Wednesday, October 24, 2012

Tashawuf (Syaikh Abdul Qadir Jailani)

Istilah shufi berasal dari kata Arab “shaf” yang berarti suci. Kaum sufi diberi gelar ini karena alam batin mereka disucikan dan diterangi oleh cahaya ilmu, tauhid, dan keesaan. Dalam pengertian lain, mereka disebut sufi karena secara ruhani mereka dekat dengan para sahabat Rasulullah yang disebut “Ahlu Shufah” (Ahlu Shufah juga sering dimaknai sebagai para penghuni serambi. Sebutan ini merujuk kepada para sahabat Nabi saw. yang tinggal di serambi Mesjib Nabawi. Mereka adalah para sahabat yang fakir dan selalu beribadah kepada Allah- pen) – yang berbaju kasar terbuat dari bulu domba. Bahkan, mereka sendiri mungkin selalu mengenakan pakaian kasar dan murah yang terbuat dari bulu domba (shuuf) dan banyak pula dari mereka yang selalu mengenakan pakaian usang penuh tambalan.

Seperti penampilan lahir mereka yang miskin dan hina, begitu pula kehidupan duniawi mereka. Mereka sangat bersahaja dalam makan, minum dan kesenangan duniawi lainnya. Dalam kitab berjudul al-Majma’ dikatakan, “Kaum sufi adalah mereka yang bersikap sederhana dalam pakaian dan pandangan hidup.” Mungkin saja mereka tampak tertarik oleh kehidupan dunia. Namun, pengetahuan mereka diwujudkan dalam perilaku yang sopan dan santun sehingga orang-orang lain tertarik kepada mereka. Sesungguhnya mereka merupakan teladan bagi manusia. Mereka mngikuti ajaran-ajaran Allah. Dalam pandangan Tuhan, mereka berada di garis terdepan manusia; dalam pandangan para salik, terlepas dari penampilan lahiriah, mereka adalah orang-orang yang menawan hati. Mereka memiliki ciri yang sangat khas, karena mereka telah mencapai tingkatan tauhid yang sesungguhnya.

Dalam bahasa Arab, kata tashawwuf, terdiri atas empat huruf, t, sh, w, dan f. Huruf pertama, t, adalah singkatan dari tawbah, tobat. Inilah langkah pertama yang harus ditempuh di jalan ruhani, yang meliputi langkah lahir dan langkah batin. Langkah lahir ditempuh dengan perkataan, perbuatan dan perasaan. Secara lahiriah, orang yang bertobat harus memelihara hidupnya dari dosa dan maksiat serta condong kepada ketaatan; ia harus membebaskan diri dari penyimpangan dan kekafiran, seraya mencari keridhaan dan keselarasan. Langkah batin tobat ditempuh oleh hati. Langkah ini ditempuh dengan menyucikan hati dari segala noda dan salah. Langkah ini bersumber dari perlawanan terhadap hasrat duniawi dan keteguhan dalam kesucian. Tobat – yang merupakan kesadaran atas dosa dan kemestian meninggalkannya, juga merupakan kesadaran atas kebaikan dan tekad untuk mengamalkannya – akan membawa seseorang kepada tingkatan kedua.

Tingkatan kedua adalah keadaan tenang dan bahagia, shafaa. Tingkatan ini pun meliputi dua langkah, yakni langkah menuju kesucian hati, dan langkah menuju inti hakikatnya.

Ketentraman datang dari hati yang bebas dari kecemasan. Kecemasan disebabkan oleh kesenangan kepada dunia – makanan, minuman, tidur, dan cengkerama. Semua ini, seperti daya tarik bumi, menurunkan eter hati. Tentu saja, membebaskan diri dari tarikan duniawi merupakan langkah yang sangat berat dan melelahkan. Perjuangan itu menjadi semakin berat karena ada ikatan lain yang membelenggu eter hati ke bumi, termasuk hasrat, kekayaan, juga cinta istri dan anak-anak.

Cara membebaskan dan menyucikan hati adalah mengingat Allah. Pada awalnya, zikir dilakukan secara lisan dengan menyebut nama-Nya berulang-ulang, melafalkannya dengan keras sehingga kau dan orang lain mendengar dan mengingat-Nya. Ketika ingatan kepada-Nya telah mantap, zikir berlangsung dalam hati dan menjadi bagian batin; yang tertinggal hanya keheningan. Allah berfirman:

Sesungguhnya orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) (QS Al Anfaal [8]: 2)

Gemetar berarti kagum, takut, dan cinta kepada Allah. Dengan berzikir menyebut asma Allah, hati terjaga dari kelalaian, dibersihkan dan diterangi. Dengan begitu, bentuk dan rupa rahasia alam ghaib akan terpantul padanya. Rasulullah saw. bersabda, “Para ulama secara lahir mengunjungi dan memeriksa segala sesuatu dengan pikiran mereka, sedangkan kaum bijak secara batin sibuk membersihkan dan menerangi hati mereka.”

Inti hati akan meraih ketentraman jika telah disucikan dari segala sesuatu dan dipersiapkan untuk hanya menerima zat Allah, yang akan memasukinya jika ia telah dihiasi oleh cinta Ilahi. Inti hati dapat dibersihkan dengan zikir batin dan terus-terusan melafalkan kalimat tauhid “laa ilaaha illallaah” dengan lidah hakikat. Ketika hati dan intinya berada dalam keadaan tenteram dan bahagia maka tingkatan kedua, yang disimbolkan oleh huruf sh menjadi sempurna.

Huruf ketiga, w, adalah singkatan dari wilayah, yakni tingkat kewalian para pecinta dan kekasih Allah. Tingkatan ini bergantung kepada kesucian batin. Dalam kitab suci Alquran disebutkan bahwa para wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, dan bahwa bagi mereka berita gembira di kehidupan dunia dan (di kehidupan) akhirat… (QS Yunus [10]: 62 , 64).

Orang yang telah mencapai maqam kewalian sepenuhnya mencintai dan terhubung kepada Allah. Buah keadaan ini adalah perilaku yang sopan dan kepribadian yang hangat. Inilah karunia Ilahi yang dianugerahkan kepadanya. Rasulullah saw. bersabda, “Perhatikanlah akhlak Allah dan berperilakulah sesuai dengannya.” Pada tingkatan ini, seseorang telah menghapuskan sifat-sifat duniawinya yang fana dan menyatu dengan sifat-sifat Ilahi. Dalam hadis qudsi, Allah berfirman:

Jika Aku mencintai hamba-Ku, Aku menjadi matanya, telinganya, lidahnya, tangannya, dan kakinya. Dia melihat melalui Aku, dia mendengar melalui Aku, dia berbicara melalui Aku, tangannya menjadi tangan-Ku dan dia berjalan bersama Aku.

Sucikan hatimu dari segala sesuatu dan ingatlah hanya kepada Allah, sebab: Katakanlah olehmu (Hai Muhammad), telah datang kebenaran dan telah binasa kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu binasa. (QS Al Israa [17]: 81)

Ketika kebenaran datang dan kebatilan binasa, tingkatan wilayah menjadi sempurna.

Huruf keempat, f, merupakan singkatan dari kata fana’, peniadaan diri. Diri yang batil dan keakuan luruh musnah ketika sifat-sifat Ilahi memasuki jiwa seseorang. Keakuan digantikan oleh keesaan.

Pada hakikatnya, kebenaran akan selalu ada, tak pernah hilang ataupun surut. Pemusnahan yang dimaksudkan di sini adalah bahwa seorang mukmin menyadari dan menyatu dengan zat yang telah menciptakannya. Ketika berada bersama-Nya, ia menerima keridhaan-Nya: wujud manusia yang fana menemukan eksistensinya dengan menyadari hakikat yang kekal: Segala sesuatu musnah kecuali zat-Nya…(QS Al Qashash [28]: 88) []

(Sirr al Asrar)

Friday, October 19, 2012

Rasa – Karsa – Cipta – Karya

Dalam tasawuf dikenal empat tingkatan hijab hati, mulai dari rasa – karsa – cipta – karya. Rasa itu perasaan, karsa itu keinginan -baik yang positif atau negatif, cipta menyangkut pemikiran, sedangkan karya adalah pengamalan.

Misalnya seorang laki-laki melihat seorang perempuan, tatkala tersentuh hatinya menyukai sang wanita itu adalah tingkat rasa. Kemudian apabila rasa itu dibiarkan hingga muncul keinginan, itu karsa syahwat. Lalu apabila karsa dibiarkan semakin kuat sehingga pikirannya merancang bagaimana agar keinginan itu tercapai, maka itu adalah tingkatan cipta. Dan kalau sampai melakukan perbuatan zina maka sudah tingkat karya. Jadi perbuatan hati itu sudah mulai sejak tingkat ‘rasa’. Oleh karena itu agama mengontrol sejak rasa.

Imam Ali kw berkata tentang melihat perempuan, “pandangan pertama itu rezeki, sedangkan yang kedua adalah fitnah”. Rasulullah saw pun bersabda “apabila engkau berhasrat sesuatu kepada wanita, maka datangilah istrimu, sesungguhnya apa yang engkau cari ada padanya”. Demikian aspek syariat membuat koridor dalam berkehidupan agar hati tertib, hingga tertiblah seluruh tubuh, tidak sembarangan dipakai tanpa aturan Sang Pencipta.

Rasa hati yang tidak tepat bisa memburamkan qalb. Maka harus banyak-banyak istighfar. Supaya tidak lanjut ke tingkat karsa apalagi karya. Kebanyakan orang ‘menghukumi’ seseorang dari aspek ‘karya’, perbuatan yang tampak oleh mata. Perzinaan, pencurian, pembunuhan dihukumi. Akan tetapi aspek yang tiga (rasa-cipta-karya) juga tidak kalah berbahayanya dan perintah Allah sama kuatnya melarang hal yang tidak tampak ini. Yaitu jangan takabur, jangan dengki, tidak boleh bangga diri, jangan berkeluh kesah dll. Seringkali seseorang merasa dirinya sudah beragama karena sudah melakukan semua aspek jasadiyah; sholat, shaum, zakat, naik haji. Tapi kenapa hatinya kebanyakan tetap buta? Karena ada aspek dalam yang tidak dijaga.

Maka eksistensi ilmu tasawuf dalam khazanah Islam itu sangat penting, karena tasawuf memperdalam ilmu mengolah aspek rasa karsa cipta. Orang sufi yang benar tentu juga akan mengolah karya, hingga ia tidak mungkin menyepelekan syariah. Semuanya dilakukan secara beriringan dan harmoni.

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)

Wednesday, October 17, 2012

Dzikir Hati Melapangkan Dada

Mengapa setelah kita berzikir hati kita menjadi lapang?

Dzikir itu berfungsi mencahayai dada, karena setiap ingat kepada Allah akan menghapuskan aspek gelap dalam hati kita, jadi menambah cahaya di ruang shadr. Praktek dzikir dari masa ke masa dilakukan dalam berbagai agama, dalam bentuk yang beraneka ragam tapi aspek intinya sama, yaitu penyerahan diri. Saat berserah diri, seseorang harus meniadakan dirinya (annihilation), mendiamkan hati, pikiran, dan gejolak perasaan.

Secara garis besar, dzikir terdiri dari 3 tahapan besar, yang digambarkan oleh Rasulullah sebagai :
1. Subhanallah, dzikir saat jalan menurun.
2. Alhamdulillah, dzikir saat jalan mendatar.
3. Allahu Akbar, dzikir saat jalan mendaki.
Ketiga kondisi tersebut mewakili tiga macam fase kehidupan, kadang dalam kemudahan – yang digambarkan dengan jalan menurun, kadang konstan – digambarkan dengan jalan yang datar, dan kadang sulit – digambarkan dengan jalan mendaki.

Dzikir ‘subhanallah’ mempunyai akar kata ‘sabaha’ artinya mengalirkan diri, sehingga arti yang paling pas untuk subhanallah adalah kita berusaha mengalirkan diri dalam ketetapan-Nya, sehingga imajinasi yang kita bangun pada saat melantunkan dzikir ini adalah bagaimana agar hati tenang, misalkan sedang panas hati, galau atau berat tatkala menjalani ujian, maka dzikirnya ‘subhanallah’ seraya memohon kepada Allah agar dimudahkan mengalirkan hati dalam kehendak-Nya.

Dzikir ‘alhamdulillah’ berupa pernyataan syukur kita kepada Allah Ta’ala dalam segala sesuatu. Sepatutnya dalam kondisi susah atau ringan, kelapangan atau kesempitan, lisan kita tidak sepi dari berucap ‘alhamdulillah’ dengan kesadaran bahwa apapun takdir yang menetapi kita adalah baik.

Dzikir ‘Allahu akbar’ adalah pernyataan bahwa Allah yang kuasa-Nya, kehendak-Nya, rencana-Nya lebih besar dan lebih baik dari segenap makhluk-Nya. Rasulullah mencontohkan membaca banyak-banyak dzikir ini tatkala sedang menempuh jalan yang mendaki. Kiranya dzikir ini juga dilafazhkan saat seseorang sedang dalam kondisi ‘mendaki’ jalan hidupnya baik secara spiritual ataupun fenomena. Oleh karena itu setiap pergantian posisi dalam sholat diajarkan untuk membaca ‘Allahu Akbar’, karena dalam sholat yang baik, seorang muslim sedang melakukan ‘mi’raj’ hatinya menaiki alam-alam ciptaan untuk bersua dengan Sang Pencipta.

Demikian tiga kondisi kehidupan manusia yang diwakili oleh dzikirnya masing-masing. “Ingatlah hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang”- Al Qur’an

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)

Tuesday, October 16, 2012

Ketika Shadr Bercahaya

Saat manusia lahir ke bumi, hatinya bersih dan lapang, maka seorang bayi atau anak kecil tidak menyimpan dendam, akan tetapi seiring dengan pertumbuhannya dan interaksinya dengan dunia sekitar, sang dada mulai penuh dengan pengaruh-pengaruh lingkungannya, dan ini adalah suatu keniscayaan, bahwa setiap orang akan melalui fase kegelapan dirinya masing-masing, untuk kemudian menemukan kembali cahayanya.

“Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk dan sifat yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami menurunkan derajatnya ke tingkat yang serendah-rendahnya…” (Al Quran, Surat At Tiin, ayat 4-5)

Orang yang hatinya sempit seringkali merasa tidak nyaman dengan kehidupan, apabila dihadapkan dengan sebuah masalah mudah cemas, hatinya goncang. Mudah tersinggung, ‘pundungan’. Adapun orang yang sudah lapang dadanya, seperti Rasulullah saw, mau dilempar batu, dilempar kotoran, mau dihina, tetap lapang hatinya. Saat beliau kepalanya berdarah karena dilempari batu disertai ejekan saat berdakwah ke Thaif, sehingga malaikat Jibril pun menawarkan untuk menimpakan gunung ke atas kota itu sebagai azab, Rasulullah menolak dan memaafkan seraya berkata, “..saya berharap dengan kehendak Allah, ada keturunan mereka yang akan menyembah Allah dan beribadah kepada-Nya”.

Rasulullah adalah seorang yang teguh dalam pendirian. Ia sangat yakin akan ketentuan Tuhan dalam dirinya. Ia sangat percaya akan kekuasaan Tuhan terhadap segala sesuatu yang ada dalam alam raya ini. Maka dari itu Rasulullah tidak pernah khawatir hari esok, tidak pernah merasa putus asa dalam kondisi apapun. Rasulullah Muhammad selalu bersabar dan berdoa kepada Allah agar diberi kekuatan untuk mengatasi segala ujian dan cobaan yang ditimpakan kepadanya. Rasulullah adalah seorang yang sangat bijaksana. Ia tidak pernah menghujat, mendengki, mencaci maki orang yang ada di sekelilingnya.

Demikianlah ketika cahaya keberserahdirian (Islam) telah menerangi dada seseorang, maka hati akan bersih dan lapang. Ini adalah suatu hal dapat terjangkau oleh setiap orang yang diizinkan Allah Ta’ala, dengan perjuangan mengalahkan ego dan hawa nafsu serta mensucikan jiwa.

Semoga Allah Ta’ala menambah cahaya dalam dada kita hingga ia lapang. Aamiin.

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)

Monday, October 15, 2012

Ruhul Qudus Sebagai Guru Sejati

Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya atau keluarganya. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah tulisi di hatinya al iman dan telah diperkuat mereka dengan ruh dari-Nya. Dan dimasukkanlah mereka dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap Allah. (Al Quran [58]: 22)

Istilah ‘diperkuat dengan ruh dari-Nya’ di atas adalah berupa diturunkannya ruhul qudus. Mereka yang telah memperoleh anugerah ini yang sejatinya disebut ‘Hizbullah’.

Setiap manusia mempunyai potensi untuk menerima anugerah ini. Ibaratnya dalam hati kita diberi sebuah pemancar yang bisa menangkap dan mengakses semua gelombang di segala alam. Karena ruhul kudus itu bisa membangun akses ke alam lain, maka jika ada persoalan di dunia, mata lahiriahnya melihat obyek di dunia atau peristiwa tertentu, namun dengan bantuan ruhul qudus akan terbuka hakikat yang tersembunyi di balik semua obyek dan peristiwa yang ada.

Maka orang yang telah mencapai maqam ini akan melihat jauh di balik sekedar fenomena atau hal yang superfisial. Oleh karena itu jarang ada perdebatan di antara para sufi karena hati mereka melihat hal yang sama. Dalam istilah Ibnu Arabi, “Tidak ada perbedaan pendapat dalam sufisme.” Sebaliknya jika orang hanya mengandalkan akal pikiran dan hal yang bersifat lahiriah pasti akan ribut dan berpecah-belah.

Semua nabi dan mursyid tarekat sebenarnya menuntun sang murid untuk menemukan mursyid yang sebenarnya, yaitu sang ruhul qudus. Pada saat seorang murid telah menemukan guru sejatinya, maka fungsi kemursyidan sang guru berakhir dan guru yang berupa ruhul kudus akan menjadi guru yang berada dalam dirinya. Inilah kondisi yang Rasulullah sabdakan, ‘mintalah fatwa ke dalam hatimu.’

Semoga Allah Ta’ala memudahkan jalan kita menemukan sang guru sejati, aamiin.

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)

Wednesday, October 3, 2012

Qalb Tempat Menerima Petunjuk Allah

..Barangsiapa yang beriman billah, maka Allah beri petunjuk kepada hatinya. (Al Qur’an [64]: 11)

Di ayat ini disebutkan fungsi qalb sebagai penerima petunjuk Allah Ta’ala. Hampir dalam setiap langkah dalam hidup kita harus menentukan pilihan, mulai saat membuka mata di pagi hari apakah kita akan segera bangun atau tidur lagi? Saya harus kemana? Pekerjaan yang mana yang harus saya ambil? Buku mana yang saya baca? Pasangan hidup saya yang mana? It’s a never ending story.

Saat kita memohon kepada Allah sesuatu, akan tetapi dalam dada kita masih dipadati oleh debu-debu dunia, hawa nafsu dan syahwat, maka sebenarnya sulit untuk menangkap yang mana petunjuk Allah Ta’ala. Mirip halnya gelombang radio FM, kalau tidak ada alat antena atau dekodernya maka gelombang tersebut tidak akan tertangkap walaupun gelombang terpancar setiap saat. Begitu pun petunjuk Allah yang bertebaran dimana-mana, akan sulit dibaca oleh orang yang hatinya masih khawatir akan dunia dan penuh hijab. Oleh karena itu kadang seseorang membutuhkan bantuan seorang guru dalam kehidupan untuk membantu membaca petunjuk Allah yang turun, sambil melatih hati kita, berjuang membersihkan jiwa untuk bisa lebih peka terhadap petunjuk Allah.

Namun, tatkala seseorang menerima petunjuk Allah Ta’ala sedangkan di hatinya ada unsur yang belum bersih, maka akan terjadi pertarungan di dalam diri. Berat untuk menjalankan petunjuk, khawatir akan hari esok. Misal seorang salik mendapatkan peluang bisnis yang tampaknya mendatangkan keuntungan besar, lalu turun petunjuk agar tidak menjalankannya, atau seseorang mempunyai pilihan calon suami atau istri, lalu petunjuknya mengatakan tidak boleh menikahinya, tentu bukan hal yang ringan untuk menjalankan dengan penuh keberserahan diri.

Setiap agama mengajari umatnya banyak hal tentang kehidupan sedemikian rupa, agar dadanya menyala terang dengan cahaya Ilahi, agar besar penyerahan dirinya kepada Allah Ta’ala dan cahaya imannya menyala terang.

Semoga Allah Ta’ala melapangkan hati kita dalam menerima petunjuk-Nya. Aamiin.

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)

Cahaya Keberserahdirian

Barangsiapa yang Allah kehendaki diberi petunjuk maka dilapangkanlah dadanya untuk al islam ( berserah diri). (Al Quran [6]: 126)

At Turmudzi mengatakan bahwa aspek shadr (rongga dada) terkait dengan cahaya Islam (cahaya penyerahan diri). Kadang rongga dada manusia penuh oleh sesuatu di dalamnya yang merupakan elemen kebumian. Bagaikan paru-paru yang penuh dengan tanah, maka lambang kematian. Ini adalah gambaran manusia yang qalbnya terikat dengan bungkusnya, pertanda elemen dunia masih melekat dalam hatinya.

Ciri utamanya adalah hatinya masih berat untuk berserah diri kepada ketetapan Allah. Dalam hidup seringkali kita tidak akan mendapatkan apa yang kita inginkan, kerap kali antara cita-cita dan kenyataan bertolak belakang. Kita ingin bekerja di tempat A yang ada malah kerja di tempat B. Kita merindukan pasangan seperti X yang kita dapatkan pasangan Y. Kita ingin melakukan ini tidak bisa, ingin beli itu tidak punya uang, dan seterusnya. Manusia akan selalu terkepung oleh kekecewaan, sakit hati, pesimis, stress apabila tidak bisa berjalan sesuai dengan aturan main Sang Maha Pencipta. Padahal ‘Thy will be done’, sekuat apapun keinginan kita tidak akan mampu melawan kehendak-Nya.

Maka cara yang paling jitu untuk terlepas dari kemelut kebingungan di alam dunia adalah mengetahui dan mengerti apa maksud Sang Pencipta di balik semua tindakan, fenomena dan kejadian yang menimpa diri kita dan sekitarnya. Jalannya tidak lain adalah dengan berserah diri.

Berserah diri tidak sama dengan pasrah. Dibutuhkan elemen kerja keras dan ikhtiar optimal dalam berserah diri, tidak sekadar menunggu takdir turun dengan bertumpang tangan.

Anugerah Allah yang diberikan kepada seseorang agar hati orang itu mudah berserah diri yaitu melalui cahaya keislaman atau cahaya keberserahdirian yang diturunkan ke dalam shadr, sehingga lapanglah ia. Cahaya ini yang mengusir kegelapan dalam hati. Kegelapan yang bermanifestasi menjadi rasa khawatir hari esok, tidak menerima keadaan kita, marah dengan ketetapan-Nya dan aspek batil lainnya. Semakin gelap dada seseorang akan semakin khawatir dan tidak tenang dalam kehidupan, semakin kurang patuh dalam memenuhi perintah Allah, semakin tidak menerima ketetapan-Nya.

Tazkiyatun Nafas atau olah jiwa adalah proses yang dilalui dalam sebuah jalan suluk untuk membuang sampah dunia dari dalam dada kita. Hanya setelah dada dikosongkan dari yang tidak haq, maka qalb perlahan-lahan akan mulai bercahaya. Dada yang lapang membuat manusia lebih jernih dan lebih ringan menjalani kehidupan.

Semoga Allah Ta’ala mengaruniakan kepada kita hati yang berserah diri. Aamiin.

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)

Struktur Qalb

Salah satu waliyullah yang menjelaskan dengan gamblang tentang persoalan qalb adalah At Turmudzi. Beliau menerangkan bahwa qalb itu strukturnya terdiri dari 4 tingkatan:

1. Shadr (dada)
2. Qalb (hati)
3. Fu’ad (hati lebih dalam)
4. Lubb (hati yang terdalam).

Fu’ad atau lubb adalah aql hati atau aql jiwa. Ini beda dengan pikiran yang diproses dalam otak kita. Semua yang ada di raga adalah bayangan dari jiwa. Kalau raga punya mata, maka jiwa juga punya mata. Raga punya telinga karena itu bayangan dari jiwa yang punya telinga. Hanya kualitas yang dimiliki jiwa lebih tinggi, seperti halnya perbedaan antara benda dan bayangannya.

Setiap tingkatan struktur qalb akan teraktivasi oleh cahayanya masing-masing, seperti yang disebutkan dalam Al Quran. Shadr terkait dengan cahaya islam. Qalb terkait dengan cahaya iman. Fu’ad (akal hati yang pertama) terkait dengan cahaya ihsan. Lubb (akal hati yang terdalam) terkait dengan cahaya tauhid.

Orang yang telah memiliki cahaya islam, cahaya iman dan cahaya ihsan disebut orang telah beragama, insan yang telah memenuhi kondisi Ad Diin. Ingat hadis Jibril yang datang kepada Rasulullah dan para sahabat. Dikatakan beragama harus punya aspek islam, iman dan ihsan. Tapi itu bukan sekedar kata-kata, islam, iman dan ihsan yang dimiliki seseorang mewujud sebagai cahaya dalam dirinya, jadi bukan sekedar ungkapan dan tidak bisa asal diklaim. Setiap kebaikan yang tampak dalam diri insan dan anugerah yang Allah berikan kepada insan itu ada cahayanya, orang yang punya mata hati bisa melihat hal tersebut.

Semoga Allah Ta’ala menganugerahi kita cahaya-Nya. Aamiin.

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)