A Closure
Salah satu pelajaran yang saya ambil dari perjalanan ke tanah air mengunjungi tempat-tempat yang pernah saya tapaki adalah bahwa saya kemudian berdamai dengan keadaan saya hari ini.
Memang salah satu godaan bagi seorang yang pernah meniti karir dan kemudian dikondisikan dalam situasi mengurus anak dan rumah tangga adalah menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang kerap mengemuka dan mempertanyakan apakah masih ada peluang untuk saya kembali meniti jalan karir yang pernah saya tinggalkan dulu? Dan masalahnya pada kenyataannya peluang itu selalu ada. Hanya saja kali ini saya dibuat harus menginjakkan kaki kembali ke bumi tempat saya bertumbuh untuk menyaksikannya sendiri. Untuk kemudian mengambil kesimpulan bahwa things have changed. 'Rasa' itu tidak saya dapati lagi. Maka saya kemudian sadar bahwa semua itu hanya berupa lonjakan keinginan yang bertumpu pada memori-memori masa lalu.
Saat saya berdiri di sana, menghirup udara di kota-kota dan tempat-tempat yang sempat saya kunjungi saya merasakan hal yang berbeda. It's not the same anymore. Somehow i feel like a stranger there. Like i don't belong there. I mean, i enjoyed the company, the foods, the ambience but this time as a visitor. Seorang pengunjung yang sekadar singgah di sana, mencoba menyambungkan tali-tali silaturahmi yang sempat renggang untuk kemudian pergi kembali.
Sungguh sebuah pengalaman yang aneh. Bagaimana mungkin saya merasa asing di negeri tempat saya dilahirkan. Mungkin saya sudah terbiasa dengan berbagai keadaan dan kebiasaan di Belanda. Tapi rasanya ada hal yang lebih dalam dari sekadar merajut kebiasaan. Ada semacam ruh yang tidak saya dapatkan yang itu terkait dengan misi hidup saya. Sesuatu yang Allah Ta'ala amanahkan secara spesifik kepada setiap orang.
Don't get me wrong. I will always love Indonesia. Dia akan selalu menjadi bagian dari diri saya hingga kapanpun. Tapi kenyataan bahwa saya memang harus berkiprah di negeri yang jauh adalah suatu hal yang tak terbantahkan. Kecintaan saya kepada Indonesia dan segenap kehidupannya tampaknya demikian dalam, sedemikian rupa hingga kadang itu menghambat langkah saya untuk terus maju dan menjejakkan kaki dalam kehidupan yang Allah berikan saat ini. Sesuatu yang membuat saya senantiasa menengok ke belakang dan akhirnya kerap kehilangan sajian yang Dia hamparkan di hadapan kita saat demi saatnya.
Saat dua minggu berada di tanah air kemarin demikian menyenangkan. Saya menikmati semua kehangatan, keramahan dan kebaikan yang sahabat-sahabat saya alirkan, it's such an overwhelming feeling. Sampai-sampai ibu saya yang menyaksikannya geleng-geleng kepala tak percaya. Ya, saya pun dibuat takjub menyaksikan kebaikan sahabat-sahabat semua. Again, it's my comfort zone.
Tapi hidup adalah perjuangan. Dan kita tak akan pernah berjuang dan mencuatkan potensi terbaik kita manakala berada dalam zona nyaman. Saya menyadari itu. Maka dua minggu adalah waktu yang cukup, sekadar melepas rindu, membasuh lelah, menikmati semua hal yang tak terjangkau sebelumnya. Barangkali ini cara Allah menghibur dan sekaligus menguatkan saya. Agar saya kembali ke medan juang saya dengan hati lebih segar dan lebih memaknai setiap detik keseharian saya dalam sepi. Kembali hanya aku dan Dia...
Renungan saat peringatan Isra'Mi'raj, 27 Rajab 1443 H
No comments:
Post a Comment