Monday, October 19, 2020

 Allah tidak akan pernah kehabisan bank soal. Hidup selalu penuh dengan tantangan. Terutama untuk orang-orang beriman, mereka yang dituntun dalam sebuah proses pemurnian dalam kehidupan. Ujian kehidupan itu sebuah hal niscaya. Dibuat repot mengurus anak, orang tua dibuat sakit, tiba-tiba konflik dengan keluarga, dihadirkan orang ketiga dalam pernikahan, ribut dengan mertua, bisnis dibuat rugi, ditipu oleh orang dsb.


Pusing? Iya. Mumet? Pasti. Berat menjalaninya? Itu tergantung. Kalau kita hanya mengandalkan kekuatan diri dan bantuan kiri-kanan pasti rapuh. Satu-satunya tiang pancang yang kokoh itu saat kita mendongak “ke atas, memohon dan tawakal kepada-Nya. Itu sebenarnya satu-satunya cara. Karena Dia yang mengirim semua hal itu dan hanya Dia yang bisa mencabutnya.

Coba renungkan, Dia yang bisa mengubah segala sesuatu dalam sesaat, “kun fayakun” Masa iya tidak berdaya hanya sekadar menyembuhkan kanker, membayar utang, mendamaikan yang berseteru bahkan mengubah hati orang sekalipun. Jadi, ketika Dia belum berkenan untuk mengubah situasi itu, pasti ada pelajaran yang belum tuntas kita raih. Ada intan hikmah yang masih harus kita gali di dalam kedalaman tanah ujian itu. Dan itu yang akan menjadi harta sejati kita, sesuatu yang akan menjadi berat di timbangan al-haq nanti dan menjadi penerang saat menapaki kehidupan sejak sekarang.

Maka Syaikhul Akbar Ibnu Arabi berpesan, “Utamakanlah tidak diberi.” Karena terkabulnya sebuah permintaan belum tentu sebuah kebaikan. Bisa jadi seseorang diberi apapun yang dia minta tapi justru sebuah kejatuhan baginya, karena ia tidak bersabar dengan pengkadaran dan situasi yang tengah Allah hadirkan kepadanya. Karena apa artinya sebuah pengabulan doa dan tercapainya segenap keinginan jika membuat hati menjadi takabur, membuat jadi ujub, membuat hati menjadi lalai dan menjauh dari-Nya? Na’udzubillahimindzaliik.

Sekali lagi, ujian dan kesulitan hidup adalah sebuah kewajiban bagi orang-orang yang benar-benar mencari Allah. Itu adalah jalan pemurnian diri, sebuah proses pendewasaan jiwa ketika ia dibuat bersabar menelan pil pahit kehidupan. Tapi jangan gentar, coba tengok sejarah orang-orang shalih dan beriman di sekitar kita, apakah mereka binasa? Jauh dari itu, walaupun raganya bersimbah peluh, air mata dan bahkan darah jiwanya melambung tinggi di langit kemuliaan. Dan karunia yang besar menanti mereka semua di kehidupan berikutnya.

Jadi, jangan takut dan gontai menghadapi badai tsunami kehidupan sebesar apapun itu. Buktikan ucapan kita setiap shalat “Allahu Akbar” dengan mengatakan ke wajah ujian itu “Tuhanku lebih Kuasa darimu!” Percayalah, bersama-Nya semua akan selamat, beres dan jadi ringan menjalaninya.
Seperti seruan Allah Ta’ala kepada Imam An Niffari:
Jika engkau melihat-Ku di dalam hatimu, engkau akan sanggup menanggung bersama-Ku.

With God all things are possible.

 Tuhan,

Aku terpana oleh lirikan-Mu

Sejak saat itu semua hal terasa berbeda

Hal yang manis menjadi hambar

Tak ada lagi yang bisa memenuhi ruang-ruang hatiku selain Diri-Mu

Keterpisahan ini terasa mengoyak hati

Tapi rela menjalaninya wahai Tuhanku

Demi mendapatkan secercah senyum dan tatapan-Mu kembali

It's all really worthed...


Amsterdam, 19 Oktober 2020 

10.01 pagi

Di tengah penerjemahan Kitab Al Mawaqifnya Imam An Niffari

tercekat pada Mawqif ke-24, 

4. Ketika Aku memandang hatimu, tak ada hal lain yang dapat memasukinya.


Wednesday, October 14, 2020

 BELAJAR BERTASBIH


Sejak kecil saya sudah diajarkan melafalkan tasbih subhanallah. Otomatis saya pun bertumbuh dengan menjalankan ritual ini dengan mengucapkan dzikir setelah shalat. Tapi kalau boleh jujur saya baru benar-benar belajar bertasbih dan mulai menghayatinya jelang usia 40-an tahun.


Saya baru paham bahwa tasbih bukan sekadar bermakna "Maha Suci Allah", tapi bagaimana agar dzikir itu juga berdampak pada keseharian saya. Dalam Al Qur'an dikatakan burung-burung bertasbih dengan mengembangkan sayapnya. Hebat sekali ya saya pikir. Hal yang nampaknya biasa bagi kita namun toh dinilai sebagai bertasbih di mata-Nya. Sedang saya? Kerja saya Usaha saya? Segenap kesibukan saya apakah patut dibilang bertasbih? Jangan-jangan penghambaan saya kalah dibanding seekor burung.


Saya mulai mengevaluasi ulang pemaknaan tasbih saya terutama setelah diamanahi mengurus dua bocah cilik yang sempat berkali-kali dibuat pontang-panting dan bertekuk lutut karenanya. Hal yang saya pahami  dengan mengurua anak adalah bahwa dunia saya menjadi berputar di sekitar mereka. Saya menunda rencana kuliah S2 demi mereka. Saya memilah pekerjaan demi mereka. Saya tak segan-segan membatalkan semua kegiatan demi merawat anak-anak yang sakit. 


Pokoknya saya dilatih untuk lebih fleksibel dan work with the flow melalui mengurus anak-anak. Berjalan kaki yang biasa ditempuh dalam waktu 10 menit ke supermarket terdekat bisa  sampai 30 menit kalau bawa anak-anak. Liburan yang biasanya ngepak apa adanya untuk diri sendiri berubah jadi serasa packing untuk bedol desa kalau bawa anak-anak. Dan sekali lagi kalau bikin agenda siap-siap last minute dibatalkan apalagi kalau anak-anak masih usia balita, biasanya masih sering sakit.


Work with the flow itu saya pahami sebagai bertasbih (dari kata sabaha yang artinya mengalir). Alih-alih memaksakan diri ngoyo memenuhi agenda pribadi. Kita harus mengalir dengan liukan semesta yang kadang di luar dugaan. 


Awalnya kesal dan banyak mengeluh bahwa mengurus anak dan rumah tangga itu demikian menyita waktu. Maklum ada unsur syahwat spiritual yang ingin shalat lama-lama, ngaji lama-lama, mengkaji Al Qur'an lama-lama, diskusi agama berjam-jam atau pengajian tak terinterupsi dst. Sekilas berbau agamis dan baik ya, tapi saya kemudian paham jika keinginan itu tidak sejalan dengan aliran sang waktu maka itu adalah sebuah syahwat yang berbalut kebaikan. Seolah nampak indah tapi sebenarnya salah untuk berpikir demikian. Kenapa? Karena saya merasa jadi tidak bisa penuh menikmati kekinian saya, bahkan lebih parah lagi bawaannya kesal sama anak-anak yang terasa selalu demanding. Padahal Mursyid saya senantiasa mengingatkan bahwa di setiap saat itu. Ya, setiap saat. Ada nikmat Allah tertingginya yang kebanyakan manusia lalai meraihnya karena panjang angan-angan dan kurang bersyukur akan apa yang Allah hadirkan di saat ini.


All in all, butuh waktu sekitar dua windu sejak saya belajar konsep berserah diri dan tasbih ini sampai saya mulai paham dan menghayati dalam keseharian. Saya menuliskan refleksi ini agar sahabat-sahabat bisa mengambil pelajarannya. Agar tak perlu mengulang kesalahan saya yang butuh memutar untuk memahami dan menghayati makna bertasbih dan berserah diri, hingga harus melalui sekian banyak benturan dalam kehidupan baru dibuat tak berdaya, menyerah dan tersadarkan. Intinya sekali kita bertasbih, menyatakan diri Islam - berserah diri (aslama) kepada-Nya, ya sudah percaya saja bahwa segenap pengaturan takdir-Nya adalah yang terbaik. Because the more you resist the flow of life, the more you will suffer.[]

Tuesday, October 6, 2020

 QS Al-An'ām : 31


قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِلِقَاءِ اللَّهِ ۖ حَتَّىٰ إِذَا جَاءَتْهُمُ السَّاعَةُ بَغْتَةً قَالُوا يَا حَسْرَتَنَا عَلَىٰ مَا فَرَّطْنَا فِيهَا وَهُمْ يَحْمِلُونَ أَوْزَارَهُمْ عَلَىٰ ظُهُورِهِمْ ۚ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ


Sungguh rugi orang-orang yang mendustakan pertemuan dengan Allah; sehingga apabila Kiamat datang kepada mereka secara tiba-tiba, mereka berkata, "Alangkah besarnya penyesalan kami terhadap kelalaian kami tentang Kiamat itu" sambil mereka memikul dosa-dosa di atas punggungnya. Alangkah buruknya apa yang mereka pikul itu.


Kiamat itu bisa berupa kiamat kecil yaitu kematian dan kiamat besar yaitu kematian alam semesta dan segala isinya suatu saat nanti.


Wabah Covid-19 ini sebuah dzikrul maut buat kita semua. A shock therapy bagi yang terlalaikan dengan persiapan untuk kehidupan akhirat. Bahwa nafas kita hanya tinggal hitungan bulir-bulir pasir di dalam jam pasir yang terbatas. Adapun hawa nafsu, kebodohan dan syaithan selaly membawa kita berangan-angan panjang. Seakan hidup masih lama. "Toh, kita masih muda" demikian kita berseloroh. Atau kalaupun sudah paruh baya, kita ada dalam denial mode. Tidak sadar juga bahwa kematian tetangga sebelah, kepergian keluarga dan handai taulan kita itu sungguh sebuah petunjuk yang nyata. Yang kalau kita dengarkan baik-baik ia berkata, "Hey, siap-siap ya. Kamu giliran berikutnya..."





 

Sedang mendampingi anak-anak bermain game adventure online "zombie vs plants". Gemes lihat si kecil yang belum paham taktik bermain game itu maka si emak pun berujar, "Rumi, you should follow the lead for the mission, otherwise you are going nowhere and spend time for nothing." Setelah itu emak terdiam and think, "Wait a minute, this message is also relevant for me..."🤔

Jangan-jangan itu gambaran saya yang belum fokus sama misi saya sendiri dan sibuk mengerjakan ini-itu merasa banyak karya tapi sebenarnya ngga kemana-mana. Na'udzubillahimindzaalik.

Jadi ingat kisah yang Jalaluddin Rumi ceritakan   sebagai permisalan hal tersebut. Yaitu tentang seorang menteri yang diutus ke sebuah kota oleh Raja untuk membangun sebuah jembatan. Berangkatlah menteri yang dipercaya oleh sang Raja itu dengan membawa pasukan, para ahli dan berbagai perbekalan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan misinya dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Akan tetapi, ketika sampai di kota yang dituju, alih-alih langsung mengerjakan satu misi membangun jembatan sang menteri terlena oleh kesibukannya membangun sarana ini dan itu hingga waktu yang ditentukan habis dan saatnya ia pulang mempertanggungjawabkan semua itu.

Kira-kira apakah sang menteri bisa berkilah kepada Raja bahwa walaupun tidak selesai mengerjakan bangunan jembatan yang dimaksud tapi sudah membangun ini dan itu? I don't think so...

Kita semua punya tugas spesifik yang harus dikerjakan di penggal waktu yang singkat di bumi itu. Alih-alih berjuang menemukan kembali tugas suci itu kita tersibukkan oleh sekian banyak hal yang bukan kepentingan kita sebenarnya. Karenanya hati kita tidak akan pernah siap ketika akan dipanggil pulang melalui gerbang kematian. Seperti murid yang deg-degan saat bel sekolah berbunyi sementara pe-er yang seharusnya dia kerjakan belum tuntas.

Ah, Tuhan bisa saja menyindir saya sore ini lewat game yang tengah dimainkan oleh anak-anak. Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah🙏

Sunday, October 4, 2020

 Awalnya sering dibuat kesal bahkan tak jarang marah sama anak setiap harus membersihkan entah pakaian atau sepatu mereka yang kotor. Kadang penuh pasir, hari lain penuh lumpur dan tak jarang bekas menginjak kotoran binatang😱  Saya paham bermain adalah bagian dari cara mereka belajar. Dan jangan takut kotor supaya anak berkembang baik. I get that really, tapi tetep aja berkeluh kesah di hati setiap membersihkannya. Allah tentu tahu itu.


Hari ini, saya diajari sesuatu yang baru. Sudut pandang lain yang lebih berdampak transformasi ke dalam hati saya dalam menyikapi keadaan yang serupa, yaitu saat membersihkan kotoran-kotoran pada pakaian atau sepatu mereka. Yaitu dengan beristighfar saat membersihkannya, setiap sapuan, setiap gosokan disertai istighfar karena itu gambaran kotoran di hati kita yang tidak sadar terproyeksikan dan diturunkan ke anak. 

Istighfar atas sifat emosian kita yang diserap oleh anak, istighfar atas ketidaksabaran kita yang ditiru anak, istighfar atas rasa takjub diri yang ditangkap anak hingga ia merasa lebih baik dari yang lain. Makanya Rasulullah Saw bersabda bahwa setiap anak terlahir fitrah. Dan siapa lagi yang bisa mengubah makhluk suci itu jika bukan orang tua sebagai caregiver-nya? Seperti sepatu baru yang putih dan bersih dikirim dari pabrik ke rumah kita dan kita cemari sepatu itu hingga kotor. Alih-alih berefleksi dan bertaubat atas andil kita mengotorinya, kita malah melempar sumpah serapah kepada sepatu yang tak bersalah itu. Crazy isn't it? Well, that crazy person was me. Astaghfirullah.