Dalam dunia tasawuf kita kerap menemukan ekspresi orang-orang yang hatinya demikian mencintai Allah. Seorang Rumi yang mabuk kepayang tenggelam dalam ekstasi kecintaan kepada tuhan yang diekspresikan lewat tariannya yang kemudian dikenal dengan ‘the whirling dervish’. Seorang Rabiah Al Adawiya yang sempat mengungkapkan ekspresi ‘Tidak mengapa aku ditempatkan dalam neraka-Mu, asal Engaku mencintaiku…’. Dan banyak lagi manusia-manusia cahaya Tuhan yang sebagian besar namanya bahkan tidak dikenal orang banyak.
Walaupun demikian, pada kenyataannya lebih banyak manusia yang hatinya diisi dengan kecintaan yang luar biasa kepada selain Allah. Bukan berarti kita tidak boleh mencintai segala hal, tapi kecintaan itu tidak boleh melebihi cinta kepada Allah.
Itulah salah satu ciri orang beriman yang digambarkan dalam Al Quran
“Adapun orang-orang beriman maka sangat besar kecintaan mereka kepada Tuhannya”
Tentu hal yang alami bila kita mencintai pasangan kita, anak kita, orang tua, saudara, tanaman kita, bahkan tubuh kita. Bukankah itu semua titipan dari Allah yang harus dijaga dengan baik, tapi semua itu ada kadarnya. Dan manakala cinta kepada Tuhan disandingkan dengannya maka kepentingan Tuhan selaiknya yang didahulukan.
Kita bisa mengukur sejauh mana kecintaan kita kepada Allah Ta’ala. Bila hati kita lebih senang berada berjam-jam di depan tv daripada bermunajat atau dzikir kepada-Nya, bila kita lebih asyik berselancar di dunia maya untuk mencari hiburan dibandingkan dengan mempelajari ayat-ayat dan hikmah-Nya, itu artinya ikatan dan makna Allah untuk diri kita belum kuat adanya, Allah masih bersifat simbolik semata.
Pertaubatan adalah proses panjang untuk membangun kecintaan kepada Allah kembali. Kita pernah sedemikian dekat dengan-Nya. Maka kita kadang merasakan rindu yang membara di saat-saat tertentu, kekosongan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, dan hanya Dia yang bisa mengisinya. Membangun kecintaan itu juga tidak bisa dengan duduk berpangku tangan. Harus berupaya dan menggali ilmunya, sebagaimana ungkapan ‘tak kenal maka tak sayang’, maka semakin kita mengenal sifat-sifat-Nya, makin kita menghargai apapun yang Dia berikan ke dalam kehidupan kita dan makin kita rindu untuk sering berduaan dengan-Nya dalam dzikir kita di tengah kehidupan.
Mari kita renungkan ciri-ciri hamba yang bertaubat yang digambarkan oleh Nabi Isa as yang direkam dalam Injil Barnabas sbb, semoga kita menjadi hamba-Nya yang bertaubat dengan taubat nasuha. aamiin:
Fasal 101
1. Kemudian Isa berkata, “Bahwa taubat itu adalah lawan dari kehidupan yang jahat. Dari sebab itu tiap pancaindera harus mengerjakan sebalik yang dikerjakan di waktu berbuat dosa.
2. Maka harus meratap sebagai gantinya bersenang-senang.
3. Dan menangis sebagai gantinya tertawa
4. Dan berpuasa sebagai gantinya berlebih-lebihan
5. Dan berjaga (malam) sebagai gantinya tidur
6. Dan bekerja sebagai gantinya menganggur
7. Dan wara (berhati-hati) sebagai gantinya syahwat
8. Dan hendaknya kelebihan berbicara diubah menjadi sembahyang dan kelobaan itu diubah menjadi sedekah.
13. Jika demikian ketahuilah bahwa taubat itu harus dikerjakan lebih banyak dari segala sesuatu, hanya semata-mata karena cinta kepada Allah. Jika tidak maka ia akan menjadi sia-sia belaka.
(Referensi: Materi Serambi Suluk, 2008. Zamzam AJT; Injil Barnabas)
No comments:
Post a Comment