Sunday, November 25, 2012

Perbedaan Orang Yang Sabar dan Orang Yang Ridha

Ketahuilah bahwa orang yang bersabar belum tentu ia ridha. Sebaliknya orang yang ridha pasti sabar, karena orang yang ridha dapat menerima dengan pasti segala akibat apa pun. Hal demikian ibarat seseorang yang lupa menaruh sekantung urang dirham miliknya, sedangkan ia tidak memiliki apapun selainnya. Dadanya menjadi bergejolak dipenuhi rasa sedih akan bayangan kemiskinan yang ia alami. Hal itu tampak jelas dalam keadaan dan raut wajahnya yang dipenuhi rasa sedih. Kemudian seorang yang sangat kaya, selalu menepati janji, dermawan dan terpercaya berkata kepadanya: “Pada awal tahun nanti saya akan mengganti setiap dirham (dari hartamu yang hilang itu) dengan satu dinar.” Orang yang kehilangan tadi menjadi tenang karena ucapan orang ini, sebagian dari gejolak hati dan rasa gundahnya pun menjadi tenang. Tetapi ia masih merasa sedih dan dadanya masih terasa sempit. Artinya, selama tenggang waktu menunggu hingga awal tahun nanti ia dapat bersabar walaupun terpaksa, tetapi ia terus diliputi oleh keinginannya dan rasa sedihnya itu. Dalam keadaan terpaksa bersabar ini, bebannya menjadi ringan.

Perumpamaan lain adalah seorang yang tidak tahu apakah ia kehilangan sekantung uang dirham miliknya, karena ia memiliki banyak rumah yang dipenuhi permata yang tidak ternilai harganya. Sehingga ia tidak merasa kehilangan sekantung dirham tersebut, ia tidak memperdulikannya. Keadaannya seperti orang yang kehilangan satu fals, sedangkan ia memiliki sekantung dirham.

Orang yang pertama kegembiraan mereka karena harta dan keadaan, sedangkan orang yang kedua kegembiraannya karena Allah, serta keutamaan dan rahmat-Nya. Ia senantiasa mengharap perlindungan dan pertolongan dari Allah. Orang yang pertama hatinya tertawan oleh bentuk-bentuk kebendaan, ia telah dibelenggu oleh manisnya kebendaan. Orang yang kedua hatinya telah merasa tenang oleh kedekatannya kepada Allah. Orang pertama kecenderungan hatinya terhadap segala sesuatu kebendaan. Sedangkan orang kedua selalu disibukkan oleh Allah, ia senantiasa kembali dan menuju kepada-Nya.

Kenikmatan Menerima Kehendak Allah SWT

Kenikmatan menerima kehendak Allah Swt dalam hatimu hanya dapat dirasakan sebatas kadar cintamu kepada-Nya. Dan kadar cintamu kepada-Nya dapat kau rasakan sejauh kadar ma’rifat (pengetahuan)mu akan kekuasaan-Nya. 

Semakin kamu mengenal-Nya bahwa Allah Swt adalah Yang Tertinggi di atas apapun maka semakin tinggilah kedudukan-Nya dalam dirimu, dan semakin cintalah kamu terhadap-Nya. Oleh karena itu, pepatah mengatakan, “Orang yang paling mencintai Allah adalah orang yang paling mengetahui-Nya dan paling mengenal-Nya.” 

Dalam hal ini Badil Al ‘Uqaili berkata, “Barangsiapa mengenal Allah, ia akan mencintai-Nya. Dan barangsiapa mengenal dunia ini, maka ia akan bersikap zuhud terhadapnya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak). 

Berkata Sufyan Ats Tsauri rahimahullah, “Hajjaj bin Farafishah menyitir perkataan Badil rahimahullah berikut ini, ‘Barangsiapa tidak mampu mengendalikan diri, maka ia hanya dapat menerima segala ketetapan dan kehendak Allah sebatas keimanannya saja, ia dapat bersabar atas segala perkaranya sebatas ketakwaannya saja dengan dipenuhi rasa berat hati serta kehidupan yang susah dan sulit. Dan barangsiapa mampu mengendalikan dan mengarahkan dirinya, maka nafsunya akan tunduk serta terlepas dari perangai buruknya dan Allah akan memberinya pertolongan serta menepati janji-Nya.”

Para Kekasih Allah, Tidak Ada Kekhawatiran Pada Mereka

“Para kekasih Allah, tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak (pula)mereka berduka cita.”(QS Yunus [10]:62

Hati mereka bercahaya oleh keyakinan, sehingga keadaan mereka tidak berubah walaupun ketika mendapat musibah. Setiap mereka mendapat kesulitan atau kemudahan, rasa takut atau rasa aman, hina atau mulia, musibah atau kenikmatan, mata hati mereka akan segera melihat bahwa hal yang menimpa mereka memang telah tertulis dalam Lauh Mahfuzh sebagaimana yang mereka alami saat itu, dan hal ini sudah menjadi ketetapan dari Allah Swt. Dalam diri mereka tidak ada keinginan atau hawa nafsu yang memberatkan mereka dalam menerima ketetapan Allah ini. Mereka menyambut ketetapan-Nya dengan wajah yang riang gembira dan berseri-seri. Mereka adalah orang-orang yang selalu rela dan bersabar
.
Kebalikan dari mereka adalah orang-orang yang menerima ketetapan dari Allah dengan rasa tidak senang dan berat hati. Hal ini disebabkan karena keinginan mereka masih kuat dan hidup dalam diri mereka, ditambah dengan keyakinan yang lemah sehingga mereka tidak melihat adanya kehendak dan kasih sayang Allah pada mereka dalam menetapkan perkara tersebut. Mereka tidak merasakan adanya kenikmatan dalam menerima kehendak Allah ini. Kenikmatan menerima kehendak (yang seharusnya mereka rasakan) telah bercampur dengan pahitnya nafsu, sehingga kenikmatan tersebut lenyap terbawa pahitnya hawa nafsu, sebagaimana halnya kamu menemukan pahitnya obat, lalu kamu mencampurnya dengan madu atau gula dan sebagainya sehingga dapat mengalahkan rasa pahit serta menghilangkannya.



Agar Tidak Berduka Cita Di Dunia

Orang-orang yang diberi pemahaman oleh Allah selalu berusaha mengendalikan dan mengintrospeksi dirinya. Mereka berujar, “Bagaimana caranya agar kami tidak berduka cita atas hilangnya kekayaan dan kenikmatan duniawiyah, dan bagaimana caranya agar kami tidak banyak mengangankan kesenangan duniawiyah ini?” Mereka mencari sebab darimana datangnya bahaya yang menimpa mereka (yang disebabkan keinginan duniawiyah). 

Mereka dapati bahwa ketika diri mereka menginginkan sesuatu, mereka mengatakan dan mengangankannya kemudian berusaha mencari dan mendapatkannya sekuat tenaga, mereka berikan harapan pada diri mereka akan keberhasilan mendapatkannya. Ternyata ketika mereka tidak berhasil meraihnya, mereka bersedih dan berduka atasnya. Akhirnya mereka dapat memahami bahwa sedih dan duka ini diakibatkan oleh angan-angan untuk mendapatkan keinginan tersebut, juga karena mereka memberikan suatu harapan pada diri mereka akan keberhasilan mendapatkannya. Akibatnya, diri mereka terlanjur merasa senang jika keinginan tersebut tercapai, dari sini semakin kuatlah nafsu untuk mendapatkannya. 

(Setelah memahami hakikat ini) akhirnya mereka berusaha mengendalikan diri dengan cara meninggalkan keinginan-keinginan dan memutus angan-angan sehingga padamlah api syahwat dan keinginan dalam diri mereka. Mereka berusaha melawan hawa nafsu dan ajakannya hingga akhirnya hawa nafsu pun tunduk. Jika datang suatu perkara atau terlintas suatu keinginan dalam hati, mereka tidak mengangankannya juga tidak memberikan suatu harapan, mereka menunggu kepastian takdir yang telah tertulis di Lauh Mahfuzh sebelum Allah menciptakan langit dan bumi, mereka menyerahkan semua urusan pada Allah, tunduk pada kebijaksanaan Allah Swt seperti tunduknya seorang hamba pada tuannya. 

Maka (dengan sebab ini) mereka dapat hidup di dunia ini dengan mendapat derajat yang tinggi di sisi-Nya, dengan kedudukan yang paling mulia, hati yang sangat tenang dan kehidupan yang bahagia dan tentram di bawah naungan agama Islam. Mereka mati (dari segala keinginan dan angan-angan duniawiyah) dengan membawa kesenangan dan kebahagiaan, sehingga mereka dapat berjumpa dengan Tuhan yang tidak murka. Mereka ridha terhadap Allah, dan Allah pun ridha terhadap mereka. Mereka diberi pertolongan, kemauan dan kekuatan batin, kebersihan hati dan kemenangan terhadap musuh di dunia ini, dan mendapat kedekatan serta kasih sayang Allah di akhirat nanti.
 
“Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, sesungguhnya golongan Allah itulah
golongan yang beruntung.” (QS Al Mujaadalah [58]:22)

(Imam At Tirmidzi)

Friday, November 23, 2012

Ketika Jiwa Guncang

-->
Seorang ahlul yaqiin apabila karena keyakinannya masih kurang atau karena dikuasai hawa nafsu dan syahwat lalu jiwanya goncang dan bimbang akan jaminan Allah Swt, maka ia akan berkata pada jiwanya: “Wahai jiwa! Mengapa kamu goncang?” Jiwa akan menjawab, “Karena aku diciptakan selalu butuh dan memiliki keinginan-keinginan. Aku tidak bisa melihat tempat apapun, aku pun tidak mengetahui waktu juga kadar perkiraannya. Cara mencapainya bagiku adalah sesuatu yang samar!” 

Lalu ia kembali berkata pada jiwanya, “Wahai jiwa! Jika engkau memang beriman kepada Rabb-mu, maka sudah selayaknya apabila firman-Nya, serta janji, jaminan dan tanggungan-Nya lebih kuat dan lebih kau percaya daripada apa yang kau lihat. Karena penglihatan terkadang salah, terkadang engkau pun tersihir oleh keindahannya. Engkau melihatnya seperti itu padahal sebenarnya tidak seperti itu. (Penyihir pada dasarnya tidak merubah keadaan sesuatu, melainkan hanya merubah panglihatan orang yang melihatnya seolah-olah sesuatu yang dilihatnya itu tidak seperti keadaan lazimnya). 

Firman Rabbul ‘Alamiin lebih benar, lebih kuat dan lebih dapat dipercaya daripada penglihatanmu sendiri. Jika sekiranya engkau diperlihatkan sesuatu oleh rajamu, engkau pasti percaya dan merasa tenang. Maka sudah sepatutnya engkau harus lebih percaya dan lebih tenang akan jaminan Raja diraja; Allah Rabbul ‘Alamiin. Seandainya engkau memiliki sebuah buku catatan dimana didalamnya tertulis nama orang-orang yang berhutang kepadamu, tercatat di dalamnya si Fulan berhutang 1000 Dirham, si Fulan 1000 Dinar, si Fulan 10.000 Dirham, apakah engkau akan merasa tenang?” Apabila kamu mendapati jiwamu menuntut untuk melihat buku tersebut, dan (setelah melihatnya) ternyata ia tidak goncang atau bimbang karena mendapati orang-orang yang tercantum namanya adalah orang-orang yang dapat dipercaya serta selalu menepati janji, maka berikanlah padanya “buku catatan Rabbul ‘Alamiin” yaitu Al Qur’an Yang Mulia, yang tersimpan dalam Lauh Mahfuzh, yang diturunkan oleh Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang dibawa oleh Ruh yang terpercaya (Ar Ruuhul Amiin: Jibril a.s.) ke dalam hati Muhammad, Rasulullah saw, utusan Tuhan semesta alam. Kemudian bukalah lembaran-lembarannya, maka kau akan mendapati “ayat rizki” dimana Allah berfirman:

“Tidak ada satu binatang melata pun di bumi ini melainkan kewajiban Allah lah memberi rizki mereka.” (QS Hud [11]:6)

Lalu katakanlah pada jiwamu, “Wahai jiwa yang tenang, ketika engkau mendapati nama orang-orang yang tertulis dalam buku itu engkau merasa aman dan tidak takut menjadi faqir, dan engkau pun menjadi tenang. Lihatlah Mushaf ini, didalamnya tertulis “kewajiban Allah lah memberi rizki mereka” Apakah Mushaf ini lebih agung, lebih benar, lebih baik dan lebih menepati janji ataukah buku catatan piutang itu? Apakah engkau tidak merasa malu bertemu Rabb-mu dalam keadaan seperti ini? Aku dapat memahami mengapa engkau merasa guncang dan bimbang setelah sebelumnya engkau merasa yakin akan jaminan-Nya. 

Semua ini adalah karena engkau memiliki banyak keinginan; engkau ingin mulia lalu engkau berusaha lari dari kehinaan, engkau menginginkan berbagai macam kenikmatan makanan lalu engkau lari dari kemiskinan, engkau punya keinginan tercapai cita-cita lalu engkau lari dari kegagalan pencapaiannya. Engkau menjadi guncang hanya karena engkau menginginkan rizkimu datang saat ini juga, sedangkan Tuhan-mu menghendakinya di saat yang lain. Engkau menginginkan keadaan tertentu padahal Tuhanmu menghendaki keadaan yang lain. Engkau menginginkan suatu ketenangan dalam suatu hal, sedangkan Tuhan-mu menghendakinya dalam bentuk yang lain. Engkau menginginkan banyak hal, tetapi Tuhan-mu menghendaki hal yang bahayanya lebih sedikit, sehingga engkau tidak dikalahkan oleh keinginanmu dan dilemparkan ke dalam jurang kecelakaan. Akhirnya dengan penuh penderitaan dan keluh kesah engkau akan mendatangi para hakim melalui berbagai cara yang hina, kotor, dan tipu daya yang menjijikkan demi ketenangan nafsumu. Lalu engkau akan menolak hukum-hukum yang menjadi hak Allah Swt, engkau tidak segan untuk memutus silaturahim, membenci sesama, menganggap remeh hak-hak kaum muslimin dan orang-orang yang beriman, lari dari memenuhi hak-hak mereka, dan engkau menjauhi orang-orang yang terhormat di sisi Allah, sehingga akhirnya engkau menjadi sangat zhalim dan sewenang-wenang. Saat itulah ancaman Allah terngiang di telingamu melalui firman-Nya:

“Kami akan memasang timbangan yang adil pada hari Kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Jika (amalan itu) hanya seberat atom pun Kami pasti akan mendatangkan (pahala)nya. Cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (QS Al Anbiyaa [21]:47)


Agar Hati Menjadi Tenang

Dalam hal rizki dan sumber kehidupan, ahlul yaqiin menyerahkan sepenuhnya kepada Allah serta menjadikannya sebagai Wakil (yang kepada-Nya dipasrahkan segala perkara). Karena mereka telah yakin bahwa Allah lebih menyayangi mereka daripada mereka sendiri terhadap dirinya, Allah lebih berhak terhadap diri mereka karena Allah telah menciptakan dan membentuk mereka, lalu menyusun dan menjadikan mereka makhluk yang sempurna serta seimbang.

Mereka sama sekali tidak memiliki ilmu dan kuasa atas apa-apa yang telah diatur oleh-Nya. Mereka meyakini bahwa Allah adalah Raja Yang Maha Kuasa dan Maha Perkasa, Allah berbuat sesuai kehendak-Nya. Ilmu Allah telah sempurna, Ia mengetahui apa yang akan terjadi pada mereka, apa yang bermanfaat dan apa saja yang membahayakan mereka.

Lauh Mahfuzh telah mencatat mereka beserta segala sesuatu yang berkaitan dengan mereka. Allah dapat dicapai oleh hati secara nyata. Bagi mereka, segala hal yang dicapai dan didapat oleh hati adalah lebih dapat dipercaya daripada hal yang tidak dapat dilihat oleh hati. Mereka tidak meragukan kemampuan hati ini. Allah menciptakan Lauh Mahfuzh dan menetapkan takdir-takdir mereka bukanlah karena Allah membutuhkan hal tersebut, tetapi agar hati manusia lebih mantap, agar jiwa menjadi tenang dan tentram atas apa-apa yang telah tertulis di Lauh Mahfuzh.

Sehingga apabila nafsu menjadi tenang, ia akan konsentrasi beribadah, menjaga hukum-hukum Allah, dan melaksanakan segala perintah-Nya. Segala bisikan dan keinginan nafsu pun hilang dalam hati, karena nafsu telah putus asa ketika mengetahui bahwa segalanya telah digariskan. Dalam keputusasaan inilah nafsu menjadi tenang dan tentram.

Tanda Hati Bercahaya

Orang yang hatinya diberi cahaya oleh Allah Swt, makrifatnya akan kuat dan dipenuhi cahaya keimanan. Hatinya menjadi istiqamah dan mantap. Jiwanya menjadi tenang, tentram, penuh percaya dan yakin. Ia akan menyerahkan segala perkara dan urusannya pada Allah Swt. 

Jika setan membisikinya dalam urusan rezeki dan sumber kehidupannya, hatinya tidak gundah atau goncang, karena ia sungguh yakin bahwa Allah sangat dekat padanya, Allah tidak pernah lalai atau lupa, Allah Maha Pengasih dan Penyayang, Allah Maha Pengampun dan Welas Asih, Allah Maha Adil dan tidak akan berbuat zalim, Allah Maha Kuasa, tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi-Nya, Allah melindunginya dan Allah tidak perlu perlindungan dari yang lain. 

Sebagaimana Allah telah menciptakannya dalam keadaan memiliki keinginan dan kebutuhan, maka Allah pun akan memberinya sesuai dengan kehendak-Nya, bukan kehendak hamba-Nya, dengan kadar yang ditentukan oleh-Nya, bukan oleh hamba-Nya, dalam waktu yang ditentukan-Nya, bukan oleh hamba-Nya. 

(Imam At Tirmidzi)

Thursday, November 1, 2012

Bangun Dalam Keadaan Buta

Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku Maka baginya penghidupan yang sempit Dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta Padahal sungguh sebelumnya ia adalah orang yang melihat (QS Thahaa [20: 124-125)

Akan ada suatu masa dimana setelah akhir kehidupan alam raya, kiamat tiba dan setelah itu semua manusia akan dibangkitkan di alam mahsyar. Jiwa-jiwa yang dibangkitkan itu akan dipasangkan dengan raga yang baru, raga yang merupakan cerminan dari kondisi terakhir hati manusia saat ia meninggal. Jadi raga manusia saat itu bisa lebih baik atau lebih buruk daripada raga yang ia miliki sewaktu di dunia.

Apabila ketika ajal menjemput hatinya masih buta, maka si raga baru akan buta, seperti yang digambarkan di ayat Al Quran di atas. Bahkan Rasulullah saw bersabda bahwa di akhirat nanti ada orang yang dibangkitkan raganya manusia tapi kepalanya unta, atau raganya seperti harimau (karena meninggal masih menyimpan amarah, yang merupakan sifat hewaniyah), ada yang bangkit mempunyai lidah yang sangat luas karena lisannya selama di dunia sering menghina orang. Tidak sedikit riwayat mengenai kehidupan alam setelah kiamat diceritakan. Artinya raga yang dibentuk kembali dalam kehidupan berikutnya akan tergantung kepada kondisi hati seseorang saat ia meninggal. Kalau hati busuk, penuh kebencian, amarah dan dendam maka bentuk raga akan tak beraturan, sebaliknya kalau hatinya baik maka bentuk raganya baik pula.

Dalam kisah Nabi Isa Al Masih, berkata beliau saat berkunjung ke pemakaman “Ini (kuburan) orang yang sudah meninggal, mari kita lihat apa yang dia bawa saat ia meninggal”. Karena Nabi Isa adalah Ruhullah, maka bisa membangkitkan orang yang telah mati. Kemudian sang nabi berkata “Bangkitlah hai hamba Allah!” Begitu bangkit orang itu langsung berkata “mana keledaiku, mana keledaiku?” Menunjukkan bahwa saat ia hidup yang mendominasi pikirannya adalah keledainya. Suatu gambaran bahwa apa yang terbawa mati di alam pikiran juga akan terekam dan mewujud di sana.

Maka kalau kita meninggal jangan sampai urusan dunia terbawa, bisa dibayangkan di alam mahsyar nanti cari ‘keledai’nya masing-masing, tentu melelahkan dan menyiksa. Bukan berarti kita tidak boleh menikmati atribut dunia, silahkan saja asal jangan sampai ‘nangkring’di hati kita sehingga kadar cinta-Nya melebihi kecintaan kepada Allah, kecintaan kepada beribadah kepada-Nya.

Semoga kita termasuk hamba-Nya yang dibangunkan di alam nanti dalam keadaan baik. Aamiin.

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)

Wednesday, October 24, 2012

Tashawuf (Syaikh Abdul Qadir Jailani)

Istilah shufi berasal dari kata Arab “shaf” yang berarti suci. Kaum sufi diberi gelar ini karena alam batin mereka disucikan dan diterangi oleh cahaya ilmu, tauhid, dan keesaan. Dalam pengertian lain, mereka disebut sufi karena secara ruhani mereka dekat dengan para sahabat Rasulullah yang disebut “Ahlu Shufah” (Ahlu Shufah juga sering dimaknai sebagai para penghuni serambi. Sebutan ini merujuk kepada para sahabat Nabi saw. yang tinggal di serambi Mesjib Nabawi. Mereka adalah para sahabat yang fakir dan selalu beribadah kepada Allah- pen) – yang berbaju kasar terbuat dari bulu domba. Bahkan, mereka sendiri mungkin selalu mengenakan pakaian kasar dan murah yang terbuat dari bulu domba (shuuf) dan banyak pula dari mereka yang selalu mengenakan pakaian usang penuh tambalan.

Seperti penampilan lahir mereka yang miskin dan hina, begitu pula kehidupan duniawi mereka. Mereka sangat bersahaja dalam makan, minum dan kesenangan duniawi lainnya. Dalam kitab berjudul al-Majma’ dikatakan, “Kaum sufi adalah mereka yang bersikap sederhana dalam pakaian dan pandangan hidup.” Mungkin saja mereka tampak tertarik oleh kehidupan dunia. Namun, pengetahuan mereka diwujudkan dalam perilaku yang sopan dan santun sehingga orang-orang lain tertarik kepada mereka. Sesungguhnya mereka merupakan teladan bagi manusia. Mereka mngikuti ajaran-ajaran Allah. Dalam pandangan Tuhan, mereka berada di garis terdepan manusia; dalam pandangan para salik, terlepas dari penampilan lahiriah, mereka adalah orang-orang yang menawan hati. Mereka memiliki ciri yang sangat khas, karena mereka telah mencapai tingkatan tauhid yang sesungguhnya.

Dalam bahasa Arab, kata tashawwuf, terdiri atas empat huruf, t, sh, w, dan f. Huruf pertama, t, adalah singkatan dari tawbah, tobat. Inilah langkah pertama yang harus ditempuh di jalan ruhani, yang meliputi langkah lahir dan langkah batin. Langkah lahir ditempuh dengan perkataan, perbuatan dan perasaan. Secara lahiriah, orang yang bertobat harus memelihara hidupnya dari dosa dan maksiat serta condong kepada ketaatan; ia harus membebaskan diri dari penyimpangan dan kekafiran, seraya mencari keridhaan dan keselarasan. Langkah batin tobat ditempuh oleh hati. Langkah ini ditempuh dengan menyucikan hati dari segala noda dan salah. Langkah ini bersumber dari perlawanan terhadap hasrat duniawi dan keteguhan dalam kesucian. Tobat – yang merupakan kesadaran atas dosa dan kemestian meninggalkannya, juga merupakan kesadaran atas kebaikan dan tekad untuk mengamalkannya – akan membawa seseorang kepada tingkatan kedua.

Tingkatan kedua adalah keadaan tenang dan bahagia, shafaa. Tingkatan ini pun meliputi dua langkah, yakni langkah menuju kesucian hati, dan langkah menuju inti hakikatnya.

Ketentraman datang dari hati yang bebas dari kecemasan. Kecemasan disebabkan oleh kesenangan kepada dunia – makanan, minuman, tidur, dan cengkerama. Semua ini, seperti daya tarik bumi, menurunkan eter hati. Tentu saja, membebaskan diri dari tarikan duniawi merupakan langkah yang sangat berat dan melelahkan. Perjuangan itu menjadi semakin berat karena ada ikatan lain yang membelenggu eter hati ke bumi, termasuk hasrat, kekayaan, juga cinta istri dan anak-anak.

Cara membebaskan dan menyucikan hati adalah mengingat Allah. Pada awalnya, zikir dilakukan secara lisan dengan menyebut nama-Nya berulang-ulang, melafalkannya dengan keras sehingga kau dan orang lain mendengar dan mengingat-Nya. Ketika ingatan kepada-Nya telah mantap, zikir berlangsung dalam hati dan menjadi bagian batin; yang tertinggal hanya keheningan. Allah berfirman:

Sesungguhnya orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) (QS Al Anfaal [8]: 2)

Gemetar berarti kagum, takut, dan cinta kepada Allah. Dengan berzikir menyebut asma Allah, hati terjaga dari kelalaian, dibersihkan dan diterangi. Dengan begitu, bentuk dan rupa rahasia alam ghaib akan terpantul padanya. Rasulullah saw. bersabda, “Para ulama secara lahir mengunjungi dan memeriksa segala sesuatu dengan pikiran mereka, sedangkan kaum bijak secara batin sibuk membersihkan dan menerangi hati mereka.”

Inti hati akan meraih ketentraman jika telah disucikan dari segala sesuatu dan dipersiapkan untuk hanya menerima zat Allah, yang akan memasukinya jika ia telah dihiasi oleh cinta Ilahi. Inti hati dapat dibersihkan dengan zikir batin dan terus-terusan melafalkan kalimat tauhid “laa ilaaha illallaah” dengan lidah hakikat. Ketika hati dan intinya berada dalam keadaan tenteram dan bahagia maka tingkatan kedua, yang disimbolkan oleh huruf sh menjadi sempurna.

Huruf ketiga, w, adalah singkatan dari wilayah, yakni tingkat kewalian para pecinta dan kekasih Allah. Tingkatan ini bergantung kepada kesucian batin. Dalam kitab suci Alquran disebutkan bahwa para wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, dan bahwa bagi mereka berita gembira di kehidupan dunia dan (di kehidupan) akhirat… (QS Yunus [10]: 62 , 64).

Orang yang telah mencapai maqam kewalian sepenuhnya mencintai dan terhubung kepada Allah. Buah keadaan ini adalah perilaku yang sopan dan kepribadian yang hangat. Inilah karunia Ilahi yang dianugerahkan kepadanya. Rasulullah saw. bersabda, “Perhatikanlah akhlak Allah dan berperilakulah sesuai dengannya.” Pada tingkatan ini, seseorang telah menghapuskan sifat-sifat duniawinya yang fana dan menyatu dengan sifat-sifat Ilahi. Dalam hadis qudsi, Allah berfirman:

Jika Aku mencintai hamba-Ku, Aku menjadi matanya, telinganya, lidahnya, tangannya, dan kakinya. Dia melihat melalui Aku, dia mendengar melalui Aku, dia berbicara melalui Aku, tangannya menjadi tangan-Ku dan dia berjalan bersama Aku.

Sucikan hatimu dari segala sesuatu dan ingatlah hanya kepada Allah, sebab: Katakanlah olehmu (Hai Muhammad), telah datang kebenaran dan telah binasa kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu binasa. (QS Al Israa [17]: 81)

Ketika kebenaran datang dan kebatilan binasa, tingkatan wilayah menjadi sempurna.

Huruf keempat, f, merupakan singkatan dari kata fana’, peniadaan diri. Diri yang batil dan keakuan luruh musnah ketika sifat-sifat Ilahi memasuki jiwa seseorang. Keakuan digantikan oleh keesaan.

Pada hakikatnya, kebenaran akan selalu ada, tak pernah hilang ataupun surut. Pemusnahan yang dimaksudkan di sini adalah bahwa seorang mukmin menyadari dan menyatu dengan zat yang telah menciptakannya. Ketika berada bersama-Nya, ia menerima keridhaan-Nya: wujud manusia yang fana menemukan eksistensinya dengan menyadari hakikat yang kekal: Segala sesuatu musnah kecuali zat-Nya…(QS Al Qashash [28]: 88) []

(Sirr al Asrar)

Friday, October 19, 2012

Rasa – Karsa – Cipta – Karya

Dalam tasawuf dikenal empat tingkatan hijab hati, mulai dari rasa – karsa – cipta – karya. Rasa itu perasaan, karsa itu keinginan -baik yang positif atau negatif, cipta menyangkut pemikiran, sedangkan karya adalah pengamalan.

Misalnya seorang laki-laki melihat seorang perempuan, tatkala tersentuh hatinya menyukai sang wanita itu adalah tingkat rasa. Kemudian apabila rasa itu dibiarkan hingga muncul keinginan, itu karsa syahwat. Lalu apabila karsa dibiarkan semakin kuat sehingga pikirannya merancang bagaimana agar keinginan itu tercapai, maka itu adalah tingkatan cipta. Dan kalau sampai melakukan perbuatan zina maka sudah tingkat karya. Jadi perbuatan hati itu sudah mulai sejak tingkat ‘rasa’. Oleh karena itu agama mengontrol sejak rasa.

Imam Ali kw berkata tentang melihat perempuan, “pandangan pertama itu rezeki, sedangkan yang kedua adalah fitnah”. Rasulullah saw pun bersabda “apabila engkau berhasrat sesuatu kepada wanita, maka datangilah istrimu, sesungguhnya apa yang engkau cari ada padanya”. Demikian aspek syariat membuat koridor dalam berkehidupan agar hati tertib, hingga tertiblah seluruh tubuh, tidak sembarangan dipakai tanpa aturan Sang Pencipta.

Rasa hati yang tidak tepat bisa memburamkan qalb. Maka harus banyak-banyak istighfar. Supaya tidak lanjut ke tingkat karsa apalagi karya. Kebanyakan orang ‘menghukumi’ seseorang dari aspek ‘karya’, perbuatan yang tampak oleh mata. Perzinaan, pencurian, pembunuhan dihukumi. Akan tetapi aspek yang tiga (rasa-cipta-karya) juga tidak kalah berbahayanya dan perintah Allah sama kuatnya melarang hal yang tidak tampak ini. Yaitu jangan takabur, jangan dengki, tidak boleh bangga diri, jangan berkeluh kesah dll. Seringkali seseorang merasa dirinya sudah beragama karena sudah melakukan semua aspek jasadiyah; sholat, shaum, zakat, naik haji. Tapi kenapa hatinya kebanyakan tetap buta? Karena ada aspek dalam yang tidak dijaga.

Maka eksistensi ilmu tasawuf dalam khazanah Islam itu sangat penting, karena tasawuf memperdalam ilmu mengolah aspek rasa karsa cipta. Orang sufi yang benar tentu juga akan mengolah karya, hingga ia tidak mungkin menyepelekan syariah. Semuanya dilakukan secara beriringan dan harmoni.

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)

Wednesday, October 17, 2012

Dzikir Hati Melapangkan Dada

Mengapa setelah kita berzikir hati kita menjadi lapang?

Dzikir itu berfungsi mencahayai dada, karena setiap ingat kepada Allah akan menghapuskan aspek gelap dalam hati kita, jadi menambah cahaya di ruang shadr. Praktek dzikir dari masa ke masa dilakukan dalam berbagai agama, dalam bentuk yang beraneka ragam tapi aspek intinya sama, yaitu penyerahan diri. Saat berserah diri, seseorang harus meniadakan dirinya (annihilation), mendiamkan hati, pikiran, dan gejolak perasaan.

Secara garis besar, dzikir terdiri dari 3 tahapan besar, yang digambarkan oleh Rasulullah sebagai :
1. Subhanallah, dzikir saat jalan menurun.
2. Alhamdulillah, dzikir saat jalan mendatar.
3. Allahu Akbar, dzikir saat jalan mendaki.
Ketiga kondisi tersebut mewakili tiga macam fase kehidupan, kadang dalam kemudahan – yang digambarkan dengan jalan menurun, kadang konstan – digambarkan dengan jalan yang datar, dan kadang sulit – digambarkan dengan jalan mendaki.

Dzikir ‘subhanallah’ mempunyai akar kata ‘sabaha’ artinya mengalirkan diri, sehingga arti yang paling pas untuk subhanallah adalah kita berusaha mengalirkan diri dalam ketetapan-Nya, sehingga imajinasi yang kita bangun pada saat melantunkan dzikir ini adalah bagaimana agar hati tenang, misalkan sedang panas hati, galau atau berat tatkala menjalani ujian, maka dzikirnya ‘subhanallah’ seraya memohon kepada Allah agar dimudahkan mengalirkan hati dalam kehendak-Nya.

Dzikir ‘alhamdulillah’ berupa pernyataan syukur kita kepada Allah Ta’ala dalam segala sesuatu. Sepatutnya dalam kondisi susah atau ringan, kelapangan atau kesempitan, lisan kita tidak sepi dari berucap ‘alhamdulillah’ dengan kesadaran bahwa apapun takdir yang menetapi kita adalah baik.

Dzikir ‘Allahu akbar’ adalah pernyataan bahwa Allah yang kuasa-Nya, kehendak-Nya, rencana-Nya lebih besar dan lebih baik dari segenap makhluk-Nya. Rasulullah mencontohkan membaca banyak-banyak dzikir ini tatkala sedang menempuh jalan yang mendaki. Kiranya dzikir ini juga dilafazhkan saat seseorang sedang dalam kondisi ‘mendaki’ jalan hidupnya baik secara spiritual ataupun fenomena. Oleh karena itu setiap pergantian posisi dalam sholat diajarkan untuk membaca ‘Allahu Akbar’, karena dalam sholat yang baik, seorang muslim sedang melakukan ‘mi’raj’ hatinya menaiki alam-alam ciptaan untuk bersua dengan Sang Pencipta.

Demikian tiga kondisi kehidupan manusia yang diwakili oleh dzikirnya masing-masing. “Ingatlah hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang”- Al Qur’an

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)

Tuesday, October 16, 2012

Ketika Shadr Bercahaya

Saat manusia lahir ke bumi, hatinya bersih dan lapang, maka seorang bayi atau anak kecil tidak menyimpan dendam, akan tetapi seiring dengan pertumbuhannya dan interaksinya dengan dunia sekitar, sang dada mulai penuh dengan pengaruh-pengaruh lingkungannya, dan ini adalah suatu keniscayaan, bahwa setiap orang akan melalui fase kegelapan dirinya masing-masing, untuk kemudian menemukan kembali cahayanya.

“Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk dan sifat yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami menurunkan derajatnya ke tingkat yang serendah-rendahnya…” (Al Quran, Surat At Tiin, ayat 4-5)

Orang yang hatinya sempit seringkali merasa tidak nyaman dengan kehidupan, apabila dihadapkan dengan sebuah masalah mudah cemas, hatinya goncang. Mudah tersinggung, ‘pundungan’. Adapun orang yang sudah lapang dadanya, seperti Rasulullah saw, mau dilempar batu, dilempar kotoran, mau dihina, tetap lapang hatinya. Saat beliau kepalanya berdarah karena dilempari batu disertai ejekan saat berdakwah ke Thaif, sehingga malaikat Jibril pun menawarkan untuk menimpakan gunung ke atas kota itu sebagai azab, Rasulullah menolak dan memaafkan seraya berkata, “..saya berharap dengan kehendak Allah, ada keturunan mereka yang akan menyembah Allah dan beribadah kepada-Nya”.

Rasulullah adalah seorang yang teguh dalam pendirian. Ia sangat yakin akan ketentuan Tuhan dalam dirinya. Ia sangat percaya akan kekuasaan Tuhan terhadap segala sesuatu yang ada dalam alam raya ini. Maka dari itu Rasulullah tidak pernah khawatir hari esok, tidak pernah merasa putus asa dalam kondisi apapun. Rasulullah Muhammad selalu bersabar dan berdoa kepada Allah agar diberi kekuatan untuk mengatasi segala ujian dan cobaan yang ditimpakan kepadanya. Rasulullah adalah seorang yang sangat bijaksana. Ia tidak pernah menghujat, mendengki, mencaci maki orang yang ada di sekelilingnya.

Demikianlah ketika cahaya keberserahdirian (Islam) telah menerangi dada seseorang, maka hati akan bersih dan lapang. Ini adalah suatu hal dapat terjangkau oleh setiap orang yang diizinkan Allah Ta’ala, dengan perjuangan mengalahkan ego dan hawa nafsu serta mensucikan jiwa.

Semoga Allah Ta’ala menambah cahaya dalam dada kita hingga ia lapang. Aamiin.

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)

Monday, October 15, 2012

Ruhul Qudus Sebagai Guru Sejati

Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya atau keluarganya. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah tulisi di hatinya al iman dan telah diperkuat mereka dengan ruh dari-Nya. Dan dimasukkanlah mereka dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap Allah. (Al Quran [58]: 22)

Istilah ‘diperkuat dengan ruh dari-Nya’ di atas adalah berupa diturunkannya ruhul qudus. Mereka yang telah memperoleh anugerah ini yang sejatinya disebut ‘Hizbullah’.

Setiap manusia mempunyai potensi untuk menerima anugerah ini. Ibaratnya dalam hati kita diberi sebuah pemancar yang bisa menangkap dan mengakses semua gelombang di segala alam. Karena ruhul kudus itu bisa membangun akses ke alam lain, maka jika ada persoalan di dunia, mata lahiriahnya melihat obyek di dunia atau peristiwa tertentu, namun dengan bantuan ruhul qudus akan terbuka hakikat yang tersembunyi di balik semua obyek dan peristiwa yang ada.

Maka orang yang telah mencapai maqam ini akan melihat jauh di balik sekedar fenomena atau hal yang superfisial. Oleh karena itu jarang ada perdebatan di antara para sufi karena hati mereka melihat hal yang sama. Dalam istilah Ibnu Arabi, “Tidak ada perbedaan pendapat dalam sufisme.” Sebaliknya jika orang hanya mengandalkan akal pikiran dan hal yang bersifat lahiriah pasti akan ribut dan berpecah-belah.

Semua nabi dan mursyid tarekat sebenarnya menuntun sang murid untuk menemukan mursyid yang sebenarnya, yaitu sang ruhul qudus. Pada saat seorang murid telah menemukan guru sejatinya, maka fungsi kemursyidan sang guru berakhir dan guru yang berupa ruhul kudus akan menjadi guru yang berada dalam dirinya. Inilah kondisi yang Rasulullah sabdakan, ‘mintalah fatwa ke dalam hatimu.’

Semoga Allah Ta’ala memudahkan jalan kita menemukan sang guru sejati, aamiin.

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)

Wednesday, October 3, 2012

Qalb Tempat Menerima Petunjuk Allah

..Barangsiapa yang beriman billah, maka Allah beri petunjuk kepada hatinya. (Al Qur’an [64]: 11)

Di ayat ini disebutkan fungsi qalb sebagai penerima petunjuk Allah Ta’ala. Hampir dalam setiap langkah dalam hidup kita harus menentukan pilihan, mulai saat membuka mata di pagi hari apakah kita akan segera bangun atau tidur lagi? Saya harus kemana? Pekerjaan yang mana yang harus saya ambil? Buku mana yang saya baca? Pasangan hidup saya yang mana? It’s a never ending story.

Saat kita memohon kepada Allah sesuatu, akan tetapi dalam dada kita masih dipadati oleh debu-debu dunia, hawa nafsu dan syahwat, maka sebenarnya sulit untuk menangkap yang mana petunjuk Allah Ta’ala. Mirip halnya gelombang radio FM, kalau tidak ada alat antena atau dekodernya maka gelombang tersebut tidak akan tertangkap walaupun gelombang terpancar setiap saat. Begitu pun petunjuk Allah yang bertebaran dimana-mana, akan sulit dibaca oleh orang yang hatinya masih khawatir akan dunia dan penuh hijab. Oleh karena itu kadang seseorang membutuhkan bantuan seorang guru dalam kehidupan untuk membantu membaca petunjuk Allah yang turun, sambil melatih hati kita, berjuang membersihkan jiwa untuk bisa lebih peka terhadap petunjuk Allah.

Namun, tatkala seseorang menerima petunjuk Allah Ta’ala sedangkan di hatinya ada unsur yang belum bersih, maka akan terjadi pertarungan di dalam diri. Berat untuk menjalankan petunjuk, khawatir akan hari esok. Misal seorang salik mendapatkan peluang bisnis yang tampaknya mendatangkan keuntungan besar, lalu turun petunjuk agar tidak menjalankannya, atau seseorang mempunyai pilihan calon suami atau istri, lalu petunjuknya mengatakan tidak boleh menikahinya, tentu bukan hal yang ringan untuk menjalankan dengan penuh keberserahan diri.

Setiap agama mengajari umatnya banyak hal tentang kehidupan sedemikian rupa, agar dadanya menyala terang dengan cahaya Ilahi, agar besar penyerahan dirinya kepada Allah Ta’ala dan cahaya imannya menyala terang.

Semoga Allah Ta’ala melapangkan hati kita dalam menerima petunjuk-Nya. Aamiin.

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)

Cahaya Keberserahdirian

Barangsiapa yang Allah kehendaki diberi petunjuk maka dilapangkanlah dadanya untuk al islam ( berserah diri). (Al Quran [6]: 126)

At Turmudzi mengatakan bahwa aspek shadr (rongga dada) terkait dengan cahaya Islam (cahaya penyerahan diri). Kadang rongga dada manusia penuh oleh sesuatu di dalamnya yang merupakan elemen kebumian. Bagaikan paru-paru yang penuh dengan tanah, maka lambang kematian. Ini adalah gambaran manusia yang qalbnya terikat dengan bungkusnya, pertanda elemen dunia masih melekat dalam hatinya.

Ciri utamanya adalah hatinya masih berat untuk berserah diri kepada ketetapan Allah. Dalam hidup seringkali kita tidak akan mendapatkan apa yang kita inginkan, kerap kali antara cita-cita dan kenyataan bertolak belakang. Kita ingin bekerja di tempat A yang ada malah kerja di tempat B. Kita merindukan pasangan seperti X yang kita dapatkan pasangan Y. Kita ingin melakukan ini tidak bisa, ingin beli itu tidak punya uang, dan seterusnya. Manusia akan selalu terkepung oleh kekecewaan, sakit hati, pesimis, stress apabila tidak bisa berjalan sesuai dengan aturan main Sang Maha Pencipta. Padahal ‘Thy will be done’, sekuat apapun keinginan kita tidak akan mampu melawan kehendak-Nya.

Maka cara yang paling jitu untuk terlepas dari kemelut kebingungan di alam dunia adalah mengetahui dan mengerti apa maksud Sang Pencipta di balik semua tindakan, fenomena dan kejadian yang menimpa diri kita dan sekitarnya. Jalannya tidak lain adalah dengan berserah diri.

Berserah diri tidak sama dengan pasrah. Dibutuhkan elemen kerja keras dan ikhtiar optimal dalam berserah diri, tidak sekadar menunggu takdir turun dengan bertumpang tangan.

Anugerah Allah yang diberikan kepada seseorang agar hati orang itu mudah berserah diri yaitu melalui cahaya keislaman atau cahaya keberserahdirian yang diturunkan ke dalam shadr, sehingga lapanglah ia. Cahaya ini yang mengusir kegelapan dalam hati. Kegelapan yang bermanifestasi menjadi rasa khawatir hari esok, tidak menerima keadaan kita, marah dengan ketetapan-Nya dan aspek batil lainnya. Semakin gelap dada seseorang akan semakin khawatir dan tidak tenang dalam kehidupan, semakin kurang patuh dalam memenuhi perintah Allah, semakin tidak menerima ketetapan-Nya.

Tazkiyatun Nafas atau olah jiwa adalah proses yang dilalui dalam sebuah jalan suluk untuk membuang sampah dunia dari dalam dada kita. Hanya setelah dada dikosongkan dari yang tidak haq, maka qalb perlahan-lahan akan mulai bercahaya. Dada yang lapang membuat manusia lebih jernih dan lebih ringan menjalani kehidupan.

Semoga Allah Ta’ala mengaruniakan kepada kita hati yang berserah diri. Aamiin.

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)

Struktur Qalb

Salah satu waliyullah yang menjelaskan dengan gamblang tentang persoalan qalb adalah At Turmudzi. Beliau menerangkan bahwa qalb itu strukturnya terdiri dari 4 tingkatan:

1. Shadr (dada)
2. Qalb (hati)
3. Fu’ad (hati lebih dalam)
4. Lubb (hati yang terdalam).

Fu’ad atau lubb adalah aql hati atau aql jiwa. Ini beda dengan pikiran yang diproses dalam otak kita. Semua yang ada di raga adalah bayangan dari jiwa. Kalau raga punya mata, maka jiwa juga punya mata. Raga punya telinga karena itu bayangan dari jiwa yang punya telinga. Hanya kualitas yang dimiliki jiwa lebih tinggi, seperti halnya perbedaan antara benda dan bayangannya.

Setiap tingkatan struktur qalb akan teraktivasi oleh cahayanya masing-masing, seperti yang disebutkan dalam Al Quran. Shadr terkait dengan cahaya islam. Qalb terkait dengan cahaya iman. Fu’ad (akal hati yang pertama) terkait dengan cahaya ihsan. Lubb (akal hati yang terdalam) terkait dengan cahaya tauhid.

Orang yang telah memiliki cahaya islam, cahaya iman dan cahaya ihsan disebut orang telah beragama, insan yang telah memenuhi kondisi Ad Diin. Ingat hadis Jibril yang datang kepada Rasulullah dan para sahabat. Dikatakan beragama harus punya aspek islam, iman dan ihsan. Tapi itu bukan sekedar kata-kata, islam, iman dan ihsan yang dimiliki seseorang mewujud sebagai cahaya dalam dirinya, jadi bukan sekedar ungkapan dan tidak bisa asal diklaim. Setiap kebaikan yang tampak dalam diri insan dan anugerah yang Allah berikan kepada insan itu ada cahayanya, orang yang punya mata hati bisa melihat hal tersebut.

Semoga Allah Ta’ala menganugerahi kita cahaya-Nya. Aamiin.

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)

Wednesday, September 26, 2012

Mengemban Amanah Sebagai Cahaya Allah

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan kepada langit-langit, kepada bumi, gunung-gunung, semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir untuk mengkhianatinya, dan dipikullah amanah tersebut oleh manusia. (QS [33]:72)

Pernah suatu ketika Allah membuka kesempatan kepada semua makhluknya untuk memikul amanah menjadi ‘cahaya Allah’, dan menolaklah semua makhluknya kecuali manusia. Karena memang sebenarnya hanya manusia yang mampu memikul amanah itu – sebagai makhluk Allah yang mempunyai potensi paling banyak menyerap sifat-Nya. Akan tetapi keadilan Allah membuat-Nya menawarkan kesempatan ini bagi semua makhluknya, dan memang para makhluk-Nya selain manusia cukup tahu diri untuk tidak menerima amanah tersebut. Hingga dipikullah amanah itu oleh manusia.

Untuk dapat mengerjakan amanah Allah, maka manusia harus terlebih dahulu mencapai struktur target menjadi cahaya Allah (QS An Nuur : 35), karena setelah itu baru terbukalah apa misinya, untuk apa dia diciptakan, apa kodrat dirinya, atau dalam Bahasa Sufi disebut telah ‘bertemu diri’. Inilah pengenalan diri yang hakiki yang sejalan dengan hadis Rasulullah saw, man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu. Barangsiapa mengenal jiwanya maka akan mengenal Tuhannya.

Terkait amanah, Rasulullah saw bersabda, “Bila sebuah al amanah disia-siakan maka tunggulah saat kehancurannya.” Seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah bagaimana yang disebut menyianyiakan amanah itu?” Rasulullah menjawab, “Bila sebuah urusan (al amru) diserahkan kepada yang bukan ahlinya (bukan haknya).”

Jadi setiap manusia ada keahlian di bidang masing-masing, bukan sekedar ditentukan gelar atau jenjang akademis, kuliah dimana, pangkat apa, magisternya apa,dll. Tentu semua itu membantu kita untuk mengidentifikasi kodrat diri, bahwa ada sebuah fungsi spesifik yang harus kita kerjakan di bumi ini yang bila kita tidak mengerjakan itu tunggulah kehancurannya di bidang tersebut, karena kita tidak mengerjakan tugasnya. Dunia kita saat ini secara umum carut-marut karena banyak orang yang belum mengerjakan tugasnya.

Semoga Allah Ta’ala menolong kita mengerjakan amanah pribadi masing-masing, aamiin.

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)

Saturday, September 22, 2012

Struktur Insan = Struktur Target

Mengenal diri kita tidak lepas kaitannya dengan mengenal komponen yang ada dalam diri, potensi yang Allah Ta’ala Sang Pencipta berikan. Untuk mengetahui konsep dasar tentang struktur diri tentu rujukan yang paling valid adalah keterangan yang diberikan oleh Sang Pencipta yang sebenarnya bertebaran dalam kitab suci atau keterangan para pembawa risalah-Nya.

Oleh karena itu kita ambil ayat [24]: 35 dalam kitab suci Al Quran yang bicara dengan gamblang dan indah tentang struktur manusia sbb: “Allah cahaya petala langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat yang didalamnya terdapat pelita terang. Pelita tersebut didalam kaca, kaca itu seakan-akan kaukab yang berkilau dinyalakan (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya; pohon zaitun yang tumbuh tidak disebelah timur dan tidak pula disebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh api. Cahaya diatas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” 

Di sini Allah membuat perumpamaan terhadap cahaya Allah, bukan terhadap Allah-nya. Karena kalau aspek Allah-nya tidak ada perumpamaan apapun terhadap Dia. Cahaya Allah tersebut terdiri dari tiga komponen: 1) Misykaat, yaitu sebuah lubang yang tidak tembus, simbol dari raga manusia
2) Zujaajah atau bola kaca. Diterjemahkan ‘seakan-akan bintang’, padahal istilah ‘kaukab’ yang digunakan di ayat itu adalah istilah untuk planet, sebuah benda langit yang tidak mempunyai cahayanya sendiri. Planet bercahaya karena ia memantulkan cahaya dari sumber cahaya lain. Begitupun zujaajah, ia bisa menyala terang karena ada minyak bercahaya yang menyelimutinya.
3) Mishbah atau pelita, perlambang dari ruh al quds.

Tiga elemen ini juga merupakan perwakilan dari tiga alam. Misykat ~ Raga ~ Dari alam mulk Zujaajah ~ Qalb, bagian dari Nafs (jiwa) ~ Dari alam malakut Mishbah ~ Ruh Al Quds ~ Dari alam jabarut.

Misykat adalah suatu material yang tidak tembus cahaya, sebagaimana raga kita. Sedangkan jiwa seolah-olah sesuatu yang transparan, tidak terlihat, dilambangkan dengan kaca yang bening. Antara zujaajah dan misykat terdapat ruang yang dinamakan Shadr (rongga dada).

Struktur manusia yang termuat dalam ayat Al Quran di atas adalah struktur target, sesuatu yang harus dicapai oleh setiap insan. Betapa besar potensi yang ada dalam setiap insan, sehingga Allah berfirman dalam Hadits Qudsiy, “Kalau bukan engkau, maka Aku tidak akan menciptakan alam semesta”. Maka setiap diri kita menyimpan sesuatu yang berharga dalam dirinya yang menanti untuk dijawantahkan. Tidak ada manusia kelas dua atau kelas tiga, di hadapan-Nya semua insan adalah berharga.

Semoga Allah memudahkan jalan kita menjadi cahaya-Nya. Aamiin

(Referensi: Materi Serambi Suluk, 2008. Zamzam AJT)

Kodrat Diri

Kata kodrat diri berasal dari qudrah, artinya kuasa. Istilah ini juga sering disebutkan oleh Nabi Isa dan direkam dalam Perjanjian Baru. ‘Kuasa Tuhan’ erat kaitannya dengan ruhul kudus (ruh al quds). Artinya suatu urusan yang dikuasakan dari Tuhan kepada hamba-Nya. Misi hidup seseorang adalah kuasa Tuhan yang disimpan dalam setiap diri manusia. Itulah yang membuat manusia menjadi spesial dibanding makhluk Tuhan lainnya, karena manusia yang mengemban amanah kuasa Allah untuk dikerjakan di kehidupan dunia ini. Dengan demikian, semua manusia di mata Allah secara potensial. Hanya ada yang bisa berjuang menemukan dirinya ada yang tidak.

Allah Ta’ala telah mendesain kehidupan kita sedemikian rupa, dilahirkan dimana, dari orang tua yang mana, melalui sekian tahapan kehidupan dan pergumulan hidup, semata-mata untuk menempa sang hamba agar kian mendekati kodrat dirinya, tinggal si hamba merenungkan setiap langkah yang telah ia tempuh dan berjuang untuk mendapatkan rahmat Allah.

Nabi Isa as berkata sebelum ia meninggalkan para sahabatnya untuk naik ke langit, “aku akan pergi ke Bapakku, jangan khawatir kehilangan aku karena sepeninggalku nanti engkau akan ditemani oleh sesuatu yang kamu tidak akan berpisah dengan dirimu selama-lamanya, yaitu Ruh al Quds” Demikianlah yang terjadi, pada hari ke-50 , rasul-rasul itu berkumpul di sebuah rumah yang Nabi Isa amanahkan, muncullah api dari langit, pada saat itu semua dinyalakan hatinya – menyala misbah dalam qalb masing-masing, hari itu disebut Pentakosta hari dimana terbitnya ruh al quds dalam hati masing-masing sahabat Nabi Isa. Maka tiba-tiba mereka berbicara dalam bahasa asing yang berlainan, ada yang berbicara Bahasa Mesir, Bahasa Yunani dsb. Itulah tanda bahwa setiap orang diutus sebagai rasul ke daerah-daerah yang ditentukan untuk menjalankan kodrat dirinya masing-masing.

Setiap waliyullah juga telah hidup dalam kodrat dirinya masing-masing, artinya dalam qalbnya telah menyala ruh al quds-nya. Para hamba Allah seperti Syaikh Abdul Qadir Jailani, Ibnu Arabi, Wali Songo dsb adalah orang-orang yang telah mengerjakan misi hidupnya. Demikian juga kita mengemban misi hidup yang harus dikerjakan dan akan diminta pertanggungjawaban nanti oleh Allah di akhirat.

Semoga Allah memudahkan kita menapaki jalan kodrat diri masing-masing. Aamiin.

(Referensi: Materi Serambi Suluk, 2008. Zamzam AJT)

Empat Macam Qalb

Berikut hadis Rasulullah tentang empat jenis qalb. Qalb beda dengan perasaan. Qalb adalah rasa jiwa, kalau jiwanya bangun baru seorang manusia teraktivasi qalbnya.

“Ada empat macam qalb. Pertama, qalb yang bersih yang di dalamnya ada pelita yang bersinar cemerlang, itulah qalb si mukmin. Kedua, qalb yang hitam dan terbalik, itulah qalb si kafir. Ketiga, qalb yang terbungkus dan terikat dengan bungkusnya Keempat, qalb yang campur aduk di dalamnya ada iman dan kemunafikan”

Hadis ini juga berbicara tentang struktur insan yang dijelaskan dalam QS An Nuur [24]: 35.

Qalb orang mukmin adalah yang sudah menyala api di dalamnya, yaitu api dari ruh al quds. Ini adalah tingkatan iman yang tinggi, dimana sang hamba sudah menemukan misi hidupnya, tandanya adalah bahwa Allah berkenan menganugerahinya utusan dari alam jabarut yaitu menyalanya rul al quds dalam qalbnya.

Qalb yang hitam terbalik, tidak ada cahayanya adalah qalb orang kafir. Kafir berasal dari kata ‘kafara’ artinya tertutup, qalbnya tertutup dari cahaya Ilahiyah. Hati yang gelap tidak ada keinginan untuk mendekat kepada Tuhannya, tidak gandrung kepada kebaikan, dan tidak segan-segan melakukan kejahatan tanpa sedikit pun perasaan bersalah. Na’udzubillah.

Qalb yang terbungkus dan melekat pada bungkusnya adalah qalb yang melekat pada jasad. Seperti halnya zujaajah (bola kaca) yang melekat pada misykat. Ini adalah qalb orang munafik, yaitu orang yang sebetulnya hanya mencintai dunia di hatinya. Walaupun kata-kata atau penampilannya menampilkan ‘keshalehan’ tapi hatinya tetap menginginkan hal-hal yang selain Allah. Hal itu bisa berjenjang dari hal yang bersifat material, kekayaan, barang-barang mewah, atau yang bersifat imateril seperti kedudukan di mata manusia, waham spiritual dll.

Qalb yang bercampur antara keimanan dan kemunafikan adalah qalb pada umumnya salik tahapan awal. Mengerjakan shalat tapi juga berprasangka buruk, melaksanakan shaum tapi juga melakukan ghibah dan merendahkan orang. Jadi penyakit-penyakit hati masih bercampur dengan aspek keimanan.

Semoga Allah Yang Maha Kasih dan Lembut membasuh hati kita hingga bercahaya dengan rahmat-Nya. Aamiin.

(Referensi: Materi Serambi Suluk, 2008. Zamzam AJT)

Tuesday, September 18, 2012

Manusia Sebagai Kalimah Thayyibah

Apakah engkau perhatikan bagaimana Allah membuat sebuah perumpamaan tentang kalimah yang thayyib, diumpamakan sebagai pohon yang baik. Pohon itu memberikan buah dengan seizin Rabbnya, Allah membuat perumpamaan agar manusia berpikir. Adapun perumpamaan kalimah khabiitsah (kalimah yang buruk) seperti pohon yang buruk yang telah tercerabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi tidak dapat tegak sedikit pun. (QS Ibrahim [14]: 24-27)

Kalimah adalah istilah untuk kata atau nama. Sebuah pohon di-nama-kan pohon durian karena berbuah durian. Maka pohon dinamakan sesuai dengan buah yang dihasilkannya. Itu adalah kalimah. Masing-masing manusia pun ada ‘nama-nya sesuai dengan buah pohon diri yang dihasilkan, berkarya dalam misi hidup apa. Dengan demikian kalimah juga merupakan fitrah manusia.

Dalam Al Quran atau Hadits Rasulullah kerap kali manusia digambarkan sebagai sebuah pohon. Dimulai dari benih yang ditanam, akarnya mulai tumbuh, dahannya menjulang ke langit, daunnya lebat hingga ia mengeluarkan buahnya. Perumpamaan yang sangat indah yang berkali-kali diungkapkan agar kita mengambil pelajaran darinya.

Sebagaimana benih pohon yang ditanam di dalam tanah. Maka benih ketuhanan dalam jiwa manusia ditanamkan di dalam raga masing-masing insan dan diturunkan ke alam dunia. Benih akan mengeluarkan akarnya yang berfungsi untuk menyerap sari makanan dari dalam tanah. Maka manusia pun harus bekerja dalam kehidupan berikhtiar mencari sari-sari ilmu pengetahuan untuk menumbuhkan benih diri.

Batang dari benih yang tumbuh akan menjulang ke langit, menumbuhkan dedaunan yang berfungsi untuk menyerap sinar matahari dan melakukan fotosintesa untuk menghasilkan buah. Begitupun benih yang tumbuh dalam diri manusia akan tumbuh dalam jiwa, yang sering diibaratkan sebagai langit, sebagai lawan dari raga – yaitu aspek kebumian. Adapun daun yang tumbuh adalah simbol dari amal sholeh setiap manusia. Pohon yang bagus adalah yang rindang daunnya dan banyak buahnya. Manusia yang baik di mata Allah Ta’ala pun yang banyak amalnya untuk sesama dan lingkungannya.

Oleh karena itu tidak aneh bila para rahib, biksu atau para waliyullah di berbagai penjuru dunia dalam waktu yang berbeda-beda mengajarkan para muridnya untuk bercocok tanam. Selain melatih kesabaran dan melembutkan hati, kegiatan menanam benih, menumbuhkan, memelihara serta memetik hasilnya juga sebagai pelajaran yang jelas tentang aspek benih dan pohon diri yang harus dipelihara di dalam diri masing-masing manusia. Dan tidaklah Allah memberi perumpamaan itu semua agar manusia berpikir.

(Referensi: Materi Serambi Suluk, 2008. Zamzam AJT)

Kemusyrikan Penghalang Orang Bertemu Diri

Kerap kali kita mendengar orang menyematkan label ‘orang musyrik’ kepada mereka yang meminta petunjuk kepada dukun, percaya kepada ramalan bintang, atau menyimpan jimat-jimat tertentu. Sedemikian rupa, sehingga ketika Al Quran berkali-kali menyebutkan tentang orang-orang musyrik, kita sering merasa tidak tersentuh oleh ayat itu, merasa bahwa ayat itu bukan bicara tentang diri kita. Benarkah demikian?

Di dalam Al Quran surat Ar Ruum dikatakan bahwa kemusyrikan adalah sebab seorang manusia belum menemukan fitrah dirinya, artinya orang itu belum menyelami misi hidupnya. Dengan kata lain menyingkirkan hijab kemusyrikan adalah syarat mutlak terbukanya fitrah diri setiap insan. Kalau begitu, siapapun yang belum menemukan kodrat dirinya maka sebetulnya masih ada komponen kemusyrikan yang menyelinap di hatinya.

Oleh karena itu mari kita lihat apa definisi musyrik itu dalam Al Quran. Disebutkan orang musyrik ‘yaitu orang-orang yang memecah belah agama menjadi beberapa golongan. Dan tiap-tiap golongan merasa bangga dengannya” Lalu apa maksud memecah belah agama (ad diin) itu ? Mari kita ingat kembali definisi agama (ad diin) yang diajarkan oleh Jibril as kepada Rasulullah saw dan para sahabat. Singkatnya, agama itu dibangun atas tiga pilar yang tidak terpisahkan yaitu pilar Al Islam, pilar Al Iman dan pilar Al Ihsan. Ketiga pilar inilah yang tidak boleh dipecah-pecah.

Seseorang harus beragama secara utuh dengan menggabungkan ilmu tentang syariat, tauhid dan keihsanan. Dengan demikian, tidak cukup dikatakan menegakkan agama bila telah merasa shalat, puasa, zakat, naik haji, tapi masih melakukan korupsi, hatinya penuh dengan dengki, lisannya banyak menyakiti. Orang muslim yang benar tidak akan merasa bangga diri dan golongannya yang paling benar sementara yang lain salah.

Demikianlah kita bisa introspeksi mengenai keadaan jiwa kita masing-masing. Manakala kegelisahan, kecemasan, ketakutan akan hari esok, ketidakcocokan dalam pekerjaan dan segala hal yang tidak mengenakkan di hati masih bersemayam dalam diri kita, waspadailah bahwa kita mungkin memang masih belum berjalan dalam fitrah diri kita dikarenakan hijab-hijab kecil kemusyrikan yang menyelinap di dalam hati. Ini yang harus kita mintakan ampun dalam doa-doa khusyu kita kepada Allah Ta’ala. Kiranya Sang Maha Pengampun berkenan membersihkan hati kita dari benih-benih kemusyrikan. Aamiin.

(Referensi: Materi Serambi Suluk, 2008. Zamzam AJT)

Taubat Adalah Membangun Kecintaan Kepada Allah

Dalam dunia tasawuf kita kerap menemukan ekspresi orang-orang yang hatinya demikian mencintai Allah. Seorang Rumi yang mabuk kepayang tenggelam dalam ekstasi kecintaan kepada tuhan yang diekspresikan lewat tariannya yang kemudian dikenal dengan ‘the whirling dervish’. Seorang Rabiah Al Adawiya yang sempat mengungkapkan ekspresi ‘Tidak mengapa aku ditempatkan dalam neraka-Mu, asal Engaku mencintaiku…’. Dan banyak lagi manusia-manusia cahaya Tuhan yang sebagian besar namanya bahkan tidak dikenal orang banyak.

Walaupun demikian, pada kenyataannya lebih banyak manusia yang hatinya diisi dengan kecintaan yang luar biasa kepada selain Allah. Bukan berarti kita tidak boleh mencintai segala hal, tapi kecintaan itu tidak boleh melebihi cinta kepada Allah. Itulah salah satu ciri orang beriman yang digambarkan dalam Al Quran “Adapun orang-orang beriman maka sangat besar kecintaan mereka kepada Tuhannya”

Tentu hal yang alami bila kita mencintai pasangan kita, anak kita, orang tua, saudara, tanaman kita, bahkan tubuh kita. Bukankah itu semua titipan dari Allah yang harus dijaga dengan baik, tapi semua itu ada kadarnya. Dan manakala cinta kepada Tuhan disandingkan dengannya maka kepentingan Tuhan selaiknya yang didahulukan.

Kita bisa mengukur sejauh mana kecintaan kita kepada Allah Ta’ala. Bila hati kita lebih senang berada berjam-jam di depan tv daripada bermunajat atau dzikir kepada-Nya, bila kita lebih asyik berselancar di dunia maya untuk mencari hiburan dibandingkan dengan mempelajari ayat-ayat dan hikmah-Nya, itu artinya ikatan dan makna Allah untuk diri kita belum kuat adanya, Allah masih bersifat simbolik semata.

Pertaubatan adalah proses panjang untuk membangun kecintaan kepada Allah kembali. Kita pernah sedemikian dekat dengan-Nya. Maka kita kadang merasakan rindu yang membara di saat-saat tertentu, kekosongan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, dan hanya Dia yang bisa mengisinya. Membangun kecintaan itu juga tidak bisa dengan duduk berpangku tangan. Harus berupaya dan menggali ilmunya, sebagaimana ungkapan ‘tak kenal maka tak sayang’, maka semakin kita mengenal sifat-sifat-Nya, makin kita menghargai apapun yang Dia berikan ke dalam kehidupan kita dan makin kita rindu untuk sering berduaan dengan-Nya dalam dzikir kita di tengah kehidupan.

Mari kita renungkan ciri-ciri hamba yang bertaubat yang digambarkan oleh Nabi Isa as yang direkam dalam Injil Barnabas sbb, semoga kita menjadi hamba-Nya yang bertaubat dengan taubat nasuha. aamiin:

Fasal 101
1. Kemudian Isa berkata, “Bahwa taubat itu adalah lawan dari kehidupan yang jahat. Dari sebab itu tiap pancaindera harus mengerjakan sebalik yang dikerjakan di waktu berbuat dosa.
2. Maka harus meratap sebagai gantinya bersenang-senang.
3. Dan menangis sebagai gantinya tertawa
4. Dan berpuasa sebagai gantinya berlebih-lebihan
5. Dan berjaga (malam) sebagai gantinya tidur
6. Dan bekerja sebagai gantinya menganggur
7. Dan wara (berhati-hati) sebagai gantinya syahwat
8. Dan hendaknya kelebihan berbicara diubah menjadi sembahyang dan kelobaan itu diubah menjadi sedekah.
13. Jika demikian ketahuilah bahwa taubat itu harus dikerjakan lebih banyak dari segala sesuatu, hanya semata-mata karena cinta kepada Allah. Jika tidak maka ia akan menjadi sia-sia belaka.

(Referensi: Materi Serambi Suluk, 2008. Zamzam AJT; Injil Barnabas)

Wednesday, September 12, 2012

Mengenal Pohon Pribadi

Dalam diri setiap insan ada benih yang Allah tanam yang harus tumbuh. Benih itu ditanam di tanah raga dan bumi yang kondisinya tertentu supaya bisa tumbuh dengan optimal. Setiap benih menyimpan potensi menjadi sebuah pohon, potensi pohon ini yang disebut dengan fitrah pohon.

Sama halnya laki-laki dan perempuan. Laki-laki punya benih berupa sperma dan perempuan mengeluarkan sel telur (ovum). Sperma dalam bahasa Al Quran, yang matang dan ditanam disebut sebagai nutfah. Jadi istilah nutfah sama dengan benih pohon. Sedangkan ovum berfungsi sebagai lahan. Di dalam sperma ada potensi insan (fitrah). Maka dalam Al Quran ada kalimat “perempuan-perempuanmu adalah lahan bagimu”.

Sebagaimana benih yang tumbuh memerlukan perawatan supaya ia tumbuh dengan baik dijaga dari hal yang dapat menghalangi pertumbuhan atau racun yang dapat membunuh benih tersebut. Sama halnya ibu yang mengandung juga harus dijaga sedemikian rupa. Demikian juga pertumbuhan di tingkat jiwa juga sensitif, sehingga kita tidak bisa membuka fitrah diri seenaknya tanpa disiplin. Jiwa harus dihindarkan dari penyakit mengeluh, jangan merendahkan orang lain, bangga diri, prasangka buruk dsb, karena semua penyakit hati itu akan membuat benih mati.

Selain itu benih hanya bisa tumbuh baik dalam kondisi yang tepat, misal benih kurma yang biasa tumbuh di daerah gurun tidak akan bisa tumbuh baik di puncak gunung. Demikian pula dalam pernikahan, perlu kecocokan antara sperma dan sel telurnya. Dan yang lebih penting lagi adalah perlu kecocokan di tingkat jiwa pasangan itu, sehingga benih masing-masing pribadi dan keturunan yang dihasilkannya bisa tumbuh dengan baik.

Dalam Al Quran [30]: 30 Allah berbicara tentang fitrah yang harus ditemukan oleh setiap manusia: “ Hadapkanlah wajahmu dengan hanif (lurus) ke dalam ad diin (agama) Allah. Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah tsb, tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah. Itulah agama yang teguh (diinul qayyim). Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”

Fitrah Allah itu berkaitan dengan diin, agama dalam arti yang luas. Karena mengenal fitrah itu juga berarti mengenal potensi benih yang Allah tanamkan dalam tiap insan, maka persoalan mengenal diri adalah sesuatu yang penting supaya seseorang kokoh dalam beragama.

Namun dalam ayat tersebut diindikasikan bahwa kebanyakan manusia tidak mengetahui persoalan fitrah ini. Bahwa ada fitrah yang tidak akan berubah dalam diri setiap manusia, apabila dalam benih itu fitrahnya benih cemara ya tentu akan menjadi pohon cemara, tidak akan mungkin berubah menjadi pohon pisang.

Jika fitrah itu tumbuh dan dikenali, seorang mukmin itu akan mencapai tingkatan beragama yang teguh (diinul qayyiim). Itu yang disebut bahwa setiap orang punya misi hidup, sebuah tugas yang disimpan dalam fitrah, kita harus menemukan fitrah itu.

Menemukan fitrah diri bukan sesuatu yang dapat dikira-kira atau sesimpel dilakukan psikotest untuk mengetahuinya. Jalannya adalah dengan menempuh proses bersuluk. Karena suluk adalah suatu proses agar kita kembali ke fitrah diri itu. Dimana lahan diri kita dibajak lagi, awan waham, prasangka kita dihapus, supaya tumbuhlah benihnya. Jika ia tumbuh jadi pohon, orang itu akan mengenal tugas dirinya. Maka orang itu disebut orang yang “mengenal dirinya”. Mengenal jiwa artinya mengenal fitrahnya.

Sebagaimana cangkir dibuat untuk air bukan untuk jelaga, maka dibalik semua ciptaan ada fungsi yang terkait. Seseorang baru tahu fungsinya bila sang pohon dirinya telah tumbuh. Sebelum itu terjadi baru tebak-tebakan, dan belum mengenal dirinya. Status orang yang telah tumbuh pohon dirinya adalah yang baru mengenal Rabbnya, “man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu”

Semoga Allah memudahkan kita menemukan kembali fitrah diri. Aamiin.

(Referensi: Materi Serambi Suluk, 2008. Zamzam AJT)

Pertumbuhan Jiwa

Saat jiwa dimasukkan bersama ruh ke dalam raga manusia yang berusia 120 hari di dalam kandungan ibu, jiwa yang masuk adalah jiwa yang masih segar menyimpan ingatan tentang peristiwa persaksian di alam alastu dengan Tuhannya. Maka dikatakan dalam hadis Rasulullah saw bahwa setiap bayi yang lahir masih dalam keadaan fitrah, suci tidak terkotori waham dunia. Namun saat tumbuh dan berkembang seiring itu ada dosa yang mulai menutupi sang jiwa, sehingga lumpuh segala kemampuan jiwa, buta matanya, tuli telinganya, hingga tidak mampu menerima petunjuk Tuhan yang bertebaran dalam kehidupan.

Adalah tugas setiap insan untuk kembali membangunkan jiwanya masing-masing untuk mengenal kodrat diri. Oleh karena itu wajib setiap pribadi melakukan suluk, menempuh perjalanan kembali menuju kesejatian diri, menuju Sang Maha Pencipta.

Untuk membantu hamba-Nya menemukan fitrahnya kembali, Sang Khalik sering menurunkan perkara-perkara dalam kehidupan sang hamba untuk menghidupkan jiwanya. Kadang kala perkara yang diturunkan itu seringkali dirasakan pahit oleh raga, namun pada saat yang bersamaan ada yang tumbuh dalam jiwa. Bisa jadi seseorang diuji dengan kematian anak kesayangannya, atau sulit mencari penghidupan dalam dunia dan lain sebagainya.

Amanah yang diberikan oleh Allah kepada setiap manusia itu bagaikan benih yang ditanam ke dalam jiwa masing-masing hamba. Benih itu harus tumbuh menjadi sebuha pohon yang berbuah. Dalam ilmu botani, benih tidak bisa ditanam begitu saja akan tetapi harus dikeringkan supaya bisa tumbuh. Manusia pun sama, tidak bisa jiwanya ditumbuhkan dalam kondisi ‘basah’, dalam kondisi kehidupan yang serba nyaman, semua tercukupi dan tidak ada masalah, maka akan cenderung mengumbar hawa nafsu dan syahwat. Maka dalam Al Quran, Surat Yusuf diceritakan tentang tujuh sapi gemuk yang dimakan oleh tujuh sapi yang kurus. Ini adalah simbol bahwa setiap manusia yang berjalan kepada Tuhan niscaya akan dikuruskan oleh masalah dan ujian, tapi Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang tak ternilai.

Setelah benih dikeringkan, ada beberapa syarat lain agar benih bisa tumbuh dengan baik, yaitu harus ada sinar matahari, mineral, air, udara, tanah yang subur dll Apabila benih tumbuh dengan baik ia akan pecah dan menumbuhkan kecambah, akarnya menjalar di bumi hingga ia menjadi pohon besar. Kalau sudah jadi pohon, baru ketahuan buahnya. Oleh karena itu pohon diberi nama karena buahnya. Manusia pun punya nama dari Allah Ta’ala, hanya kalau benih yang dibawa manusia sudah ditanam, tumbuh dan berbuah baru namanya teridentifikasi. Seorang manusia yang telah ‘berbuah’, jiwanya tumbuh dan bertemu diri, akan banyak buah yang keluar berupa pengetahuan, kebijaksanaan, karomah dll. Dan perhatikan bahwa tidak ada satu pohon pun yang menyerap buahnya. Buah adalah untuk orang lain. Jadi agama Islam ini betul-betul untuk menjadi rahmat bagi orang lain, bukan memalak atau menzalimi orang lain. Semakin banyak diambil buahnya justru semakin tumbuh banyak.

Hanya kebanyakan manusia benihnya terhalang dari hujan dan matahari. Jadi walaupun ada matahari dan hujan yang turun dalam dirinya, tapi benih itu tidak tumbuh, perumpamaannya seperti benih yang tertutup kaleng. Maka seminimalnya Allah melubangi kaleng yang menutupi benih dengan paku, hingga masuklah cahaya dan hujan. Manusia sering membuat ‘kaleng’ dalam kehidupan, kebanyakan karena menuruti hawa nafsu, syahwat dan kurang baik dalam mengendalikan pikirannya. Makanya persoalan menumbuhkan jiwa betul-betul persoalan taubat, karena hanya Allah Ta’ala yang bisa mengambil kaleng, bukan semata terapi melalui psikolog. Karena taubat yang sempurna itu hanya diberikan bagi orang-orang yang mencari Allah. 

Seseorang akan mengenal dirinya jika jiwanya tumbuh, jika ada pertumbuhan dalam jiwa pasti akan terefleksikan ke luar dalam tataran jasadiyah. Ketika ia sudah mengenal dirinya, maka ia seakan menjadi seorang yang terlahir kembali. Seperti yang dikatakan oleh Nabi Isa as, “Setiap manusia harus lahir dua kali, pertama lahir secara jasadiyah oleh ibu kita, dan kemudian lahir jiwanya”

(Referensi: Materi Serambi Suluk, 2008. Zamzam AJT)

Monday, September 10, 2012

Fungsi Ruh

Apa perbedaan mendasar manusia dibanding makhluk Allah lainnya? Kalau jawabannya akal pikiran, maka akal pikiran mana yang dimaksud? Kalau sekedar akal yang biasa diukur dengan indeks IQ, sepertinya seekor chimpanse atau lumba-lumba juga memiliki IQ yang tidak kalah dengan manusia. Kalau begitu apa komponen yang hanya dimiliki oleh manusia dan tidak dimiliki oleh hewan dan tumbuhan?

Seekor merpati misalnya punya raga, dan dia hidup karena ada ruh (disebut ruh hewani). Tapi seekor burung tidak punya jiwa, maka seekor burung tidak akan diminta pertanggungjawabannya di hari akhirat. Sama halnya dengan seekor macan tidak akan dihisab walau menerkam kambing atau merebut betinanya, karena itu natural saja, tidak punya jiwa yang akan diminta pertanggungjawabannya.

Demikian pula tumbuhan mempunyai ‘raga’ tumbuhan dan bisa tumbuh atau hidup dengan ruh (disebut ruh nabatiyah). Perhatikan apabila setangkai bunga mawar dipotong dari pohonnya, maka dalam hitungan beberapa jam sang bunga akan layu dan kemudian mati, karena saat dipotong dari pohon itulah ruhnya tercerabut.

Raga manusia juga hidup dengan ruh disebut dengan ruh insaniyah. Hanya manusia memiliki sesuatu yang spesial karena manusia mempunyai jiwa.

Benda-benda material dalam tingkat partikel adalah hidup. Adanya pergerakan proton, elektron dan partikel-partikel lain membuktikan bahwa benda yang terlihat ‘mati’ pun adalah hidup. Dalam fisika, benda baru akan diam dalam suhu 0 derajat Kelvin.

Adapun ruh al quds, atau sering disebut sebagai ‘holy spirit’ atau ruh kudus; adalah ruh dari tingkatan yang tertinggi di alam ruh. Semua manusia mempunyai ruh yang dengannya ia hidup, tapi tidak semua manusia diberikan anugerah ruh al quds. Dalam hadis Rasulullah juga disebut beberapa kali tentang ruh al qudus, ada seorang penyair yang indah zaman Rasulullah, lalu Rasul berdoa untuknya “Semoga Allah menguatkan engkau dengan ruhul qudus” artinya ia bisa bersyair dengan syair-syair Tuhan. Di saat lain Rasulullah saw bersabda, “Ruhul qudus mudah ke dalam hatiku.”

Dengan demikian, ada lima tingkatan alam ruh :
1. Ruh al quds
2. Ruh insaniyah
3. Ruh hewaniyah
4. Ruh nabatiyah
5. Ruh material

Masing-masing tingkatan mempunyai tingkatan, makin ke atas, tingkat pengetahuannya makin tinggi. Ruh manusia pun tidak sama tingkatannya, ruh seorang nabi misalnya tidak sama dengan ruh manusia biasa.

Adapun fungsi ruh berbeda bagi jasad dan jiwa. Ruh bagi jasad berfungsi untuk menghidupkan, maka apabila ruh dicabut dari raga manusia, tibalah ajalnya. Pada saat ruh dicabut dari jasad, maka jiwa pun mengikuti keluar dari jasad sebagaimana pada saat pertama kali jiwa dan ruh dimasukkan ke dalam jasad manusia yang berbentuk janin di usia 120 hari dalam kandungan ibu.

Fungsi ruh bagi jiwa bukan untuk menghidupkan, karena jiwa sudah hidup – material jiwa adalah cahaya Allah yang maha hidup, maka ruh bagi jiwa berfungsi untuk menumbuhkan. Hakikat jiwa adalah cahaya Allah. Jiwa itu dicipta dari cahaya Allah. Sebagaimana malaikat. Jin dari api yang diwujudkan. Cahaya Allah tentu sesuatu yang dekat dengan Allah Taala, maka sudah mengenal Allah. Segala hal yang dekat dengan Allah semakin mewarisi sifat-sifat Allah. Jiwa akan tumbuh dengan memakan cahaya ruh (amr Allah), sabda-sabda Allah, perintah-perintah Allah. Wallahua’lam

(Referensi : Materi Serambi Suluk. Zamzam AJT, 2008)

Tentang Ruh, Jiwa dan Raga

Inti suluk adalah mengenal kembali jiwa, karena komponen dari manusia yang pernah bersaksi di hadapan Allah adalah jiwanya, dengan mengenal kembali jiwa kita masing-masing maka semua mandat yang Allah berikan kepada kita di alam persaksian akan kembali teridentifikasi. Maka Rasulullah bersabda man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu. Barangsiapa mengenal jiwanya maka akan mengenal Rabb-nya.

Proses mengenal jiwa betul-betul proses musyahadah atau persaksian, suatu peristiwa nyata yang bukan merupakan imaginasi atau sangkaan semata. Untuk mengenal jiwa ini mau tidak mau harus melalui proses tazkiyatun nafs atau pensucian jiwa, dengan sabar, tidak boleh bangga diri, tekun beribadah, giat bekerja, harus bersih hati. Lama kelamaan hijab hati yang terdapat dalam jiwa dapat terangkat dan terbuka. Dan setiap kita akan bisa bicara dengan jiwanya masing-masing. Ini memang suatu proses yang orang katakan mistik.

Gambaran saat seseorang mengenal jiwanya atau bermusyahadah diceritakan oleh seorang ulama di Bandung, almarhum adalah seorang sufi yang sangat sederhana, saat dia bertemu dirinya, suatu malam beliau wudhu hendak shalat malam, di rumah hanya ada beliau istri dan anaknya. Saat masuk ke mushala, di sejadahnya ada orang yang duduk menghadap kiblat, berjubah dan bersorban, beliau langsung bertanya, “kamu siapa?” Ketika orang itu berbalik ternyata wujudnya adalah dirinya sendiri, dia berkata “Aku adalah engkau, engkau adalah aku.”

Raga kita hanya kendaraan saja. Sebagaimana raga punya mata telinga, perasaan dll semua itu juga dimilki oleh jiwa. Mata jiwa (mata hati) disebut bashirah. Akal jiwa disebut lubb, fuad dsb (ada 7 tingkatan akal dalam), rasa jiwa disebut qalb. Apabila jiwa terhijab - tertutup oleh dosa maka qalb, lubb, fuad dsb tidak berfungsi. Adapun kalau kita merasakan sedih, gelisah, kecewa itu bukan qalb. Tapi di perasaan yang tersambung dengan pikiran jasadiyah kita.

Bentuk raga memang dicipta berdasarkan bentuk jiwa. Raga hanya bayangan dari jiwa. Raga bagaikan kuda saja. Kalau kuda tidak mengenal penunggangnya dia tidak akan tahu fungsinya. Akhirnya manusia akan bekerja dan beramal sembarangan, apa yang ada kerjakan, apa yang dia inginkan kerjakan, apa yang menjadi ‘trend’ di kerjakan. Raga dan jiwa sangat beda kualitasnya, sejauh beda bayangan dan benda aslinya. Jadi secanggih-canggihnya raga kita tidak ada apa-apanya dibanding jiwanya, termasuk ma’rifatnya, ilmunya dll, hanya hal ini jarang dikenali padahal ilmu ini bukan hal baru sama sekali. Semua para sufi menerangkan tentang ini semua.

Matahari adalah simbol ruh, sinarnya menerpa nafs, lalu bayangan sang nafs dihidupkan menjadi raga. Komponen raga terdiri dari: air, udara, api dan tanah (Plato) Jika kita membuat sebuah boneka dari tanah liat, kan tidak hidup, sebagaimana penciptaan Adam dulu. Sebagaimana Nabi Isa membentuk bentuk burung dari tanah liat (tercantum dalam Al Quran) dia mati, hingga ditiupkan ruh. Karena Nabi Isa memiliki ruhul qudus dalam dirinya, saat dikeluarkan ruh itu dari mulutnya yang suci, burung itu menjadi hidup dan terbang.

Kita yang jasadiyah dan kuda tidak beda, terdiri dari komponen daging dan ruh. Pada saatnya ruh akan keluar dan kita pun mati. Tumbuhan pun apabila diambil ruhnya akan mati. Setiap hal di dunia ini ada ruhnya. Bahkan batu yang tampaknya diam tak bergerak pun ada ruhnya, ilmu fisika modern bisa meneropong pergerakan atom dan sub atom yang bergerak dinamis dalam partikel pembentuk batu yang seandainya partikel itu berhenti bergerak maka batu pun hancur. Jadi fungsi ruh adalah menghidupkan sesuatu yang mati.

Jasad untuk hidup perlu ruh dan untuk beraktivitas perlu energi yang diperoleh dari makanan, karena dia berasal dari bumi maka sumber makanan pun berasal dari sari bumi, agar dia bergerak/berenergi. Karena raga berasal dari bumi, maka kecenderungan raga adalah kepada bumi. Ia akan mencintai hal-hal yang dari ibu pertiwinya. Semua hal yang bersifat material akan dicintai oleh raga seperti rumah mewah, mobil bagus, gadget canggih, lahan luas, nafsu seksual dll, ini disebut sebagai syahwat.

Dikatakan ajal itu apabila ruhnya diambil, tapi selain ruh ada sesuatu di dalam raga kita, yaitu nafs, jiwa kita. Jiwa dikirimkan ke alam dunia, dari alam malakut, diberi kendaraan yaitu jasad. Jadi kalau jiwa, asalnya sesuatu hidup, sedangkan jasad asalnya sesuatu mati.

Karena jiwa adalah entitas yang sudah hidup, jadi tidak perlu faktor penghidup. Namun untuk bergerak atau beraktifitas perlu makanan juga. Yang menjadi makanannya bukan yang berasal dari unsur bumi, karena jiwa bukan berasal dari alam mulk. Makanannya adalah “perintah Allah” atau amr-amr Allah. Aktifitas jiwa kita bergantung kepada cahaya amr, atau kehendak/perintah Allah. Semua hal yang dari Allah Ta’ala, seperti hikmah, taufiq, hidayah dll merupakan sumber energi bagi jiwa. Semua tendensi jiwa untuk kembali ke ‘atas’ disebut himmah. Maka dalam diri kita akan konflik antara himmah dan syahwat.

Adapun ruh sebagaimana api dan cahayanya. Tidak sama api dan cahayanya. Api adalah ruh, adapun cahaya ruh adalah sesuatu yang keluar dari api. Yang membuat raga hidup bukan apinya tapi cahaya api. Maka disebut “Kami hembuskan ruh Kami” Nabi Isa membuat burung dan meniupkan ruhnya, yang ditiupkan adalah cahayanya, api ruhnya ada di dalam dadanya. Manusia secara potensial mampu bukan hanya menerima cahayanya tapi apinya, jika bertemu diri suatu ketika.

Ruh setiap orang tidak sama, namun saling mengenal, karena dari alam jabarut. Ruh kita saling mengenal satu sama lain, karena ada di alam yang sangat muuwahid dengan Allah ta’ala, jadi saling mengenal satu sama lain.

Allah punya tiga alam :
1. Alam jabarrut
2. Alam malakut
3. Alam mulk

Alam Mulk, adalah alam jasad dsb. Raga manusia, hewan, jin, tata surya, galaksi, semuanya adalah di satu alam. Jadi raga kita anggota dari alam mulk. Sebagaimana jin, karena dicipta dari api (salah satu komponen manusia). Jiwa adalah anggota alam malakut, jadi jiwa mengenal para malaikat, karena satu alam. Ia mengenal yang kiri kanan depan belakang. Raga memang susah mengenal malaikat, karena beda alam. Nanti di alam kubur kita bertemu malaikat, karena raga sudah tidak ada, maka jiwanya yang bertemu dengan malaikat. Jadi tidak aneh apabila ada orang yang ketemu dan berbincang dengan malaikat, asal jiwanya bangun.

Ada hal yang harus ditemukan oleh jiwa di bumi ini, yang itu dengan bantuan kendaraannya, yaitu jasad dan segala yang terkait dengannya. Pada saat kiamat, semua jiwa mati. Maka dalam Al Quran disebutkan ada dua ajal. Yang pertama ajal atau kematian raga dan yang kedua adalah kematian jiwa. Semua yang berjiwa, manusia, jin, malaikat akan mati.

Di alam mahsyar semua dihidupkan lagi, jasad, jiwanya. Jadi manusia akan diberi raga baru. Jadi yang ke surga pun jiwa dan raganya. Jadi kalau ada buah-buahan di surga, itu surganya raga. Kata Ibn Arabi, bentuk raga saat dibangkitkan akan sesuai dengan kondisi batin saat dia meninggal. Kalau sekarang kita mempunyai raga yang mirip jiwa, karena dibentuk dari kondisi batin di alam syahadah. Nanti raga disana betul-betul berdasarkan warna batin saat meninggal, kalau batin kita buruk penuh dengki, iri, amarah dll maka raganya jadi buruk.

Alam jabarut adalah alam ruh-ruh. Segala hal yang dinamai ruh, nisbatnya ke Allah Ta’ala. Kadang-kadang masyarakat tidak paham bahwa arwah jamak dari ruh, seringkali disalah tafsirkan dengan jiwa manusia. Padahal yang melanjutkan perjalanan di alam barzakh itu bukan ruh tapi jiwanya.

Demikian, dengan memahami istilah-istilah yang ketat ini, maka kita bisa lebih melihat kesinambungan satu ayat dan yang lainnya dalam Al Quran, yang semoga kehidupan kita dicahayai olehnya.

(Referensi : Materi Serambi Suluk. Zamzam AJT, 2008)

Saturday, September 8, 2012

Tentang Alam Rahim

Semua jiwa-jiwa sebelum dikirimkan ke rahim ibu dipanggil menghadap Allah dan diambil kesaksian dari jiwa mereka, perhatikan di sini yang bersaksi bukan ruh, jasad atau pun akal pikiran. Peristiwa ini berlangsung di alam persaksian.

Allah Ta’ala berkata: Alastu bi Rabbikum? Bukankah aku Rabbmu Semua jiwa mengatakan “betul, kami bersaksi” Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat nanti tidak mengatakan sesungguhnya kami Bani Adam adalah orang2 yang lalai. Berkata “Kami tidak pernah tahu ttg persaksian ini” (Al Quran [7]: 172)

Saat jiwa bersaksi, jiwa kita dalam kondisi mengenal Rabbnya. Begitu dimasukkan ke rahim ibu, dan lahir, kemudian menjadi tidak mengenal Allah. Yang tidak paham adalah akal raganya, tapi jiwa yang di dalam mengenal. Tapi, semakin seseorang bertambah usia, sang jiwa menjadi semakin terpuruk di dalam raga. Menjadi lemah oleh pengaruh buruk lingkungannya.Si jiwa menjadi tidak hidup dan sang entitas yang sempat mengenal Allah tadi menjadi tenggelam dalam dunia raga kita termasuk di dalamnya ada ego, hawa nafsu dan syahwat.

Salah satu tanda kita tidak lagi mengenal Allah yakni tidak yakin Allah akan menolong, ragu bahwa Allah yang akan memberi rezeki. Padahal ketika dalam kandungan kita diberi makan lewat plasenta, setiap bayi ada kantung kuningnya, itu adalah makanannya. Bayangkan sejak dalam kandungan bayi itu sudah ada makanannya. Saat dilahirkan ada air susu ibu, semua itu ada rezekinya. Jadi manusia ada rezekinya yang mendampingi sebagai bekal hingga ia meninggal pada saatnya. Begitu besar juga sebenarnya masih ada kantung rezekinya cuma tidak kelihatan, tidak sekonkret plasenta seperti waktu bayi namun harus diupayakan. Tapi semua Allah jamin, karena dunia ini diciptakan bukan untuk mencari makan, tapi utk mengenal Allah, mengabdi pada Allah Ta’ala. Artinya apa? Urusan rezeki kita itu Allah yang jamin! Tidak Kuciptakan jin dan manusia kecuali utk mengabdi kepada-Ku. Sehingga kalau di dunia kita hanya sibuk cari ‘makan’ sampai mati dan lupa pada tugas untuk menemukan jalan keutamaan, maka rugi sekali.

Kenapa jiwa dilahirkan di alam bumi? Tentu ada yang dicari di alam dunia. Oleh karena itu harus berpengetahuan, harus belajar. Seperti halnya kita punya anak, kalau ia lahir lalu dibiarkan tidak sekolah, maka tidak akan pandai. Jiwa pun sama harus mengenal semua alam yang Dia buat. Memang jiwa awalnya mengenal Allah, dibekali dahulu tauhidnya, lalu disuruh dicari pengejawantahannya di seluruh alam-alam yang akan dilaluinya.

Perjalanan setelah dari alam persaksian adalah di alam rahim. DI situ jiwa mulai dimasukkan ke dalam raga, dibekali dengan empat hal yang menjadi skenario dasar yang harus dia lakoni di alam berikutnya, yaitu alam dunia. Berbekal dengan semua itu, seyogyanya manusia mencari kesejatian dirinya, menemukan sebanyak mungkin al haq, mengenali kebenaran dalam kurun waktu yang singkat ini.

”Sesungguhnya setiap orang di antara kalian, penciptaannya dikumpulkan dalam rahim ibunya, selama 40 hari berupa sperma (nuthfah), kemudian menjadi segumpal darah (’alaqah) selama 40 hari juga, kemudian menjadi segumpal daging (mudhghah) selama 40 hari juga. Lalu diutuslah malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya. Dia diperintahkan menuliskan empat kata: Rezekinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya.
Demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, salah seorang di antara kalian mengerjakan amalan ahli surga, sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. Ternyata ia didahului oleh ketetapan Allah untuk tidak masuk surga. Kemudian dia melakukan perbuatan ahli neraka, sehingga ia pun masuk neraka.
Ada pula salah seorang di antara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka, sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. Ternyata dia didahului oleh ketetapan Allah untuk tidak masuk neraka. Kemudian dia melakukan perbuatan ahli surga sehingga dia pun masuk surga.” (HR Bukhari dan Muslim)

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)

Tentang Shiraathal Mustaqiim

Setiap hari setidaknya 17 kali sehari kita diajarkan untuk memohon ditunjukkan kepada shiraathal mustaqiim dalam setiap rakaat shalat kita. Satu-satunya doa yang terdapat dalam surat Al Fatihah yang tanpa membacanya shalat kita menjadi tidak sah, sebenarnya doa itu betul-betul mengingatkan kita untuk senantiasa fokus dalam hidup untuk mencari jalan khusus kita menuju Allah.

Berdoa memohon shiraathal mustaqiim sebetulnya sama dengan meminta agar Allah Ta’ala menunjukkan agar kita masing-masing ditunjuk pada misi hidupnya. Setiap orang punya misi hidup yang tidak sama. Benda-benda di sekeliling kita pun punya fungsi spesifiknya masing-masing, asbak fungsinya ya untuk abu rokok, cangkir adalah untuk air minum, sendok untuk menyuap makanan dsb. Apa yang dibuat oleh manusia saja ada fungsinya, apalagi manusia, makhluk termulia di alam semesta, tidak mungkin diciptakan hanya sekolah, menikah, punya anak, kerja, pensiun dan mati. Semua seolah sama dan tidak mengenal fungsinya.

Kita harus mengenal apa fungsi diri masing-masing, itu adalah thariq dan shiraathal mustaqqim kita. Jadi bukan sekedar tarekat. Tarekat hanya salah satu cara utk menemukannya. Mau tarekat besar, kecil, ataupun tidak bertarekat, yang penting menemukan shiraathal mustaqiim-nya.

Jadi istilah shiraathal mustaqiim itu bukan semata-mata suatu jembatan di akhirat nanti, yang katanya seperti titian serambut dibelah tujuh yang tajam seperti pisau, yang menggambarkan betapa sulitnya menempuh jalan itu. Shiraathal mustaqiim itu kita minta hari ini setiap hari karena ia adalah sebuah jalan yang membentang sejak hari ini hingga ke hari akhir nanti, ke sebuah zaman yang sangat jauh. Artinya kita harus bisa menemukan dalam kehidupan yang samar ini sebuah jalan yang lurus. Itulah kenapa dalam konteks suluk harus dibuka mata hati, agar kita bisa melihat jalan yang satu itu di antara berbagai jalan semu yang ada. Yang dibuka adalah mata dalam untuk melihat apakah benar langkahku adalah dalam kodrat Allah?

Caranya bagaimana? Semua peta dan kunci untuk membukan jalan diri masing-masing ada dalam Al Quran, maka wajib untuk mempelajari dan mengamalkannya. Tentu saja mempelajari Al Quran sendiri bukan perkara mudah, maka kita butuh mencari referensi ke hadits Rasulullah, keterangan para sahabat dan waliyullah mengenai tafsir Al Quran. Seorang sufi berkata, ‘mustahil seseorang ingin menemukan kodrat diri tanpa shalat dan tanpa membaca Al Quran.’

Ibaratnya kita hendak melintasi padang pasir atau mendaki gunung yang besar, tentu kita membutuhkan peta. Peta itu memuat keterangan tentang jalanan yang ada, tanjakan, turunan dan semuanya tercantum di dalamnya. Al Quran adalah peta seseorang menempuh perjalanan menuju kesejatian diri. Tidak hanya itu Al Quran adalah transformator jiwa kita, hingga mata hati terbuka, jiwa bercahaya, hingga jalan itu makin jelas.

Semoga Allah Ta’ala menuntun kita kepada shiraathal mustaqiim. Aamiin

(Referensi : Materi Serambi Suluk, Zamzam AJT, Jakarta 2008)