It’s okay to have moments where all you want to do is disconnect from the world. To step back from the noises and demands to rest, reflect and recharge your soul.
It’s refilling, not fleeing.
You are gathering strength, not surrendering.
You don’t owe others apologies for prioritizing your peace.
***
Kita cuma manusia biasa.
Ada saatnya kita butuh istirahat.
Ada saatnya kita butuh menyepi.
Ada saatnya kita butuh berjarak dari rutinitqs keseharian yang tak terasa demikian membelenggu.
Dalam agama dikenal uzlah. Menyepi untuk menenangkan dan membuat clear hati. Karena manusia itu memang didesain untuk memiliki daya perenungan yang dalam. Sesuatu yang kerap terberangus oleh seribu satu kesibukan keseharian. Padahal keutamaan merenung ini jelas disebutkan oleh Nabi SAW bahwa “Tafakur sesaat lebih baik dari shalat 100 rakaat.”
Sesaat tafakur lho. Bayangkan.
Shalat 100 rakaat itu saya pernah coba saat melakukan shalat bara’ah di malam nisyfu Sya’ban. Seratus rakaat itu saya kerjakan setelah shalat Isya sampai jelang shubuh. Jadi bayangkan sesaat merenung itu akan melahirkan sesuatu yang jauh lebih baik dibanding ibadah shalat berjam-jam. Ada sebuah rahasia besar di balik berdiam bersama Allah. Karena yang dimaksud merenung disini tentu bukan mengeluhkan nasib akan tetapi berdzikir tentang Allah, merenungkan kehidupan, siapa aku, mau kemana, apa tugasku di dunia ini dll.
Jadi, luangkanlah waktu kosong itu. Dalam keseharian alhamdulillah Allah bantu dengan diwajibkannya ibadah shalat lima waktu. Itu pun bisa jadi saat perenungan jika shalatnya tegak dan khusyu. Inilah indahnya hidup mengikuti hukum aturan agama, karena Sang Pencipta tentu tahu kebutuhan kita yang sejati dan telah merancang jalan-jalan untuk memenuhinya.
Take your time to pause. Give a chance to yourself to redirect and prioritise to find clarity and purpose in this fast-pace world. []
Amsterdam, 6 Desember 2025. Saat jeda istirahat kerja jam 9.42 malam

No comments:
Post a Comment