Saturday, March 21, 2020

Beberapa hari lagi bulan suci Rajab akan segera berakhir. Selempar batu lagi menjelang Sya'ban dan Ramadhan. Dengan perkembangan situasi pandemi seperti ini. Tampaknya kita harus bersiap mengubah kebiasaan dan tradisi di tengah situasi darurat ini. Bisa jadi tidak lagi tarawih di mesjid, tidak pula shalat id bersama di masjid atau tanah lapang, juga tak dianjurkan mudik menemui orang tua yang ada di kota lain. Tak ada satupun diantara kita yang memiliki pengalaman menghadapi pandemi seperti ini. Setidaknya tidak sedahsyat pandemi Flu Spanyol 1 abad yang lalu yang menelan sekitar 20 juta jiwa di seluruh dunia. Itu 100 tahun yang lalu. Kalaupun ada saksi mata yang selamat sangat sedikit yang masih hidup di tahun ini. Kita gugup, kikuk, cemas dengan perkembangan yang tak menentu. Panik menghadapi situasi yang luar biasa seperti ini. Sekolah tiba-tiba diliburkan sementara waktu, bekerja harus dari rumah untuk sebagian orang, pusat-pusat berbelanjaan di tutup, ajang kompetisi bola dibatalkan, konser-konser musik ditunda. Rak-rak kosong di supermarket jadi pemandangan sehari-hari. Orang berjalan-jalan menutup wajah dengan masker. Kita seperti ada di planet lain yang udaranya beracun. Degup kehidupan serasa berhenti sesaat. Menyisakan artimia. Detak jantung yang tak beraturan. Kita belum terbiasa menghadapi situasi ini. Di saat pekerjaan dihentikan sesaat, lantas siapa kita? Kalau usaha tempat seseorang ditutup sementara waktu, lantas siapa kita? Jika sepanjang waktu kita terpaksa berdiam di rumah, siapa kita dengan sekian banyak waktu yang ada? Sungguh, tamu Tuhan yang sangat agung dan perkasa. Jasad renik yang tak nampak, tapi sedemikian rupa bisa mendisrupsi kehidupan jutaan manusia. Manusia pun terbagi dalam tiga golongan besar dalam menghadapi kejadian ini. Ada yang makin dekat kepada Tuhan. Seperti seorang agnostik yang saya tahu, tiba-tiba mengirim pesan meminta doa. Ada yang makin jauh dari Tuhan. Seperti seorang ibu yang saya saksikan tadi siang marah-marah saat mengantri belanjaan dan berkata "Tuhan tidak ada! Kita yang harus melindungi diri sendiri." Dan tak sedikit yang bebal hatinya. Menganggap lockdown ini bagaikan liburan, lalu menghabiskan waktu dengan hal yang sia-sia. Sekali lagi. Ujian hanya menampakkan apa yang ada di dalam hati kita... Astaghfirullah... - Renungan lockdown hari ke-6

1 comment:

  1. saya suka membaca tulisan2 anda.. :)
    Terimakasih. ini juga bisa menjadi renungan untuk diri saya.

    ReplyDelete