Friday, April 20, 2018

Saya memiliki trauma kecil setiap kali harus menggunakan pisau ini. Dua tahun yang lalu saat menggunakannya untuk membelah roti jari kulit saya terkelupas cukup lebar, saya tidak menyadari ketajaman pisau itu yang berbeda dengan pisau biasa, hingga berhari-hari rasa nyeri harus saya tanggung. Setelah kejadian itu, setiap kali memotong roti menggunakan pisau tersebut tubuh saya bereaksi, ada rasa linu dang ngeri yang saya bisa rasakan menjalar di tubuh. Namun rasa itu saya coba kendalikan dengan rasio dan mencoba untuk lebih berhati-hati dalam menggunakannya. Karena bagaimanapun pisau khusus untuk memotong roti itu diperlukan sehari-hari, ia bisa memotong roti dengan lebih baik, sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh pisau biasa.
Berbicara tentang trauma. Saya kerap menemui seseorang yang memiliki trauma tertentu kepada "Tuhan" dan "Agama". Biasanya mereka yang tidak memiliki referensi memori yang indah saat mereka bersentuhan dengan aspek ketuhanan dan keberagamaan, misalnya saat indah saat bersama keluarga ke masjid atau ke gereja, kebersamaan saat merayakan hari raya yang tidak sekadar hura-hura akan tetapi ada dimensi kesyahduan di dalamnya, atau merasakan ketakjuban saat membaca kitab suci hingga bisa menitikkan mata karenanya.
Tidak sedikit yang mengenal agama dan Tuhan melalui penyampaian yang keras, penuh ancaman dan bersifat mengadili. Ketika agama luput diperkenalkan aspek dalam darinya berupa iman dan ihsan dan hanya menitikberatkan kepada aspek syariat dengan penyampaian yang cenderung keras dan tanpa kompromi, maka bisa dipahami banyak yang 'terluka' karenanya dan cenderung enggan jika diajak berbicara tentang Tuhan, sedemikian rupa hingga mereka memilih untuk menyebut Sang Rabbul 'Alamin sebagai 'the universe', 'subconsciousness' atau 'the power', apapun yang membuat jarak dari imaji 'Tuhan' dan agama yang dirasa tidak merahmati.
Inilah keadaan per hari ini, saat kebanyakan presentasi agama kehilangan makna dalamnya dan hanya sibuk berkutat pada kulit, maka tidak sedikit yang melarikan diri darinya. Bukan berarti kulit tidak penting, ia justru salah satu pilar yang menyokong Ad Diin. Fungsi kulit bagaimana pun melindungi bagian isi sang buah, bukankah kita enggan mengambil buah jeruk atau mangga di pasar yang tidak terbalut oleh kulitnya? Akan tetapi kita menikmati buah dengan memakan isinya yang manis, bukan mengunyah sang kulit. Wallahua'lam.



No comments:

Post a Comment