Sunday, July 30, 2017

Dosa Mengakibatkan Hati Mati

Dosa yang paling besar adalah yang mengakibatkan hati menjadi mati, adapun hati seseorang menjadi mati karena kurangnya ilmu tentang Tuhan, kondisi seperti ini disebut dengan kebodohan (jahl)

- Ibnu Arabi dikutip oleh Stephen Hirtenstein dalam "The Mystic Ka'ba".

Seorang ulama mengatakan, “Tidak ada dosa yang lebih buruk selain kebodohan.” Imam Sahl pernah ditanya, “Wahai Abu Muhammad, apa yang lebih buruk daripada kebodohan?” Ia menjawab, “Kebodohan akan kebodohan (tidak tahu bahwa dirinya bodoh).” Lalu ada yang berkomentar, ”Dia benar, karena hal itu menutup pintu ilmu secara total.”

Menurut Syeikh Ibrahim Adham, antara sebab atau tanda-tanda hati mati ialah :
1.Mengaku kenal Allah swt, tetapi tidak menunaikan hak-hak-Nya.
2.Mengaku cinta kepada Rasulullah saw, tetapi mengabaikan sunnahnya.
3.Membaca al-Quran, tetapi tidak beramal dengan hukum-hukum di dalamnya.
4.Memakan nikmat-nikmat Allah swt, tetapi tidak mensyukuri atas pemberian-Nya.
5.Mengaku syaitan itu musuh, tetapi tidak berjuang menentangnya.
6.Mengaku adanya nikmat syurga, tetapi tidak beramal untuk mendapatkannya.
7.Mengaku adanya siksa neraka, tetapi tidak berusaha untuk menjauhinya.
8.Mengaku kematian pasti tiba bagi setiap jiwa, tetapi masih tidak bersedia untuknya.
9.Menyibukkan diri membuka keaiban orang lain, tetapi lupa akan keaiban diri sendiri.
10. Menghantar dan menguburkan jenazah tetapi tidak mengambil pengajaran daripadanya []



Saturday, July 29, 2017

Ihwal Penghadapan Wajah

Suatu hari Rasulullah membuat suatu garis lurus di tanah sambil berkata "Ini adalah jalan Allah", kemudian beliau menggambar di sisi kiri dan kanannya garis-garis lain sambil menambahkan "pada setiap jalan ada syetan yang mengajak kepada jalan itu.".

Shiraathal mustaqiim yang kita mohon untuk ditunjuki ke dalamnya setidaknya 17 kali dalam sehari sesungguhnya selalu terbentang di setiap tarikan nafas seorang manusia, akan tetapi tidak banyak yang menyadari dan tertunjuki kepadanya, karena wajah sebagian besar manusia tertuju ke arah lain, kepada jalan-jalan yang diukir oleh setan yang disesuaikan dengan tabiat hawa nafsu dan syahwat masing-masing, it's a sophisticatedly personalized deceptions, sebuah selubung ilusi yang didesain dengan sangat canggih oleh iblis dan bala tentaranya, dengan izin Allah Ta'ala. Jadinya sebagian besar manusia bagaikan seorang penumpang di dalam kendaraan yang tengah melaju tapi menghadapkan dirinya ke jendela samping dan tidak mengetahui perihal jalanan yang ditempuh di hadapannya, sehingga kerap diselubungi oleh kebingungan kemana jalan hidup akan menuju, dicekam oleh ketakutan oleh sesuatu yang tidak jelas di depannya atau tenggelam oleh rasa kecewa karena menginginkan pintu tertentu dibuka padahal pintu lain telah terbuka lebar-lebar sekian lama.

Maka ihwal penghadapan wajah hati kepada-Nya ini merupakan salah satu tema sentral dalam hidup, sesuatu yang seorang hamba dilatih dalam keseharian untuk presisi mengarahkan arah dalam menentukan posisi kiblat - sebuah simbolisasi bahwa hati seharusnya tertuju kepada Allah semata. Perkara menghadapkan wajah hati ini sesungguhnya menjadi syarat sebelum seseorang pada akhirnya memproklamirkan dirinya sebagai seorang muslim sejati. Seperti tertuang dalam doa iftitah sebagai pembuka shalat:

"Inni wajjahtu wajhiya lilladzii fatharas samaawaati wal-ardha, haniifam muslimaw wamaa ana minal musyrikiin. Inna shalaati wanusukii wamah yaaya wama maatii lillaahi rabbil ‘alaamiina. Laasyariika lahu wabidzaalika umirtu wa ana minal muslimiina.”

(Ku hadapkan muka dan hatiku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan keadaan lurus dan berserah diri dan aku bukanlah dari golongan kaum musrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah karena Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagiNya, demikianlah aku diperintah dan aku termasuk golongan orang-orang muslim.)


*****

Suatu saat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkisah,

خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هذه سبل و عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ {وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ}

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat sebuah garis lurus bagi kami, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan Allah’, kemudian beliau membuat garis lain pada sisi kiri dan kanan garis tersebut, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan (yang banyak). Pada setiap jalan ada syetan yang mengajak kepada jalan itu,’ kemudian beliau membaca,

{وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ}

‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya’” ([Al An’am: 153] Hadits shahih diriwayatkan oleh Ahmad dan yang lainnya)

Menikah Adalah Perjalanan Panjang

"Bismillahi tawakalnaa 'alallah laa haula wa laa quwwata illa billah", demikian seuntai doa mursyid mengiringi hari pernikahan adik tercintanya. Doa yang mirip dengan yang diajarkan Rasulullah ketika beliau hendak bepergian.
Menikah pada dasarnya adalah sebuah perjalanan panjang, kita tidak pernah tahu apa yang akan ditemui di perjalanan, biasanya natur sebuah perjalanan adalah banyak kejutan dan rintangan. Oleh karena itu modal terbesar seseorang untuk menempuh perjalanan adalah membuka ruang besar dalam hati untuk bertawakal kepada-Nya. Bukan kepada hitung-hitungan akal dan jangkauan perkiraan manusia yang terbatas. Karena memang pertaruhan penyatuan yang diikat oleh sebuah perjanjian yang agung (mistaqan ghaliza) ini adalah dalam rangka menyempurnakan separuh agama (ad diin) masing-masing, suatu faktor yang sangat erat dengan shiraathal mustaqiim seorang insan.
Oleh karenanya tidak dikenal hidup bersama sebelum menikah dalam Islam, beberapa pasangan (terutama di Barat) berkeyakinan bahwa sebelum memutuskan untuk mengikat diri dengan seseorang lebih baik mengenal orang itu luar-dalam dengan hidup bersama, ada yang berpendapat seminimalnya tiga tahun. Namun manusia adalah sebuah misteri besar belum terhitung takdir yang menyelubungi dalam segenap jalan hidupnya. Tapi tulisan ini tidak untuk mengupas lebih dalam tentang "samen wonen" tinggal bersama pasangan yang belum menikah.
"Cinta" adalah syarat seseorang mengikatkan diri dengan orang lain dalam sebuah bahtera pernikahan. Ini adalah modal yang sangat utama, yang lain hanya tambahan. Karena hanya cinta yang bisa menjembatani semua perbedaan yang akan mencuat dalam interaksi dua orang dengan jenis kelamin berbeda, latar belakang berbeda, cara pikir dan pendekatan yang berbeda untuk menyikapi sebuah persoalan dsb. "Love is the bridge between you and everything", demikian kata Jalaluddin Rumi. Maka Rasulullah pun menganjurkan seorang yang berniat menikah untuk melihat dulu calon mempelai, sebuah proses saling mengenal (ta'aruf) yang cukup dan dibatasi oleh pagar "jangan mendekati zina" (QS Al Israa':32) agar suatu perjalanan yang sakral ini dimulai dengan sebuah kebersihan lahir dan batin, untuk meraih ridho-Nya.
Menikah - sebagaimana halnya aktivitas lainnya- bukan didasari oleh sebuah niat untuk mencari kesenangan dan kenyamanan hidup semata, karena natur hidup di dunia ini untuk menempuh sebuah pendakian pengenalan akan siapa Dia yang mencipta semua alam dengan seutas kalimat romantis "Aku rindu untuk dikenal". Menikah seperti halnya kehidupan adalah sebuah perjalanan jauh. Oleh karenanya tepat doa yang dipanjatkan, kepada-Nya kita bertawakal karena tidak ada daya dan upaya tanpa pertolongan-Nya semata...

Siapa Bertanggung Jawab Untuk Pendidikan Anak?

Salah satu sumber kecemasan orang tua adalah tentang masa depan anaknya, untuk sebagian besar kenalan saya khususnya mengenai pendidikan agama mereka. Kalau dicermati mekanisme preventif (atau kuratif) beberapa orang tua untuk memberikan pendidikan agama yang baik kepada anak-anaknya adalah dengan bergantung sedemikian rupa pada sekolah A yang dianggap berkurikulum agama yang baik ditambah didatangkan pak ustadz untuk mengajari mereka mengaji, setiap hari kalau perlu. Tentu saja semua upaya itu adalah baik, namun yang jangan dilupakan adalah kita, orang tualah guru mereka yang pertama dan utama, anak akan lebih menyerap dan meniru perilaku orang tua dibandingkan dengan pelajaran yang mereka dengar melalui guru atau ustadz secanggih apapun.
Anak akan cenderung belajar berbohong karena melihat berulang kali orang tuanya mengajarkan bohong dengan berkata"Bilang mama/papa sedang tidak ada di rumah ya nak!" walaupun pak ustadz mengajarkan hadits dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu, yang berkata: “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta (pembohong).’”
Anak akan tumbuh tidak menghargai orang yang lemah jika melihat orang tuanya kasar dan tidak hormat terhadap pembantu atau fakir miskin, walaupun pak guru menceritakan di sekolah bagaimana akhlak Rasulullah saw yang sangat lembut, tidak pernah menghardik pembantunya dan pun tidak memperbolehkan seseorang diberi pekerjaan yang melebihi kapasitasnya.
Anak tidak akan terpanggil hatinya untuk melakukan ibadah sebagai persembahan syukur kepada Allah Ta'ala karena tidak melihat contoh dari kedua orang tuanya, walaupun setiap hari pak ustadz didatangkan untuk mengajarkan tata cara sholat hingga sholat bersama.
Keluarga bagaimanapun adalah kepompong sang anak untuk dia berkembang menjadi kupu-kupu, bagaimana bentukan sayap dan perilakunya akan banyak dipengaruhi dari fase tumbuh bersama keluarganya, sebuah oase dan tempat ia lahir dan dibesarkan. Saya menyaksikan bagaimana seseorang bisa mendapatkan inspirasi yang dalam untuk tetap menyalakan bara pencarian hati kepada Allah Ta'ala sekadar mengingat sang almarhum neneknya yang dulu suka mengaji di dekatnya, almarhum kakeknya yang rajin membaca Al Quran setiap maghrib atau ayahnya yang selalu mengajak ia berjamaah shalat maghrib bersama. Persis seperti pesan mursyid saya, kewajiban setiap orang tua untuk menggoreskan sedikit kenangan spiritual yang menjejak dalam hati sanubari sang anak, sebagai bekal pencarian jati dirinya sejatinya kelak. Sang Nabi pun berpesan, "Sebaik-baik peninggalan orang tua kepada anaknya adalah akhlak yang baik." Dan bukankah beliau juga yang bersabda, "Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak."
Akhlak anak bagaimanapun akan terbentuk dari perilaku orang tuanya, bagaimana mereka bertutur kata, mengumbar atau menahan marah, kasar atau santun terhadap orang lain, membuang sampah sembarangan atau menjaga kebersihan, berkeluh kesah atau mencoba melihat hal yang positif, semuanya hidangan sehari-hari yang sang anak saksikan dan ia serap secara tidak sadar. Dan berakhlak yang baik adalah salah satu tanda baiknya keimanan dan agama seseorang. Jadi sila mencari sekolah dengan kurikulum agama dan lingkungan yang baik juga guru agama yang didatangkan secara privat, namun mereka tetap anak-anak kita, bukan anak guru atau ustadz, karena pada akhirnya orang tuanyalah yang akan dimintai pertanggungjawaban perihal amanah berupa anak-anak di yawmil hisab nanti. Laa hawla wa laa quwwata illa billah (tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan-Nya)[]

Meraih Derajat Tinggi Dengan Duduk Khusyu Di Anak TanggaNya

Junayd, seorang guru besar di Baghdad suatu hari ditanya oleh salah seorang muridnya tentang bagaimana cara beliau meraih derajat kemuliaan di sisi Allah yang telah saat itu beliau dapatkan. Junayd menjawab dengan singkat dan padat, "dengan duduk di anak tangga (di dalam rumahnya) selama tiga puluh tahun."
Tangga dalam dunia spiritual adalah simbol sebuah jalan kenaikan jiwa. Sebagaimana tangga menjulang ke langit yang dinampakkan kepada Nabi Yakub as.
Setiap kita diberikan tangganya masing-masing untuk mendekat kepada Allah dan anak tangganya tiada lain merupakan kumpulan dari semua hal yang Allah berikan sejak kita di dalam kandungan ibu hingga saat ini. Semua hal yang telah, sedang dan akan terjadi datang dari perencanaanNya Yang Maha Sempurna. Setiap detil, setiap kadar dalam sekian banyak peristiwa hidup yang membentang sungguh melingkar membentuk tangga yang menjulang ke langit, jika saja kita mau menyadarinya, ini adalah ihwal menghadapkan wajah hati.
Persoalannya tidak semua mau "duduk" dengan tenang di anak tangganya masing-masing. Banyak yang ingin lompat darinya dan berharap datangnya anak tangga yang lain. Duduk adalah posisi bersiap untuk sujud, sebagaimana halnya keadaan duduk diantara dua sujud dalam sholat. Dan sujud adalah fitrah semua ciptaan.
"Dan segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi hanya bersujud kepada Allah.." (QS An Nahl : 49)
Dengan kata lain sang guru, Junayd barangkali memberikan arahan untuk meraih derajat tinggi di hadapan Allah adalah dengan berserah diri dan mensyukuri setiap takdir yang ada, karena ia adalah anak-anak tangga yang Dia turunkan bagi kita masing-masing. Wallahua'lam.

Saturday, July 22, 2017

Ladang Diri Yang Harus Digarap

Daripada membajak sebidang tanah yang luas berhektar-hektar dengan kedalaman 1 inci dan menebar benih dimana-mana, akan lebih bermanfaat jika fokus membajak sepetak tanah dengan kedalaman empat inci, dengannya hasil yang engkau terima akan setara dengan membajak lima puluh kali lipat bidang tanah.

Belajar agama pun sama, harus fokus, karena kita tidak akan bisa mempelajari semua hal di dunia ini dalam penggal waktu yang singkat ini. Kita tidak bisa belajar dari terlalu banyak guru, menggali agama ini dan itu, berlatih yoga disatu tempat dan meditasi di tempat lain, akan ada empat ratus triliun sepuluh ribu bentuk-bentuk spiritualitas di bumi ini. Jika tidak terarah maka akan seperti membajak area yang luas dengan hasil yang sedikit.

Di dalam hati kita ada ruang kecil yang tidak lebih besar dibandingkan ukuran atom, namun di dalamnya Allah menempatkan delapan belas ribu semesta yang terdiri dari kebaikan dan keburukan, dan setiap orang memiliki potensi kebijaksanaan yang bisa memilah di antara dua itu. Inilah tanah dalam diri yang harus digarap oleh masing-masing insan, yang jika seseorang menjalankan amanah perihal penggarapan tanah diri masing-masing ini maka ia akan menerima hasil panen yang berlimpah ke dalam jiwa dan merembes ke raga serta kehidupannya, sebuah anugerah rahmat dari Yang Maha Kuasa.

(Adaptasi dari kisah yang disampaikan oleh Bawa Muhaiyyaddeen, tertuang dalam buku "the Golden Words of a Sufi Sheikh". The Fellowship Press, Philadelphia, 2006)

Ternyata Kita Baru Belajar Membaca (Iqra) Al Quran

"Tapi nak, ada lagi yang lebih lucu...yaitu orang Islam yang tidak bisa baca Al Quran!"
Demikian almarhum mursyid saya berkali-kali melempar pernyataan yang dulu saya anggap bercanda semata dan merasa diri tidak tersentuh oleh guyonan beliau, "kan eyke bisa baca Quran" begitu bisik saya dalam hati.
Butuh sekitar satu dekade untuk mulai paham bahwa membaca bukan hanya sekedar mengeja huruf-huruf, itu level anak saya yang berusia 5 tahun, dia mulai bisa mengeja tapi masih banyak yang belum paham arti kata-kata itu apa. Tingkat berikutnya internalisasi, bisa baca juga paham tapi tidak dilakukan, nah model begini ini outputnya jadi sama dengan orang yang belum bisa baca. Contoh keseharian kerap kita jumpai ada bacaan besar "jangan merokok disini" atau "jangan buang sampah disini" tapi kadang di titik itu orang malah melakukan apa yang dilarang.
Yang bisa baca Al Quran banyak, yang paham artinya sedikit dan yang mengamalkan jauh lebih sedikit lagi. Misal ketika Allah Ta'ala berfirman "Sesungguhnya mereka (orang-orang yang bertaqwa) sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar."(QS Adz Dzariyaat 16-18). Tapi berapa banyak orang yang cergas badannya untuk bangun sebelum fajar dan mengorbankan waktu tidurnya yang enak itu?
Saat Allah menyeru, "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan."(QS Ali Imran:133-134). Namun berapa banyak porsi harta yang diinfakkan dibandingkan dengan yang dikonsumsi bukan untuk kebutuhan pokok? Betapa kita kerap melihat orang bisa mengumbar marah di depan publik dan bahkan merasa bangga dan berkuasa karenanya. Dan memaafkan? Ini sungguh tidak mudah kalau Allah tidak menurunkan pertolonganNya, lha wong kejadian terjadi zaman apa gitu masih diungkit-ungkit terus, belum move on padahal orangnya udah belok.
Mengingat petuah almarhum mursyid itu saya jadi malu sendiri, ternyata saya masih tahap belajar "iqra".

Thursday, July 20, 2017

Hati Hidup Syarat Keluarga Sakinah

Seorang mukmin adalah dia yang hatinya telah mulai berdenyut. Hanya dengan akal hati maka urusan beragam yang dipegang oleh sang insan mulai terlihat kesatuannya, karena hati itu yang menghubungkan, ia menyambungkan beragam peran yang terpecah manakala dibaca sebatas oleh akal pikiran.

Manusia memiliki berbagai peran, sebagai anak, sebagai istri atau sebagai suami, sebagai adik atau kakak, sebagai saudara, sebagai tetangga, sebagai rekan kerja dsb. Kalau hati tidak hidup maka penyikapannya akan awut-awutan, dibuat bingung karena ia tidak utuh dalam mensikapi apa yang Allah hadirkan. Kalau sudah demikian ia tidak akan mencapai keadaan sakinah.

Seorang istri yang masih terpecah antara keinginan pengembangan diri, mengurus suami dan anak-anak. Pun seorang suami yang kurang adil dalam memberi perhatian antara porsi mencari nafkah, mengembangkan hobi dan berkontribusi dalam keluarga. Kedua kondisi seperti ini akan memberikan riak dalam rumah tangga dan menutup cahaya sakinah untuk menerangi hati masing-masing. Maka kuncinya adalah menghadirkan hati dalam setiap gerak langkah kita, dengan memohon pertolongan kepada Allah Ta'ala.

(Adaptasi dari tausiyah Kang Zamzam AJT dalam kajian hikmah Al Quran, 30 April 2017)


Ciri Akal Hati Mulai Hidup

Ciri akal hati, fuad dan lubb seorang insan sudah mulai hidup adalah ia menjadi lebih dapat memahami Al Quran. Kalau seseorang paham Al Quran tentunya akan paham jalan kehidupan karena semua hukum kehidupan termuat di dalamnya.

Adapun banyak profesor dan memiliki gelar tinggi di dalam bidang akademik akan tetapi masih pontang-panting dalam memahami ujian hidup, untuk sekadar membaca perlakuan Allah melalui takdir yang meliputi dirinya pun tidak paham.

Maka kita memohon kepada-Nya untuk diberi ilmu yang bermanfaat dunia dan akhirat, ilmu yang tertuntun dengan cahaya di hati yang dengannya kita bisa lebih bijaksana menyikapi kehidupan.

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. al-A’raaf: 179).

(Adaptasi dari kajian hikmah Al Quran yang disampaikan oleh Kang Zamzam AJT, 23 Juli 2016)

Tuesday, July 18, 2017

Cara Rasulullah Mendidik Anak Perempuannya

Orang tua mana yang tidak luluh hatinya saat mendengar anaknya tengah menanggung beban kehidupan yang cukup berat, pasti secara naluri setiap ibu atau ayah ingin meringankan beban anaknya sebisa mungkin. Sang Nabi saat mendengar putrinya Fatimah minta tolong untuk dipinjami pelayan untuk membantunya mengerjakan pekerjaan rumah yang demikian banyak - dalam riwayat dikabarkan tangannya hingga mengeras kapalan akibat menggiling gandum sendiri setiap hari, lalu di dadanya ada jejak memar di kulit karena aktivitas mengambil air yang cukup berat. Beliau lalu bangun kemudian menuju gilingan dan mengambil sedikit gandum dengan membaca "bismillahirrahmaanirrahiim". seketika itu gilingan berputar sendiri dengan izin Allah Ta'ala.
Sang Nabi berkata ''Wahai Fatimah, andaikata Allah menghendaki, maka gilingan itu pasti menggiling sendiri, tetapi Allah menetapkan amal kebaikanmu, melebur kejelekanmu, dan meninggikan derajatmu."
Kepayahan seseorang saat mencari rezeki, pengorbanannya untuk sekadar menghemat uang makan, atau menahan keinginan ini itu dan makan sederhana ala kadarnya agar bisa menabung untuk sekolah anak. Semua itu sungguh jalan bagi Allah untuk memberkahi hamba-hamba-Nya. Karena mukjizat yang paling besar itu bukanlah mengubah batu menjadi emas atau menjadi kaya atau sukses dalam waktu sekejap. Hal yang paling sulit di dunia ini adalah untuk mengubah hati seseorang agar tunduk kepada-Nya, dan itu adalah bekal satu-satunya untuk menjejaki kehidupan di dunia ini dengan berkah serta bijak dan mendapatkan kelapangan di alam berikutnya. Sejarah membuktikan ada sebuah kaum yang ditampakkan keajaiban alam demikian besar, hingga nabinya Musa as diijinkan membelah laut, tetapi kejadian spektakuler seperti itu pun tetap membuat sebagian umat Musa as mengingkari sang nabi dan Tuhan. Karena keimanan itu mutlak pemberian dari Allah Ta'ala, dalam Al Quran juga dikatakan kalaupun di hadapan manusia dihadirkan malaikat dengan megah turun dari langit dengan membawa keajaiban yang membuat semua orang terpana, tetap saja orang tidak akan beriman jika Allah tidak menggerakkan hatinya.
Sang Rasulullah, insan yang paling paham hukum kehidupan mengerti akan hal ini. Maka saat anak perempuannya datang meminta keringanan dalam mengerjakan hal-hal yang menjadi tanggung jawabnya, beliau berkata Rasulullah saw. bersabda, "Wahai anakku, bersabarlah. Selama sepuluh tahun Musa a.s. dan istrinya hanya tidur di atas satu alas tidur, yaitu hamparan mantel Musa a.s. Bertakwalah kepada Allah dan tetaplah menyempurnakan kewajibanmu dan pekerjaan rumahmu. Ketika kamu akan berbaring tidur, bacalah: SUBHANALLAH 33 KALI, ALHAMDULILLAH 33 KALI, dan ALLAHU AKBAR 33 KALI, ini lebih baik daripada seorang pembantu."
Kesabaran kita menjalani kadar kehidupan yang sudah ditetapkan, mengoptimalkan jatah rezeki yang ada, memanage semua amanah dalam genggaman dan menjalani setiap hari dengan hati yang penuh kebersyukuran itulah yang akan membuat hati bersinar dan mengundang sinar rahmat-Nya, sungguh itulah pemberian yang paling besar. Adapun masalah yang tengah kita hadapi saat ini, konflik yang kadang menyesakkan dada, kesulitan yang seolah tampak tak berujung semuanya hanya sebagai kendaraan dan ujian bagi mereka yang benar-benar mengharapkan keridhaan-Nya semata dan tidak berpaling hatinya saat "binatang buruan yang mudah didapat" dari dunia datang menggodanya.
"I know you are tired, but come this is the way"
- Jalaluddin Rumi

Monday, July 17, 2017

Akibat Salah Menempatkan Harapan

Setiap makhluk dijadikan terikat pada harapan akan makhluk lainnya. Rerumputan mengharapkan air untuk hidup. Burung-burung mengharapkan buah, semua yang hidup mengharapkan mendapatkan makanan untuk bertahan. Segala tindak-tanduk manusia pun digerakkan oleh sebuah harapan, orang tua sadar atau tidak sadar menempatkan harapan pada anaknya, seorang lajang berharap mendapatkan pasangan yang sesuai, istri mengharapkan kesetiaan suami, suami mengharapkan kedamaian dan cinta di rumah. Semua itu adalah konsekuensi dari diperjalankannya jiwa manusia ke dalam alam dunia menggunakan kendaraan raganya.

Orang yang mulai dibangkitkan kesadaran diri oleh Sang Pencipta akan mulai berpikir dalam, "Dari mana aku datang? Apa yang aku bawa? Kemana aku akan pergi setelah kematian menjelang? Siapa yang akan membantuku disana? Jika aku datang ke dunia hanya membawa jiwa tanpa berbekal harta, lantas siapa yang menciptakan jiwa? ...Allah Ta'ala, maka aku harus membangun hubungan yang baik dengan-Nya karena aku betul-betul membutuhkan pertolongan-Nya."

Jika seseorang sudah mulai berbuah pohon kebijaksanaan dalam dirinya maka dalam setiap keadaan ia akan berterima kasih kepada Sang Pencipta, "Alhamdulillah". Baik ia menjalani kehidupan yang diharapkan atau bahkan yang tidak disukai hatinya akan selalu percaya kepada kebaikan yang Dia datangkan di balik itu semua.

Apapun yang terjadi, terjadilah. Alhamdulillah.
Cara paling bijak menjalani kehidupan adalah "stop playing God", menyadari banyak hal di luar kekuasaan kita, manusia- makhluk yang fakir. Serahkan semua tanggung jawab dan harapan kepada-Nya jangan terlalu ngoyo dan menabrak pagar-pagar kehidupan. Untuk melakukannya seseorang harus membangun kesabaran, rasa syukur dan tawakal kepada Rabbul 'aalamiin.
Tidak ada gunanya berkeluh kesah dan berhati cengeng menapaki takdir. This is life. Setiap insan hendaknya menyadari hal ini. Penderitaan dan rasa berat menjalani kadar yang sudah digariskan semata-mata pertanda bahwa seseorang masih belum tepat menempatkan harapan-harapannya.

(Adaptasi dari kisah yang disampaikan oleh Bawa Muhaiyyaddeen, tertuang dalam buku "the Golden Words of a Sufi Sheikh". The Fellowship Press, Philadelphia, 2006)

Sunday, July 16, 2017

Sertifikat Kehidupan Yang Utama

Jika seseorang melamar di sebuah perusahaan- apalagi untuk kelas perusahaan multi national, memiliki sertifikat yang menunjukkan kompetensi merupakan syarat mutlak. Makin bling-bling sertifikat yang diperlihatkan makin besar kemungkinan ia mendapatkan posisi yang lebih tinggi, tentu dengan paket gaji dan fasilitas yang lebih menggiurkan. Tidak heran kalau orang berlomba-lomba mendapatkan selembar kertas bernama ijazah itu. Kalau perlu puluhan sertifikat dikejar, sertifikat pelatihan ini-itu, sertifikat kompetensi ini-itu, sampai akhirnya semua manusia pasti mendapat sertifikat terakhir, yaitu sertifikat kematian.

Ironinya, banyak manusia mengejar pengetahuan dunia, bergelar akademik hingga berderet akan tetapi tidak tahu apa-apa tentang sebuah alam di depannya dimana seluruh sertifikatnya tidak berguna disana. Ada sebuah kehidupan menjelang di depan kita, tak lama lagi dimana semua kekayaan yang orang kumpulkan dengan susah payah tidak terbawa kesana.Bukan berarti orang dilarang untuk mengejar ilmu dan dunia, akan tetapi sertakan Dia Sang Pemilik Kerajaan di dalam semua aktivitas pencapaian itu, agar semua jerih payah dalam mengerjakan itu semua dipersembahkan untuk-Nya, bukan semata demi selembar kertas atau pencapaian dunia yang sangat terbatas waktunya.

Setiap orang, tanpa kecuali sebetulnya telah digenggamkan kunci-kunci kehidupan dalam tangannya yang ditempatkan secara personal oleh Sang Pencipta. Sehingga dengannya ia tidak perlu mengemis atau menggadaikan kehormatan dengan meraup fasilitas dunia dengan cara yang tidak terhormat. Namun untuk mengaktifkan kunci-kunci itu seorang manusia harus terhubung dengan Sang Pemilik kunci, untuk mengetahui tata cara penggunaannya. Jika seseorang bisa membangun kedekatan seperti ini dengan Sang Maha Kuasa, maka semesta berada dalam genggamannya. Suara-Nya akan terdengar jelas dan Dia menjadi sangat dekat dalam menapaki langkah kehidupan. Untungnya untuk mendapatkan yang satu ini seseorang tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mendapatkan 'sertifikat', cukup sediakan hati yang berserah diri dan bersuka cita dengan semua ketentuan-Nya.

(Adaptasi dari kisah yang disampaikan oleh Bawa Muhaiyyaddeen, tertuang dalam buku "the Golden Words of a Sufi Sheikh". The Fellowship Press, Philadelphia, 2006)

Thursday, July 13, 2017

Akibat Menuruti Saran Guru Palsu

Tersebutlah di sebuah desa terdapat seorang yang dianggap guru dan panutan masyarakat, setiap kata yang meluncur dari lisannya bagaikan firman tuhan yang akan dilaksanakan oleh seluruh penghuni desa. Suatu hari datang kepada sang guru itu orang dengan seekor kambing yang kepalanya tersangkut di dalam periuk tembaga. Tanpa basa-basi sang guru mengambil pisau dan menyembelih si kambing hingga kepala terpisah dari badannya. Namun ternyata tanduknya masih tersangkut di dalam periuk sehingga kepalanya masih belum bisa ditarik keluar. Kemudian sang guru menyuruh orang desa mengambil palu gada berukuran besar yang dengannya ia pecahkan periuk itu hingga terbelah menjadi beberapa bagian. Namun akhirnya orang tersebut pulang dengan kambing yang mati dan periuk yang tak bisa dipakai lagi.

*****

Demikianlah, mencari guru sejati itu tidak mudah. Bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Hanya rahmat Allah yang bisa menyampaikan seseorang untuk dipertemukan dengan seorang insan yang tugas hidupnya untuk membimbing hamba-Nya dalam jalan pertaubatan. Alih-alih mendapatkan saran dan bimbingan yang tepat untuk perkembangan jiwanya, saran dari guru palsu hanya akan merusak jiwa dan bisa jadi menghabiskan harta benda orang tersebut dengan sia-sia.

(Adaptasi dari kisah yang disampaikan oleh Bawa Muhaiyyaddeen, tertuang dalam buku "the Golden Words of a Sufi Sheikh". The Fellowship Press, Philadelphia, 2006)

Kehormatan Seseorang & Memenuhi Janji

Tiga berita sampai kepada saya tentang betapa mengesalkan berinteraksi dengan orang yang tidak menepati janjinya.

Dua kisah pertama adalah perilaku beberapa oknum pejabat yang (katanya) terhormat yang terlambat menghadiri pertemuan penting di institusi besar di Belanda, tidak tanggung-tanggung terlambatnya lebih dari dua jam dan penyebabnya adalah belanja dulu sodara-sodarah! Apa akibatnya? Yang satu berdampak batalnya kerjasama antara dua negara dan yang satu berakibat ditundanya proyek kerjasama bilateral. Lebih parah lagi tidak ada komunikasi dari mereka selama panitia menunggu dengan cemas, mbok ya kabari kalau mau terlambat, ini dihubungi malah menghindar - dan telepon tidak diangkat, informasi tentang ihwal keterlambatan ini pun baru didapat dari sang supir :(

Kisah yang ketiga adalah seseorang dititipi uang ratusan juta rupiah untuk membeli tanah dan berjanji memberikan laporan perkembangan dalam waktu beberapa minggu kemudian setelah berbulan-bulan ditunggu tak ada kabarnya bahkan terkesan menghindar jika dihubungi.

Betul memang kata pak ustadz, kunci kehormatan seseorang bukan terletak pada tingginya pangkat, jabatan, kepopuleran atau banyaknya harta yang dimiliki, karena itu semua bisa relatif tak bernilai jika yang bersangkutan tidak amanah dan tidak mematuhi janji. Mulai dari hal yang kecil, kalau janji bertemu jam tertentu usahakan penuhi janjinya dan kalau sudah ada gelagat terlambat bersifat ksatrialah dengan memberi informasi perihal keterlambatannya, itu adalah etika dasar kita berinteraksi dengan sesama manusia (habluminannas).

Ihwal memenuhi janji ini sesuatu yang serius yang merupakan sifat kental dalam diri seorang Muhammad saw, beliau sudah dikenal sebagai "orang yang terpercaya " (al amin) bahkan sebelum beliau diangkat sebagai nabi. Hal tersebut dikisahkan oleh Abdullah bin Abdul Hamzah, ia berkata: "Aku telah membeli sesuatu dari Nabi sebelum beliau menerima tugas kenabian, dan karena masih ada suatu urusan dengannya maka menjanjikan untuk mengantarkan padanya, tetapi aku lupa. Ketika teringat tiga hari kemudian, aku pun pergi ke tempat tersebut dan menemukan Nabi masih berada di sana. Nabi berkata, 'Engkau telah membuatku resah, aku berada di sini selama tiga hari menunggumu.'' (HR Abu Dawud)

Monday, July 10, 2017

Kita Dicipta Bukan Untuk Mencari Rezeki

Setiap makhluk rezekinya sudah dijamin oleh Sang Pemberi Rejeki. Karena tugas utama insan dikirim ke dunia bukan untuk mencari rezeki melainkan demi menempuh jalan peribadatan yang pribadi, mencari shiraathal mustaqiimnya masing-masing. Untuk itu semua perbekalan sudah Allah Ta´ala siapkan, tinggal menjalankan ikhtiar untuk membukanya.
"Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya..."(QS Huud [11]:6)
Kalau seseorang merasa kekurangan rezeki bisa jadi kemampuan mengelola diri dan rezeki yang dititipkan harus ditingkatkan. Kerap kali orang termakan oleh godaan kilau materialisme sehingga membeli atau menginginkan sesuatu yang tidak pas dengan gaya hidupnya: ingin rumah yang itu, ingin sekolah disana, ingin kendaraan yang itu, ingin tas yang itu, ingin sepatu yang itu, ingin gadget yang itu sampai dibela-belain gali lubang tutup lubang demi memuaskan hawa nafsu dan syahwat pribadinya. Akhirnya ia menenggelamkan diri sendiri dalam kepayahan yang sebetulnya sangat bisa dihindarkan jika mau hidup bersahaja dan tidak diperbudak oleh gengsi dan ego diri sendiri. []

Saturday, July 8, 2017

Menderita Karena Tidak Mengerti Peta Besar Kehidupan

Kalimat kedua syahadat adalah persaksian bahwa Muhammad adalah sang rasul, utusan Allah. Ada rahasia semesta yang luar biasa bernilai yang diresume dalam 63 tahun usia kehidupan beliau di muka bumi. Ada alasannya mengapa nama Allah digandengkan dengan nama Muhammad Rasulullah dalam kalimat syahadat. 

Sesungguhnya ada panduan hidup yang lengkap dari seorang insan mulia yang Aisyah sang istri menyebut beliau sebagai "Al Quran yang berjalan". Ada panduan penyikapan hati dan pancaran akhlak yang mulia dalam menghadapi sekeras apapun hantaman badai kehidupan. Jika hari ini kita masih pontang-panting dan didera kebingungan serta kekhawatiran dalam menghadapi takdir hidupnya masing-masing maka berhenti sejenak dan lihat asal-usul darimana semua permasalahan itu berasal, kembalikan semua ke sumbernya, agar kita tidak kehilangan arah dan terjebak oleh hiruk pikuk masalah yang sebenarnya tidak sebesar yang kita kira.


Mengapa Harus Berdoa Dengan Suara Lembut

"Semakin lantang dan semakin keras Anda bicara kepada seseorang, semakin orang itu menjauh dan tidak mendengar - it's merely a psychological and physiological reflex" kata seorang pakar pendidikan dalam artikelnya yang menyeru untuk tidak teriak apalagi memaki seseorang dengan kata-kata yang menyakiti hatinya sekadar untuk menyampaikan suatu pesan. Sistem saraf manusia saat menangkap getaran suara keras akan merespon sebagai suatu ancaman yang harus dihindari, bahkan refleks tubuh pun akan membuat otot tangan berkoordinasi untuk menutup telinga. Secara psikologis kata-kata yang tajam menghunjam hati -walau disampaikan dengan berbisik sekalipun efektif membuat seseorang mengaktifkan mekanisme pertahanan diri dan berjarak secara emosional darinya alih-alih mendengar apa yang hendak disampaikan ia hanya akan sibuk membangun benteng pertahanan diri.
Teknik komunikasi yang terbukti lebih efektif dan bermanfaat baik bagi orang tua -anak, pasangan suami istri, atau di pekerjaan adalah justru dengan berkata halus, bahkan dalam simulasi ekstrem semakin seseorang menyampaikan pesan dengan suara pelan bahkan berbisik justru sang pendengar akan refleks merespon dengan memberi perhatian yang lebih.
Menyampaikan sesuatu dengan santun diseru dalam Al Quran,
"Berdo’alah kepada Rabbmu dengan berendah diri (tadharu) dan suara yang lembut (khufyah). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. [QS Al-A’raf[7]: 55]
Permohonan yang terdengar nyaring di langit adalah yang disampaikan dari kerendahhatian, bukan dari hati yang masih jumawa, petantang-petenteng dan ingin selalu merasa 'lebih'. Maka doa yang berasal dari nyaringnya hawa nafsu dan syahwat walau disampaikan dengan desahan sambil berurai air mata bisa jadi hanya samar-samar terdengar di langitNya. Demikian juga kalau ingin menyentuh langit jiwa seseorang sampaikanlah sesuatu dengan rendah hati dan santun, karena apa yang disampaikan dari hati terdalam akan beresonansi di hati yang lain.
Karena manusia ditakdirkan dibekali hawa nafsu dan syahwat yang harus digembalakan, maka dalam menyampaikan doa setelah 'tadharu' - merendahkan ego diri, mengendalikan syahwat dan menekan hawa nafsu- diikuti dengan 'khufyah' , Ibnu Katsir menafsirkannya dengan 'menutupi kesombongan'. Ingat kesombongan ini merupakan dosa primordial yang efektif menjatuhkan iblis dari makhluk yang paling taat yang diriwayatkan tak ada satu titik pun di alam semesta yang kecuali ia pernah bersujud diatasnya, namun dengan sombong ia menolak perintah Allah untuk sujud kepada Adam as, seorang insan yang diciptakan dengan 'kedua tanganNya'.
Khufyah konon juga asal kata dari kopiah atau peci yang saat ini sudah menjadi bagian dari budaya berpakaian muslim di Indonesia. Kiranya dengan memakai kopiah segala kesombongan diri yang berputar di kepala pikiran seseorang mohon ditutupi, malulah kepada Yang Memberi itu semua. Karena sesuatu yang disampaikan dari hati yang sombong dan masih meninggi hanya akan lewat di telinga namun tidak tertanam di jiwa.Wallahua'lam...

Monday, July 3, 2017

Menyatukan Umat Di Dalam Diri

TENTANG UMMATAN WAHIDAH

"Manusia itu adalah umat yang satu (ummatan wahidah). (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus."(QS Al Baqarah [2]:213)

Konsep ummatan wahidah dalam QS Al Baqarah tersebut sebetulnya berkaitan dengan nafs wahidah yang diungkapkan oleh Allah Ta'ala dalam QS Fushshilat:53,

"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?"

Semua kekuatan yang Allah berikan kepada diri kita mulai dari pikiran di kepala, penglihatan, pendengaran, pengecap, pencium, tangan, kaki dan semuanya adalah umat-umat yang berbeda. Hanya kondisi umat yang ada dalam diri manusia itu biasanya berpecah belah; hati tidak sepakat dengan perasaan, perasaan tidak sepakat dengan pikiran, ucapan tidak seirama dengan perbuatan, mata tidak kompak dengan pikiran, lidah khianat dengan perasaannya. Kondisi diri yang seperti ini bagaikan umat yang berpecah belah, tidak menyatu.

Manusia tidak akan bisa menyatu dengan Allah Yang Ahad apabila statusnya belum menjadi nafsul wahidah. Maka tugas manusia adalah untuk menyatukan umat dalam dirinya yang beragam itu. Dimulai dengan membaca diri melalui tafakur yang baik dan memohon pertolongan-Nya semata. Laa hawla wa laa quwwata illa billah.

(Adaptasi dari Kajian Hikmah Al Quran yang disampaikan Kang Zamzam AJT, Mursyid Penerus Thariqah Kadisiyah, 13 Desember 2005)

Sunday, July 2, 2017

Bahkan Nabi Pun Tetap Harus Sholat

Kebenaran yang kita pahami itu bertingkat-tingkat sesuai dengan perkembangan akal dalam jiwa. Seperti halnya ilmu matematika yang dipelajari oleh anak SD akan berbeda dengan anak SMA apalagi mahasiswa S3. Maka bersuluk itu artinya berjalan, jangan berpuas diri di satu titik, jangan terlalu memegang erat satu pemahaman yang kita yakini per saat ini.

Seperti halnya Nabi Ibrahim as. dalam pencarian akan kebenaran melihat bintang, rembulan dan matahari. Itu sesungguhnya bukan proses semalam, ada sebuah representasi kebenaran yang diungkapkan dalam wujud bintang-bintang, jadi bukan kejadian semalam, bisa jadi tahapan bintang-bintang membutuhkan beberapa tahun, sebuah tahapan yang melihat kebenaran bagaikan bintang berkelap-kelip. Seperti halnya seseorang yang menemukan hikmah dimana-mana, dari ceramah ustadz ini dan itu, dari buku, koran dimana-mana berkilau bagai bintang. Adapun pada fase rembulan, bagaikan muncul cahaya rembulan yang menyatukan semua cahaya itu, mulai melihat keterhubungan antara yang satu dengan yang lain. Apalagi ketika muncul matahari, fase orang yang sudah memiliki ruhul qudus, maka semua tersapu, bahkan cahaya dari bintang-bintang dan rembulan tenggelam disapu cahaya matahari. Tapi sekali lagi itu semua hanya tahapan pengetahuan, adapun kebenaran sejati ada di balik semua yang mampu terbahasakan.

Oleh karena itu syariat itu penting, di level kanjeng nabi yang tertinggi pun masih harus sholat, tanda bahwa semua adalah hamba Allah yang membutuhkan-Nya, butuh dibimbing karena perjalanan tidak berakhir, bahkan di level nabi sekalipun.

(Adaptasi dari diskusi suluk yang dibimbing oleh Kang Zamzam AJT, Mursyid Penerus Thariqah Kadisiyah, 13 Februari 2016)