Sunday, August 19, 2018

Di sebuah hutan yang luas terdapat berbagai jenis pepohonan yang tumbuh di sana. Sebagian besar pohon tumbuh tinggi menjulang dengan batang yang kokoh dan dahan-dahan yang menjangkau langit diiringi dedaunan yang rimbun. Akan tetapi ada satu batang pohon yang berbentuk aneh, agak bengkok, dahan-dahannya kurus dan berdaun jarang. Pohon bengkok ini sering di-"bully" oleh pohon-pohon lainnya, sedemikian rupa hingga suatu hari dia merasa di titik nadir hidupnya dan mengeluh kepada Sang Pencipta. "Wahai Tuhan, kenapa kau jadikan aku seperti ini? Aku menjadi bahan ejekan yang lain, hidupku menderita sekali..." Demikianlah sang pohon bengkok menangis kepada Tuhannya semalaman.

Keesokan harinya semua pepohonan dibangunkan oleh suara bising manusia yang membawa alat-alat berat untuk memotong pohon. Semua pohon ketakutan, termasuk sang pohon bengkok yang tengah berhadapan langsung dengan salah satu penebang pohon yang berkata, "Alangkah anehnya bentuk pohon ini. Jangan tebang ia, karena batangnya tidak lurus!" Demikianlah hari itu sang pohon bengkok terhindar dari bencana justru diselamatkan oleh takdir yang ia keluhkan malam sebelumnya.

Begitulah manusia, bagai si pohon bengkok yang tidak paham dibalik dibatasi rezekinya, di balik tertundanya doa, di balik sakit yang harus ia derita, di balik gejolak rumah tangganya, di balik kelelahannya bekerja atau mengurus anak sehari-hari sungguh tersimpan nikmat pemberian yang tinggi, jika saja ia mau bersabar mengunyahnya. Akibatnya sangat sedikit yang bisa cerah raut wajahnya menempuh takdir kehidupan, kebanyakan tergelincir dalam ilusi "seandainya saya punya itu saya bisa bahagia, seandainya saya nikah dengan dia hidup saya komplit, seandainya ada itu hidup lebih mudah dst...dst.." mengandaikan sesuatu yang jauh dari jangkauan dan meletakkan takaran kebahagiaannya disana. Poor human...

Friday, August 17, 2018

Dalam sebuah kisah sufi disebutkan seekor semut tengah berjalan melintas gurun. Kemudian seseorang yang dikaruniakan bahasa dunia hewan bertanya kepada sang semut, "Hendak kemana engkau?"

Sang semut menjawab, "Aku ingin menuju ka'bah"
Sang penanya itu merasa heran lalu berkata, "Dengan kecepatanmu seperti ini dan tubuh kecilmu apakah kau yakin akan sampai ke tempat tujuan?"

"Barangkali aku keburu mati sebelum mencapai tanah suci, tapi setidaknya aku mati dalam perjalananku kesana..." jawab sang semut dengan pasti sambil terus melanjutkan perjalannya.
Ada sebuah kisah yang disampaikan oleh Jalaluddin Rumi tentang seekor semut yang melintasi karpet Persia (yang tebal) di dalam masjid, dan semut itu mengeluh kepada Tuhan, sambil berkata, "Apakah gerangan semua penghalang dengan warna bermacam-macam dan pola yang aneh ini? Pasti ia dibuat sebagai penghalang perjalanan, sungguh sebuah kesia-siaan!"
Akan tetapi tentu saja bagi sang pembuat karpet yang dapat melihat dari atas, (ia) dapat melihat pola (yang indah) serta (paham) kegunaannya, dan dapat melihat bentangan karpet itu sebagai sesuatu yang baik dan memukau.

Allah pun seperti itu. Kerap kita tidak paham akan makna ujian, rasa sakit, kekurangan, tertundanya doa, kesempitan dan kemelut yang ia berikan, karena kita berada di dunia dua dimenai di bawah - seperti sang semut- oleh karenanya jiwa kita harus melangit (mi'raj) agar bisa memahami peta besar kehidupan, dan melihat sekian pola spektakular yang terbentang dalam takdir hidup masing-masing.

Maka derajat kekalutan seseorang dalam menghadapi ujiannya masing-masing sesungguhnya adalah  refleksi dari kualitas shalatnya sehari-hari. Karena Rasulullah saw bersabda "Shalat itu adalah mi'rajnya orang-orang mukmin."

Sekarang masalah apa yang membuat kita ketar-ketir? Persoalan apa yang buat kita "makan ati"? Kemelut apa yang membuat wajah kita murung? Sebelum konsul sana-sini, lebih baik tenang dulu, ambil wudhu, lalu sholatlah sekhusyuk mungkin. Jika dirasa pikiran masih lari-lari dalam shalat, tambal bolongnya shalat itu dengan berbagai shalat sunnah dan rawatib. Sungguh persoalan yang kita hadapi tidak akan pernah usai kalau dihadapi dengan taktik dua dimensi ala semut di darat, karena kita hanya akan menghabiskan jatah usia yang ada sibuk untuk menyelesaikan konflik horizontal dari satu titik ke titik lainnya. Untuk memahami apa permasalahan sesungguhnya kita harus bertanya kepada "Sang Pembuat Karpet" kehidupan kita masing-masing. Itu satu-satunya cara.[]

Thursday, August 16, 2018

Ada yang bertanya, bagaimana kita menumbuhkan jiwa kita, agar ia bisa menjadi jiwa muthmainnah?

Jawabannya gampang, hanya pelaksanaannya tidak gampang, butuh pertolongan Gusti Allah.
Di dalam takdir sehari-hari yang kita lalui: kemacetan yang harus ditempuh, pekerjaan yang harus diselesaikan, konflik yang harus diredam, lelah yang harus ditahan, rasa sakit yang harus dipikul, semuanya adalah utusan-utusan dari Allah yang akan menumbuhkan jiwa. Syaratnya semua itu dijalani dengan sabar, syukur dan ikhlas.

Nah, permasalahan kebanyakan orang kan belum apa-apa sudah misuh-misuh, sudah mengeluh, sudah slaahkan ini-itu. Jadi kehilangan momen berharga untuk mereguk air suci dari takdir yang dirancang Allah di lauh mahfuzh, hingga jiwanya bisa minum itu. Karena keluhan, amarah dan tidak menerima bahkan menolak takdir kehidupan itu bagai menepis cawan yang berisi air kehidupan bagi jiwa masing-masing. Akibatnya jiwa makin merana karena kehausan. Dan jika jiwa lemah maka yang mengambil alih kendali diri adalah syahwat dan hawa nafsunya.

Friday, August 10, 2018


Bagaimana shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar?

Kenapa ada orang yang rajin shalat tapi tetap melakukan korupsi dan berbuat zalim?

Ayat Al Qurannya jelas,

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al ‘Ankabut: 45).

Permasalahannya adalah bagaimana kualitas shalat yang dilakukan itu.

Shalat sejatinya adalah mi’raj hamba-Nya yang mukmin, artinya jika orang shalat dengan khusyu dan dengan hati yang ihsan maka jejak mi’raj jiwanya yang membuat ia melangit ke semakin mendekat kepada Rabbul ‘alamiin akan terpancar ke perilakunya sehari-hari. Dengan kata lain, jika ada orang yang rajin shalat tapi akhlaknya masih kerap menyakiti sesama, ucapannya menyakitkan, masih kurang bisa mengendalikan amarah, masih sulit mengalir dalam takdirnya, semua itu hanya gambaran kualitas ihsannya pada saat shalat.

Dengan demikian kita bisa lebih memahami kenapa shalat disebut sebagai tiang agama (ad diin), karena ad diin dan perilaku kehidupan kita sangat ditentukan oleh kualitas audiensi kita dengan Allah Ta’ala dalam waktu yang singkat itu dibandingkan waktu yang dicurahkan untuk kembali sibuk ke dalam dunia kita masing-masing. Oleh karenanya kunci untuk mengubah kehidupan yang ada di luar waktu shalat justru adalah untuk berjuang khusyu dan ihsan di ruang shalat. Pantas kiranya Rasulullah saw menyarankan jika datang waktu shalat, anggaplah itu seakan-akan shalat terakhir kita, yang dengannya kita lepas semua perkara dunia dari pikiran kita dan mulai menghadapkan diri sepenuhnya kepada Dia yang senantiasa menghadapkan Dirinya kepada kita.[]

Sunday, August 5, 2018

Ketika Nabi Ya'qub menitipkan anak kesayangannya, Yusuf kepada kakak-kakaknya agar melindungi dari serangan serigala setelah itu Allah membuat mata Nabi Ya'qub menjadi buta. Itu adalah hukuman yang Allah timpakan kepada seseorang selevel nabi yang menyandarkan perlindungan sesuatu yang dicintainya kepada sesuatu selain Allah. Adapun kecintaan seorang nabi seperti Ya'qub kepada anaknya bukan semata-mata karena ia adalah keturunannya, tapi karena aspek malakutiyah yang memancar dari diri sang Yusuf yang bahkan secara ragawi dibuat tampan.

Adapun manusia, berapa kali hati kita tertawan oleh kecintaan kepada selain-Nya. Barangkali kepada pasangan, jabata, gelar, karir, harta dan lain-lain. Seorang Nabi Ya'qub dibuat buta matanya sekali. Adapun mata hati kita barangkali telah terbutakan beribu kali. Maka tidak aneh kita tidak melihat petunjuk-Nya, tidak heran jika bentangan shiraathal mustaqiim yang kita minta setiap hari itu tidak nampak. Jangan jengah kalau merasa doa sepertinya belum dikabulkan. Karena bukanlah petunjuk itu tidak ada, tidaklah shirathal mustaqiim itu tidak dibentangkan dan bukan pula doa kita tidak dibuka pintu pengabulannya, tapi lebih karena mata hati kita yang belum bisa mengidentifikasi semua itu. Astaghfirullahaladziim…

(Adaptasi dari kajian hikmah al Quran yang disampaikan oleh Mursyid Zamzam AJT, 29 Juli 2018)

Wednesday, August 1, 2018

Di dalam takdir kita masing-masing, di setiap kejadian yang menimpa kita baik dan buruknya, semua itu mempunyai orientasi khusus, yaitu mendorong manusia ke arah sesuatu, yaitu kepada Sang Pencipta. Sementara manusia hanya sibuk menyelesaikan masalah di level horizontal, mulai mencari sekolah anak, mempersiapkan kuliah anak, mencari pekerjaan, mencarikan tempat tinggal, mencarikan jodoh, mempersiapkan pernikahan, mempersiapkan kedatangan cucu, menengahi konflik rumah tangga, mengurus cucu, dan seterusnya. Selama manusia hidup, yang namanya masalah akan selalu ada mengitarinya, karena pada hakikatnya itu adalah bagian dari rahmat Allah, pertolongan-Nya agar manusia tidak lupa bahwa hidup ini bukan miliknya, bahwa  ada hal spesifik yang ia harus lakukan dalam hidup, dan agar ia tidak lalai bahwa setelah kesibukan dunia ini akan dijelang kehidupan lain yang lebih kompleks dan membutuhkan persiapan sejak sekarang.

Sebetulnya yang diharapkan oleh Dia yang mengirim semua masalah itu agar sang hamba ingat bahwa kendali hidupnya dan kunci seluruh permasalahan sepelik apapun itu ada di tangan Sang Pencipta. Jadi yang terpenting adalah kembalinya hati kepadaNya, bukan tersibukkan minta ini-itu dan tertawan di pemberian untuk menyelesaikan urusan dunia yang tidak akan pernah selesai. Maka hal tertinggi setiap manusia terletak pada kemampuan untuk merenungkan siapa dirinya dan akan kemana ia menuju. Namun bahkan untuk sekadar bisa merenung pun adalah sebuah karunia besar dari Allah Ta’ala. Tidak  jarang kemudian Allah tenggelamkan kehidupannya, dibuat bangkrut usahanya, dibuat sakit badannya hingga harus terbaring di tempat tidur dalam jangka waktu lama, dipatahkan kakinya agar ia berhenti sejenak dari perlombaan dunianya, semua itu agar menciptakan ruangan perenungan bagi sang hamba. Agar dia ingat sejatinya hidup ini untuk apa. Pun kadang seseorang diberikan icip-icip nuansa kematian yang jalannya bisa lewat mana saja, kematian teman atau kerabat dekat, sakit parah yang diderita oleh diri atau kerabatnya, sebagai pengingat dari-Nya agar ia terbangun dari kelalaian hidupnya dengan sebuah pertanyaan keras, “Apakah engkau mau begitu saja sampai mati?”

(Adaptasi dari diskusi suluk bersama Mursyid Zamzam, 12 November 2017)