Wednesday, March 11, 2020

Suatu hari saya meminjamkan uang pada seorang kolega di tempat kerja sebelumnya. Jumlahnya tidak fantastis, 70 euro saja. Kami jadi dekat karena dia tahu saya suka menulis, dan dia meminta bantuan untuk dituliskan kisah hidupnya.Seorang perempuan asal Filipina dari kampung di pegunungan dan dibesarkan dalam keluarga sangat sederhana yang menapaki jalan kehidupan yang tidak mudah. Dipukuli oleh ayahnya sehingga kabur dari rumah, berkelana sendirian di kota Manila, berpindah dari satu rumah ke rumah lain dengan bekerja sebagai asisten rumah tangga dengan beban kerja hampir 20 jam sehari. Hingga akhirnya bertemu dengan orang Belanda baik yang mensponsorinya untuk datang ke Amsterdam. Bekerja serabutan sana sini, juga di KFC dan akhirnya meniti karir hingga menjadi manager di Burger King. Kami cukup dekat, sering melempar canda satu sama lain di tempat kerja. Ketika saya harus pindah kerja pun dia yang mengorganisis “farewell party” kecil-kecilan. Kemudian sesuatu terjadi. Pertama dia tidak memenuhi janji untuk membayar kembali utangnya pada waktu yang telah disepakati. Setelah itu, kalau saya hubungi tidak merespon hingga berbulan-bulan. Klasik. Jurus menghindari tagihan utang. Padahal yang saya harapkan, mbok ya kalau belum ada uangnya bilang saja pasti saya beri keluangan. Rasulullah SAW mengajarkan agar menagih utang tapi beri keluangan bila yang bersangkutan betul-betul belum mampu. Saya coba kirim satu dan dua pesan whatsapp. Dia baca tapi tidak dibalas. Duh, mulai saya merasakan sedikit kekesalan di hati. Di titik itu saya mulai istighfar, jangan-jangan saya masih punya ikatan dengan duniawi sehingga kehilangan uang segitu saja masih dibuat kesal. Karena setiap hal akan memunculkan isi hati kita. Ya sudah, akhirnya saya ambil posisi untuk let it go. Ikhlaskan saja. Hingga suatu hari saya bertemu kolega lain, orang Filipina juga yang kenal teman yang meminjam uang itu. Saya cuma titip pesan, kalau bertemu beliau di tempat kerja tolong bilang balas pesan saya. Titik. Tidak mau mengatakan bahwa ybs punya utang untuk saya, barangkali itu aib bagi dia yang waktu itu baru diangkat jadi manager. Tapi teman Filipina ini malah langsung nebak. “Kenapa, dia pinjam uang dari kamu ya? Soalnya banyak yang mengeluh begitu.” Waduh, saya tidak mau cerita banyak dan meminta dia menyampaikan pesan saya apa adanya. Setelah itu berhari-hari tak ada respon. Sampai orang Filipina yang saya titip pesan itu yang bertanya via whatsapp, “Bagaimana, dia sudah menghubungi kamu? Katanya mau langsung kontak.” Saya bilang apa adanya. Belum. Mungkin dia masih sibuk. “Let’s just hope the best of her will emerge” kata saya. Dia pun memberi emoticon “jempol”. Kemarin, saya kirim email pada yang bersangkutan dengan judul “I’m sorry”. Saya minta maaf kalau proyek bukunya belum rampung, karena konten materinya kurang. Itu karena kita lama tidak berkomunikasi lagi. Dan berharap kita masih bisa berteman seperti dulu. Sekian. Pagi ini dia kirim whatsapp, minta maaf lama tak balas katanya sibuk dan ibunya sakit-sakitan dan perlu dana untuk berobat. Tapi dia janji akan bayar utangnya akhir bulan ini. Hati saya luluh, saya pun memberi dia keringanan. Ternyata yang saya rasakan adalah kesedihan dan kekesalan yang muncul bukan karena uang yang tak kembali. Tapi sedih karena kehilangan satu teman gara-gara dia menjauh dan menutup komunikasi. Buktinya setelah dia membuka komunikasi kembali hati saya bisa spontan memaafkan dan memberinya keluangan untuk membayar utang bahkan ikut membantu ibunya. Akhirnya persahabatan itu yang lebih berharga. Kata orang tua dulu, kalau uang hilang bisa dicari lagi. Tapi kalau teman hilang, mau cari dimana?

No comments:

Post a Comment