Monday, February 28, 2022

 A Closure

Salah satu pelajaran yang saya ambil dari perjalanan ke tanah air mengunjungi tempat-tempat yang pernah saya tapaki adalah bahwa saya kemudian berdamai dengan keadaan saya hari ini.
Memang salah satu godaan bagi seorang yang pernah meniti karir dan kemudian dikondisikan dalam situasi mengurus anak dan rumah tangga adalah menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang kerap mengemuka dan mempertanyakan apakah masih ada peluang untuk saya kembali meniti jalan karir yang pernah saya tinggalkan dulu? Dan masalahnya pada kenyataannya peluang itu selalu ada. Hanya saja kali ini saya dibuat harus menginjakkan kaki kembali ke bumi tempat saya bertumbuh untuk menyaksikannya sendiri. Untuk kemudian mengambil kesimpulan bahwa things have changed. 'Rasa' itu tidak saya dapati lagi. Maka saya kemudian sadar bahwa semua itu hanya berupa lonjakan keinginan yang bertumpu pada memori-memori masa lalu.
Saat saya berdiri di sana, menghirup udara di kota-kota dan tempat-tempat yang sempat saya kunjungi saya merasakan hal yang berbeda. It's not the same anymore. Somehow i feel like a stranger there. Like i don't belong there. I mean, i enjoyed the company, the foods, the ambience but this time as a visitor. Seorang pengunjung yang sekadar singgah di sana, mencoba menyambungkan tali-tali silaturahmi yang sempat renggang untuk kemudian pergi kembali.
Sungguh sebuah pengalaman yang aneh. Bagaimana mungkin saya merasa asing di negeri tempat saya dilahirkan. Mungkin saya sudah terbiasa dengan berbagai keadaan dan kebiasaan di Belanda. Tapi rasanya ada hal yang lebih dalam dari sekadar merajut kebiasaan. Ada semacam ruh yang tidak saya dapatkan yang itu terkait dengan misi hidup saya. Sesuatu yang Allah Ta'ala amanahkan secara spesifik kepada setiap orang.
Don't get me wrong. I will always love Indonesia. Dia akan selalu menjadi bagian dari diri saya hingga kapanpun. Tapi kenyataan bahwa saya memang harus berkiprah di negeri yang jauh adalah suatu hal yang tak terbantahkan. Kecintaan saya kepada Indonesia dan segenap kehidupannya tampaknya demikian dalam, sedemikian rupa hingga kadang itu menghambat langkah saya untuk terus maju dan menjejakkan kaki dalam kehidupan yang Allah berikan saat ini. Sesuatu yang membuat saya senantiasa menengok ke belakang dan akhirnya kerap kehilangan sajian yang Dia hamparkan di hadapan kita saat demi saatnya.
Saat dua minggu berada di tanah air kemarin demikian menyenangkan. Saya menikmati semua kehangatan, keramahan dan kebaikan yang sahabat-sahabat saya alirkan, it's such an overwhelming feeling. Sampai-sampai ibu saya yang menyaksikannya geleng-geleng kepala tak percaya. Ya, saya pun dibuat takjub menyaksikan kebaikan sahabat-sahabat semua. Again, it's my comfort zone.
Tapi hidup adalah perjuangan. Dan kita tak akan pernah berjuang dan mencuatkan potensi terbaik kita manakala berada dalam zona nyaman. Saya menyadari itu. Maka dua minggu adalah waktu yang cukup, sekadar melepas rindu, membasuh lelah, menikmati semua hal yang tak terjangkau sebelumnya. Barangkali ini cara Allah menghibur dan sekaligus menguatkan saya. Agar saya kembali ke medan juang saya dengan hati lebih segar dan lebih memaknai setiap detik keseharian saya dalam sepi. Kembali hanya aku dan Dia...
Renungan saat peringatan Isra'Mi'raj, 27 Rajab 1443 H

 Salah Strategi


Salah satu hal yang saya pelajari dari saat saya menjalani masa 4 malam dan 5 hari karantina di hotel saat tiba di tanah air tempo hari adalah bahwa betapa salahnya strategi yang saya andalkan selama ini. Yaitu bahwa jika saya punya banyak waktu luang maka saya lebih bisa banyak mengerjakan tugas penulisan. 


Sekilas secara rasional sepertinya rencana itu demikian solid. Saya sudah menghitung berapa deadline editing dan tulisan yang bisa saya kerjakan di saat karantina. Tapi nampaknya Allah ingin menyoroti ihwal hari saya yang lebih bergantung kepada strategi dan kondisi dibanding bergantung kepada-Nya. Walhasil target yang tercapai hingga akhir masa karantina hanya berkisar 25%nya saja yang terselesaikan. Bahkan di bawah hasil kerja saya sehari-hari di tengah kesibukan mengurus anak dan keluarga. Entah kenapa somehow Allah buat ada saja hal lain yang harus saya lakukan, bahkan saat sendiri di kamar dan tak harus mengerjakan hal ini dan itu. Strange but true…


Pelajarannya adalah, jaga hati agar tawakalnya kepada Allah semata. Tidak menyandarkan diri kepada kemampuan diri, tidak pada keluangan yang ada, pun tidak pada sekian banyak keberlimpahan yang Allah bukakan. Pada akhirnya semua terjadi karena kehendak Allah. Jika Dia berkehendak beres saja semua urusan kita tapi sebaliknya kalau kita yang ngoyo ingin mengambil alih kemudi kehidupan maka kita akan Dia biarkan terlunta-lunta dari satu masalah ke masalah yang lain tanpa pernah sempat mengerjakan amanah utama dari Dia.

Tuesday, February 15, 2022

 Karantina dan Keterkurungan


Bayangkan, menunggu 10 tahun lamanya untuk bisa jalan-jalan mudik sendiri dan melepas rindu dengan keluarga dan teman-teman. Tahu-tahu setelah akhirnya menginjakkan kaki di tanah air tidak bisa kemana-mana.  Terkurung dalam kamar hotel. Semua rencana aktivitas tertunda. It’s such a strange feeling. I am here but yet I feel like not here yet. Can’t even meet anyone yet. Satu-satunya kontak dengan manusia adalah para petugas pengantar makanan dan yang tadi pagi colok-colok hidung dan mulut saya.


Saya jadi bisa mulai membayangkan bagaimana rasanya jiwa yang terkurung dalam jasadnya sendiri. Dia punya potensi banyak, bisa berbuat banyak, bisa berkontribusi banyak, tapi toh terkurung. Kalau karantina mending, masih dikirim makanan. Tapi jiwa yang terkurung karena hati manusia penuh dosa dan tak mencari Allah akan lumpuh tak berdaya. Na’udzubillahimindzaalik. 


Dan ironinya kebanyakan manusia tidak sadar kalau jiwanya masih terpenjara dan lumpuh. Dia hidup  tapi tidak hidup. Bisa melihat tapi sebenarnya buta. Bisa mendengar tapi sebenarnya tuli. Yaitu buta dan tuli kepada kebenaran. Tidak mengenal al-haq, tidak mengenal sajian kebenaran yang Dia bentangkan di setiap helai hamparan takdir kehidupannya. Di titik tertentu dia akan merasakan kehampaan, kebosanan, kekeringan karena natur setiap manusia pada dasarnya adalah mengenal Tuhan. Mengenal Sang Pencipta. Dan itu tidak mungkin bisa dicapai tanpa melalui proses pengenalan diri sendiri, siapa jiwa kita. Sang entitas yang terkurung di dalam diri sendiri. The biggest irony in life.

Monday, February 14, 2022

 Terjebak Ilusi


Dunia ini medan ilusi yang kuat sekali. Hanya akal yang kuat bisa menembusnya, dengan pertolongan Allah. Sejarah menunjukkan berabad-abad manusia terjebak dalam ilusi bahwa dunia itu datar, atau bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi. Karena memang fenomena itu yang sepertinya dipersepsi oleh indera yang terbatas.


 Dulu belum ada teknologi teleskop atau bahkan pesawat ulang-alik luar angkasa atau para ilmuwan yang bisa menemukan bahwa bumi adalah bagian dari konstelasi planet-planet lain di dalam Galaksi Bimasakti. Sekarang kita bisa tertawa kalau ada orang yang mengatakan bumi datar atau meyakini bahwa matahari berputar mengelilingi bumi. Karena kita sudah belajar fakta yang sesungguhnya. 


Masalahnya, ilusi yang mirip masih bisa memerangkap kita. Ilusi apa itu? Ilusi bahwa satu-satunya cara untuk memenuhi hajat hidup kita dan keluarga adalah dengan memiliki sumber penghidupan yang layak. Dan yang dimaksud layak secara praktis diterjemahkan sebagai ingin memiliki penghasilan atau gaji yang besar. Kenapa? Karena syahwat tak berdaya begitu dihadapkan dengan gaji yang kurang dari 3 juta rupiah per bulan. Inginnya 10 juta, atau sekalian saja 20 juta per bulan agar lebih leluasa atau bahkan lebih, tidak akan ada batasnya jika ingin mengikuti hawa nafsu dan syahwat.

 

Lantas, apakah salah memiliki keinginan punya penghasilan sejumlah itu? Tidak salah. It’s legit. Pasti kita bisa menyodorkan argumen-argumen yang valid berupa pos-pos pengeluaran yang dibutuhkan dan bahkan yang diidamkan. 


But…what if I tell you that having a steady paycheck and regular income to support our livelihood is just another illusion that our mind or our socieaty has created? 

Bagaimana kalau saya katakan bahwa Allah itu punya cara yang tak terhingga untuk memberi rezeki hamba-hamba-Nya tanpa harus dibatasi skema gaji tetap, keuntungan dan hal yang material? Apakah Allah sedemikian tak berdaya memenuhi setiap hajat kebutuhan ciptaan-Nya – sementara kita setiap shalat menyeru “Allahu Akbar” –katanya Allah Maha Besar tapi pada kenyataannya jika dihadapkan dengan kesempitan rezeki dan kesulitan mencari kasab rasanya kita lebih sibuk mencari jalan keluar yang bersifat horizontal, meminjam kira dan kanan, gali lubang, tutup lubang, mendekati si anu bahkan kalau perlu ngedukun. 


Kok Allah seakan tak berkutik mengurus sekadar penghidupan kita dan keluarga dan disebut nama-Nya sebagai penghias shalat yang tampaknya hanya berfungsi sekadar menggugurkan kewajiban saja. So we’re less feel guilty about it. Atau karena sudah biasa shalat. Atau malu kalau tidak shalat. Social pressure.


Kenapa kita harus mendikte Allah bahwa agar keluarga dan anak-anak kita terjamin masa depan dan kebahagiaannya harus sekolah di sekolah yang itu, harus punya rumah yang itu, punya pekerjaan yang itu. How do we know that our scenario is the best scenario?

Pernahkah terpikir bahwa sebenarnya Allah sudah punya rencana untuk kita semua. Ada alasannya semua disegel di Lauh Mahfuzh (kalau kita betul-betul mengimaninya). Bahwa tinta ciptaan telah kering. Karena Dia sudah menjaminkan rezeki setiap ciptaan. Rezeki yang sangat berlimpah tapi sayangnya banyak orang berakhir kehidupannya bahkan tak bisa mengisi penuh kantung rezeki yang telah disiapkan.  Almarhum Mursyid saya mengeluarkan angka presisi untuk ini, yaitu jumlahnya tak melebihi 1/10 bagian saja. Dan rezeki yang dimaksud adalah rezeki yang lahir batin.


Lantas, apa yang salah? Barangkali selama ini kita terjebak ilusi itu tadi. Ilusi sudah benar beragama. Ilusi sebuah makna kesuksesan. Ilusi tentang what is good life is all about. Kita lantas meminta hal-hal yang berdasarkan alam ilusi kita. Minta gaji x juta rupiahlah, minta posisi ini dan itu, minta keadaan yang itu lalu pontang-panting mengandalkan diri dan kehidupannya dalam mengejar itu. Tuhan hanya nama yang muncul dalam sebuah siulan sesaat saat shalatnya yang bagai kilat itu. Itupun mending masih shalat.


Kasihan sebenarnya manusia yang terjebak ilusi itu. Siang malam dia terjebak dalam dunia ilusi dan dia pikir dia hidup di dalamnya, tapi jiwanya tak bergerak kemana-mana. Diam membeku. Tak akan paham tentang kebenaran. Selalu akan merasakan kekosongan dalam hatinya. Sebuah kekosongan khas dunia ilusi yang tak akan dapat dipuaskan dengan elemen yang sama dari dunia ilusi yang berupa pangkat tinggi, gelar mentereng, berbagai barang mewah, you name it : mobil Bugatti la voiture noire, jam tangan Patek Phillipe, tas Hermès Kelly Rose Gold  dll. Semua itu hanya mendatangkan kesenangan sesaat. Ya, kesenangan bukan kebahagiaan. And yet many people mistakenly think pleasure as happiness. 


Lalu bagaimana agar bisa keluar dari dunia ilusi? Or, can we ever get out of this world of illusion?


Oh yes you can (and no, I am not part of Obama’s campaign team) but you have to have the courage to take the red pill (remember the movie Matrix when Morpheus offered Neo to take the blue or red pill). He said, “This is your last chance. After this, there is no turning back. You take the blue pill - the story ends, you wake up in your bed and believe whatever you want to believe. You take the red pill - you stay in Wonderland and I show you how deep the rabbit-hole goes.” 


Morpheus menyebut “wonderland” dari buku anak terkenal karangan Lewis Caroll berjudul Alice in Wonderland yang mengisahkan petualangan seorang anak perempuan menjalani dunia yang sangat menakjubkan dengan fenomena yang tidak pernah ia temui sebelumnya. Di wonderland, kucing dan kura-kura bisa bicara, bahkan benda-benda bisa berkata-kata dan memiliki perasaan. Singkat kata sebuah dunia dengan sebuah aturan yang tampaknya tidak logis.


Tapi di dunia ilusi ini memang bukankah tak semua bisa dipecahkan dengan logika. Dan tak mungkin semua bisa diselesaikan dengan logika. Karena daya jangkau logika itu sangat terbatas. Jika hanya mengandalkan logika, rasanya orang akan mulai berpikir 1000 kali untuk memiliki anak, sekarang biayanya semakin mahal. Jika mengandalkan logika, rasanya kakek dan nenek saya tidak bisa dulu menghidupi 12 anaknya dalam suasana pasca perang dan kehidupan ekonomi yang sangat pas-pasan. Kalau hanya menuruti logika banyak pasien divonis memiliki penyakit berat yang mestinya sudah terukir namanya di nisannya masing-masing tapi mereka masih menikmati kehidupan hingga saat ini. Begitulah banyak hal dalam hidup yang di luar jangkauan logika. Tapi tetap saja kita demikian mengandalkan hitung-hitungan logika kita yang berkata kalau tidak punya pendapatan sekian susah hidup kita, masa depan anak tak terjamin, rumah tangga akan terancam, and so on and so forth. Tak sekalipun kita bahkan melirik akan Dia Yang selalu hadir dan kuasa membuat kita melampaui semuanya. Ya, semuanya. Asal kita berani keluar dari dunia ilusi dengan menaruh logika setelah iman. And by all means take that leap of faith, take the red pill!

Sunday, February 13, 2022

 Why Zebras Don't Get Ulcers?


Saya menjelajahi buku itu untuk lebih mengerti tentang salah satu klien coaching saya yang didera stress kronik. Menarik untuk mengetahui bahwa hewan biasanya tidak terkena penyakit maag atau lambung yang biasanya ditimbulkan karena stress.

Apa berarti hewan tidak pernah stress? Oh sebaliknya, hewan liar mengalami stress secara periodik. Itu terjadi ketika mereka berhadapan dengan predator yang hendak memangsa mereka. Ketika seekor zebra melihat kedatangan seekor singa, otaknya langsung mengaktivasi hormon tertentu sehingga tubuh mengeluarkan respon stress yang berupa jantung berdegup lebih kencang, mata menjadi lebih awas, otot menjadi siap untuk berkontraksi lari dan memompa paru-paru untuk lebih cepat bernafas.

Stress pada dasarnya merupakan mekanisme alamiah ketika menghadapi hal-hal yang dipersepsi sebagai sebuah ancaman dalam hidup. So it's not a bad thing in essential. Orang stress itu wajar, yang tidak wajar adalah stress yang berkepanjangan dan tidak nyata. Maksudnya tidak nyata? Nah ini bedanya manusia dengan binatang. Kalau binatang, mereka merasa stress ketika menghadapi ancaman-ancaman yang nyata, ada predator di sekitar mereka atau sesuatu yang mengancam habibat dan kehidupannya. Sesuatu yang bisa mereka lihat dan persepsi dengan panca indera pada saat itu. Tapi manusia? Oh no, manusia sering dibuat stress dengan pikirannya sendiri, stress karena ketakutannya, stress karena rasa bersalah, stress karena kekhawatirannya. Bagaimana kalau begini, bagaimana kalau begitu. Semua obyek ketakutan dan kekhawatiran yang tidak nyata dan dibayangkan oleh pikirannya sendiri.

Masalahnya, tubuh kita tidak bisa membedakan apakah itu sesuatu yang nyata atau bukan. Dia hanya bisa mempersepsi bahwa dirinya sedang dalam keadaan takut dan tertekan, maka dia otomatis menyalakan semua flight response. Semua hormon stress dikeluarkan dan bukan hanya dalam hitungan jam bahkan bisa berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan sampai bertahun-tahun! Bisa dibayangkan dampak kerusakan sistemik yang ditimbulkannya. Dan memiliki masalah pada lambung hanya salah satu dari masalah kesehatan yang bisa timbul selain penyakit darah tinggi, penyakit jantung, stroke, dll.

Itulah beda manusia dan hewan. Daya pikir manusia yang sebenarnya merupakan kelebihannya, jika digunakan dalam cara yang tidak tepat malah menjadi bumerang bagi dirinya. Bayangkan, seekor kambing kalaupun dia tahun bahwa dirinya digiriing ke tempat jagal, dia masih bisa makan nikmat. Tapi manusia, bulan depan divonis meninggal sudah kelabakan dan tidak bisa menikmati sisa akhir hidupnya. Padahal pikiran yang kita miliki itu punya daya ultima untuk menemukan jati diri kita. Siapa kita sebenarnya? Apa pekerjaan utama kita yang disitulah muara kebahagiaan hakiki kita berasal.

Jadi hati-hati dengan pikiran kita, dia memiliki daya yang luar biasa. Jika digunakan dengan tepat dia akan berdaya guna positif, tapi sebaliknya jika biasa berpikir tidak lurus dan kacau alur berpikirnya maka ia menuai nestapanya sendiri. And again, getting ulcer is just the tip of the iceberg.

Saturday, February 12, 2022

Jodoh tak lari kemana

 Buraidah bin Muhammad As-Sa'adi, yang memberitakan dari ayahnya, bahwa telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw, kemudian ia memohon kepada Rasulullah saw,


"Ya Rasulullah, sesungguhnya aku ingin menikahi seorang wanita, berdo'alah untukku!"

Kemudian Rasulullah saw bersabda: "Seandainya malaikat Israfil, Jibril, Mikail, dan seluruh malaikat Pemikul 'Arsy secara bersama berdo'a untukmu, dan demikian pula aku berdo'a beserta mereka, maka tidaklah engkau akan berpasangan (menikah) kecuali dengan seorang wanita yang telah dituliskan-Nya untukmu!" - Sumber: "Asbaabul Wuruud", Ibnu Hamzah Al-Husaini Al-Hanafi Ad-Damsyiqi

Artinya memang jika sesuatu tidak tertulis di Lauh Mahfudz maka tidak akan bisa (terwujud). Kenapa demikian? Karena takdir dan segala kemungkinannya sudah tertuliskan untuk sebuah tujuan tertentu dalam rangka mengenal-Nya Sang Khazanah Tersembunyi. It's all prefectly balanced and weighted.

Jangankan keinginan syahwat atau hawa nafsu yang tidak jelas, bahkan jika keinginan itu sendiri berupa "himmah" sebuah keinginan yang agung untuk menuju Allah tapi kalau memang belum saatnya dan bukan takdirnya maka tidak akan berdaya dan bertekuk lutut di hadapan kuatnya tirai takdir kehidupan.

Rasanya persoalan "jodoh"ini pun bisa dibawa luas. Bukan sekadar pasangan hidup. Bisa jadi jodoh berupa pekerjaan yang didambakan, rumah idaman, kendaraan yang diinginkan, waktu "me time" yang ditunggu-tunggu (looking at myself xixi). Semuanya silakan direncanakan. Tapi saya belajar bahwa kesuksesan itu bukan diukur sejauh mana rencana kita menjadi terwujud, repot kalau begitu parameternya karena gimana kalau yang mendominasi masih hawa dan syahwat semua di balik rencana itu?

Maka yang jauh lebih penting dibanding mendapatkan pengabulan atas rencana kita adalah mengetahui bahwa kalaupun tidak terjadi sungguh rencana Dia jauh lebih baik dari sekadar rencana jangka pendek kita yang sempit.

Bagi sahabat yang bertanya demikian ke Rasulullah di atas apakah kabar dari Rasulullah kemudian dipandang menjadi petaka dan kesedihan? Seharusnya tidak. Justru informasi dari Rasulullah itu dalam sekali maknanya dan menjadi sebuah pertolongan bagi yang bersangkutan, bahwa jodoh yang Allah izinkan untuk kita sungguh sudah disiapkan. Dengan kata lain ngga usah terlalu ngebet atau terlalu terobsesi sama seseorang, sebuah barang, sebuah posisi, sebuah keadaan dll, belum tentu itu jodohnya. Work with the flow saja. Lebih ringan menjalaninya. Biar kita ngga sakit ;)

 Bahaya Kelimpahan


Bagi saya, kelimpahan dalam bentuk apapun itu, mau berlimpah harta, berlimpah ide, berlimpah kemampuan dsb adalah sangat menakutkan. Karena manusia jadi cenderung lebih liar memperturutkan hawa nafsunya saat kehidupannya dibuat lapang. Akhirnya dia menjadi seolah mengerjakan banyak hal tapi kosong nilai kebenarannya (al-haq). Bahkan lupa bahwa yang memberikan semua itu adalah Allah Ta'ala.

Ini hari pertama saya menjalani karantina di hotel. Jarang sekali saya bisa merasakan kelimpahan waktu tanpa harus mengurus anak dan sekian banyak pekerjaan rumah tangga. Satu sisi melegakan tapi di sisi lain menakutkan, menyadari ada hal-hal yang spesifik yang sebenar sekaligus menyadari bahwa sebenarnya ada hal yang presisi Allah ingin kita lakukan di setiap saatnya. Kembali lagi bersimpuh, memohon dalam shalat "ihdina shiraathal mustaqiim..."

 Ngobrol sama pak supir sepanjang perjalanan dari airport sampai hotel. Dimulai dari pertanyaan saya, "Bagaimana dampak kondisi pandemi begini bagi keuangan keluarga?"


"Memang berkurang sih bu. Tapi ah, saya orangnya praktis.


Dulu waktu saya meminang istri, awalnya keluarga istri minta uang biaya menikah 100juta. Saya bilang orang tua tidak punya sebanyak itu. Ini saya punya 10juta, kalau mau ayo! Ternyata istri udah kadung cinta kali ya bu, udah nikah 15 tahun dan punya dua anak sekarang.


Waktu awal-awal menikah, sempat perusahaan tempat kerja saya terkena krismon dan gulung tikar. Istri sempat khawatir mau makan apa. Saya bilang, "Balajarlah dari orang Sunda, makannya daun-daunan aja tapi kulitnya mulus"😅 (saya sempat dibuat ngakak di bagian sini)


Terus waktu punya anak, istri sempat khawatir ga bisa ngasih susu buat anak. Saya bilang, tuh di belakang ada kandang sapi, tinggal ambil susu ke sana!




Saya orangnya praktis-praktis aja bu. Ga musingin hal2 begitu...."


Dan anaknya baik-baik saja sudah menginjak Rezekinya ada saja. Waktu saya punya anak, penghasilan keluarga mengandalkan hanya pendapatan saya sebagai supir angkutan umum. Anehnya bisa melewati semua. Padahal kalau dipikir-pikir anak pertama lahir harus dengan operasi Caesar dan yang kedua lagir prematur keduanya besar biayanya. Sekarang anak-anak saya sudah menginjak usia sekolah di SMP. Katanya cita2 keduanya ingin jadi dokter. Aamiin😊


Percakapan seru menyusuri jalanan Jakarta di malam hari yang penuh kemerlap lampu2 jalan dan gedung2. Jakarta, i'm back...

Friday, February 11, 2022

 By all means, do plan your day, plan your journey, plan your life. But stay away from trying to control the outcomes. It's simply out of your league...

Thursday, February 10, 2022

 Ladang Amal


Dulu kalau pulang ke rumah saya lihat bungkus makanan berserakan di rumah lengkap dengan piring, mangkok dan gelas kotor rasanya bergejolak hati.


Namanya hidup berumah tangga harus tepo seliro dengan kebiasaan suami. Yang biasa ninggalin kaos kaki keleleran sana sini, berbeda cara melipat baju, beda cara menata alat-alat makan di dalam mesin pencuci piring. Benar apa yang pernah saya baca dalam sebuah artikel bahwa pertengkaran dalam rumah tangga biasanya muncul dari hal yang kecil-kecil begitu. Sesimpel perbedaan cara menggulung odol🤷‍♀️


Tentang mengerjakan urusan rumah tangga, saya sempat terpengaruh dengan imbauan kaum feminis - terutama di Barat yang menggembar-gemborkan "Bagi rata urusan pekerjaan rumah tangga! Laki dan perempuan harus sama porsinya!" Tapi gara-gara itu perasaan saya sempat tak karuan karena punya ekspektasi tinggi bahwa suami harus mengerjakan sebagian pekerjaan rumah tangga. "At least, clean up your own mess!" Begitu sindir saya kalau bekas-bekas makanan dan piring kotor mulai berserakan. Sebenarnya tidak ada masalah dengan konsep ini jika diutarakan dengan tanpa emosi. Tapi pada kenyataannya emosi itu ada, berarti ada harapan yang tak tercapai. 


Lalu saya mulai merenung, kalau masalah sepele sehari-hari ini saja bisa demikian menguras emosi dan memadamkan kehangatan di rumah tangga, rasanya tiba saatnya untuk mencari cara pandang yang baru. It's just simply doesn't work for me.


Kemudian suatu saat saya bermimpi bertemu almarhum Nenek saya, seorang figur perempuan kuat, tahan banting dan senantiasa tersenyum menjelang kehidupan sesulit apapun. Beliau seperti memberi pesan, "Yang penting ikhlas" Kalimat yang tampaknya klise karena sering didengar, tapi entah kenapa saat itu demikian menghunjam di hati. Dan setelah itu saya berdoa kepada Allah agar diberikan hati yang ikhlas. 


Sekarang kalau saya melihat fenomena yang sama yaitu rumah berantakan, saya tidak lalu misah-misuh. Tentu tetap saya komunikasikan baik-baik, tapi bukan dengan nada judgmental. But most of the time, sudahlah saya bereskan saja diam-diam karena sekarang saya melihat itu sebagai sebuah ladang amal. Sebuah tawaran investasi yang disodorkan di hadapan mata. Sekarang saya sudah bisa tersenyum menghadapi situasi yang serupa. Alhamdulillah😊


#renungan emak2

Sunday, February 6, 2022


 Ada Saatnya…


Semua ada saatnya


Ada saatnya si kecil gelantungan saat mamanya shalat, sekarang sudah bisa shalat berjamaah dengan tertib.


Ada saatnya si kecil menangis saat mama tidak ada di sekitarnya, sekarang ditinggal beberapa jam bahkan beberapa hari dia sudah bisa mengerti.


Ada saatnya shalat dalam keadaan menggendong si kecil yang rewel seharian karena demam, sekarang kalau sakit dia sudah tiduran sendiri.


Ibu, anak kita tak selamanya merengek-rengek, tak selamanya menangis saat ditinggal sebentar, tak selamanya bergantung betul kepada kita.


Semua ada saatnya


Memang kadang terasa lama dan melelahkan dalam menjalaninya. Tapi justru disitu benih pohon diri kita tengah ditumbuhkan. Benih yang sedang ditanam di kedalaman tanah yang gelap dan senyap, hanya menunggu waktu pada saatnya ia pecah kecambah. Yang si benih harus lakukan adalah menyerap air dari sekitarnya. Air itu adalah lambang pengetahuan. Sesuatu yang membuat segalanya bermakna. Maka syukuri segenap aktivitas kita, agar si jiwa menyerap air pengetahuan hikmah yang Dia simpan disana.


Pengorbananmu ibu, kerja keras dan segenap pengabdianmu hanya layak dibalas oleh Yang Maha Pencipta, as a reward for raising human being. Hang in there. This too shall pass…

Thursday, February 3, 2022

 Bukan Sekadar Interupsi


Dulu, kalau saya sedang asyik menulis, membaca atau mengerjakan pekerjaan pribadi rasanya kesal kalau diinterupsi oleh anak yang sekadar meminta bermain bersama atau suami yang ngajak ngobrol tentang topik yang "i'm not really into it". Atau sebagai ibu rumah tangga ada saja yang harus dikerjakan dan menginterupsi segenap kegiatan intelektual saya. You name it, jemur cucian baju, cuci piring, mengantar anak les ini dan itu. It's a marathon run, perlu stamina kuat untuk menjalaninya.

Lama kelamaan saya mulai merasa ada yang salah dengan cara pandang seperti itu karena setiap kali terjadi ia menghadirkan nuansa hati yang tidak damai, yang ada hanya percikan bara-bara kekesalan. Ini harus berubah, tekad saya dalam hati. Dan Allah Ta'ala yang pelan-pelan membimbing. Kemudian saya mulai melihat bahwa dinamika yang terjadi bukan lagi sekadar interupsi tapi sebuah pertolongan Allah Ta'ala agar kita seimbang.

Jika saya diberi waktu yang demikian luang barangkali saya memang akan membuahkan banyak tulisan tapi bisa jadi tulisan itu lebih digerakkan oleh hawa nafsu saya, dan Allah Ta'ala tentu mengetahui itu. Juga bagaimana dengan hak anak-anak dan suami, untuk diberi perhatian dan kasih sayang. Hak rumah untuk dirawat dan dibereskan. Hak teman, orang tua, tetangga, pekerjaan dll. Kehidupan manusia itu memang demikian kompleks, tidak linier, ada berbagai dimensi yang saling berkelindan di dalamnya. Tidak mudah untuk membacanya, harus mengandalkan manual yang Sang Pencipta berikan yang diturunkan melalui para nabi yaitu berupa kitab suci Al Quran mulia. Dengan membaca dan mempelajari manual kehidupan kita mulai paham satu persatu kaidah dalam hidup. Bahwa 1+1 tidak selalu sama dengan dua. Bahwa jika kita kekurangan, justru pancing rezeki dengan bersedekah - dan bentuk sedekah tak melulu dengan harta. Bahwa jika kita ingin ditolong Allah, justru kita tolong orang lain sebisa mungkin, sebanyak-banyaknya. Agar kita diajarkan bagaimana memaknai setiap denyut kehidupan, bahwa interupsi yang ada dari sekian banyak rencana kita bukan sekadar interupsi tapi sebuah pengaturan Ilahiyah yang luar biasa. Dengannya kita akan selalu bersyukur menjalaninya. Insya Allah []

Wednesday, February 2, 2022

 "If you don't have it you cannot share it"

Begitu kata orang bijak.
Tapi memang masuk akal, bukankah kita hanya bisa berbagi apa yang kita miliki atau setidaknya apa yang ada di tangan kita?
Saya ingin berbicara berbagi tentang hal-hal yang bersifat imateri seperti kebahagiaan, ketenangan, kesabaran dll. Tentang kesabaran ini, guru pertama saya yang mengajarkan tentang KESABARAN adalah almarhum nenek saya yang biasa saya panggil Mbah Ti, singkatan dari Mbah Putri. Di mata saya beliau sosok yang sangat penyayang, selalu tersenyum, senantiasa hangat kepada cucu-cucunya. Padahal yang saya dengar perjuangannya tidak ringan. Beliau dulu menikah dengan almarhum kakek saya, seorang duda beranak satu, kemudian dikaruniai 12 orang anak dan hidup dalam kesederhanaan.
Ada suatu kisah di zaman pasca perang dimana suplai sembako dijatah oleh pemerintah dan kakek saya bekerja serabutan. Pernah suatu waktu Mbah Ti menyiapkan makan malam untuk semua anak dan suaminya dengan berbekal 2 butir telur saja. Tapi Mbah Ti tak kurang akal, beliau campur dua butir telur itu dengan tepung dan air hingga menjadi banyak dan semua orang bisa tidur tanpa kelaparan malam itu.
Itu hanya satu dari sekian kesabaran yang ditampilkan oleh Mbah Ti. Beliau seorang yang penyayang, tak pernah membeda-bedakan kasih sayang antara anak tiri dan anak kandung. Sedemikian rupa hingga Pakde saya yang merupakan anak tiri beliau merasa demikian dekat dan dikasihi. Maka ketika saatnya tiba Yang Ti wafat, diantara anak-anaknya malah justru Pakde saya itu yang menangis sedih sedemikian rupa hingga memeluk pusaranya sebelum akhirnya kami beranjak meninggalkan tanah kubur tempat jasad beliau diistirahatkan.
Yang Ti memang loveable. Beliau mengajarkan apa itu sabar kepada anak cucunya tanpa pernah mengutarakan dalih dan tanpa banyak bicara. Simply just becoming herself. Nampaknya karena karakter kesabaran sudah Allah tanamkan dalam dirinya, sebab itu beliau bisa menyebarkan kesabaran tersebut ke sekitarnya. Al Fatihah untuk Mbah Ti ❤