Menakar
Kemelekatan
Kadang, kita baru menyadari kondisi hati
kita yang sebenarnya, kemana bergantungnya si hati ini, ketika Allah Ta’ala
izinkan obyek-obyek yang biasa kita andalkan dan menyandarkan diri bahkan
demikian dicintai itu hilang.
Bisa jadi, seseorang yang kita cintai
tiada,
Atau rumah tangga yang kita bertumpu
padanya kandas,
Atau anak yang kita banggakan dibuat
bermasalah,
Atau kehilangan mata pencaharian yang menjadi
tempat bertumpu sekeluarga,
Atau kendaraan raga yang kita andalkan
sehari-hari dibuat terbaring tak berdaya.
Semakin kita kalut dan panik menghadapi
proses ujian dicabutnya semua amanah itu, maka itu menunjukkan derajat
kemelekatan hati kita.
Orang beriman itu dilatih untuk menggenggam
dunia dan mengelolanya tapi hati tetap hanya untuk Allah Ta’ala. Dan itu tidak
mudah. Mesti mengalami proses ‘kematian’ dari semua derajat kemelakatan lapis
demi lapis. Tapi jangan takut. Semakin dibersihkan hati kita dari
berhala-berhala yang membuat kita melekat kepada selain Allah, maka semakin
kita terbebas dari ketakutan dan kegelisahan. Karena semua selain Allah akan
binasa dan akan tiada.
Jadi, waspadailah ketika ujian kehilangan
sesuatu itu datang. Jangan kehilangan kesempatan untuk membaca kondisi hati,
alih-alih menyalahkan pion-pion yang Allah gerakkan untuk menghilangkan hal-hal
tersebut. Agar dengannya kita makin mengenal diri kita dan makin dalam pengabdian
kita kepada-Nya. Karena syarat untuk mengenal Dia adalah dengan mengenal dulu kondisi
diri kita. []
Amsterdam, di musim semi yang hangat.
Sehari setelah ulang tahun ibunda.
Merayakan dengan Elia dan Rumi di Bijlmer Arena
22 Juni 2024 / 16Dzulhijjah 1445 H