Monday, March 30, 2020

Kita sedang berada di tengah pusaran wabah yang Allah utus bagi mereka yang Dia kehendaki. Pastikan hati bercahaya dengan iman menjalaninya agar wabah ini menjadi rahmat bagi kita. Nyalakan hati dengan sabar, Nyalakan dengan shalat, Nyalakan dengan dzikir, Nyalakan dengan menangis kepada-Nya. Nyalakan dengan sedekah, Nyalakan dengan berbuat baik, Nyalakan dengan membantu sesama sebisa mungkin, Nyalakan dengan menahan diri dari amarah, Nyalakan dengan mengerjakan ibadah sunnah yang lebih dari biasanya, Nyalakan dengan tawakal hati saat tak ada pilihan harus keluar rumah menjelang rezeki, Nyalakan dengan yakin kepada Allah saat harus bekerja di tengah episentrum wabah di rumah sakit, Juga nyalakan hati dengan mengirim doa untuk saudara2 kita. Al fatihah... 'Aisyah ra bertanya kepada Rasulullah Muhammad saw tentang wabah penyakit. Kemudian Rasulullah Muhammad saw bersabda: "Wabah penyakit itu adalah azab yang diutus Allah kepada orang-orang yang Dia kehendaki, dan Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang yang beriman. Jika terjadi suatu wabah penyakit dan ada orang yang menetap di negeri itu, kemudian ia bersabar dan hanya berharap balasan dari Allah, dan ia seorang meyakini bahwa tidak ada satu peristiwa pun terjadi kecuali sudah ditetapkan Allah, maka ia mendapatkan balasan seperti orang yang mati syahid". (HR. Bukhari).

Friday, March 27, 2020

Dunia boleh saja dibuat gonjang-ganjing, pendapatan bisa saja surut karena pembeli berkurang, wabah bisa saja merebak. Ekonomi pun diputar balikkan. Semua hal yang kita kejar menjadi relatif tidak bermakna dibanding sebuah nikmat sehat dan hidup di tengah wabah ini. Pekerjaan kita boleh hilang, usaha kita boleh bangkrut, pasangan pun bisa jadi pergi, juga sanak saudara susah untuk dihubungi. Tapi Allah tidak pernah beranjak sehelai rambutpun dari sisi kita. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Daud a.s., “Wahai Daud, meskipun semua penghuni langit dan bumi beserta para malaikat berbuat makar serentak kepada engkau, selama engkau berpegang kepada-Ku niscaya Aku akan berikan jalan keluar!” Bayangkan, meskipun semua penghuni langit dan bumi beserta para malaikat pun jika hendak “mengeroyok” kita harusnya keimanan kita kepada-Nya membuat hati tidak bergeming. Karena kita punya pelindung Yang Maha Kuasa. Yang Paling bisa diandalkan. Silakan optimalkan ikhtiar, tapi jangan tawakalkan hati kepada ikhtiar itu. Berwudhulah dengan baik dan berjuang menegakkan shalat dengan ihsan, dengan membayangkan Dia hadir di hadapan kita. Lalu jelang satu persatu amanah kehidupan dengan hati yang berserah diri, merasa selalu diawasi oleh-Nya. Hanya dengan mengerjakan dengan tekun setiap amanah yang ada di hadapan kita maka pintu karunia dan rezeki selanjutnya akan terbuka . Bismillah…

Tuesday, March 24, 2020

Di masa swakarantina ini kita bisa menguji coba setajam apa ketaqwaan kita masing-masing. Ketika kita dilepaskan dari sekian banyak rutinitas harian yang mencengkeram seperti ke kantor, bekerja, berjualan, mengajar, antar jemput anak, meeting ini-itu dsb. Lalu tiba-tiba di depan kita seolah-olah terbentang banyak waktu luang. Ya, "seolah-olah" karena bagi mukmin itu sudah ada ketetapan apa yang harus dia kerjakan di setiap saatnya. Hati yang taqwa akan bisa mengendus itu. Apa kira-kira yang Allah ingin saya lakukan sekarang. Apakah kita memilih membunuh waktu dan mengusir kebosanan dengan menenggelamkan diri bermain game, nonton lusinan film, scroll down berita medsos yang tidak ada habis-habisnya? Atau kita ingin tetap produktif. Tapi, produktivitas macam apa yang Dia ridhoi. Setiap hati yang bertanya pada-Nya pasti akan menemukan jawaban. Asal kita mau merenung betul. Taqwa itu kuncinya. Karena hanya hati yang bertaqwa yang Allah ajari. Pengajaran Allah itu sangat spesifik. Seperti menu masak apa hari ini, buku apa yang harus dibaca, ayat Al Qur'an mana yang harus dipelajari, cucian yang mana yang harus didahulukan, pelajaran apa yang harus diajarkan kepada anak, siapa yang harus ditelepon atau siapa yang sekadar disapa via chatting dsb. Allah ada bersama kita. Dalam setiap nafas. Adalah kebanyakan kita yang sering tak acuh pada-Nya dan hanya melirik-Nya sejenak dalam waktu shalat yang lalai itu. Hati-hati jika diberi waktu yang berlimpah. Ini adalah nikmat yang harus dipertanggungjawabkan. Jangan sampai kita coba membela diri nanti sambil berkata, "aku tidak tahu ya Allah apa seharusnya aku lakukan di saat itu." Lalu Dia menjawab, "Lantas kenapa kau tidak bertanya kepada-Ku?" - Renungan swakarantina hari ke-9

Sunday, March 22, 2020

Jangan menjadi lemah dan lalai. Hari-hari dan kehidupan itu dalam genggaman Tuhan. Dia Maha Kuasa. Mau sedang wabah, mau krisis ekonomi, mau diguncang bencana. Yang penting selama kita diberi nafas. Nyalakan iman dan cari amal shalih yang terbaik yang kita bisa kerjakan hari ini. Ini kunci mendapatkan kehidupan yang terbaik. “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS an-Nahl [16]: 97). - Hari ke-7 lockdown

Saturday, March 21, 2020

Beberapa hari lagi bulan suci Rajab akan segera berakhir. Selempar batu lagi menjelang Sya'ban dan Ramadhan. Dengan perkembangan situasi pandemi seperti ini. Tampaknya kita harus bersiap mengubah kebiasaan dan tradisi di tengah situasi darurat ini. Bisa jadi tidak lagi tarawih di mesjid, tidak pula shalat id bersama di masjid atau tanah lapang, juga tak dianjurkan mudik menemui orang tua yang ada di kota lain. Tak ada satupun diantara kita yang memiliki pengalaman menghadapi pandemi seperti ini. Setidaknya tidak sedahsyat pandemi Flu Spanyol 1 abad yang lalu yang menelan sekitar 20 juta jiwa di seluruh dunia. Itu 100 tahun yang lalu. Kalaupun ada saksi mata yang selamat sangat sedikit yang masih hidup di tahun ini. Kita gugup, kikuk, cemas dengan perkembangan yang tak menentu. Panik menghadapi situasi yang luar biasa seperti ini. Sekolah tiba-tiba diliburkan sementara waktu, bekerja harus dari rumah untuk sebagian orang, pusat-pusat berbelanjaan di tutup, ajang kompetisi bola dibatalkan, konser-konser musik ditunda. Rak-rak kosong di supermarket jadi pemandangan sehari-hari. Orang berjalan-jalan menutup wajah dengan masker. Kita seperti ada di planet lain yang udaranya beracun. Degup kehidupan serasa berhenti sesaat. Menyisakan artimia. Detak jantung yang tak beraturan. Kita belum terbiasa menghadapi situasi ini. Di saat pekerjaan dihentikan sesaat, lantas siapa kita? Kalau usaha tempat seseorang ditutup sementara waktu, lantas siapa kita? Jika sepanjang waktu kita terpaksa berdiam di rumah, siapa kita dengan sekian banyak waktu yang ada? Sungguh, tamu Tuhan yang sangat agung dan perkasa. Jasad renik yang tak nampak, tapi sedemikian rupa bisa mendisrupsi kehidupan jutaan manusia. Manusia pun terbagi dalam tiga golongan besar dalam menghadapi kejadian ini. Ada yang makin dekat kepada Tuhan. Seperti seorang agnostik yang saya tahu, tiba-tiba mengirim pesan meminta doa. Ada yang makin jauh dari Tuhan. Seperti seorang ibu yang saya saksikan tadi siang marah-marah saat mengantri belanjaan dan berkata "Tuhan tidak ada! Kita yang harus melindungi diri sendiri." Dan tak sedikit yang bebal hatinya. Menganggap lockdown ini bagaikan liburan, lalu menghabiskan waktu dengan hal yang sia-sia. Sekali lagi. Ujian hanya menampakkan apa yang ada di dalam hati kita... Astaghfirullah... - Renungan lockdown hari ke-6

Thursday, March 19, 2020

Di masa swakarantina, ketika interaksi dengan orang lain sangat turun drastis, kita menjadi diingatkan betapa kita semua adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan. Di tengah anjuran pemerintah agar masyarakat tetap tinggal di rumah agar mengurangi jumlah penularan virus serentak yang membawa dampak yang lebih buruk. Beberapa orang masih menjalankan profesinya, dan kita membutuhkan mereka. Mereka yang kerap kita anggap "kurang keren" pekerjaannya. Mereka, para petugas pengangkut sampah, cleaning service di rumah sakit, pegawai supermarket yang menata barang2 kebutuhan sehari2 dan melayani kita, pak pos yang mengantarkan surat dan barang pesanan online. Belum lagi orang-orang yang berperan menjaga suplly chain makanan. Para petani, para peternak, para supir yang mengangkut hasil produksi, para pegawai gudang dll. Kita barus sadar bahwa hidup kita selama ini ditopang oleh sekian banyak orang yang berkontribusi di dalamnya. Dalam rantai distribusi kebutuhan sehari-hari yang panjang dan melibatkan banyak profesi. Kita baru sadar bahwa tidak ada sebenarnya "profesi yang kurang keren". Semua punya kontribusi dalam peradaban dunia dengan caranya masing-masing. Adalah pikiran dangkal kita yang mengkotak-kotakkan sesuatu keren atau kurang keren, sukses atau kurang sukses. Di masa wabah Corona ini, ketika orang khawatir atas kesehatan dan keselamatan dirinya. Kita bisa lihat bagaimana ketulusan dan dedikasi para petugas kesehatan yang tetap bekerja langsung ke episentrum wabah, di rumah sakit - dimana orang-orang yang terinfeksi virus itu tengah dirawat. Mereka bukan hanya para dokter dan perawat yang jelas tampil di garda depan. Seorang sahabat saya yang bekerja di rumah sakit bahkan dikarantina sepuluh hari di tempat terpisah, belum bisa berkumpul dengan keluarganya untuk mencegah penularan. Tapi juga mereka di bagian administrasi, bagian sterilisasi, cleaning service, farmasi, gudang alat kesehatan, dapur gizi, keuangan, security dan semua personel yang dibutuhkan agar kegiatan seluruh rumah sakit berjalan. Untuk mereka sangat laik kita doakan. Al fatihah...
Tenang, masih ada tabungan.” “Tenang, masih ada deposito.” “Tenang, biasanya dibantu sama si anu.” Kalau dalam hidup kita biasa mengandalkan bantuan orang dan bertawakal kepada selain Allah. Selamanya Allah hanya akan jadi sesuatu yang tidak kita puja dengan sungguh-sungguh. Sekadar “lip service” dan menenang-nenangkan hati seolah sudah benar beribadah kepadanya gegara merasa sudah melakukan semua rukun Islam: syahadat, shalat, zakat, puasa bulan Ramadhan dan naik haji. Nanti ketika seseorang telah wafat, di alam barzakhlah nampak yang mana tuhan yang dia sembah sesungguhnya dengan menjawab pertanyaan malaikat “Man Rabbuka?” – Siapa tuhanmu? Dan yang menjawab saat itu tidak bisa lagi memori yang tersimpan di milyaran sel saraf, karena otak sudah tidak berfungsi dan menjadi santapan cacing-cacing tanah. Ketika itu jiwa kita yang akan menjawab apa adanya. Bisa jadi jawabannya “pekerjaanku, tabunganku, usahaku, orang tuaku yang selalu membiayaiku atau pasanganku yang mencukupiku” Karena selama hidupnya itu yang dia kenal mencukupi langsung dan menyelesaikan semua permasalahannya. Dia praktis tidak kenal siapa itu Sang Rabbul ‘Alamiin. Ilusi dunia itu begitu kuatnya hingga banyak yang tertipu disana. Maka ketika kesempitan hidup datang, ketika usaha dibuat sulit, saat kehidupan sepertinya berbalik seratus delapan puluh derajat. Lalu saat yang bersamaan semua tabungan kita habis, handai taulan yang biasa menolong pun dibuat tak berdaya, dunia seakan mencengkeram kita dengan kuat hingga hampir rasanya kita kehabisan nafas. Itulah justru saat Allah ingin memperkenalkan Diri-Nya. Betapa banyak kejadian di sekitar kita, orang yang sakit parah divonis dokter tinggal beberapa bulan lagi ternyata sampai hari ini masih segar bugar, atau orang yang dibuat bangkrut usahanya dan pontang-panting kesana-kemari, ternyata menjadi seorang ahli sedekah yang luar biasa. Saat orang seperti berada di ujung jurang itu jeritan hatinya kencang. Kefakiran melanda sekujur dirinya. Sebuah kondisi kehambaan yang mutlak membutuhkan Dia. Dan Allah mengabarkan melalui nabi-Nya, “Aku ada di hati hamba-Ku yang hancur”. Adalah hawa nafsunya yang dihancurkan, syahwatnya yang dihancurkan, sekian banyak keinginan yang dijauhkan dan membuatnya bahkan tidak berselera lagi untuk meminta selain ampunan dari-Nya. Di saat-saat seperti itu kita jadi paham betul. Dan berkata : “Iya ya Allah itu Maha Penyembuh, karena saat yang lain sudah angkat tangan tiba-tiba saja aku dibuat sembuh.” “Iya ya, Allah itu Maha Mendengar. Karena aku hanya memiliki keinginan ini dalam hati dan tak ada satu pun yang mengetahuinya, tapi tiba-tiba dimudahkan hadir.” “Iya ya, Allah itu Maha Memberi Rezeki. Karena kalau dihitung-hitung penghasilan tidak akan cukup untuk membiayai semua kebutuhan rumah tangga. Tapi selalu ada saja rezeki yang diluar hitungan kita.” Dan seterusnya. Itu cara Allah memperkenalkan Diri-Nya. Dengan mematikan aliran sebab-akibat. Sehingga manusia bisa melihat Kekuasaan-Nya Yang Maha Agung. Tapi untuk bisa diperkenalkan kepada Sang Rabbul ‘alamiin tidak bisa dengan hati yang lemah dan jiwa yang masih sangat lengket kepada dunia. Maka berbahagialah bagi mereka yang hidupnya mulai disempitkan, berarti Allah memandang jiwanya sudah cukup kuat. Karena sungguh inilah jalan penyembuhan jiwa yang paling mujarab. Sabar saja, sungguh tak akan lama. Seperti kata pepatah, “Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.” Hingga ketergantungan hati kita seratus persen kepada-Nya. Mengutip petuah seorang ulama, "Orang beriman itu seharusnya punya uang satu trilyun pun akan merasa takut jika nanti malam tidak bisa makan." Karena demikian besar pengabdian kepada-Nya yang membuahkan rasa takut. Yakin kalau Allah tidak izinkan tak seujung rambut pun rencananya yang terlaksana. Walau ia memiliki seluruh dunia dan isinya.[]
Hidup ini adalah papan catur-Nya. Jika kita tidak paham aturan main akan pontang-panting menjalaninya, padahal tidak mesti begitu...
Masa-masa sempit adalah pertolongan Allah untuk menampakkan tuhan-tuhan yang sebenarnya mengendalikan diri kita. "tuhan" berupa cinta dunia, takut mati, pekerjaan yang diandalkan mencukupi kebutuhan hidup, kenyamanan, rutinitas, penghasilan atau omzet harian, anak-anak, pasangan, takut kurang, dan seribu satu macam ketakutan yang berasal dari waham, kebodohan, syahwat dan hawa nafsu. Tandanya begitu faktor "tuhan" itu ditiadakan manusia jadi limbung, seakan-akan Allah, Tuhan yang sebenarnya tidak kuasa. Bukti bahwa shalat kita yang disertai takbir (Allahu Akbar, Allah maha Besar) dalam setiap gerakannya baru di bibir semata. Karena ternyata ada hal lain selain Dia yang dianggap lebih "besar" dan sangat dia andalkan. Astaghfirullahaladziim... *Renungan hari ke-4 semi lockdown krn wabah Coronavirus

Wednesday, March 18, 2020

Yang membuat kita menderita bukan situasi atau keadaan yang ada. Tapi ketidakpahaman akan kebaikan yang ada di balik itu semua.
Dalam kaca mata tauhid tidak ada kejadian baik atau buruk. Semua yang berasal dari-Nya adalah kebaikan. Adalah kacamata hawa nafsu, syahwat, waham dan kebodohan yang mengkotak-kotakkan sesuatu baik atau buruk, kurang atau lebih, terlambat atau terlalu cepat. Di tengah keadaan pandemi Coronavirus ini. Tetaplah berbesar hati. Masa depan ada di tangan-Nya. Untunglah bukan di tangan boss kita, bukan di tangan pemegang saham, bukan di tangan pelanggan setia, di tangan saudara atau handai taulan yang biasa memberikan pertolongan, apalagi bukan di tangan diri kita sendiri. Semua sudah Dia perhitungkan sejak menorehkan semua garis kehidupan di Kitab Lauh Mahfudz. Dia yang sangat bertanggungjawab mengurus semua ciptaan-Nya dan tidak menzalimi seujung rambut pun. Utusannya berupa virus bermahkota ini pun makhluk-Nya yang sangat berserah diri. Ia tidak akan menimbulkan penyakit tanpa izin Sang Pencipta. Teringat kisah Ibrahim as ketika hendak menyembelih anaknya Ismail yang sudah siap menyerahkan dirinya. Pisau tajam yang mampu membelah batu pun ternyata tidak mampu menoreh kulitnya sedikitpun. Apa kata sang pisau? “Tuhanku tidak menyuruhku memotongnya”. Tapi yang kita bayangkan memang mengerikan dalam pandangan kita, pisau tajam yang siap merobek hingga urat nadi. Demikianlah, sang virus akan presisi menjangkiti seseorang. Ada yang sembuh dan tidak sedikit yang wafat melaluinya. Sesuatu yang sudah ditakdirkan sejak dia berusia 120 hari di kandungan ibunya tentang berapa lama jatah usia di dunia ini . Dengan atau tanpa kehadiran wabah sebenarnya kita harus senantiasa bersiap menyongsong kematian. Bukan sekadar bersedih menghadapi kematiannya. Tapi yang lebih genting dari itu adalah apakah kita sudah berbekal cukup untuk kehidupan setelah kematian? Sungguh ini saat yang sangat penting untuk membuat skala prioritas dengan benar berdasarkan bimbingan Allah Ta’ala. Pikirkan lagi apa yang benar-benar penting dalam hidup dan bersungguhlah dalam mencari dan mengerjakannya. Ini sebuah rahmat besar, saat kita semua diingatkan secara berjamaah tentang sebuah gerbang menuju alam lain yang pasti kita songsong, gerbang yang bernama kematian. Semoga hati kita menjadi lebih terang karenanya. Aamiin []

Monday, March 16, 2020

Hari pertama “lockdown”. Cuaca sangat bersahabat. Matahari bersinar terik, walaupun demikian suhu udara di luar masih dingin (sekitar 6 derajat Celcius). Karena persediaan buah-buahan mulai menipis, saya ‘terpaksa’ keluar rumah untuk berbelanja di supermarket sekitar. Jalan raya tampak lengang. Saya melihat bus umum masih jalan dengan jumlah penumpang yang bisa dihitung dengan jari. Terlihat penumpang hanya keluar masuk lewat pintu belakang yang jauh dari pengemudi. Di pusat perbelanjaan (winkel centrum) masih terlihat orang-orang berjalan membawa satu kantung belanjaan. Tidak seperti hari Jum’at lalu dimana orang tampak memborong banyak barang. Antrian di supermarket pun biasa lagi. Barang-barang kebutuhan pokok mulai tersedia, seperti kentang, roti, nasi. Walaupun beberapa jenis barang seperti telur, tisu wc dan paracetamol habis terkuras. Kehidupan terlihat berjalan kembali, masyarakat tampaknya tidak sepanik sebelumnya. Walaupun banyak restoran, toko roti dan café yang tutup. Pengusaha horeca akan mendapat pukulan telak atas instruksi pemerintah untuk menutup sementara gerai-gerai bisnisnya. Sedemikian rupa hingga KHN (Koninklijke Horeca Nederland) atau persatuan pengusaha horeca sudah bersiap meminta bantuan dari pemerintah sebesar 5,1 milyar euro. Ini baru awal dampak ekonomi yang diperkirakan bisa jauh lebih mengkhawatirkan. Akan tetapi di sisi lain situasi wabah ini juga efektif memunculkan sifat asli seseorang. Kalau hatinya masih egois pasti hanya akan mementingkan kepentingan dan keselamatan diri sendiri dan keluarga, bahkan tak sungkan menyakiti orang lain demi mendapatkan sesuatu yang dia inginkan. Sebaliknya kebaikan yang ada di dalam hati seseorang akan muncul dalam situasi krisis seperti ini. Buktinya banyak inisiatif bermunculan untuk membantu sesama. Di Amsterdam dalam satu hari 250 orang mendaftarkan diri di “Amsterdam Corona Help” untuk membantu mereka yang membutuhkan pertolongan. Beberapa pelajar Belanda membentuk website bernama “Gewoon mensen die mensen willen helpen” (Hanya orang yang mau menolong orang lain) yang mendapat tanggapan oleh lebih dari 1000 orang yang mendaftarkan diri. Seorang wirausahawan yang bisnisnya terkena dampak langsung oleh lockdown ini dengan sepinya pelanggan mendapat “surat cinta” dari pemilik gedung dimana ia menyewa yang mengatakan bahwa sang pemilik gedung tidak akan menerima uang setoran sewa bulan ini, alias dibebaskan. Betul kiranya bahwa ujian efektif sekali menampakkan isi hati seseorang. Apakah kita masih menyimpan cinta dunia yang nampak dari kadar ketakutan kita akan masa depan, takut tidak cukup, takut tidak dapat makanan, takut mati dll. Apakah di dalam hati kita lebih dominan kebengisan atau kasih sayang. Semuanya akan ternampakkan, setidaknya kita harus bisa membaca itu semua. Agar tidak sia-sia Allah memberi cermin canggih melalui tamu-Nya yang bermahkota ini.[]
“Dead Calm” adalah situasi yang ditakutkan oleh para pelaut zaman dahulu yang berlayar di samudera luas dengan mengandalkan tiupan angin. Saat “Dead Calm” angin kencang berhenti berhembus. Keadaan sekitar menjadi tampak tenang tapi mematikan. Para pelaut bisa terjebak terkatung-katung di dalam kapal layar di tengah samudera hingga berminggu-minggu lamanya. Jika persediaan air dan makanan habis maka orang akan terancam kehilangan nyawa. Dalam hidup fenomena “dead calm” ini bisa terjadi di dalam diri seseorang. Yaitu pada saat hati merasa kehilangan gairah dan semangat, malas beribadah, malas beraktivitas, malas membantu orang lain. Tidak termotivasi untuk memberikan yang terbaik di hari itu. Tidak ada inspirasi untuk berbuat baik. Semuanya adalah tanda ketika Allah tengah tidak meniupkan angin taufiq kepada diri. Sebaliknya, jika Allah berkenan meniupkan “busyran” atau angin yang membawa kabar gembira, maka kita akan merasa sebuah gerak di dalam diri. Jadi rajin shalat rawatib, jadi tergerak untuk shaum sunnah, jadi ingin berinfak dan bersedekah lebih, diberi inspirasi untuk membantu sesama dll. Jika ini terjadi, sadarilah bahwa itu semata-mata datang dari Allah Ta’ala, bukan karena kita yang rajin. Akan tetapi kita dibuat menjadi rajin oleh-Nya.[]

Sunday, March 15, 2020

Episentrum wabah secara misterius pindah ke daratan Eropa. Negara yang paling terkena pukulan telak saat ini adalah Italia. Rekor kematian baru tercatat disana dalam satu hari 250 nyawa melayang. Ada asumsi bahwa karena Italia negara yang memiliki komposisi penduduk dengan usia tua cukup tinggi, maka angka kematian pun melonjak tinggi karena sejauh ini kasus kematian yang diakibatkan oleh infeksi Covid-19 (varian dari Coronavirus yang saat ini banyak menelan korban jiwa) banyak menimpa orang tua yang berusia di atas 80 tahun. Namun perkembangan baru dari pemantauan di Brabant, sebuah kota di Belanda yang lebih dahulu melaporkan peningkatan kasus signifikan menunjukkan perubahan pola serangan virus. Diamati bahwa pasien yang terkena infeksi virus ini dan terbaring tak berdaya di ruang ICU ada juga orang yang relatif muda berusia antara 30 hingga 40 tahun, bahkan ada satu kasus anak usia 16 tahun yang sedang dalam perawatan intensif. Hari ini, Minggu 15 Maret 2020 sore, pemerintah Belanda mengeluarkan pernyataan resmi untuk menutup sekolah, restoran, café, tempat olahraga, tempat penitipan anak dll selama tiga minggu lamanya. Sebuah pengumuman yang ditunggu oleh banyak orang sebenarnya sejak 48 jam sebelumnya ketika beberapa organisasi dan perusahaan mengeluarkan pengumuman agar orang bekerja dari rumah. Sejak hari itu pula orang secara panik menyerbu persediaan pokok di supermarket. Hal yang ditanggapi langsung oleh Minister President Mark Rutte sebagai perilaku asosial. Karena orang yang harus bekerja hingga sore atau malam misalkan akan datang ke supermarket dan menemukan rak-rak makanan dan kebutuhan sehari-hari yang penting seperti tisu wc kosong. Salah satu nasional pun keesokan harinya mengeluarkan headline menyindir perilaku ini, “Hamsteren is niet nodig” alias ngeborong itu ngga perlu. Pemerintah sudah mengkoordinasikan sebanyak sekitar 4000 cabang supermarket di Belanda untuk menjamin ketersediaan kebutuhan pokok. Dikatakan persediaan cadangan dilipatgandakan bahkan empat kali lipat dari biasanya. So, it begins. Selama tiga minggu kedepan saya, suami dan anak-anak akan banyak meluangkan waktu di rumah dan menghindari kontak dengan sebanyak mungkin orang. Paling sesekali pergi ke supermarket untuk belanja kebutuhan sehari-hari dan menjaga jarak 1,5 hingga 2 meter dengan orang lain. Kita tidak pernah tahu siapa yang sudah terinfeksi virus tersebut dan menjadi “carrier”. Menimbang kegentingan dari situasi yang ada, saya dan suami bahkan sepakat untuk membuat surat wasiat bagi anak-anak. Kalau-kalau worst case scenario terjadi dan kami atau salah satu diantara kami memang saatnya pindah dari alam dunia ini, maka anak-anak akan mendapatkan instruksi tertulis yang jelas yang akan kami berikan kepada wali mereka. Apakah langkah yang lebay? Sama sekali tidak. Tanda kematian di sekitar mulai mendekat, sesuatu yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Sekadar menjalankan aturan Allah dalam QS Al Baqarah: 180, “Diwajibkan atasmu, apabila diantara kamu mendapatkan (tanda-tanda) kematian, jika ia meninggalkan harta yang banyak agar berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.” Semoga surat wasiat itu tidak sampai perlu diberikan kepada anak-anak. Tapi kalau yang terjadi adalah sesuatu hal yang tidak kita inginkan, setidaknya kita sudah melakukan langkah yang bertanggung jawab. Agar jangan ketika di yawmil hisab ketika kita mencoba protes dengan kematian yang dianggap datang mendadak dan dijawab oleh-Nya, “Don’t tell Me I didn’t warn you!”
Seumur hidup saya belum pernah menyaksikan ketakutan massal seperti ini. Orang memborong makanan habis-habisan dan tidak menyisakan barang sebagian untuk yang lain . Dia barangkali lupa yang lain juga butuh makan. Seorang kakek sepuh berjalan lemas sekaligus kesal karena persediaan pasta habis di sebuah supermarket. Banyak yang membeli persediaan untuk berminggu-minggu lamanya. Mereka yang mengandalkan penghasilan dari pendapatan sehari-hari banyak yang gigit jari. Pelanggang menurun drastis, boro-boro membeli persediaan untuk satu minggu. Makanan untuk hari itu pun harus dikurangi jatah dibanding biasanya. Bisnis dan usaha kecil langsung melemah. Perusahaan besar yang memiliki lebih dari 35 ribu karyawan seperti KLM pun dibuat megap-megap menghadapi penurunan penerbangan yang drastis. Bulan depan sekitar 1500 hingga 2000 karyawan siap-siap harus kehilangan pekerjaannya. Beberapa usaha kecil, seperti les privat, kelas yoga, toko kue atau café kecil, karena beberapa minggu ke depan atau bahkan bulan- kita tidak tahu – mereka tidak akan melayani pelanggan lagi, jika pemilik gedung tidak memberikan kompensasi atas keadaan luar biasa ini, mereka tidak akan mampu membayar sewa dan harus menutup usahanya. Sungguh sebuah pagelaran besar tentang pengalaman mendekati kematian. Dimulai dari utusannya yang mulia dan memakai mahkota bernama “Coronavirus” Allah izinkan menyebar dan menimbulkan penyakit pada manusia. Diberi nama “Corona” (dari Bahasa Latin) atau mahkota karena virus ini permukaan tubuhnya memiliki tonjolan protein yang berbentuk mirip mahkota. Kehadiran jasad renik ini mengguncang dunia. Saat tulisan ini dibuat, Badan Kesehatan Dunia (WHO) sudah mengumumkan terdapat sejumlah 152.428 kasus yang terkonfirmasi terjangkit penyakit oleh Coronavirus dengan total 5.720 kematian dari 141 negara di seluruh dunia. Persediaan masker dan sanitizer mendadak surut. Membuka peluang bagi pedagang culas untuk menaikkan harga ke tingkat yang tidak wajar. Mengambil keuntungan yang tidak wajar di masa sulit sungguh sebuah kejahatan. Orang takut terkena infeksi virus ini. Kenapa? Takut sakit dan ujung-ujungnya takut mati. Juga yang kehilangan pekerjaan dan usahanya terancam gulung tikar. Ujung-ujungnya sama. Takut mati. Diawali dengan takut tidak bisa membayar ini dan itu. Takut tidak cukup. Takut kurang. Utusan bermahkota itu betul-betul efektif mengeluarkan apa isi hati sebagian besar manusia yang bernama cinta dunia. Karena semua ketakutan dan kekhawatiran berasal dari sana. Ketika kita memeluk dunia demikian erat hingga lupa apa hal yang sejati dan paling penting dalam hidup. Beberapa negara sudah mengeluarkan kebijakan “lockdown” artinya para warga tidak boleh keluar rumah kecuali untuk lima hal : Belanja makanan, membeli obat, ke dokter atau rumah sakit, untuk bekerja (misal petugas kesehatan, petugas transportasi massal dll yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat umum) atau boleh keluar jika untuk mengurus anggota keluarga atau teman yang sakit. Itu kebijakan yang baru dikeluarkan di Spanyol. Versi “lockdown” yang jauh lebih ringan dibandingkan yang diterapkan oleh pemerintah China di Wuhan dengan memotong transportasi dari dan keluar kota itu bahkan kendaraan pribadi dilarang beroperasi di jalanan. Kebijakan ini menyebar ke daerah lain, untuk mengamankan situasi. Tercatat di 760 juta orang terkurung di tempatnya masing-masing. Dan pemerintahnya sangat keras menjatuhkan hukuman bagi yang melanggar, yaitu diancam dengan penjara 3 bulan atau denda yang cukup besar. Dan orang disana tidak bisa curi-curi kesempatan karena pemerintahnya membuat aplikasi khusus untuk melacak pergerakan setiap orang. Contohnya seorang pemilik restoran di kota di luar Wuhan yang kebetulan sempat bepergian ke daerah Wuhan langsung didekati oleh otoritas setempat dan menyuruhnya untuk melakukan karantina. Suatu hari dia keluar rumah untuk memetik sayuran di sekitar, dan berkata tak lama kemudian mendapat telepon yang menyuruh dia untuk kembali ke rumah sesegera mungkin. Pencegahan ala pemerintah China itu dipandang terlalu ekstrem baik secara sosial dan ekonomi, kata Ben Cowling, seorang profesor di bidang epidemiologi dan penyakit infeksi dari Universitas Hongkong. Seharusnya ada keseimbangan antara tindakan melindungi nyawa seseorang dan kehidupannya. Apapun itu, buat saya pribadi yang bersiap menghadapi kemungkinan “lockdown”, bagaimanapun situasi adalah sebuah rahmat, sebuah pertolongan dari Allah Ta’ala dimana kita “diuzlahkan” secara massal. Ketika semua roda kehidupan dunia dibuat berhenti, ketika kebisingan mesin penghidupan dibuat senyap dan semua kesibukan dibekukan. Kita jadi diberi ruang kontemplasi untuk meninggalkan keramaian dan hiruk-pikuk untuk sejenak masuk ke ruang kesendirian. Mencoba menggapai jiwa masing-masing, berupaya mengenalinya dengan sungguh-sungguh. Mencuatkan kembali pertanyaan-pertanyaan fundamental yang sering dinafikan atau terbungkam dengan sekian banyak kegaduhan keseharian yang tak kunjung habis itu. “Tak ada sesuatu yang lebih bermanfaat atas hati sebagaimana uzlah, sebab dengan memasuki uzlah alam pemikiran kita akan menjadi lapang.” – Ibnu Atha’illah, Al Hikam.

Friday, March 13, 2020

Jika kesedihan tengah melanda, ingatlah bahwa ini hanya sementara. Begitupun ketika bahagia membahana di dalam hati, ia hanya sementara singgah. Kesempitan hidup ada hanya untuk beberapa saat, lalu ia akan digantikan dengan kelapangan. Seperti siang dan malam, semua akan berjalan bergantian dalam pengaturan-Nya. Kita tidak bisa buru-buru memaksa matahari terbit jika masih jam satu malam, sama halnya kita tidak bisa memaksa sang surya bersembunyi ketika ia masih perkasa berada di angkasa tengah hari. Kita yang tidak kuasa menahan kecepatan siang dan malam, sebenarnya juga tidak kuasa mengatur ritme kehidupan diri sendiri, apa lagi orang lain. Manusia yang tahu diri akan berhenti berlagak menjadi seperti Tuhan. Kalaupun dia berhasil menggerakkan sesuatu, sadarlah itu karena ada kekuatan yang tak nampak yang mengalir memberi kuasa di segenap diri dan kehidupan. Sadarilah bahwa kita hanya dipinjamkan kekuasaan-Nya, Sang Maha Kuasa. Pahamkah engkau makna “Sang Maha Kuasa”? Artinya kalau Dia memang menginginkan, saat ini juga kau sudah binasa. Tapi inilah dirimu, yang sering mengeluh dan petantang-petenteng dengan semua atribut pinjaman dari-Nya. Masih menikmati sekian banyak fasilitas yang Dia berikan. Walaupun sangat sedikit kau ingat kepada-Nya. Walaupun sangat jarang kau mengucapkan terima kasih kepada-Nya. Walaupun kerap kau menganggap enteng beberapa menit perjumpaan yang Dia harapkan darimu yang hanya lima kali dalam sehari itu. Toh kita masih hidup. Walaupun hampir ini-hampir itu. Walaupun sudah babak belur melalui sekian episode kehidupan. Walaupun “Luka hati kubawa berlari” kata seorang pujangga. Tahukah kenapa kita masih disini, bernafas dengan baik dan membaca tulisan ini? Karena waktu membuktikan seberat apapun ujian yang telah berlalu, kapasitas diri kita lebih besar dari apa yang Dia timpakan. Memang demikianlah sifat-Nya. Tidak ada sebiji atompun niat menzalimi ciptaan-Nya. Lalu kenapa hati ini terasa pilu? Kenapa kesepian ini terasa mencekik? Kenapa kesempitan ini terasa menyesakkan dada? Semua kepiluan, cekikan dan kesesakan datang dari hawa nafsumu yang sedang diobatinya. Karena terlalu erat dia mendekap dunia hingga membutakan jiwamu dari melihat-Nya. Dia Yang selalu melambaikan tangannya kepada kita setiap saat. Dia Yang selalu membisikkan petunjuknya kepada kita setiap saat. Tapi lambaian dan bisikan tak tertangkap oleh jiwa yang masih sakit karena dikuasai oleh hawa nafsu – syaithan dalam diri. Kita sering mencibir orang yang kesurupan, ketika raganya diambil alih oleh makluk halus. Tapi kita jarang sadar bahwa saat ini pun ada entitas lain yang sedang menunggangi kita. Mengerikan? Iya. Tapi berapa banyak yang tidak sadar bahwa dirinya tengah ‘kesurupan’? Terlihat keren, sukses, pandai dan luar biasa padahal mengerjakan hal yang bukan panggilan jiwanya. Sakit. Orang yang sakit… Untuk menyembuhkan Allah kirim pil-pil pahit dalam kehidupan. Itu tadi, kesempitan, kesedihan, huru-hara dunia – obat jitu agar membuat hawa nafsu ambruk. Jadi belajarlah untuk menelan pil pahit. “Setelah kesulitan akan datang kemudahan”. Bersakit-sakit dulu bersenang-senang kemudian. Demikian kata orang tua dulu. Tampaknya mereka memang bijak, tahu bahwa bersabar atas sebuah kesulitan adalah obat yang manjur untuk kesehatan dan kebahagiaan jiwa yang hakiki. []

Wednesday, March 11, 2020

Berhenti membandingkan diri dengan yang lain. Setiap orang dicipta dengan keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Tak perlu gelisah berkepanjangan melihat satu persatu teman kita sudah menikah. Setiap orang akan dipertemukan dengan jodohnya pada saat yang telah ditentukan. Akan indah pada saatnya. Tak perlu panas-dingin melihat tetangga ganti mobil lagi, beli rumah lagi. Kantung rezeki setiap orang memang berbeda-beda. Memaksakan diri berlomba mematut-matut diri dengan berbagai cara, hanya akan memancing penderitaan abadi. Lagipula kalau memang beriman kepada hari akhir, sebetulnya lebih aman jadi orang yang tidak berlimpah hartanya karena makin banyak titipan harta akan semakin lama hisabnya. Tak perlu kecil hati lihat anak orang lain sudah bisa ini-itu, meraih penghargaan ini-itu dsb. Anak kita adalah kunci hidup yang terbaik yang Allah berikan. Syukuri kehadirannya dengan menerima dia apa adanya dan mendidik serta merawatnya dengan baik dan cinta kasih. Penyakit membanding-bandingkan ini bahaya sekali. Jauh lebih bahaya dari wabah penyakit apapun di dunia. Karena wabah mematikan sekalipun hanya menyerang tubuh penderita. Tapi membanding-bandingkan membuat orang susah sekali mensyukuri diri dan kehidupannya. Itu justru yang ditarget sejak awal oleh Iblis dan bala tentaranya, ternyata mereka jauh lebih pintar dari kebanyakan manusia karena mereka lebih tahu faktor apa yang paling esensial menjadi seorang insan, maka itu yang dihancurkan. Iblis menjawab, "Karena Engkau telah menghukumku tersesat, maka aku benar-benar akan (menghalangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur." (Qs Al A'raaf : 16-17)
Suatu hari saya meminjamkan uang pada seorang kolega di tempat kerja sebelumnya. Jumlahnya tidak fantastis, 70 euro saja. Kami jadi dekat karena dia tahu saya suka menulis, dan dia meminta bantuan untuk dituliskan kisah hidupnya.Seorang perempuan asal Filipina dari kampung di pegunungan dan dibesarkan dalam keluarga sangat sederhana yang menapaki jalan kehidupan yang tidak mudah. Dipukuli oleh ayahnya sehingga kabur dari rumah, berkelana sendirian di kota Manila, berpindah dari satu rumah ke rumah lain dengan bekerja sebagai asisten rumah tangga dengan beban kerja hampir 20 jam sehari. Hingga akhirnya bertemu dengan orang Belanda baik yang mensponsorinya untuk datang ke Amsterdam. Bekerja serabutan sana sini, juga di KFC dan akhirnya meniti karir hingga menjadi manager di Burger King. Kami cukup dekat, sering melempar canda satu sama lain di tempat kerja. Ketika saya harus pindah kerja pun dia yang mengorganisis “farewell party” kecil-kecilan. Kemudian sesuatu terjadi. Pertama dia tidak memenuhi janji untuk membayar kembali utangnya pada waktu yang telah disepakati. Setelah itu, kalau saya hubungi tidak merespon hingga berbulan-bulan. Klasik. Jurus menghindari tagihan utang. Padahal yang saya harapkan, mbok ya kalau belum ada uangnya bilang saja pasti saya beri keluangan. Rasulullah SAW mengajarkan agar menagih utang tapi beri keluangan bila yang bersangkutan betul-betul belum mampu. Saya coba kirim satu dan dua pesan whatsapp. Dia baca tapi tidak dibalas. Duh, mulai saya merasakan sedikit kekesalan di hati. Di titik itu saya mulai istighfar, jangan-jangan saya masih punya ikatan dengan duniawi sehingga kehilangan uang segitu saja masih dibuat kesal. Karena setiap hal akan memunculkan isi hati kita. Ya sudah, akhirnya saya ambil posisi untuk let it go. Ikhlaskan saja. Hingga suatu hari saya bertemu kolega lain, orang Filipina juga yang kenal teman yang meminjam uang itu. Saya cuma titip pesan, kalau bertemu beliau di tempat kerja tolong bilang balas pesan saya. Titik. Tidak mau mengatakan bahwa ybs punya utang untuk saya, barangkali itu aib bagi dia yang waktu itu baru diangkat jadi manager. Tapi teman Filipina ini malah langsung nebak. “Kenapa, dia pinjam uang dari kamu ya? Soalnya banyak yang mengeluh begitu.” Waduh, saya tidak mau cerita banyak dan meminta dia menyampaikan pesan saya apa adanya. Setelah itu berhari-hari tak ada respon. Sampai orang Filipina yang saya titip pesan itu yang bertanya via whatsapp, “Bagaimana, dia sudah menghubungi kamu? Katanya mau langsung kontak.” Saya bilang apa adanya. Belum. Mungkin dia masih sibuk. “Let’s just hope the best of her will emerge” kata saya. Dia pun memberi emoticon “jempol”. Kemarin, saya kirim email pada yang bersangkutan dengan judul “I’m sorry”. Saya minta maaf kalau proyek bukunya belum rampung, karena konten materinya kurang. Itu karena kita lama tidak berkomunikasi lagi. Dan berharap kita masih bisa berteman seperti dulu. Sekian. Pagi ini dia kirim whatsapp, minta maaf lama tak balas katanya sibuk dan ibunya sakit-sakitan dan perlu dana untuk berobat. Tapi dia janji akan bayar utangnya akhir bulan ini. Hati saya luluh, saya pun memberi dia keringanan. Ternyata yang saya rasakan adalah kesedihan dan kekesalan yang muncul bukan karena uang yang tak kembali. Tapi sedih karena kehilangan satu teman gara-gara dia menjauh dan menutup komunikasi. Buktinya setelah dia membuka komunikasi kembali hati saya bisa spontan memaafkan dan memberinya keluangan untuk membayar utang bahkan ikut membantu ibunya. Akhirnya persahabatan itu yang lebih berharga. Kata orang tua dulu, kalau uang hilang bisa dicari lagi. Tapi kalau teman hilang, mau cari dimana?

Tuesday, March 10, 2020

Suluk itu jalan orang yang remuk hatinya oleh dunia. Bagi seorang salik (pejalan), dunia sudah mulai terasa hambar dan biasa-biasa saja di hatinya. Sesuatu yang dia anggap keren, menarik, mewah, sekarang jadi mulai menghilang kemampuannya untuk membangkitkan gairah. Bukan berarti dia menjadi melempem dalam mengerjakan fungsinya di dunia. Justru sebaliknya. Seperti para sahabat yang digambarkan siang seperti singa dan malam seperti rahib. Sang salik siang berkarya habis-habisan mempersembahkan yang terbaik dan malam hari dia berjuang melawan lelah dan kantuk untuk meluangkan waktu berduaan dengan Allah Ta’ala, Dzat Yang dipujanya. Untuk bisa mendapatkan hati yang memuja-Nya, Allah bantu dengan meruntuhkan dunia. Dengan ditampakkan wajah asli dunia yang mudah patah, gampang pudar, rentan hilang dan pada hakikatnya tidak menarik. Seperti dalam hadits digambarkan sebagai nenek-nenek tua yang buruk rupa. Jadi, jangan mengeluh ketika dunia kita disempitkan. Jangan berputus asa dengan himpita kehidupan. Jangan minder dengan hidup yang sepertinya begitu-begitu saja. Bagi hati yang mencari-Nya setiap nafas adalah sebuah tarikan mendekat. Apapun yang Dia hadirkan mengandung sebuah kebaikan yang tinggi. Hanya kerap kita tidak menyadarinya…
Kalau kita dikatakan masih diperbudak oleh hawa nafsu dan syahwat, pasti respon adalah awal langsung membantahnya. Karena merasa diri sudah baik. Toh sudah rajin shalat, bahkan tambah shalat-shalat sunnah. Rajin pula berpuasa sunnah. Tidak ketinggalan zakat, infaq dan shadaqah. Ditambah pulang pergi umrah dan haji ke tanah suci. Begitu dalihnya. Ini penyakit umum banyak orang bernama “sindrom ilusi keshalihan”. Berbagai kumpulan gejala yang merasa diri sudah baik dan dijamin kandidat penghuni surga. Merasa sudah beragama dengan hanya mengerjakan semua ritual dan memakai atribut agama. Tidak salah sepenuhnya. Itu pun sudah lumayan dibanding tidak sama sekali. Seseorang bisa terjangkit “sindrom ilusi keshalihan” umumnya karena tidak mempelajari agama dengan utuh. Dikiranya agama hanya sesuatu yang nampak saja. Padahal aspek batin dalam beragama jauh lebih banyak lagi dan tak kalah pentingnya. Sebagaimana Jibril as mengajari kita tentang tiga pilar agama yang terdiri dari Islam – Iman dan Ihsan*. Satu aspek syariat yang nampak dan dua lagi justru sesuatu yang tidak nampak, seperti akar pohon yang tersembunyi dalam tanah tapi tanpa akar maka pohon tidak akan hidup. Banyak penderita “sindrom ilusi keshalihan” tidak menyadari bahwa dirinya tengah diperbudak oleh banyak hal selain Allah, tentang keinginannya yang tak habisnya untuk menyenangkan orang tua dengan membungkam panggilan jiwanya, agar harum namanya di tengah masyarakat, agar eksis terus di masyarakat. Diperbudak oleh ketakutan dari banyak arah, takut miskin, takut anak dikatakan gagal, takut pasangan berpaling ke lain hati, takut pekerjaan hilang dll. Diperbudak oleh kelemahan diri seperti pemarah, pemalas, pendengki, pendusta dll. Maka, sebuah rahmat atau pertolongan Allah sebenarnya ketika seseorang ditampakkan keburukan dirinya. Kadang secara demonstratif hingga orang lain pun bisa melihatnya dan tidak sedikit yang diam-diam. Kesadaran bahwa diri masih berlumuran dosa, penuh dengan kekurangan dan khilaf itu yang membuat manusia justru mulai menjadi manusia. Karena dengannya ia menjadi sadar bahwa tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah semata. Di titik itu, perjalanannya untuk kembali “menjadi” dan untuk sembuh dari sindrom ilusi keshalihan baru dimulai.[] *** * “Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat rasululah . Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha nabi, • Kemudian ia berkata: “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.” Rasulullah menjawab, ”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata, ”Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.” • Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”. Nabi menjawab, ”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.” • Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”. Nabi menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.” • Lelaki itu berkata lagi: “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?” Nabi menjawab, ”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.” Dia pun bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!” Nabi menjawab, ”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.” Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga nabi bertanya kepadaku: “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?” Aku menjawab, ”Allah dan RasulNya lebih mengetahui,” Dia bersabda, ”Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama (diin) kalian.” — HR. Muslim no.8

Monday, March 9, 2020

Yang kita inginkan hidup lancar-lancar saja, rezeki cukup terus, rumah tangga damai, anak-anak sukses semua. Keinginan seperti itu wajar, manusia ingin mencari kebahagiaan. Tapi masalahnya kebahagiaan yang dia bayangkan kerap kali bukan sebuah kebahagiaan sejati, melainkan kebahagiaan yang fana yang akan musnah jika saatnya tiba. Allah Ta’ala menurunkan agama dan para utusannya justru untuk menyeru manusia untuk meninggalkan oase kebahagiaan yang akan hancur menuju istana kebahagiaan yang abadi yaitu mendekat dengan-Nya, Dzat Yang Maha Hidup dan Maha Kekal. Namun untuk meraihnya dia harus berani meninggalkan obyek-obyek yang dianggap menentramkan hatinya itu. Maka Allah bisa hancurkan oase-oase itu, semua hal yang kita sandarkan diri kepadanya. Bisa jadi bisnisnya dibuat bangkrut, bisa jadi pekerjaannya dibuat bermasalah, bisa jadi rumah tangganya dibuat kandas, bisa jadi tubuhnya dibuat ambruk, bisa jadi diuji dengan anaknya, dengan fitnah dan lain-lain yang mengguncangkan dirinya. Agar dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri di dunia ini betapa rapuhnya semua hal yang dia anggap bisa dia sandarkan diri itu. Ujian dalam kehidupan sesungguhnya adalah sebuah cermin yang Allah datangkan bagi kita untuk melihat apa yang ada di dalam diri. Kepada apa dan siapakah sebetulnya tawakal kita sebenarnya. Siapa atau apa yang kita anggap ‘akbar’ sejujurnya, walaupun lisan setiap hari berucap lewat shalat “Allahu Akbar”. Berbahagialah mereka yang diberikan “treatment” berupa ujian oleh Allah dalam kehidupan dunia ini. Sungguh karena semata-mata Dia memilihnya untuk mendekat dan tidak dibiarkan tenggelam dalam ilusi kenyamanan dan kebahagiaan yang palsu. “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan “Kami telah beriman” dan mereka tidak diuji? Dan sunggu, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS Al Ankabuut [29} 2-3)

Thursday, March 5, 2020

Aku kejar saat itu. Sepertiga malam terakhir, ketika Engkau berkata ,"Barangsiapa yang meminta niscaya Aku kabulkan." Daftar keinginanku sudah mengantri di dalam benakku. Tapi saat hendak aku luncurkan satu persatu tiba-tiba lidahku kelu. Tadinya aku ingin meminta agar Engkau memberiku kesehatan, tapi masa iya Dzat Yang Maha Memelihara lalai menjaga kesehatan hambanya, selama ini pun kendaraan raga ini baik-baik saja dipakai. Kuurungkan permintaan itu, dirasa agak kurang pantas. Lalu tadinya aku meminta kebaikan dan penjagaan bagi keluargaku. Tapi kan Engkau selama ini sudah menjaga dan memelihara mereka tanpa diminta sekalipun. Kuurungkan kembali permintaan ini, takut kurang sopan. Lalu tadinya aku mau minta ini-itu, Dia Maha Tahu apa yang aku inginkan. Tapi malu juga memintanya karena Dia sudah beri kesehatan, taufiq, ilmu dan lain-lain yang belum tentu baik kusyukuri sebagai tanda terima kasih. Akhirnya aku sadar bahwa permintaanku hanya satu. Minta dimaafkan untuk segala khilaf dan dosa. Itu saja ya Allah. Aku bahkan malu meminta, karena Engkau sudah memberi banyak. Melebihi apa yang aku bayangkan.... Amsterdam, 5 Maret 2020 pkl 23.12

Tuesday, March 3, 2020

Beberapa hari ini Rumi terbangun di malam hari dan agak rewel karena telinganya sakit diiringi demam diawali pilek sebelumnya. Dia terbangun untuk minta dipeluk atau sekadar meminta minum. Karena itu siang harinya saya sempat tertidur kelelahan di atas sajadah selepas shalat dhuhur. Masih lengkap mengenakan mukena. Tiba-tiba saya rasakan ada tangan kecil memijat pundak lalu telapak kaki saya. Kiranya si kecil melihat mamanya tertidur dan merasa kasihan. Saya masih memejamkan mata mencoba memulihkan energi dengan tidur sejenak dan menikmati pijatan tangan-tangan kecilnya. Tak berapa lama pijatannya berhenti. Lalu terdengar suara benda bergerak diseret di lantai. Rupanya Rumi mencoba menyeret selimut musim dingin yang tebal, beratnya hampir separuh berat badannya dan lebarnya dua kali panjang badannya. Dia bentangkan selimut itu di atas tubuh saya yang masih meringkuk di atas sajadah. Lalu ikut membaringkan dirinya di sebelah kanan saya. Ketika tangan kecilnya membelai kepala saya dia berbisik, "Thank you mama for taking care of me very well" Alhamdulillah Gusti, terima kasih nak. Hati mama meleleh dibuatnya❤