Ketahuilah bahwa orang yang bersabar belum tentu ia ridha.
Sebaliknya orang yang ridha pasti sabar, karena orang yang ridha dapat menerima
dengan pasti segala akibat apa pun. Hal demikian ibarat seseorang yang lupa
menaruh sekantung urang dirham miliknya, sedangkan ia tidak memiliki apapun
selainnya. Dadanya menjadi bergejolak dipenuhi rasa sedih akan bayangan
kemiskinan yang ia alami. Hal itu tampak jelas dalam keadaan dan raut wajahnya
yang dipenuhi rasa sedih. Kemudian seorang yang sangat kaya, selalu menepati
janji, dermawan dan terpercaya berkata kepadanya: “Pada awal tahun nanti saya
akan mengganti setiap dirham (dari hartamu yang hilang itu) dengan satu dinar.”
Orang yang kehilangan tadi menjadi tenang karena ucapan orang ini, sebagian
dari gejolak hati dan rasa gundahnya pun menjadi tenang. Tetapi ia masih merasa
sedih dan dadanya masih terasa sempit. Artinya, selama tenggang waktu menunggu
hingga awal tahun nanti ia dapat bersabar walaupun terpaksa, tetapi ia terus
diliputi oleh keinginannya dan rasa sedihnya itu. Dalam keadaan terpaksa
bersabar ini, bebannya menjadi ringan.
Perumpamaan lain adalah seorang yang tidak tahu apakah ia kehilangan
sekantung uang dirham miliknya, karena ia memiliki banyak rumah yang dipenuhi
permata yang tidak ternilai harganya. Sehingga ia tidak merasa kehilangan
sekantung dirham tersebut, ia tidak memperdulikannya. Keadaannya seperti orang
yang kehilangan satu fals, sedangkan
ia memiliki sekantung dirham.
Orang yang pertama kegembiraan mereka karena harta dan keadaan,
sedangkan orang yang kedua kegembiraannya karena Allah, serta keutamaan dan
rahmat-Nya. Ia senantiasa mengharap perlindungan dan pertolongan dari Allah.
Orang yang pertama hatinya tertawan oleh bentuk-bentuk kebendaan, ia telah
dibelenggu oleh manisnya kebendaan. Orang yang kedua hatinya telah merasa
tenang oleh kedekatannya kepada Allah. Orang pertama kecenderungan hatinya
terhadap segala sesuatu kebendaan. Sedangkan orang kedua selalu disibukkan oleh
Allah, ia senantiasa kembali dan menuju kepada-Nya.
Kenikmatan menerima
kehendak Allah Swt dalam hatimu hanya dapat dirasakan sebatas kadar cintamu
kepada-Nya. Dan kadar cintamu kepada-Nya dapat kau rasakan sejauh kadar
ma’rifat (pengetahuan)mu akan kekuasaan-Nya.
Semakin kamu mengenal-Nya bahwa
Allah Swt adalah Yang Tertinggi di atas apapun maka semakin tinggilah
kedudukan-Nya dalam dirimu, dan semakin cintalah kamu terhadap-Nya. Oleh karena
itu, pepatah mengatakan, “Orang yang paling mencintai Allah adalah orang yang
paling mengetahui-Nya dan paling mengenal-Nya.”
Dalam hal ini Badil Al ‘Uqaili
berkata, “Barangsiapa mengenal Allah, ia akan mencintai-Nya. Dan barangsiapa
mengenal dunia ini, maka ia akan bersikap zuhud
terhadapnya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak).
Berkata Sufyan Ats Tsauri
rahimahullah, “Hajjaj bin Farafishah menyitir perkataan Badil rahimahullah
berikut ini, ‘Barangsiapa tidak mampu mengendalikan diri, maka ia hanya dapat
menerima segala ketetapan dan kehendak Allah sebatas keimanannya saja, ia dapat
bersabar atas segala perkaranya sebatas ketakwaannya saja dengan dipenuhi rasa
berat hati serta kehidupan yang susah dan sulit. Dan barangsiapa mampu
mengendalikan dan mengarahkan dirinya, maka nafsunya akan tunduk serta terlepas
dari perangai buruknya dan Allah akan memberinya pertolongan serta menepati
janji-Nya.”
“Para kekasih Allah, tidak
ada kekhawatiran pada mereka dan tidak (pula)mereka berduka cita.”(QS Yunus [10]:62
Hati mereka bercahaya oleh keyakinan, sehingga keadaan mereka tidak
berubah walaupun ketika mendapat musibah. Setiap mereka mendapat kesulitan atau
kemudahan, rasa takut atau rasa aman, hina atau mulia, musibah atau kenikmatan,
mata hati mereka akan segera melihat bahwa hal yang menimpa mereka memang telah
tertulis dalam Lauh Mahfuzh
sebagaimana yang mereka alami saat itu, dan hal ini sudah menjadi ketetapan
dari Allah Swt. Dalam diri mereka tidak ada keinginan atau hawa nafsu yang
memberatkan mereka dalam menerima ketetapan Allah ini. Mereka menyambut
ketetapan-Nya dengan wajah yang riang gembira dan berseri-seri. Mereka adalah
orang-orang yang selalu rela dan bersabar
.
Kebalikan dari mereka adalah orang-orang yang menerima ketetapan
dari Allah dengan rasa tidak senang dan berat hati. Hal ini disebabkan karena
keinginan mereka masih kuat dan hidup dalam diri mereka, ditambah dengan
keyakinan yang lemah sehingga mereka tidak melihat adanya kehendak dan kasih
sayang Allah pada mereka dalam menetapkan perkara tersebut. Mereka tidak
merasakan adanya kenikmatan dalam menerima kehendak Allah ini. Kenikmatan
menerima kehendak (yang seharusnya mereka rasakan) telah bercampur dengan
pahitnya nafsu, sehingga kenikmatan tersebut lenyap terbawa pahitnya hawa
nafsu, sebagaimana halnya kamu menemukan pahitnya obat, lalu kamu mencampurnya
dengan madu atau gula dan sebagainya sehingga dapat mengalahkan rasa pahit
serta menghilangkannya.
Orang-orang yang diberi pemahaman oleh Allah selalu berusaha
mengendalikan dan mengintrospeksi dirinya. Mereka berujar, “Bagaimana caranya
agar kami tidak berduka cita atas hilangnya kekayaan dan kenikmatan duniawiyah,
dan bagaimana caranya agar kami tidak banyak mengangankan kesenangan duniawiyah
ini?” Mereka mencari sebab darimana datangnya bahaya yang menimpa mereka (yang
disebabkan keinginan duniawiyah).
Mereka dapati bahwa ketika diri mereka menginginkan
sesuatu, mereka mengatakan dan mengangankannya kemudian berusaha mencari dan
mendapatkannya sekuat tenaga, mereka berikan harapan pada diri mereka akan
keberhasilan mendapatkannya. Ternyata ketika mereka tidak berhasil meraihnya,
mereka bersedih dan berduka atasnya. Akhirnya mereka dapat memahami bahwa sedih
dan duka ini diakibatkan oleh angan-angan untuk mendapatkan keinginan tersebut,
juga karena mereka memberikan suatu harapan pada diri mereka akan keberhasilan
mendapatkannya. Akibatnya, diri mereka terlanjur merasa senang jika keinginan
tersebut tercapai, dari sini semakin kuatlah nafsu untuk mendapatkannya.
(Setelah memahami hakikat ini) akhirnya mereka berusaha mengendalikan diri
dengan cara meninggalkan keinginan-keinginan dan memutus angan-angan sehingga
padamlah api syahwat dan keinginan dalam diri mereka. Mereka berusaha melawan
hawa nafsu dan ajakannya hingga akhirnya hawa nafsu pun tunduk. Jika datang
suatu perkara atau terlintas suatu keinginan dalam hati, mereka tidak
mengangankannya juga tidak memberikan suatu harapan, mereka menunggu kepastian
takdir yang telah tertulis di Lauh
Mahfuzh sebelum Allah menciptakan langit dan bumi, mereka menyerahkan semua
urusan pada Allah, tunduk pada kebijaksanaan Allah Swt seperti tunduknya
seorang hamba pada tuannya.
Maka (dengan sebab ini) mereka dapat hidup di dunia
ini dengan mendapat derajat yang tinggi di sisi-Nya, dengan kedudukan yang
paling mulia, hati yang sangat tenang dan kehidupan yang bahagia dan tentram di
bawah naungan agama Islam. Mereka mati (dari segala keinginan dan angan-angan
duniawiyah) dengan membawa kesenangan dan kebahagiaan, sehingga mereka dapat
berjumpa dengan Tuhan yang tidak murka. Mereka ridha terhadap Allah, dan Allah
pun ridha terhadap mereka. Mereka diberi pertolongan, kemauan dan kekuatan
batin, kebersihan hati dan kemenangan terhadap musuh di dunia ini, dan mendapat
kedekatan serta kasih sayang Allah di akhirat nanti.
“Mereka itulah golongan
Allah. Ketahuilah, sesungguhnya golongan Allah itulah
golongan yang beruntung.”
(QS Al Mujaadalah [58]:22)
Seorang ahlul yaqiin
apabila karena keyakinannya masih kurang atau karena dikuasai hawa nafsu dan
syahwat lalu jiwanya goncang dan bimbang akan jaminan Allah Swt, maka ia akan
berkata pada jiwanya: “Wahai jiwa! Mengapa kamu goncang?” Jiwa akan menjawab,
“Karena aku diciptakan selalu butuh dan memiliki keinginan-keinginan. Aku tidak
bisa melihat tempat apapun, aku pun tidak mengetahui waktu juga kadar
perkiraannya. Cara mencapainya bagiku adalah sesuatu yang samar!”
Lalu ia
kembali berkata pada jiwanya, “Wahai jiwa! Jika engkau memang beriman kepada
Rabb-mu, maka sudah selayaknya apabila firman-Nya, serta janji, jaminan dan
tanggungan-Nya lebih kuat dan lebih kau percaya daripada apa yang kau lihat.
Karena penglihatan terkadang salah, terkadang engkau pun tersihir oleh
keindahannya. Engkau melihatnya seperti itu padahal sebenarnya tidak seperti
itu. (Penyihir pada dasarnya tidak merubah keadaan sesuatu, melainkan hanya
merubah panglihatan orang yang melihatnya seolah-olah sesuatu yang dilihatnya
itu tidak seperti keadaan lazimnya).
Firman Rabbul ‘Alamiin lebih benar, lebih
kuat dan lebih dapat dipercaya daripada penglihatanmu sendiri. Jika sekiranya
engkau diperlihatkan sesuatu oleh rajamu, engkau pasti percaya dan merasa
tenang. Maka sudah sepatutnya engkau harus lebih percaya dan lebih tenang akan
jaminan Raja diraja; Allah Rabbul ‘Alamiin. Seandainya engkau memiliki sebuah
buku catatan dimana didalamnya tertulis nama orang-orang yang berhutang
kepadamu, tercatat di dalamnya si Fulan berhutang 1000 Dirham, si Fulan 1000
Dinar, si Fulan 10.000 Dirham, apakah engkau akan merasa tenang?” Apabila kamu
mendapati jiwamu menuntut untuk melihat buku tersebut, dan (setelah melihatnya)
ternyata ia tidak goncang atau bimbang karena mendapati orang-orang yang
tercantum namanya adalah orang-orang yang dapat dipercaya serta selalu menepati
janji, maka berikanlah padanya “buku catatan Rabbul ‘Alamiin” yaitu Al Qur’an
Yang Mulia, yang tersimpan dalam Lauh
Mahfuzh, yang diturunkan oleh Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
yang dibawa oleh Ruh yang terpercaya (Ar
Ruuhul Amiin: Jibril a.s.) ke dalam hati Muhammad, Rasulullah saw, utusan
Tuhan semesta alam. Kemudian bukalah lembaran-lembarannya, maka kau akan
mendapati “ayat rizki” dimana Allah berfirman:
“Tidak ada satu binatang
melata pun di bumi ini melainkan kewajiban Allah lah memberi rizki mereka.” (QS Hud [11]:6)
Lalu katakanlah pada jiwamu, “Wahai jiwa yang tenang, ketika engkau
mendapati nama orang-orang yang tertulis dalam buku itu engkau merasa aman dan
tidak takut menjadi faqir, dan engkau pun menjadi tenang. Lihatlah Mushaf ini,
didalamnya tertulis “kewajiban Allah lah
memberi rizki mereka” Apakah Mushaf ini lebih agung, lebih benar, lebih
baik dan lebih menepati janji ataukah buku catatan piutang itu? Apakah engkau
tidak merasa malu bertemu Rabb-mu dalam keadaan seperti ini? Aku dapat memahami
mengapa engkau merasa guncang dan bimbang setelah sebelumnya engkau merasa
yakin akan jaminan-Nya.
Semua ini adalah karena engkau memiliki banyak
keinginan; engkau ingin mulia lalu engkau berusaha lari dari kehinaan, engkau
menginginkan berbagai macam kenikmatan makanan lalu engkau lari dari
kemiskinan, engkau punya keinginan tercapai cita-cita lalu engkau lari dari
kegagalan pencapaiannya. Engkau menjadi guncang hanya karena engkau
menginginkan rizkimu datang saat ini juga, sedangkan Tuhan-mu menghendakinya di
saat yang lain. Engkau menginginkan keadaan tertentu padahal Tuhanmu
menghendaki keadaan yang lain. Engkau menginginkan suatu ketenangan dalam suatu
hal, sedangkan Tuhan-mu menghendakinya dalam bentuk yang lain. Engkau
menginginkan banyak hal, tetapi Tuhan-mu menghendaki hal yang bahayanya lebih
sedikit, sehingga engkau tidak dikalahkan oleh keinginanmu dan dilemparkan ke
dalam jurang kecelakaan. Akhirnya dengan penuh penderitaan dan keluh kesah
engkau akan mendatangi para hakim melalui berbagai cara yang hina, kotor, dan
tipu daya yang menjijikkan demi ketenangan nafsumu. Lalu engkau akan menolak
hukum-hukum yang menjadi hak Allah Swt, engkau tidak segan untuk memutus
silaturahim, membenci sesama, menganggap remeh hak-hak kaum muslimin dan
orang-orang yang beriman, lari dari memenuhi hak-hak mereka, dan engkau
menjauhi orang-orang yang terhormat di sisi Allah, sehingga akhirnya engkau
menjadi sangat zhalim dan sewenang-wenang. Saat itulah ancaman Allah terngiang
di telingamu melalui firman-Nya:
“Kami akan memasang
timbangan yang adil pada hari Kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang
sedikit pun. Jika (amalan itu) hanya seberat atom pun Kami pasti akan
mendatangkan (pahala)nya. Cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (QS Al Anbiyaa [21]:47)
Dalam hal rizki dan sumber kehidupan, ahlul yaqiin menyerahkan sepenuhnya kepada Allah serta menjadikannya sebagai Wakil (yang kepada-Nya dipasrahkan segala perkara). Karena mereka telah yakin bahwa Allah lebih menyayangi mereka daripada mereka sendiri terhadap dirinya, Allah lebih berhak terhadap diri mereka karena Allah telah menciptakan dan membentuk mereka, lalu menyusun dan menjadikan mereka makhluk yang sempurna serta seimbang.
Mereka sama sekali tidak memiliki ilmu dan kuasa atas apa-apa yang telah diatur oleh-Nya. Mereka meyakini bahwa Allah adalah Raja Yang Maha Kuasa dan Maha Perkasa, Allah berbuat sesuai kehendak-Nya. Ilmu Allah telah sempurna, Ia mengetahui apa yang akan terjadi pada mereka, apa yang bermanfaat dan apa saja yang membahayakan mereka.
Lauh Mahfuzh telah mencatat mereka beserta segala sesuatu yang berkaitan dengan mereka. Allah dapat dicapai oleh hati secara nyata. Bagi mereka, segala hal yang dicapai dan didapat oleh hati adalah lebih dapat dipercaya daripada hal yang tidak dapat dilihat oleh hati. Mereka tidak meragukan kemampuan hati ini. Allah menciptakan Lauh Mahfuzh dan menetapkan takdir-takdir mereka bukanlah karena Allah membutuhkan hal tersebut, tetapi agar hati manusia lebih mantap, agar jiwa menjadi tenang dan tentram atas apa-apa yang telah tertulis di Lauh Mahfuzh.
Sehingga apabila nafsu menjadi tenang, ia akan konsentrasi beribadah, menjaga hukum-hukum Allah, dan melaksanakan segala perintah-Nya. Segala bisikan dan keinginan nafsu pun hilang dalam hati, karena nafsu telah putus asa ketika mengetahui bahwa segalanya telah digariskan. Dalam keputusasaan inilah nafsu menjadi tenang dan tentram.
Orang yang hatinya
diberi cahaya oleh Allah Swt, makrifatnya akan kuat dan dipenuhi cahaya
keimanan. Hatinya menjadi istiqamah dan mantap. Jiwanya menjadi tenang,
tentram, penuh percaya dan yakin. Ia akan menyerahkan segala perkara dan
urusannya pada Allah Swt.
Jika setan membisikinya dalam urusan rezeki dan
sumber kehidupannya, hatinya tidak gundah atau goncang, karena ia sungguh yakin
bahwa Allah sangat dekat padanya, Allah tidak pernah lalai atau lupa, Allah
Maha Pengasih dan Penyayang, Allah Maha Pengampun dan Welas Asih, Allah Maha
Adil dan tidak akan berbuat zalim, Allah Maha Kuasa, tidak ada sesuatu pun yang
dapat menghalangi-Nya, Allah melindunginya dan Allah tidak perlu perlindungan
dari yang lain.
Sebagaimana Allah telah menciptakannya dalam keadaan memiliki
keinginan dan kebutuhan, maka Allah pun akan memberinya sesuai dengan
kehendak-Nya, bukan kehendak hamba-Nya, dengan kadar yang ditentukan oleh-Nya,
bukan oleh hamba-Nya, dalam waktu yang ditentukan-Nya, bukan oleh hamba-Nya.
Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku
Maka baginya penghidupan yang sempit
Dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta
Padahal sungguh sebelumnya ia adalah orang yang melihat
(QS Thahaa [20: 124-125)
Akan ada suatu masa dimana setelah akhir kehidupan alam raya, kiamat tiba dan setelah itu semua manusia akan dibangkitkan di alam mahsyar. Jiwa-jiwa yang dibangkitkan itu akan dipasangkan dengan raga yang baru, raga yang merupakan cerminan dari kondisi terakhir hati manusia saat ia meninggal. Jadi raga manusia saat itu bisa lebih baik atau lebih buruk daripada raga yang ia miliki sewaktu di dunia.
Apabila ketika ajal menjemput hatinya masih buta, maka si raga baru akan buta, seperti yang digambarkan di ayat Al Quran di atas. Bahkan Rasulullah saw bersabda bahwa di akhirat nanti ada orang yang dibangkitkan raganya manusia tapi kepalanya unta, atau raganya seperti harimau (karena meninggal masih menyimpan amarah, yang merupakan sifat hewaniyah), ada yang bangkit mempunyai lidah yang sangat luas karena lisannya selama di dunia sering menghina orang. Tidak sedikit riwayat mengenai kehidupan alam setelah kiamat diceritakan. Artinya raga yang dibentuk kembali dalam kehidupan berikutnya akan tergantung kepada kondisi hati seseorang saat ia meninggal. Kalau hati busuk, penuh kebencian, amarah dan dendam maka bentuk raga akan tak beraturan, sebaliknya kalau hatinya baik maka bentuk raganya baik pula.
Dalam kisah Nabi Isa Al Masih, berkata beliau saat berkunjung ke pemakaman “Ini (kuburan) orang yang sudah meninggal, mari kita lihat apa yang dia bawa saat ia meninggal”. Karena Nabi Isa adalah Ruhullah, maka bisa membangkitkan orang yang telah mati.
Kemudian sang nabi berkata “Bangkitlah hai hamba Allah!”
Begitu bangkit orang itu langsung berkata “mana keledaiku, mana keledaiku?”
Menunjukkan bahwa saat ia hidup yang mendominasi pikirannya adalah keledainya. Suatu gambaran bahwa apa yang terbawa mati di alam pikiran juga akan terekam dan mewujud di sana.
Maka kalau kita meninggal jangan sampai urusan dunia terbawa, bisa dibayangkan di alam mahsyar nanti cari ‘keledai’nya masing-masing, tentu melelahkan dan menyiksa. Bukan berarti kita tidak boleh menikmati atribut dunia, silahkan saja asal jangan sampai ‘nangkring’di hati kita sehingga kadar cinta-Nya melebihi kecintaan kepada Allah, kecintaan kepada beribadah kepada-Nya.
Semoga kita termasuk hamba-Nya yang dibangunkan di alam nanti dalam keadaan baik. Aamiin.
(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)