Sebenarnya kita harus berterima kasih kepada orang-orang yang kita anggap menyebalkan: kepada orang yang nyalip mobil saat macet secara serampangan, kepada rekan kerja yang memfitnah, kepada kenalan yang susah ditagih hutangnya. Pun mereka yang menyakiti hati kita; bisa jadi pasangan yang berulah, orang tua yang berkata menyakitkan dan lain-lain.
Mursyid saya berpesan bahwa orang beriman niscaya akan banyak dihujani dengan hal yang tidak menyenangkan. Kenapa? Targetnya justru mengukur gejolak hati masing-masing, sejauh mana hati menyerang balik, sebesar apa keganasannya. Semakin udah hati diombang-ambing dan reaktif oleh fenomena luar itu menunjukkan betapa jauh ia dari derajat nafs muthmainnah (jiwa yang tenang).
Ketika mudah meledak emosi saat di keseharian yang dipicu oleh berbagai macam hal: tingkah anak-anak, perilaku asisten rumah tangga, respon pasangan, kelakuan tetangga dsb. Di titik itu kita tengah diberi pertolongan oleh Allah berupa dihadirkannya sebuah cermin yang memantulkan keadaan dalam diri, sesuatu yang sangat susah untuk diteropong karena kebanyakan manusia hanya sibuk berkutat kepada membalas dendam dan mencari solusi horizontal, yang dia pikir bisa memadamkan persoalan. Padahal masalah yang sebenarnya adalah api di dalam hatinya yang jika itu dibawa meninggal dunia ia akan mewujud dan membakar jiwa kita di alam berikutnya, naudzubillahimindzaalik.
Itulah sebabnya dikatakan pemberian yang terbaik kepada seorang manusia adalah kesabaran, karena dengan kesabaran itu dia bisa menerima semua pukulan kehidupan dan melihat bahwa itu semua adalah kebaikan untuk semakin menjernihkan jiwanya yang lama tercelup dalam nuansa dunia berdekade lamanya. Jiwa bentukan yang lupa akan dirinya yang sejati dan lupa arah pulang. Padahal setiap detik masa pakai jasad sebagai kendaraan jiwa semakin berkurang, sementara langkah semakin menjauh dari tujuan menuju sekian fatamorgana yang ia anggap bisa membawa kebahagiaan.
Dengan kesadaran mengenai kebaikan yang hakiki di balik musibah atau sekian keadaan yang kita kerap anggap tidak menyenangkan ini, maka semakin legowo mestinya kita menapaki kehidupan, semakin mudah memaafkan, dan tenang menjalani setiap ‘treatment’ dari-Nya. Sehingga kita mencapai derajat jiwa muthmainnah. Ibnu Arabi berkata, “Hanya jiwa muthmainnah-lah yang mampu kembali kepada Allah.”
“Jika dirimu diserang dan dadamu tidak balik menyerang itu (tanda) muthmainnah.” – An Niffari
(Habil menjawab), “Sungguh kalau engkau menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan sekalian alam…”(QS Al Maa’idah : 28-29)
No comments:
Post a Comment