Di dalam takdir kita masing-masing, di setiap kejadian yang menimpa kita baik dan buruknya, semua itu mempunyai orientasi khusus, yaitu mendorong manusia ke arah sesuatu, yaitu kepada Sang Pencipta. Sementara manusia hanya sibuk menyelesaikan masalah di level horizontal, mulai mencari sekolah anak, mempersiapkan kuliah anak, mencari pekerjaan, mencarikan tempat tinggal, mencarikan jodoh, mempersiapkan pernikahan, mempersiapkan kedatangan cucu, menengahi konflik rumah tangga, mengurus cucu, dan seterusnya. Selama manusia hidup, yang namanya masalah akan selalu ada mengitarinya, karena pada hakikatnya itu adalah bagian dari rahmat Allah, pertolongan-Nya agar manusia tidak lupa bahwa hidup ini bukan miliknya, bahwa ada hal spesifik yang ia harus lakukan dalam hidup, dan agar ia tidak lalai bahwa setelah kesibukan dunia ini akan dijelang kehidupan lain yang lebih kompleks dan membutuhkan persiapan sejak sekarang.
Sebetulnya yang diharapkan oleh Dia yang mengirim semua masalah itu agar sang hamba ingat bahwa kendali hidupnya dan kunci seluruh permasalahan sepelik apapun itu ada di tangan Sang Pencipta. Jadi yang terpenting adalah kembalinya hati kepadaNya, bukan tersibukkan minta ini-itu dan tertawan di pemberian untuk menyelesaikan urusan dunia yang tidak akan pernah selesai. Maka hal tertinggi setiap manusia terletak pada kemampuan untuk merenungkan siapa dirinya dan akan kemana ia menuju. Namun bahkan untuk sekadar bisa merenung pun adalah sebuah karunia besar dari Allah Ta’ala. Tidak jarang kemudian Allah tenggelamkan kehidupannya, dibuat bangkrut usahanya, dibuat sakit badannya hingga harus terbaring di tempat tidur dalam jangka waktu lama, dipatahkan kakinya agar ia berhenti sejenak dari perlombaan dunianya, semua itu agar menciptakan ruangan perenungan bagi sang hamba. Agar dia ingat sejatinya hidup ini untuk apa. Pun kadang seseorang diberikan icip-icip nuansa kematian yang jalannya bisa lewat mana saja, kematian teman atau kerabat dekat, sakit parah yang diderita oleh diri atau kerabatnya, sebagai pengingat dari-Nya agar ia terbangun dari kelalaian hidupnya dengan sebuah pertanyaan keras, “Apakah engkau mau begitu saja sampai mati?”
(Adaptasi dari diskusi suluk bersama Mursyid Zamzam, 12 November 2017)
No comments:
Post a Comment