Sunday, October 31, 2021

 To me part of getting older is to know what you REALLY want to do.


Not what you ego wanted.

Not what people told you so.

Not what might look good on you.

Not any of that.


It's the journey within to discover who you really are.

What do we really want to do.

And that has nothing to do with money, fame, social status, grading, promotion, fear of what would people say, fear of losing friends, worry about your future or the future of your kids, etc. Again, not any of that.


So, when you can freed yourself from that things, what do you really want to do?

Friday, October 29, 2021

 Dalam perjalanannya menuju untuk beribadah di atas gunung, Nabi Musa as berpapasan dengan seorang shalih yang meminta rahmat dan ada seorang lagi yang wajahnya tampak sedih dengan air mata bercucuran seraya meminta agar Musa bertanya kepada Tuhan apakah Dia masih mencintainya. Dia pun menjumpai seorang yang sedang dimabuk cinta yang berteriak kepadanya,

"Hei! Katakan kepada Tuhan bahwa aku sudah tidak sanggup lagi, bahwa aku sudah lelah menderita. Sudah selesai urusanku dengan-Nya dan Dia pun sudah tak ada urusan lagi denganku!"
Musa pun berjalan melewati mereka semua dengan tenang.
Ketika berhadapan dengan Tuhan, ia menceritakan tentang dua orang yang dijumpainya dan Tuhan berkata,
"Rahmat-Ku adalah bagi orang yang shalih dan cintaku bagi hamba-Ku yang lainnya; bagaimana dengan orang yang gila itu? Mengapa kau tidak menceritakannya?"
"Hamba tidak berani Tuhan, walaupun Engkau Maha Mengetahui" ujar Musa.
"Katakan kepadanya"kata Tuhan "bahwa Engkau adalah milik-Ku selamanya, Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, walaupun engkau meninggalkan-Ku atau tetap bersama-Ku."
- Hafiz

Thursday, October 28, 2021

 Bersabar didera keletihan dan rasa bosan itu sudah salah satu makanan pokok ibu rumah tangga. Itulah medan jihadnya. Mengerjakan hal yang sama berulang kali, membersihkan dan membereskan rumah, mencuci baju, belanja, masak dll memang bisa membuat stamina kita turun. To all mother in the world, i feel you...


Beda memang rasanya ketika kita lelah dalam rangka mengerjakan semua pekerjaan kantor atau bisnis. Ada variasi tertentu, interaksi dengan kolega, and yes at the end of the day you can expect a reasonable paycheck. Rasanya rewarding gitu. 


Rewarding, nah itu masalahnya. Kita demikian terbiasa mendefinisikan reward dari hal-hal yang bersifat materi. Sesuatu yang ada nominalnya, bisa dipegang piala atau piagamnya, atau bisa didengar tepuk tangan serta sekian pujian yang menyertai. 


Been there done that. Tapi seiring dengan rambut helai demi helai menjadi memutih. Saya mulai merasa justru reward yang tak terlihat (invisible rewards) itu yang justru dalem bener pengaruhnya. Hal-hal seperti rasa damai, ketentraman, kebersyukuran, bisa memaafkan, bisa let go, tidak ngoyo, pokoknya bahagia saja apapun keadaannya. Itu justru "barang-barang" yang mahal yang tak dijual di amazon, ali baba, tokopedia, lazada, atau toko manapun you name it. Kenapa ga ada yang bisa jual? Karena hal-hal seperti itu murni pemberian Tuhan. Tak ada campur tangan nabi, malaikat, ustadz, emak, mang ojek dll. It's simply given.


Pertanyaannya, kalau itu diberikan, kenapa banyak orang yang tak bisa mensyukuri hari ininya? Mengapa tak bisa menerima keadaannya? Mengapa mengeluhkan pembagian rezekinya dan mendengki yang lain atas kenikmatan yang diterimanya? Why it's not easy to be happy?


Well i know why. In my own experience it's the ego that blocked me from my own happiness. Ego yang berkata, "Kamu kan mestinya begini...mestinya kamu punya ini...mestinya kamu jadi itu...mestinya...harusnya...kerennya..."  Seribu satu mantra dan alasan yang dihembuskan oleh si ego yang membuat kita menjadi memandang rendah pasangan kita, menganggap kecil rezeki yang ada, melihat keburukan di semua hal, selalu meronta dari koordinat takdirnya di setiap ruang dan setiap saat. Si ego itu hawa nafsu kita sendiri, musuh terbesar manusia yang peperangan menundukkannya itu dikatakan oleh baginda Rasulullah saw sebagai sebuah peperangan yang jauh lebih besar dari perang fisik. Hal itu beliau katakan sepulang dari Perang Badar, salah satu perang paling menegangkan dalam sejarah dan menelan banyak korban jiwa.


Jadi, kembali ke lelah dan bosan. Sambutlah keduanya dengan tersenyum. Itu adalah tamu-tamu Allah yang Dia kirimkan sebagai bagian dari kurikulum untuk melatih jiwa. Agar bertumbuh sifat-sifat baik seperti tangguh, sabar, tawakal dll. And yes, if you feel it's a bit too much. Just take a pause. Manjakan diri dengan apapun yang bisa menyegarkan jiwa, karena memang natur jiwa akan bosan manakala mengerjakan sesuatu yang berulang. Maka sesekali lakukanlah hal yang di luar rutinitas. Be spontaneous. Don't underestimate the power of taking a coffee break and a conversation with yourself☕


Yes you can mama!

Tuesday, October 26, 2021

 Orang ini unik. 


Ditawari promosi menjadi kepala cabang malah ogah-ogahan dengan alasan posisi yang ada sudah cukup buat dirinya. 


Ditawari tinggal di rumah dinas yang luas dengan fasilitas satpam pribadi ditolaknya dengan alasan terlalu besar. Dia pun kontrak kost-kostan kecil tapi nyaman.


Ditawari fasilitas supir kantor pun tak dimanfaatkannya, dia lebih suka naik ojek atau nyetir sendiri. 


Saya geleng-geleng kepala mendengarnya. Tapi di saat yang bersamaan hal ini membawa kesejukan tersendiri di tengah fenomena kelakuan pejabat yang tak sedikit petentengan dan bahkan menyalahgunakan fasilitas kerja yang ada.  

Semoga berkah hidupmu Mas HB. 


Salam hormat, 

Dari keponakanmu🙏

 Bagi orang tua yang hendak melepas anaknya untuk menuntut ilmu di tempat yang jauh, jangan khawatir. Jika semua sudah dipertimbangkan matang-matang apalagi anaknya juga terlihat semangat, maka dukunglah dia dan lepaskan. Berilah kepercayaan kepadanya bahwa dia akan bisa menjalani penggal kehidupan tersebut dalam keadaan jauh dari orang tua. Yang penting buka terus komunikasi dan sematkan namanya dalam doa-doa harian kita. Sebaik-baik bekal adalah taqwa, bukan kartu ATM yang penuh isinya, bukan kartu kredit, bukan perlindungan saudara atau ini dan itu. Yang terbaik melindungi anak kita adalah Dia Yang menciptakannya. Maka jangan salah menyandarkan tawakal kita kepada selain Dia. Itu yang biasanya menjadi sumber malapetaka. 


Hari ini saya sempat berdiskusi dengan salah seorang sahabat yang lepas SMA sudah merantau menuntut ilmu dari Sumatera ke Pulau Jawa. Walaupun orang tuanya termasuk orang yang berada dia dididik tidak manja, hanya boleh minta uang saku di awal bulan. Selebihnya atur-atur sendiri pengeluaran yang ada. Jadi kalau dia hendak ada kegiatan ekstra ke luar kota misalkan ke Bandung, maka perencanaan keuangannya harus cermat, dia akan memilih jalur perjalanan yang paling murah dan hanya makan seporsi soto di tempat tertentu yang rasanya enak, harganya seribu lima ratus rupiah saja saat itu dan porsinya cukup banyak hingga bisa membuat perut kenyang dalam waktu cukup lama plus tidak bisa jajan-jajan. Keprihatinan itu nampak tidak membuatnya berkecil hati, sebaliknya dia menikmatinya, karena hal itu membuatnya banyak berpikir dan menjadi bijak dalam membelanjakan rezeki yang Allah berikan melalui kedua orang tuanya. 


Bicara tentang rezeki, perjalanan merantau itu ternyata mengantarkan dia menemui salah satu rezeki terbaiknya dalam kehidupan, yaitu dipertemukan dengan guru ngaji dan pasangan jiwanya. Sesuatu yang tidak akan pernah terjadi jika ia memutuskan tinggal di zona nyaman bersama orang tuanya saat itu.


So, dear mamas and papas. Don't be hesitate to let our children go in time. Karena "Anakmu bukanlah milikmu,

mereka adalah putra putri sang Hidup,

yang rindu akan dirinya sendiri." - Kahlil Gibran


Terinspirasi dari diskusi di forum An Nisaa hari ini bersama Bu Guru Sentari Achmad <3

Friday, October 15, 2021

 Ibu, masa depan anak-anak itu salah satunya tengah dibentuk oleh tangan kita, ibunya.


Ketika Allah Ta'ala berketetapan mengamanahkan mereka dalam pangkuan sang ibu, sungguh itu bukan hal yang main-main. Sebuah kontrak kerja seumur hidup yang balasannya surga. Tak kurang baginda Rasulullah saw demikian mengagungkan peran seorang ibu dengan mengatakan,


"Surga ada di bawah telapak kaki para ibu"

(HR Anas bin Malik ra)


Ketika seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ 

Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” 

(HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)


Bahkan Rasulullah saw dalam membandingkan kasih sayang Allah kepada semua hamba-Nya itu disandingkan dengan kasih sayang ibu kepada anaknya. Hal itu tertuang dalam sebuah hadis riwayat Umar Bin Khattab. Suatu ketika sebuah rombongan perang mendatangi Rasulullah. Terlihat seorang ibu yang kelabakan mencari bayinya. Seketika bayinya ketemu, ibu tersebut lantas memeluk dan memberikan asi kepada bayinya. Melihat hal tersebut Rasulullah bertanya “Apakah ibu tersebut akan tega melempar bayinya dalam sebuah kobaran api yang menyala?”. Kami menjawab, “Tak akan mungkin, Demi Allah, bahkan ibu itu mampu untuk mencegah bayinya terlempar ke dalam kobaran api.” Atas jawaban tersebut, Rasulullah bersabda,”Sungguh Allah lebih sayang kepada semua hamba-Nya daripada seorang ibu ini kepada anaknya.”


Anak-anak kita itulah tangga menuju Allah Ta'ala yang kita cari-cari.  Maka pahamilah bahwa kehadiran mereka bukan menjadikan ibadah kita terganggu, justru malah menjadikan semua ibadah seharusnya menjadi lebih bermakna. 


Menjadi ibu itu tak terbatas oleh ruang dan waktu. Jika sahabat ditakdirkan harus keluar rumah dan bekerja, bukan berarti sedang tak berfungsi menjadi ibu. Dari manapun kita berada, entah itu di angkutan umum, di mushalla kantor atau di ruang kerja kita, luangkan waktu barang satu menit saja untuk mengirimkan Al Fatihah untuk anak-anak kita yang sedang bersekolah. Ingat, doa ibu itu powerful. Bukankah itu jauh lebih indah, memiliki keterpautan hati kepada Sang Pencipta ihwal anak-anak kita dibanding lalai hati walaupun sedang berada di sekitar sekolah anak-anak tapi malah hati lalai dan terjatuh dalam medan gosip beserta ibu-ibu lainnya?


Ayo bu. Inilah medan jihad kita. Menempuh lelah dan kadang jemu, mengerjakan hal yang itu-itu lagi. Membersihkan yang lagi-lagi kotor. Merapikan yang selalu berantakan. Udah gitu ga ada duitnya. Eits, tapi jangan salah. Upah terbesar itu memang sesuatu yang bersifat gaib, karena balasannya langsung dari Allah Ta'ala Yang Maha Gaib.


Inilah peran kita, para perempuan, para ibu, pilar-pilar rumah tangga dan negara. Jika pilarnya rapuh, tidak serius mengerjakan amanahnya, tidak kokoh menghadapi takdir dan tidak dalam mensyukuri kehidupan maka semua kehidupan di sekitarnya akan goyah. Saya curiga dengan bermunculannya sekian banyak penyakit sosial di masyarakat, jangan-jangan ini adalah konsekuensi dari tercerabutnya para perempuan dari tugas sucinya masing-masing dan menjadikan peran di rumah tangga dan mendidik anak sebagai sampingan. Sudah saatnya kita kembali kepada peran yang Allah sematkan kepada diri kita, menjalankan peran secara serius menjadi ibu. Jadikan itu sebagai peran utama, yang lainnya ya sampingan saja. Bukan sebaliknya.

Tuesday, October 12, 2021

 I have a confession to make.

Waktu kecil dulu pernah curi-curi makan satu bungkus coklat Beng-Beng saat lapar-laparnya puasa di siang hari di bulan Ramadhan. I'm not proud of it. Tapi begitulah anak-anak, masih belum mampu berpikir jauh. Astaghfirullah, semoga Allah mengampuni.


Saya kemudian belajar bahwa salah satu arti untuk menjadi dewasa adalah memiliki kemampuan untuk melihat jauh, menyadari apa konsekuensi dari sebuah tindakan dan sekaligus melihat jauh makna sebuah pemberian adalah bukan hanya sesuatu yang bersifat fisik.


Contohnya kembali ke puasa tadi. Hanya anak kecil yang masih harus diawasi puasanya. Hanya anak kecil yang curi-curi minum atau makan dan berpura-pura masih berpuasa. Dan hanya anak kecil yang menerobos batas-batas syariah hanya untuk kenikmatan sesaat. Maklum anak kecil masih pendek sumbu kesabarannya. Masih lemah akalnya dan masih goyah keimanannya. Maka hanya anak kecil yang masih harus dipuji-puji untuk membesarkan hati dan menguatkan semangatnya. 


Atau, mungkin ada juga orang yang raganya sudah besar tapi jiwanya masih seperti anak kecil. Masih tidak sabaran, masih sembunyi-sembunyi melakukan hal yang melanggar hati nuraninya sendiri -itupun kalau hati nuraninya masih bisa berkata-kata- karena ada orang-orang yang didinding hatinya sedemikian rupa hingga suara hati nuraninya sendiripun tak lagi terdengar. Na'udzubillahimindzaalik. 


Saya juga belajar makna lain dari menjadi seorang dewasa adalah untuk meraih kemampuan untuk berinteraksi dengan Tuhan Yang Maha Gaib. Untuk mulai merasakan kehadiran-Nya tanpa perlu bukti-bukti yang bombastis. Untuk memenuhi keinginan-Nya walaupun itu bertentangan dengan keinginan diri sendiri. Untuk tetap mengerjakan syariat yang merupakan jalan untuk mendekati-Nya walaupun akal belum sepenuhnya memahami dan bahkan dunia sekitar bisa jadi mencerca pilihan tersebut. Juga untuk mendengar kehadiran dan respon Dia dari segenap ufuk, karena Dia Maha Mendengar dan sangat cepat dalam merespon. Dia yang bisa mendengar bisikan hati yang terdalam yang para malaikat kiri dan kanan kita pun luput menangkapnya. Apalagi hanya sekadar suara bungkus kemasan Beng-Beng yang dibuka di siang hari sepi yang saya pikir tak ada ada yang mengetahui...I was wrong. Dead wrong...

Thursday, October 7, 2021

 "Why do we have to face Mecca during shalat?"


Pertanyaan Elia yang polos itu memancing sekian banyak perenungan di dalam diri. Saya rasanya dulu tidak banyak bertanya-tanya ini dan itu. Apa yang diperintahkan ya pokoknya kerjakan saja. Ada sisi positifnya dan ada kekurangannya memiliki perilaku selalu menurut seperti itu. Probably it's also cultural thing. 


Kenapa menghadap Mekkah? Saya jawab karena disitu ada Baitullah. House of God. Tapi kemudian logika si kecil akan teraktivasi kembali.


Rumah Tuhan? Kok kecil?

Dia pikir Tuhan Yang Maha Kuasa dan Yang Punya segalanya pastilah rumahnya megah melebihi rumah artis-artis Hollywood atau pengusaha papan atas dunia.


Lantas, apa makna Baitullah? Apakah Tuhan ada di dalamnya? Jika Tuhan sedang ada di dalamnya, apakah berarti Dia tengah tidak berada di tempat lainnya? Apa mungkin ada satu titik di semesta ini yang Dia tidak menjejak disana?


Dan mengapa orang berthawaf mengitari Ka'bah? Mengapa tidak duduk tenang saja sambil berdzikir? Mengapa pula putarannya harus berlawanan arah dengan jarum jam serta memakai pakaian tertentu dengan warna tertentu?


Ini salah satu hal yang penting untuk dipahami, mengapa shalat menghadap ka'bah beserta seluruh ritual yang terkait. Karena tidak sedikit orang di luar Islam disana yang mengira kita menyembah ka'bah.


- Catatan mendidik anak. Amsterdam, di awal musim gugur 2021