Monday, December 31, 2018

Sebenarnya kita harus berterima kasih kepada orang-orang yang kita anggap menyebalkan: kepada orang yang nyalip mobil saat macet secara serampangan, kepada rekan kerja yang memfitnah, kepada kenalan yang susah ditagih hutangnya. Pun mereka yang menyakiti hati kita; bisa jadi pasangan yang berulah, orang tua yang berkata menyakitkan dan lain-lain.

Mursyid saya berpesan bahwa orang beriman niscaya akan banyak dihujani dengan hal yang tidak menyenangkan. Kenapa? Targetnya justru mengukur gejolak hati masing-masing, sejauh mana hati menyerang balik, sebesar apa keganasannya. Semakin udah hati diombang-ambing dan reaktif oleh fenomena luar itu menunjukkan betapa jauh ia dari derajat nafs muthmainnah (jiwa yang tenang).

Ketika mudah meledak emosi saat di keseharian yang dipicu oleh berbagai macam hal: tingkah anak-anak, perilaku asisten rumah tangga, respon pasangan, kelakuan tetangga dsb. Di titik itu kita tengah diberi pertolongan oleh Allah berupa dihadirkannya sebuah cermin yang memantulkan keadaan dalam diri, sesuatu yang sangat susah untuk diteropong karena kebanyakan manusia hanya sibuk berkutat kepada membalas dendam dan mencari solusi horizontal, yang dia pikir bisa memadamkan persoalan. Padahal masalah yang sebenarnya adalah api di dalam hatinya yang jika itu dibawa meninggal dunia ia akan mewujud dan membakar jiwa kita di alam berikutnya, naudzubillahimindzaalik.

Itulah sebabnya dikatakan pemberian yang terbaik kepada seorang manusia adalah kesabaran, karena dengan kesabaran itu dia bisa menerima semua pukulan kehidupan dan melihat bahwa itu semua adalah kebaikan untuk semakin menjernihkan jiwanya yang lama tercelup dalam nuansa dunia berdekade lamanya. Jiwa bentukan yang lupa akan dirinya yang sejati dan lupa arah pulang. Padahal setiap detik masa pakai jasad sebagai kendaraan jiwa semakin berkurang, sementara langkah semakin menjauh dari tujuan menuju sekian fatamorgana yang ia anggap bisa membawa kebahagiaan.

Dengan kesadaran mengenai kebaikan yang hakiki di balik musibah atau sekian keadaan yang kita kerap anggap tidak menyenangkan ini, maka semakin legowo mestinya kita menapaki kehidupan, semakin mudah memaafkan, dan tenang menjalani setiap ‘treatment’ dari-Nya. Sehingga kita mencapai derajat jiwa muthmainnah. Ibnu Arabi berkata, “Hanya jiwa muthmainnah-lah yang mampu kembali kepada Allah.”

“Jika dirimu diserang dan dadamu tidak balik menyerang itu (tanda) muthmainnah.” – An Niffari

(Habil menjawab), “Sungguh kalau engkau menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan sekalian alam…”(QS Al Maa’idah : 28-29)

Thursday, December 27, 2018

Tibanya waktu kematian sudah ditentukan, tidak bisa dimajukan atau dimundurkan barang sedetikpun*. Ada yang dipanggil pulang dalam tidur, di atas ranjang rumah sakit, atau saudara-saudara kita yang Allah panggil dalam sekian rentetan musibah gempa baru-baru ini.

Allah lebih tahu apa isi hati seseorang. Bukan tempat kita untuk menghakimi apalagi menarik kesimpulan dangkal penyebab ini itu karena perbuatan yang membuat Tuhan murka. Karena kita bukan Tuhan. Bayangkan kalau itu menimpa keluarga dan orang yang kita cintai, bayangkan kalau itu menimpa diri kita sendiri. Cukuplah bagi seorang beriman untuk senantiasa mendoakan dan menebar kebaikan, bukan prasangka buruk. Hargai proses dan ketetapan yang Allah turunkan kepada setiap orang, karena itu adalah karya-Nya.

Mursyid saya mengatakan takdir itu suci dan mensucikan. Jika sesuatu telah ditakdirkan terjadi, pastilah ada hikmah serta kebaikan yang banyak di dalamnya. Bukankah Allah itu Maha Baik? Kalaupun belum terjangkau dimana kebaikannya bersabarlah akan datangnya hari akhirat dimana semua hal yang luput dari pengetahuan manusia akan ditampakkan sejelas-jelasnya.

Sebagaimana kita tidak suka dibincangkan dengan buruk oleh orang lain, maka tebarkanlah hanya kebaikan dan keteduhan dari lisan dan jari jemari.

Rasulullah saw bersabda,
“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia mencintai bagi saudaranya apa yang dia cintai bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45)

*”Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya”
QS. Al A’raaf:34

Tuesday, December 25, 2018

Ada seorang penyanyi legendaris yang datang diam-diam ke sebuah konser penyanyi lain yang kebetulan membawakan lagunya. Alasannya agar si penyanyi tidak grogi dan agar perhatian publik tidak tersedot ke arahnya.

Dalam sebuah majelis seorang syaikh al akbar, Ibnu Arabi diberitahu bahwa diantara jamaahnya ada seorang dengan maqam yang lebih tinggi dari dirinya. Ia merahasiakan ahwal sebenarnya agar ketinggian maqamnya tidak menenggelamkan sang syaikh.

Allah pun sepertinya begitu, di alam dunia ini ‘bersembunyi’ di balik tabir ciptaan agar semesta dan kehidupan yang ada di dalamnya tidak tersilaukan oleh cahaya Keagungan-Nya. Maka adanya tabir sebenarnya sebuah penghormatan kepada segenap ciptaan.

Demikianlah adab Sang Pencipta dan ciptaan-Nya yang berserah diri. Senantiasa merendah, memberikan ruang, menebar kasih sayang, tidak menonjolkan diri apalagi merendahkan yang lain. 

“Bagi jiwa-jiwa yang berserah diri dan dapat menahan kehendak raganya, maka bagi mereka pahala di sisi Allah...

Mereka itulah yang mencintai Allah dan tidak mencintai emas, perak, atau beragam kesenangan dunia; akan tetapi mereka senang menempa raga mereka.

Mereka itu semasa hidupnya tidak mengejar dunia, melainkan hidup seakan-akan dalam satu tarikan nafas saja, kemudian hidup bersahaja. Adalah Allah menimpakan ujian yang banyak kepada mereka, hingga jiwa mereka suci dan bersujud memuliakan nama-Nya.”


  • Kitab Nabi Idris 108:7-9

Thursday, December 20, 2018


Takdir yang membentuk kehidupan setiap orang manusia adalah bahan baku agar membaca kodrat dirinya masing-masing. Kita tidak memilih dilahirkan dari orang tua yang mana, di titik bumi yang mana, di era tahun berapa, demikian pun semua kemampuan, potensi, kecerdasan serta kelemahan di dalam diri sudah ada benihnya masing-masing. Bedanya ada yang berkembang potensi itu dan ada yang tetap menjadi benih yang tidak tumbuh keluar bakat dirinya.

Oleh karenanya hidup itu bukan sekadar menyelesaikan masalah, bergerak dari satu ujian ke ujian lain, menutup satu lubang ke lubang lain, atau sekadar meraih satu pencapaian ke pencapaian lain. Jika jalur itu yang diikuti maka manusia sampai mati tidak akan pernah menemukan kepuasan diri dan jauh dari kebahagiaan sejatinya.

Hidup bukan sekadar kuliah di tempat yang terbaik, meraih pekerjaan yang keren, berumah tangga, membesarkan anak dan mencapai sekian banyak ambisi pribadi atau demi memuaskan keluarga dan memuliakan diri dalam pandangan manusia semata. Kenyataan Allah kerap menurunkan peringatannya bahwa apa yang kita kejar bisa jadi sebuah fatamorgana belaka. Tidak sedikit  yang sekolah tinggi-tinggi lalu jatuh dalam depresi, ada yang karirnya melejit tapi rumah tangga dan anak-anaknya berantakan, ada demikian cinta dengan keluarganya lalu harus menelan pil pahit perpisahan dengan anggota keluarga yang meninggal dunia.

Inilah kehidupan, roda yang akan terus menggerinda setiap kerak noda yang mestinya tidak menempel di cermin hati. Dengannya manusia akan digiring untuk senantiasa mencari sesuatu yang hakiki. Tentang makna sebuah keabadian, pun apa arti kebahagiaan. Kehidupan segila apapun, situasi sepelik apapun atau keadaan segenting apapun pada hakikatnya adalah sebuah rahmat-Nya yang menuntun setiap hamba yang menyerahkan diri kepada-Nya untuk meraih kebahagiaan yang sejati. Hanya dengan itu manusia menjadi lebih memaknai kehidupannya masing-masing, baik yang sudah berlalu maupun di bumi yang tengah ia pijak sekarang ini. Dengannya pula hati menjadi lebih ringan menjalani aliran sungai takdirnya.
(Adaptasi dari kajian hikmah Al Quran yang disampaikan Zamzam AJT, Februari 2010)

Tuesday, December 11, 2018

Saat bekerja sebagai pencuci piring di sebuah restoran cepat saji saya baru paham bahwa proses membersihkan peralatan makan itu tidak sederhana. Ada tiga bak dari stainless steel untuk memproses alat makan kotor, satu bak paling ujung kanan diisi oleh campuran air dan larutan zat kimia tertentu untuk merendam peralatan makan yang diliputi oleh lemak tebal, semakin tebal lemaknya semakin lama direndam. Anda harus mengenakan sarung tangan khusus karena zat kimia ini kontan bikin telapak kulit tangan jadi kasar. Beberapa noda membandel malah harus digosok dengan sabut dengan kekasaran khusus, setelah itu disemprot dengan air panas tekanan tinggi lalu alat makan dimasukkan dalam dishwasher yang mencuci dengan air panas dan sabun sampai bersih. Bayangkan derita yang harus ditempuh oleh segenap peralatan makan untuk kembali bersih itu. Untungnya mereka makhluk yang manut, tidak diciptakan berkeluh kesah.

Dalam hidup kadang fokus kita hanya sejauh pada sabut kasar yang menggerus hati atau air panas yang disiram yang bikin hati mendidih. Jalannya bisa lewat mana saja, melalui pasangan atau mantan pasangan, kolega, sesama orang tua murid, orang tua, sengketa dengan saudara kandung sendiri, difitnah oleh teman dan banyak lagi.

Tapi kalau kita boleh berhenti sejenak dan bertanya, kenapa toh Allah izinkan juga semua itu terjadi? Bukankah Allah tidak akan seujung rambut pun menzalimi hamba-Nya? Jadi apa makna di balik semua peristiwa ini?

Inilah misteri kehidupan, sebuah ruang fakir bagi kita masing-masing untuk kembali berpaling kepada Dia Yang satu-satunya mengetahui solusi jitu, jalan keluar yang haq dari setiap permasalahan juga obat dari setiap kepedihan hati. Karena setiap masalah yang muncul sebenarnya tak lain dari ‘pasangan’ dari kerak membandel yang masih nangkring di hati kita masing-masing. Dan Dia bermaksud mensucikan hati kita semua agar kembali kepadanya dengan jiwa yang tenang*

Ihwal bersabar menanggung ujian dari pasangan kehidupan ini disebutkan oleh Jalaluddin Rumi sebagai berikut;
`Menanggung dan menahan penindasan dari pasanganmu itu bagaikan engkau menggosokkan ketidakmurnianmu kepada mereka. Jika engkau telah menyadari tentang ini, maka buatlah dirimu bersih! Singkirkan dari dirimu kebanggaan, iri dan dengki, sampai engkau alami kesenangan dalam perjuangan dan penderitaanmu. Melalui tuntutan-tuntutan mereka, temukanlah kegembiraan jiwa. Setelah itu, engkau akan tahan terhadap penderitaan semacam itu, dan engkau tidak akan berlalu dari penindasan, karena engkau melihat keuntungan yang mereka berikan.`

---
* “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas lagi di-ridhai-Nya! Kemudian masuklah ke dalam (jamaah) hamba-hamba-Ku, Dan masuklah ke dalam surga-Ku!” (QS Al-Fajr [89]:27-30)


Monday, December 10, 2018

"Kamu sih ngga jadi nikah sama dia dulu, tuh dia sekarang sudah jadi pengusaha sukses."
"Wah nyesel ga ambil jurusan itu dulu, mungkin sekarang hidupku tidak sesusah ini."
"Seandainya dulu investasi di bidang itu pasti lebih makmur hidupku"
Hati-hati memikirkan apalagi sampai mengucapkan penyesalan yang tidak berguna di masa lalu- kecuali penyesalan yang bermanfaat untuk mendekat kepada-Nya - kemudian berangan-angan kosong. Karena jenis pernyataan seperti di atas adalah bagai membuka pintu setan ke dalam hati manusia. Rasulullah saw bersabda,
"Janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan 'seandainya'dapat membuka pintu syaithan” (HR. Muslim)
Sebenarnya tidak ada takdir hidup yang salah, karena setiap jalur kehidupan memiliki kebaikannya masing-masing. Adapun konsekuensi dari 'salah memilih' memang secara dunia harus dijalani, tapi sama sekali esensinya bukan keburukan jika mau dijalani dengan ikhlas. Karena mustahil Allah Sang Maha Perancang seluruh kehidupan makhluk-Nya mendesain jalan yang buruk. Hanya saja hawa nafsu kerap membuat pandangan manusia menjadi sempit, lalu kurang terampil menangkap hikmah dan kebaikan yang tersimpan di dalamnya hingga pada akhirnya menjadi tidak bersyukur.
Di titik dimana seseorang mengeluhkan pembagian rezeki-Nya, tidak menerima takdir hidup dan bahkan mencampakkan ketetapan hidupnya maka setan sudah berhasil menunaikan tugasnya, yaitu untuk menyesatkan manusia dan membuatnya tidak bersyukur seperti ikrar yang pernah dikatakan dahulu dan diabadikan dalam Al Quran. Naudzubillahimindzaliik.
"Iblis menjawab, ‘Karena Engkau telah menghukumku tersesat, maka saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur." (QS Al-A’râf [7]:16-17)

Sunday, December 9, 2018

Dua Hal Yang Dibenci Manusia

“Dua perkara yang dibenci anak Adam,
(pertama) kematian, padahal kematian itu lebih baik bagi seorang mukmin daripada fitnah (kesesatan di dalam agama). (Kedua) dia membenci sedikit harta, padahal sedikit harta itu lebih menyedikitkan hisab (perhitungan amal). (HR. Ahmad)

Kematian tidak selalu berarti kematian secara jasad yang pasti akan menjelang. Akan tetapi setiap orang yang serius mendekat kepada Allah harus memasuki fase "mati sebelum mati", yaitu mematikan kehidupan yang bukan kehidupannya sejati, mematikan keinginan yang tidak haq, mematikan amarah dan ambisi yang cenderung mengeluarkan seseorang dari pengkadaran hidup yang telah Allah tetapkan dsb.

Adapun kebanyakan manusia tidak mau 'mati', karena sedemikian terikat dengan bentuk kehidupan dan persona yang melekat dengan dirinya dimana ia tumbuh bersama persona itu. Padahal jika seseorang berserah diri (aslama) saja kepada Allah Ta'ala pasti Allah akan geser kehidupannya dan diatur langkahnya untuk menjadi dirinya yang sejati, yang untuk apa dia diciptakan. Dan di titik itulah sebenarnya letak kebahagiaan hakiki masing-masing insan, yaitu kebahagiaan yang akan abadi sifatnya dunia dan akhirat.

Sedangkan perkara menyedikitkan harta bukan berarti seseorang menjadi miskin harta, karena diantara hamba-hamba-Nya ada yang memang Allah mudahkan harta mengalir ke tangannya, akan tetapi dia menyadari bahwa diantara harta itu ada sekian banyak hak orang lain, sehingga dia tidak akan menyimpan bahkan menikmati untuk dirinya sendiri tapi akan cenderung menyebarkan bagi kebaikan semesta dunia. Itulah orang yang berfungsi sebagai 'rahmatan lil 'alamiin'. []

Monday, December 3, 2018

"Setiap orang harus berjuang membangun keakraban dengan Allah Ta'ala, itu yang akan mengubah kehidupan."
- Zamzam AJ Tanuwijaya

Ritme kehidupan akan cenderung membuat orang bosan dan lupa akan dirinya, akan fungsinya yang hakiki dalam penggal nafas yang terbatas ini. Bukan tanpa alasan mengapa Allah secara syariat mewajibkan hamba-Nya beraudiensi dengan-Nya minimal lima kali dalam sehari. Agar tegak kehidupan kita dalam jalan yang diridhoi-Nya. Dengannya maka apapun yang datang dalam ruang takdirnya apakah itu kebahagiaan, kemalangan, pertemuan, keterpisahan, suka cita atau duka yang dalam akan dijalani dengan meretas semua itu kepada sumbernya, yaitu Dia yang mengirim semua itu.

Dengan mengakrabkan diri dengan Allah, Sang Maha Pencipta manusia menjadi lebih teguh hidupnya, tidak terlampau mabuk oleh kemenangan, kejayaan atau terbukanya pintu dunia ataupun tidak putus asa, berkecil hati dan menyerah oleh badai ujian kehidupan. Karena hitam-putih, siang-malam, gelap atau terang semua dari-Nya. Dan Dia selalu memberi yang terbaik untuk segenap ciptaan-Nya.

Kita tidak bisa menahan apa yang akan terjadi pada kita, tidak bisa menghindari paparan cacian dan buruk perilaku manusia. Bahkan dalam sebuah riwayat dikisahkan apabila seseorang menyepi ke tengah samudera untuk menghindari dari kejahatan manusia, maka Allah tetap akan mengirim seseorang kepadanya yang kemudian menyakiti hatinya.

Manusia itu gudangnya kesalahan dan kelemahan, kita makhluk yang fakir, maka jangan terlampau menggantungkan harapan kepada manusia. Begitupun jangan terlampau dirundung duka pada mereka yang menzalimi kita. Semua ada dalam genggaman Allah, maka Dia yang paling berhak menjatuhkan keadilan pada saatnya nanti. Tenang saja. Tidak ada satu pun yang akan luput dalam perhitungan-Nya. Let it go...ringankan hati, karena kebanyakan sumber nestapa dan kesengsaraan manusia datang ketika kurang mengakrabkan diri dengan Allah Ta'ala, Dia yang rindu untuk dikenal.

Sunday, December 2, 2018


Ridhai pekerjaanmu, bisnismu, pasanganmu, rumahmu, orang tuamu, anakmu, mertuamu, wajahmu, bentuk tubuhmu dan lainnya biarkan orang mau bicara apa saja. Yakini itu semua pemberian dari Tuhan Yang Maha Kasih. Dia selalu memberi yang terbaik, hanya versi 'terbaik' ala manusia kerap tidak sama dengan versi-Nya. Terima dulu, sabar dan syukuri apa yang ada. Ada hari dimana semua akan dinampakkan dengan gamblang segenap kebaikan yang tersembunyi. Jangan sampai kita menjadi orang yang menyesal di hari itu. Menyesal karena kurang bersyukur dan lemah dalam bersabar.
Target suluk adalah agar sahabat-sahabat berinteraksi (baik) dengan Allah Ta'ala.
Harus, karena masing-masing kita tidak bisa menggadaikan diri kepada siapapun dan apapun. Seorang perempuan tidak bisa menyandarkan diri kepada suaminya, seseorang tidak bisa hanya mengandalkan diri pada sekadar mata pencaharian atau kekaryaan. Karena kita masing-masing akan berjumpa dengan Allah. Dalam Al Quran dikatakan  "innalillahi wa inna ilaihi raaji'uun" sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.

Kalau di alam dunia ini kita tidak terbiasa berinteraksi dengan baik dengan Tuhannya dan senantiasa mengandalkan kehidupan kepada segala sesuatu selain-Nya, kemudian seruan kita kepada-Nya hanya berupa seruan yang kering dan hanya di lisan saja, bagaimana kiranya kita bisa benar-benar menyerunya di hari akhir dalam keadaan genting yang tak terkira. Itu  adalah keadaan yang pasti kita hadapi sahabat, persiapkanlah diri untuk menghadapinya!

( Adaptasi dari diskusi suluk yang diampu oleh Zamzam AJ Tanuwijaya, 29 November 2018)

Saturday, December 1, 2018

Suatu hari saat sedang berada di toko buku sekonyong-konyong ada seorang perempuan mendekati dan berbisik, "Aku tahu kamu lelah, dia tidak memberikan banyak pertolongan untukmu. Kamu ingin tahu lebih jauh apa yang aku baca pada dirimu?" - dengan aksen Eropa Timur. "Sini, ikut aku" ajaknya dengan antusias dan senyum mengembang di wajahnya. Melihat raut wajahku yang penuh kebingungan dan keraguan, juga sedikit 'alert' jangan-jangan dia copet karena dia bicara begitu dekat denganku, maklum pernah dicopet sebelumnya - orang yang modusnya menyenggol badan dan dengan secepat kilat mengambil dompet yang ada di saku jaket. Perempuan itu berkata lagi, "Kita bicara di bangku luar saja, itu ibu dan anakku disana" sambil menunjuk kepada sebuah bangku panjang yang diduduki oleh perempuan tua dan anak laki-laki sekitar usia 10 tahun.
Aku pun melangkah keluar bersamanya, bersalaman dengan sang ibu dan anak laki-lakinya. Lalu duduk dan mendengarkan perempuan ini 'membaca' kehidupanku. Hingga pada satu titik dia berkata, "Aku punya rempah yang bisa kau manfaatkan untuk menambah energi, it's really good for you" Sambil tangannya memberikan sinyal kepada ibunya untuk memberikan sesuatu. Dan ia mengeluarkan sekantong rempah yang berbau jamu. "Smells good isn't it, for you it's only 20 euro". Oalaaah, jualan toh Cara yang manipulatif untuk berjualan. Padahal kalau dia mau datang menawarkan rempah itu apa adanya tanpa 'mumbo jumbo' tentang 'membaca kehidupanku' aku bisa saja tertarik membeli. But this? Ah...no thanks.
Saya jadi ingat dulu waktu zaman sekolah pernah ikut sebuah pergerakan 'membangun khalifah Islam''- something like that. Maklum darah muda, semangat melakukan sesuatu dengan impulsif dan masih mencari identitas. Usia yang sangat rentan untuk diubah menjadi 'radikal'. Dan saya begitu siap, sampai kepada satu titik mentornya bilang "orang yang di luar jamaah kita kafir dan karena ini situasi 'perang' maka harus mengumpulkan dana untuk berjihd, ya gamblangnya minta duit" wah ga jadi ah, ngga masuk akal buatku. Untung akal sehatku masih bisa berkata-kata dan aku pun mundur teratur. Pencarianku kemudian diganjar oleh Allah dengan menemukan guru yang tidak meminta balasan apapun, beliau menolong dengan tulus agar kita menemukan jalan yang haq menuju Allah, tanpa embel-embel 'jualan rempah' seperti perempuan di atas.
"Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” - QS Yaasiin: 21

Thursday, November 22, 2018

“Gimana dong mbak pasangan saya jarang shalat, boro-boro ikut pengajian, lantas bagaimana seharusnya sikap saya?”
Pertanyaan semacam ini kerap saya jumpai tidak hanya bagi pasangan yang ada di Indonesia tapi lebih lagi beberapa orang yang menikah dengan orang luar negeri, mereka yang bersyahadat sebelum nikah akan tetapi seiring dengan waktu tidak menjalani ibadah ritual seperti laiknya seorang muslim.
Idealnya memang suami-istri bagaikan sepasang sayap yang kompak mengepakkan sayapnya mi’raj bersama menuju Allah. Namun ada beberap situasi yang memang keadaannya demikian apa adanya, sang pasangan memang belum diberi taufiq dan hidayah untuk berjalan menuju-Nya. Tapi Allah kan Maha Kuasa, buat Dia tidak perlu sepasang kepakan sayap untuk membawa seorang hamba yang merindukan-Nya naik ke cakrawala langit menjumpai-Nya. Dia bisa mengutus para malaikat seperti yang telah terjadi pada seorang nabi bernama Idris as.
“Ah tapi itu kan level nabi”
Lho, Rasulullah juga nabi tertinggi tapi bukan berarti jejak langkah dan akhlakul karimah yang dicontohkannya tidak dapat diikuti.
Selain itu perkataan “ah kita kan manusia biasa sedangkan mereka nabi” seolah mengerdilkan kemampuan Allah yang bisa melakukan apapun dengan “kun” maka jadilah.
Kembali ke persoalan pasangan diatas. Tugas kita bersikap baik terhadap sesama, apalagi pasangan yang sudah Allah takdirkan menikah. Ada skenario besar di balik itu yang kerap luput kita baca. Barangkali kalau bukan beliau yang mendapat hidayah, adalah keturunannya yang shalih yang mendapat hidayah himgga para keturunannya hingga level cucu bisa mendoakan orang tuanya. Kalaupun takdirnya tidak mendapatkan keturunan berupa anak, bisa jadi berkah Allah diturunkan melalui berbagai amal shalih yang dilakukan di bumi tempat kita berpijak masing-masing.
Apapun keadaannya, kita pantang mencampakkan takdir hidup yang Allah sudah turunkan per saat ini. Pamali. Makan saja dengan baik semua hidangan dari langit, walaupun hawa nafsu meronta dan meminta hidangan lain yang sesuai keinginannya. Ingat adab Rasulullah dalam menyantap makanan, beliau hanya mengambil makanan yang ada dalam jangkauan tangannya. Tidak memaksakan diri mengambil makanan yang jauh. Itu adab. Etika dalam berkehidupan. Apa yang ada di kehidupan kita saat ini adalah makanan-makanan yang menyehatkan jiwa. Percayalah pada Dia yang mengirim itu semua. Jangan ngoyo menginginkan sesuatu yang tidak ada di hadapan kita, itu bisa melemahkan jiwa dan membuat kita tidak mensyukuri rezeki yang ada. Malah sepatutnya kita bersyukur masih diberi makanan…

(Amsterdam, 22 Nov 2018 di musim gugur yang makin dingin - temperature feeling 0 derajat Celcius)

Sunday, November 18, 2018

"Wah hebat dia sekarang sudah jadi CEO di PT. Sukses Banget!"
"Keren ya sudah berhasil dia punya lima perusahaan berhasil!"
"Luar biasa ibu itu sukses mengurus anak, semuanya jadi 'orang'"
Masyarakat umumnya mengaitkan definisi sukses dengan pencapaian duniawi. Yang namaya sukses itu kalau sudah punya ini-itu, mencapai ini-itu, melakukan ini-itu. Wajar saja, kebanyakan perlu dihibur dan berpengharapan dengan melihat bukti yang nyata. Tapi kalau hal itu dijadikan satu-satunya parameter ya repot. Karena secara logika dalam perusahaan tidak semua bisa jadi CEO, dalam bisnis tidak semua yang meroket. Hukum dunia mengenal piramida rezeki, seperti halnya rantai makanan di alam, ada yang lemah dan ada yang kuat yang jumlahnya lebih banyak. Oleh karenanya orang yang berkemampuan lebih berfungsi untuk menebarkan kemampuannya, apapun itu, baik berbentuk materi atau non material, kepada mereka yang berkekurangan. Demikianlah dunia dicipta dalam harmoni untuk saling berbagi dalam kasih sayang.
Semua memiliki perannya masing-masing. Oleh karenanya menjadi sangat penting untuk terlebih dahulu mengenali peran yang Gusti Allah berikan sebelum terburu-buru naik pentas dan memakai kostum yang salah serta memerankan skenario orang lain, pasti tidak pas, kalaupun dipaksakan bernyanyi pasti fals.
Negeri ini hanya akan makmur jika setiap orang tidak mengkhianati perannya masing-masing. Yang petani bertanilah dengan rajin, yang pedagang berdaganglah dengan jujur, yang politisi berkiprahlah dengan adil, yang penulis menulislah dengan hati, yang kerja di kantor bekerjalah dengan rajin, yang mengurus anak rawatlah dengan cinta. Tidak ada manusia yang tidak memiliki peran. Jangan tertipu oleh pandangan "peran besar atau kecil", itu hanya kepicikan hawa nafsu. Pahami bahwa setiap peran bernilai besar jika dilakukan dengan ikhlas. Ganjaran utuhnya memang baru terlihat nanti, sebagian di alam barzakh dan sebagian di alam akhirat, walaupun ada sebagian yang sudah bisa mencicipi manisnya karunia itu yang berjejak di kehidupan dunia. Baru nanti di alam ketika tirai dunia diturunkan terlihat siapa-siapa yang sukses memerankan peran yang diembannya masing-masing. Dan itulah kesuksesan yang sejati...

Hadirnya khazanah Langit mensyaratkan pengeringan di tingkat bumi.
Sang Maha Pemberi hanya akan melimpahkan anugerah-Nya kepada tangan yang membuka ke langit.
Suasana fakir membuat beda potensial langit dan bumi berada pada titik optimal.
Karena yang turun adalah anugerah-Nya yang suci, yang mengubah makna sebutir debu menjadi intan bernilai tinggi.
Kehadiran bayi yang mulia, Muhammad saw, disimpan di keluarga termiskin di sukunya,
Yang menyusuinya pun keluarga yang termiskin di kabilahnya,
Tapi bayi yang membawa khazanah langit membuka pintu keberkahan buminya.
Susu sang Halimah yang surut tiba-tiba mengalir deras, ternak yang kering susu tiba-tiba mengeluarkan air susu yang berlimpah, padang yang gersang berubah menjadi oase yang sejuk dan subur.
Ada kunci terbukanya khazanah Ilahiyah dibalik kemiskinan dan kekurangan.
Miskin tak selalu berarti kekurangan harta, kadang seseorang dimiskinkan pergaulannya, dibuat sepi hatinya, dibuat bingung mengambil keputusan, didera rasa frustasi dengan keadaannya, dilepas dari hal-hal yang pernah membuatnya bahagia, apapun yang menarik seseorang hingga jatuh dalam kondisi fakir, mutlak membutuhkan pertolongan Allah. Itulah saat bumi dikeringkan. Tinggal sabar menunggu hujan dari langit, ketimbang sibuk menggali sumur di padang pasir atau menunggu kabilah lain datang membawa air yang belum tentu kapan datangnya.
Sumber air kita masing-masing begitu dekat, di atas kepala kita masing-masing. Kepala yang sama yang lebih sering menunduk ke bawah mencari “harta karun” dibanding menengadah ke langit meminta hujan bagi dirinya.
“Tapi aku sudah lelah menunggu dikabulnya doaku!”
“Aku sudah muak dengan keadaanku ini!”
“Aku sudah tak tahan lagi menanggung kesulitan hidup ini.”
Astaghfirullahaladziim...
Begitu lantangnya suara hawa nafsu yang bernuansa tak sabaran itu.
Baru diuji begitu saja sudah meraung-raung, padahal proses pengeringan diri yang dianggap menyakitkan itu adalah untuk kebaikan dirinya sendiri.
Karena agar tumbuh cepat sebiji benih harus dikeringkan sebelum ditanam.
Dia adalah Sang Penanam Terbaik,
paling tahu cara menumbuhkan benih yang ada dalam diri seseorang hingga akhirnya berbuah dan menyenangkan Sang Penanam.
Jauh memang jarak pengetahuan sebuah biji untuk memahami apa makna dijemur di bawah terik matahari dengan munculnya sebuah buah yang manis dan bisa dinikmati makhluk lain dan bijinya memungkinkan menumbuhkan buah lain. Ada sekian jenjang proses dari bertahan di sebuah proses pengeringan hingga masuk ke kegelapan tanah dan menumbuhkan pohon yang dahannya menjulang ke langit. Terlalu panjang untuk diterangkan dalam panjang bacaan selama tiga menit. Maka sabar saja. Pada saatnya semua akan menjadi terang.
Belajar dari kisah bayi mulia Muhammad saw yang ditakdirkan hadir di bumi yang serba kekurangan, akan tetapi berkah kesucian jiwanya bisa membuat suasana buminya berbalik seratus delapan puluh derajat. Sekarang, apa kebutuhan yang paling urgen saat ini, keinginan yang paling menghias doa di setiap malam atau yang mewarnai nuansa hati kita dari hari ke hari? Sebelum sibuk mencari solusi horizontal, menengadahlah dulu ke langit masing-masing, tempat jiwa kita berada. Disitu letak kunci-kunci perubahan kehidupan. Karena keadaan bumi diri kita baru berubah jika kita mengubah keadaan jiwa sendiri.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang ada di dalam anfus (jiwa-jiwa) mereka” QS Ar Ra’d:11

Di tempat kerja saya ada seorang kolega yang juteknya ga ketulungan. Pokoknya setiap kali ketemu dia pengennya cepat-cepat mlipir supaya berjauhan dengan energi negatifnya. Beliau kalau bicara ketus dan kerap melempar lirikan mata tajam yang bikin hati ciut. Saya bukan satu-satunya orang yang merasa hal seperti ini. Yang lain juga merasa demikian, pokoknya “stay away from her!”
Hingga suatu malam di acara makan malam bersama rekan kantor. Ndilalah bu jutek ini out of many places memilih duduk di hadapan saya. Saya coba melempar senyuman saat dia menarik kursi untuk duduk, dan seperti biasa beliau tidak pernah membalas senyum dan sapa saya. (Mengelus dada). Saya coba fokus saja dengan menu udang dan kepiting goreng nikmat yang ada. Sampai pada satu titik dimana dia coba selfie - mengambil foronya sendiri dan saya menawarkan diri untuk ambil beberapa foto dari berbagai sudut. Ternyata dia sangat suka difoto dan minta saya ambil beberapa foto lagi dan dia suka! Dan akhirnya sesi makan malam berubah diselingi sesi foto karena saya arahkan gaya dia bersama rekan lain untuk ambil beberapa gambar yang menarik. Saat itu suasana mulai mencair, dia berkisah banyak, tentang perjuangan hidupnya, tentang masa-masa getirnya. Saya jadi paham bahwa kemasaman wajah yang beliau tampakkan adalah residu dari perjuangannya melawan dirinya sendiri melalui ujian kehidupan.
Bukan sekali ini saya berinteraksi dengan orang yang sangat masam awalnya tapi kemudian jadi berkawan akrab setelah mereka membuka dirinya, dan selalu didahului dengan kita yang membuka diri dan menawarkan sesuatu kebaikan yang akhirnya mereka terima.
Ada kegetiran tersembunyi di balik perilaku tidak sopan dan menjengkelkan seseorang. Itu yang kadang kita luput melihatnya karena tersentak oleh aura sifat buruknya semata.
“Everybody fights their own battle, so be kind” begitu kata orang bijak.
Oh, dan mbak yang tadinya jutek itu setiap kali bertemu saya jadi super duper ramah dan mengembangkan senyum lebar. It’s amazing how things can change over a small favour of taking somebody else’s picture.

“Aku berkarya apa dong ya? Nulis kurang bakat. Berorganisasi gagap. Mau kesana-sini terbatas kemampuan dan waktunya...”
Saya bilang begini,
Tidak ada seorang manusia pun yang kosong dari potensi dan bakat,
Yang semua itu harus dialirkan agar semakin tumbuh jiwa dalam diri.
Kalau jiwa tumbuh, dia makin pintar,
Tidak mudah terombang-ambing oleh riak kehidupan,
Tidak mudah patah semangat,
Tidak gampang tersinggung,
Tidak bingung putung oleh kenyataan kehidupan.
Jiwa yang berakal selalu bisa melihat kebaikan bahkan yang terselip dalam sebuah tragedi sekalipun.
Karena Allah Ta’ala yang langsung mengajarinya.
Sekarang, jangan bermentalitas “saya tidak bisa apa-apa” atau “saya tidak punya bakat”. Hati-hati jangan membuat tersinggung Sang Maha Pencipta.
Bukankah kita masih hidup per saat ini?
Itu adalah modal utama
Karena mereka yang sudah habis masa pakai raganya sudah tak bisa beramal lagi. Bagi mereka adalah waktu menuai amalan yang telah mereka lakukan. Jika rajin beramal maka besar panennya, jika malas-malasan ya...semoga Allah mengampuni.
Sekarang lihat diri sendiri. Ragamu sudah dirawat baikkah? Sudah mandi bersih? Potong kuku seminggu sekali seperti yang disunnahkan Rasulullah?
Lihat sekitar, anak-anakmu sudah beres kau rawat? Pasanganmu sudah diberi haknya dengan baik? Lalu orang tuamu, sudahkah menyapa mereka? Juga adik dan kakak walau sekadar sapa melalui whatsapp. Belum terhitung tetanggamu, rekan kerjamu. Semua punya haknya masing-masing. Juga termasuk mejamu yang sudah berdebu, wc rumahmu yang berjamur, tanaman di kebun yang sudah berhari-hari tak diairi. Semua itu adalah apa-apa yang Dia hadirkan dalam semestamu. Disitulah kau harus berkarya.
Jangan terpaku pada bentuk kekaryaan monumental seperti membuat proyek, membuat buku, bicara sana-sini, membuat mesjid dll. Silakan lakukan jika memang Allah memudahkan langkahmu ke sana. Tapi jangan persempit makna sebuah kekaryaan sebagai sesuatu yang harus diakui orang dan mendapat jempol dan decak kagum orang banyak. Itu ilusi. Anak tangga kekaryaan kita masing-masing ada di kehidupan yang tengah kita pijak saat ini. Tak perlu jauh-jauh. Dan yang menentukan nilai sebuah karya hanya keikhlasan hati kita masing-masing saat menjalaninya.
So let’s get back to work!
Mari kita bangun tangga menuju Allah dari dunia kita hari ini

Sunday, November 11, 2018

Ada rahasia di waktu malam,
Kehidupan langit lebih sibuk dibanding siang hari,
Lima belas berbanding seribu*,
Demikian perbandingan kesibukan para malaikat yang diutus di siang dan malam hari.
Waktu malam adalah waktu yang dinanti oleh para pecinta sejati
Mereka yang menjauhkan lambung dari tempat tidurnya**,
Saat mata jasad harus diistirahatkan sesaat, mata jiwa memiliki kebutuhan lain,
Menanti Sang Kekasih yang makin mendekat*** di sepertiga malam terakhir,
Inilah saat yang dinantikan
“Bohong!” Kata Sang Kekasih. “Mereka yang mengaku mencintai-Ku akan tetapi terlelap pada saat ini.”

* Pada siang hari, lima belas miriad malaikat berjaga, dan di malam hari seribu miriad malaikat menjaganya. (Kitab Nabi Idris (2). Ayat 12)
** “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedangkan mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap.”(QS As Sajadah: 16)
*** “Keadaan paling dekat seorang hamba dengan Rabbnya adalah di tengah malam terakhir. Jika engkau bisa menjadi bagian dari orang yang berdzikrullah ketika itu, lakukanlah.”(HR Tirmidzi)

(Amsterdam, 11 November 2018. Menuai inspirasi saat menerjemahkan Kitab Nabi Idris (2))