. Hati yang akan mengenali. Bukan kecocokan semu yang diukur dari hawa nafsu atau syahwat kita. Sangat halus memang pada pelaksanaannya, akan tetapi semakin kita mengasah hati dengan dzikir, hal-hal yang halus akan semakin teraba keberadaannya. Mengapa hati perlu diasah ? Agar dia mampu menerima petunjuk Allah.

"...siapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya..."

- QS Ath Thaghabuun [64]:11

Tuntunan Allah itu yang akan memandu kita menemukan pasangan yang pas, pekerjaan yang pas, makanan yang pas, baju yang pas, hiburan yang pas, rumah yang pas dan lain-lain kebutuhan kita di dunia ini. Karena siapa yang lebih mengetahui apa yang paling pas buat kita selain Sang Pencipta kita sendiri. Masuk akal bukan?

Maka, absurd kiranya mencoba meraih kebahagiaan dengan melupakan Tuhan dan tidak melibatkan Dia dalam proses meraihnya. Yang ada orang hanya akan terapung-apung dalam samudera ketidakpastian dan tanpa arah. Merasa bahagia, tapi sebenarnya hanya membekukan perasaan sedih saja atau denial - mendustakannya, berpura-pura hal itu tidak ada. Karena bahagia bukan sekadar tidak merasa sakit. Dan orang hanya akan berlomba-lomba menenggak pain killer atau melakukan apapun yang bisa mengalihkan rasa sakitnya, rasa sepinya, rasa hampanya dan deritanya. Justru kebahagiaan hanya bisa diraih setelah kita berhadapan dengan semua aspek kegelapan diri, itu satu-satunya jalan untuk menjelang cahaya kebahagiaan. Sebuah kebahagiaan yang tidak lagi terikat oleh sebab-akibat, tidak lagi tergantung oleh keberadaan sesuatu atau seseorang yang akan selalu datang dan pergi. Sebuah kebahagiaan yang menjejak dalam di hati sanubari, bukan sekadar angin lalu yang mudah disapu oleh perubahan waktu. 

Bahagia yang kita cari adalah thayyibah, sesuatu yang berakar pada pengetahuan tentang siapa diri kita. Dan pengetahuan diri itu yang akan menuntun kita untuk semakin mengenal-Nya. Sang Pencipta kita. Cinta pertama kita...


Amsterdam, 9 Oktober 2024 / 6 Rabi'ul Akhir 1446 H

10.17 pagi, saat anak-anak sekolah di musim gugur yang mulai dingin.

Friday, September 20, 2024

Tidak Sekadar Memperbanyak Amal

“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim)

Hati adalah sasaran pandang Allah. Tak peduli sebanyak apapun amalan lahiriyahnya jika tidak disertai dengan amalan hati dan bersinarnya hati maka semua amalan itu akan sia-sia saja. 

Apa artinya shalat beribu kali jika tanpa disertai hati yang penuh keberserah dirian kepada-Nya?

Apa makna ribuan takbir di lisan jika tak ada ketakjuban di hati kepada kebesaran-Nya?

Apa nilai milyaran sedekah kita jika tidak disertai dengan sebuah ketundukan dan kebersyukuran dari dalam lubuk hati kita kepada-Nya?

Pada akhirnya kita harus bisa melihat bahwa apapun yang Dia hadirkan, baik itu episode kesenangan maupun kesedihan dalam hidup, baik dan buruk, lapang dan sempit, sehat dan sakit semua itu untuk membentuk hati yang mencintai-Nya dalam setiap keadaan. Hati yang bersyukur dan memuja-Nya atas semua pilihan takdir yang Dia turunkan dari saat ke saat. Sehingga si hamba menapaki aliran ketetapan hidupnya dengan suka cita (tau'an) yang hanya dengan itu maka tujuh langit lapisan qalb dalam jiwanya akan dikembangkan. 

Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati".

Lalu, Dia menjadikan-Nya tujuh langit dalam dua masa dan pada setiap langit Dia mewahyukan urusan masing-masing. Kemudian langit yang paling dekat (dengan bumi), Kami hiasi dengan bintang-bintang sebagai penjagaan (dari setan). Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.

- QS Fussilat [41]: 11-12

Dalam setiap pengembangan langit qalb itulah ma'rifat seseorang akan Rabbnya akan bertambah. Dan seiring dengan bertambahnya pengetahuan  kepada-Nya akan bertambah pula kecintaan kepada-Nya sehingga ia akan menjadi hamba yang memuja-Nya dengan dalam. Dan bukanlah untuk itu kita dicipta? Untuk semakin mengenal-Nya? Sebagaimana firman Allah Ta'ala yang tertuang dalam hadits qudsiy,

"Aku adalah khazanah yang tersembunyi (khanzun mahfiy), Aku cinta untuk dikenal karena itu Aku ciptakan makhluk supaya Aku diketahui."




Tuesday, September 10, 2024

Ujian Hidup Membawa Berkah

 Seorang ibu berkisah tentang pengalamannya ditempa ujian baru-baru ini dalam hidupnya. Sebuah ujian hidup yang awalnya dirasa berat, akan tetapi lama kelamaan terasa manisnya dan teraup keberkahan atas kondisi yang tengah Allah Ta'ala tetapkan dalam episode hidupnya itu. 

Apa rasa manis yang dirasakan ketika beliau dirundung oleh masalah tersebut? Yaitu kelezatan berdzikir dan bermunajat kepada-Nya. Ada sebuah kebiasaan berdzikir baru yang Allah Ta'ala tumbuhkan melalui hadirnya kesulitan hidup, yaitu sang ibu terbiasa berdzikir "bismillahirrahmaaniraahiim" saat memulai melakukan sesuatu, apapun itu. Dan mengakhirinya dengan mengucapkan "alhamdulillahirabbil'alamiin"

Mau mandi, basmallah dulu. Selesai mandi baca hamdalah. 

Mau naik kendaraan umum, basmallah dulu sebelum melangkahkan kaki. Keluar dari kendaraan mengucap hamdalah. Saking sudah biasanya, pernah sekali lupa sekian detik tidak mengucap basmallah sambil melangkahkan kaki memasuki kendaraan, karena merasa tidak afdhol sampai keluar lagi dan diulang masuk kendaraan, kali ini dengan membaca basmallah :)

Apa yang beliau rasakan? Ujian hidup yang di awal terasa berat dan membebani itu mulai dirasakan ringan. Seperti Allah Ta'ala mengangkat beban itu dari hatinya. Dan yang ajaib, kehidupan di sekelilingnya terasa 'tersenyum' kepadanya. Ada hal-hal yang dimudahkan. 

Benar, kiranya firman Allah Ta'ala yang disampaikan oleh Rasulullah SAW, 

"...Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. 

Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. 

Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat." 

(HR Bukhari no.6970)


Sunday, September 1, 2024

Inilah fungsi ujian hidup

 Dunia memang dibuat mengecewakan agar kita kembali kepada Allah Ta'ala

---

Cara paling jitu untuk memotong masalah yang ada adalah dengan langsung bertanya kepada Sang Pengirim masalah, apa pesan atau pelajaran yang hendak Dia sampaikan. Tauhid kita harus melihat bahwa semua hal yang terjadi di muka bumi ini adalah dengan izin-Nya. Termasuk masalah apapun yang menimpa kita besar-kecilnya adalah dari Allah Ta'ala, bukan dari yang lain. Ini adalah tangga pertama. Perkara kemudian di tahap berikutnya Allah berikan inspirasi untuk berikhtiar ini dan itu adalah sah-sah saja. Tapi jangan pernah melangkahi tangga pertama merespon kejadian hidup dengan melupakan Allah Ta'ala. Karena kalau kita selalu mengandalkan selain Dia setiap kali ada masalah menghadang, maka sampai mati kita akan dibelit oleh sekian masalah dengan bentuk yang berbeda-beda.

Kenapa demikian?

Karena masalah itu sejatinya adalah sebuah mekanisme yang Allah turunkan agar manusia mengingat-Nya. Agar manusia kembali (taubat) kepada Allah Ta'ala. Agar Dia kembali disebut nama-Nya. Agar hati kita terpaut kembali kepada-Nya.

Kalau hati terbiasa bermunajat kepada Allah di setiap keadaan. Maka ketika masalah menempa sekalipun kita melihatnya sebagai sebuah suapan pengetahuan dari Allah Ta'ala. Ya, lelah kita menghadapinya. Tapi hati bisa berdamai dengan keadaan apapun yang Dia tengah gelar. Dengannya kita setahap demi setahap mulai lari ke atas dan menyapih ikatan hati kita dengan dunia. Ini langkah yang aman, karena dunia itu mengecewakan dan memang didesain mengecewakan agar kita belajar kembali kepada Allah. Selagi masih ada nafas dan waktu, mari kita belajar untuk itu, agar kita tidak dibelit oleh keruwetan yang tak kunjung usai.[]

Pahami kenapa Allah izinkan masalah itu ada?

Masalah hidup ada agar jiwa manusia bertambah cerdas.

Maka renungkan, kenapa Allah mengizinkan masalah ini menimpa saya?

---

Masalah kehidupan itu hal yang niscaya dialami oleh setiap orang. Sebuah mekanisme Ilahiyah untuk mendidik manusia agar tidak terpaku dengan mencari solusi dari skema horizontal semata - yaitu hanya mengandalkan pertolongan dari segenap makhluk-Nya sambil tidak pernah mendongak ke atas dan memohon kepada Allah Ta'ala. Kalau demikian adanya, orang tidak pernah belajar untuk mi'raj, naik ke langit-Nya demi lebih mengenal Allah Ta'ala Sang Pencipta.

Sekali lagi, pandang segenap masalah kehidupan sebagai utusan dari Allah sebagai sarana untuk mencerdaskan akal kita lahir dan batin. Agar kita tidak mudah stress menjalaninya dan hidup dipenuhi ketegangan karena hanya menggapai-gapai solusi dari para ciptaan-Nya tanpa mengambil pelajaran apa di balik hidangan kehidupan yang tengah Allah Ta'ala sajikan di saat itu. Maka disitu pentingnya kita untuk merenung. Sediakanlah ruang hening dalam keseharian untuk mentafakuri keadaan yang ada. Berefleksi ke dalam diri sambil bermunajat kepada-Nya. Dan itu mudah, tak perlu berbayar atau membuat janji, karena Allah Ta'ala sebenarnya siap kapanpun juga. Tetapi kita yang sering belum siap. Maka Dia tengah menanti kesiapan kita sebenarnya. Agar jangan sampai kita mudah terombang-ambing dalam aliran takdir kehidupan yang telah Dia desain dalam pertimbangan ilmu dan keadailannya. Agar tegak langkah hidup kita dan tenang hati dalam menjalaninya. Insya Allah.[]