Monday, April 30, 2018

Mendirikan etika kepada Allah Ta'ala yang paling pokok itu dibangun di dalam shalat. Oleh karenanya dilatih selama bertahun-tahun agar bisa menegakkan shalat, tidak sekadar mengerjakannya.

Sungguh shalat adalah sebuah perkara yang besar, sebuah pertemuan antara seorang hamba dengan Rabbnya. Di saat itulah kita bertarung dengan segenap hawa nafsu dan pikiran yang berkecamuk di saat itu.

Adapun seseorang yang tidak memandang penting pertemuan sakral ini tentunya tidak akan mendapatkan banyak hal dari shalatnya, sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa yang sholatnya itu tidak dapat menahannya dari melakukan perbuatan keji dan mungkar, maka sesungguhnya sholatnya itu hanya menambahkan kemurkaan Allah swt dan jauh dari Allah.”

(Adaptasi dari kajian hikmah Al Quran yang diampu oleh Mursyid Zamzam AJT, 15 April 2018)

Friday, April 20, 2018

Saya memiliki trauma kecil setiap kali harus menggunakan pisau ini. Dua tahun yang lalu saat menggunakannya untuk membelah roti jari kulit saya terkelupas cukup lebar, saya tidak menyadari ketajaman pisau itu yang berbeda dengan pisau biasa, hingga berhari-hari rasa nyeri harus saya tanggung. Setelah kejadian itu, setiap kali memotong roti menggunakan pisau tersebut tubuh saya bereaksi, ada rasa linu dang ngeri yang saya bisa rasakan menjalar di tubuh. Namun rasa itu saya coba kendalikan dengan rasio dan mencoba untuk lebih berhati-hati dalam menggunakannya. Karena bagaimanapun pisau khusus untuk memotong roti itu diperlukan sehari-hari, ia bisa memotong roti dengan lebih baik, sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh pisau biasa.
Berbicara tentang trauma. Saya kerap menemui seseorang yang memiliki trauma tertentu kepada "Tuhan" dan "Agama". Biasanya mereka yang tidak memiliki referensi memori yang indah saat mereka bersentuhan dengan aspek ketuhanan dan keberagamaan, misalnya saat indah saat bersama keluarga ke masjid atau ke gereja, kebersamaan saat merayakan hari raya yang tidak sekadar hura-hura akan tetapi ada dimensi kesyahduan di dalamnya, atau merasakan ketakjuban saat membaca kitab suci hingga bisa menitikkan mata karenanya.
Tidak sedikit yang mengenal agama dan Tuhan melalui penyampaian yang keras, penuh ancaman dan bersifat mengadili. Ketika agama luput diperkenalkan aspek dalam darinya berupa iman dan ihsan dan hanya menitikberatkan kepada aspek syariat dengan penyampaian yang cenderung keras dan tanpa kompromi, maka bisa dipahami banyak yang 'terluka' karenanya dan cenderung enggan jika diajak berbicara tentang Tuhan, sedemikian rupa hingga mereka memilih untuk menyebut Sang Rabbul 'Alamin sebagai 'the universe', 'subconsciousness' atau 'the power', apapun yang membuat jarak dari imaji 'Tuhan' dan agama yang dirasa tidak merahmati.
Inilah keadaan per hari ini, saat kebanyakan presentasi agama kehilangan makna dalamnya dan hanya sibuk berkutat pada kulit, maka tidak sedikit yang melarikan diri darinya. Bukan berarti kulit tidak penting, ia justru salah satu pilar yang menyokong Ad Diin. Fungsi kulit bagaimana pun melindungi bagian isi sang buah, bukankah kita enggan mengambil buah jeruk atau mangga di pasar yang tidak terbalut oleh kulitnya? Akan tetapi kita menikmati buah dengan memakan isinya yang manis, bukan mengunyah sang kulit. Wallahua'lam.



Thursday, April 19, 2018

" Jangan berdoa meminta rezeki sebanyak-banyaknya"
- Almarhum Mursyid

Manusia cenderung lebih merasa aman kepada sesuatu yang dapat dikur, dapat dihitung dan nyata. Khususnya perkara rezeki. Tidak sedikit yang dibuat susah jiwanya dalam perkara menjemput rezeki sampai menghalalkan berbagai cara demi mengamankan masa depan diri dan keluarganya. Padahal kunci merajut kehidupan bagi diri dan keluarga adalah dengan bertaqwa.

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (QS Ath-Thalaq : 2-3)

Di setiap terbitnya matahari Allah telah menyediakan rezeki bagi setiap ciptaan-Nya, tinggal kita jemput dengan ikhtiar yang optimal. Karena manusia bukan dicipta untuk mencari rezeki, akan tetapi untuk mengenal-Nya. Maka jangan sampai perkara mencari rezeki seseorang membuat jiwanya merana karena tidak diberikan haknya untuk meminum pengetahuan yang Dia turunkan setiap hari.

Adapun yang membuat rezeki tampak kurang biasanya hawa nafsu dan syahwat manusia, yang selalu ingin lebih dan keluar dari kadarnya masing-masing. Obatnya adalah menumbuhkan rasa qana´ah, merasa cukup dengan apa yang dikadarkan oleh-Nya, setelah melakukan amal ikhtiar yang menjadi kewajiban masing-masing. Di balik penghasilan yang pas-pasan dan berbagai keterbatasan hidup ada penjagaan yang baik dari Allah Ta´ala. Karena `Sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di muka bumi, tetapi Dia menurunkan dengan ukuran yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Mahateliti terhadap (keadaan) hamba-hamba-Nya, Maha melihat.` (QS Asy Syuuraa:27)

Monday, April 16, 2018

Tiga hari itu waktu berkunjung tamu
Tamu yang berupa kebahagiaan juga kesedihan
Kadang tamu yang berwujud rasa kesal
Di hari lain tamu berupa sakit hati oleh perilaku atau perkataan seseorang datang tanpa perjanjian

Hak tamu untuk dijamu itu hanya tiga hari
Selebihnya adalah sedekah dan bisa menyusahkan tuan rumah
Maka jangan simpan lama-lama kekesalan dan sakit hati
Mereka hanya tamu yang datang dan pergi
Amarah dan dendam yang terlalu lama disimpan
Akan berdampak menyusahkan diri dan membawa penyakit
Tiga hari saja, masa berkunjung tamu berupa derita
Setelah itu lepaskan
Let it go...

***

Rasulullah SAW bersabda, ‘Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tamu dengan menjamunya sehari semalam. Jamuan hak tamu hanya berjangka tiga hari. Lebih dari itu, jamuan bersifat sedekah. Tidak boleh bagi tamu untuk menginap di tempat tuan rumah sehingga menyusahkannya."

***

Menjadi manusia adalah menjadi rumah tamu.
Setiap pagi datang dengan tamu yang baru.

Kegembiraan, kesedihan, atau sifat buruk
sedikit pengetahuan diri hadir sebentar
sebagai tamu yang singgah tanpa perjanjian.

Sambut, dan jamulah mereka semuanya!
Biarpun tamumu hanya sekerumunan nestapa
yang melanda rumahmu dengan kasar
dan mengangkut segala isinya,
tetaplah temui setiap tamu dengan mulia.
Bisa jadi ia sedang mengosongkanmu
demi akan datangnya banyak kebahagiaan baru.

Niat buruk, rendah diri, dengki,
sambutlah mereka di pintu dengan tertawa,
dan ajak mereka masuk.

Bersyukurlah
atas apa pun yang diturunkan untukmu,
karena setiap tamu adalah utusan
dari sisi-Nya, sebagai penunjuk jalanmu.

(Diterjemahkan oleh Herry Mardian, dari Rumi, Jalaluddin; The Guest House dalam The Essential Rumi, Coleman Barks (trans.). 1997 : Castle Books.)