Tuesday, February 15, 2022

 Karantina dan Keterkurungan


Bayangkan, menunggu 10 tahun lamanya untuk bisa jalan-jalan mudik sendiri dan melepas rindu dengan keluarga dan teman-teman. Tahu-tahu setelah akhirnya menginjakkan kaki di tanah air tidak bisa kemana-mana.  Terkurung dalam kamar hotel. Semua rencana aktivitas tertunda. It’s such a strange feeling. I am here but yet I feel like not here yet. Can’t even meet anyone yet. Satu-satunya kontak dengan manusia adalah para petugas pengantar makanan dan yang tadi pagi colok-colok hidung dan mulut saya.


Saya jadi bisa mulai membayangkan bagaimana rasanya jiwa yang terkurung dalam jasadnya sendiri. Dia punya potensi banyak, bisa berbuat banyak, bisa berkontribusi banyak, tapi toh terkurung. Kalau karantina mending, masih dikirim makanan. Tapi jiwa yang terkurung karena hati manusia penuh dosa dan tak mencari Allah akan lumpuh tak berdaya. Na’udzubillahimindzaalik. 


Dan ironinya kebanyakan manusia tidak sadar kalau jiwanya masih terpenjara dan lumpuh. Dia hidup  tapi tidak hidup. Bisa melihat tapi sebenarnya buta. Bisa mendengar tapi sebenarnya tuli. Yaitu buta dan tuli kepada kebenaran. Tidak mengenal al-haq, tidak mengenal sajian kebenaran yang Dia bentangkan di setiap helai hamparan takdir kehidupannya. Di titik tertentu dia akan merasakan kehampaan, kebosanan, kekeringan karena natur setiap manusia pada dasarnya adalah mengenal Tuhan. Mengenal Sang Pencipta. Dan itu tidak mungkin bisa dicapai tanpa melalui proses pengenalan diri sendiri, siapa jiwa kita. Sang entitas yang terkurung di dalam diri sendiri. The biggest irony in life.

No comments:

Post a Comment