Monday, November 30, 2015

Manusia Bersyukur

Esensi kemanusiaan kita terletak pada kebersyukuran diri kepada Allah Taála. Hal inti inilah yang sang iblis ketahui sejak awal dan karenanya berikrar menjauhkan anak manusia dari kebersyukuran (QS 7:17).
Al Qushayri ketika mengutip as-Shibli berkata mengenai kebersyukuran, yaitu "melihat Sang Pemberi, bukan pada pemberian". Kiranya dapat dimengerti mengapa saat manusia mengeluhkan takdirnya maka langsung habis esensi kemanusiaannya karena saat itu juga ia gagal melihat Dia Sang Pencipta dan terantuk pada fenomena ciptaan lahiriah semata.
Sebagaimana pesan mursyid Zamzam AJT, "Jadi bagaimana pun kita harus mensyukuri setiap nikmat yang Allah berikan, apapun terima itu. Dengan taqwa (insya Allah) akan selamat. Jangan khawatir akan kekurangan."
Referensi :
- Pengajian Hikmah Al Qurán yang disampaikan Kang Zamzam AJT, November 2015
- Denis Gril,"Mi'raj al Kalima" . Journal of the Muhyiddin Ibn 'Arabi Society, Volume 45, 2009.

Sang Abdi Sejati

Sebagai hamba seharusnya kita selalu dalam keadaan mengabdi kepada Allah Taála. Seperti halnya ikrar yang kita sampaikan ketika shalat "Iyyakana'budu wa iyya kanastaíin" - hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.
Yang sering terjadi adalah kita kadang-kadang mengabdi Allah dan kadang-kadang mengabdi hawa nafsu atau bisikan setan. Hawa nafsu yang membuat kita marah, tidak sabaran, dengki, merasa diri lebih baik dan terburu-buru mengambil keputusan. Adapun setan, ia memang sejak awal bersumpah, "saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta’at)." (QS. 7:17). Setan membisiki dari depan untuk menakut-nakuti manusia dengan hari esok, dibisikkan kisah masa lalunya agar ia merasa putus asa dari rahmat dan ampunan-Nya, dibisiki manusia dari kanan untuk mengerjakan sesuatu yang tampaknya baik namun mengandung kerusakan dan dibisikkan dari kiri untuk melegitimasi ia mengerjakan suatu keburukan.
Semoga Allah Taála melindungi kita dari keburukan bisikan hawa nafsu dan setan.
(Adaptasi dari catatan pengajian Hikmah Al Qu'ran yang disampaikan oleh Kang Zamzam AJT, November 2015)

Monday, November 23, 2015

Fase Dibenamkan Ke Dalam Tanah Dunia

Sebelum pohon bisa dinikmati buahnya ia harus melalui sekian banyak proses. Tahap awal yang krusial adalah tahapan membenamkan benih ke dalam tanah, diairi, diberi pupuk, mendapat sinar matahari dan dijaga dari hama tanaman.

Begitu pun insan, adalah sebuah keniscayaan ia akan menjalani masa pembenaman dalam kegelapan tanah dunia, 
dilingkupi kebingungan dan diselubungi bermacam ketakutan dan kekhawatiran hidup. Tugas terpenting benih insan pada fase ini adalah menyerap sebanyak mungkin air pengetahuan sehingga mulai muncul kecambah diri yang meretas jalan ke permukaan tanah.

Pada saat sinar matahari iman mulai menyentuh qalbu manusia maka percepatan pertumbuhan benih akan semakin kencang dan pada saatnya batang pun memarang dan melahirkan buahnya berupa amal sholeh yang  bersifat pribadi.

- Inspirasi dari Ibnu 'Atha'illah dalam Kitab Al Hikam : 
Bury your existence in the earth of obscurity,
for whatever sprouts forth,
without having first been buried,
flowers imperfectly.

Sunday, November 1, 2015

Ketika Adam Berbuat Dosa

Ketika Adam berbuat dosa, Allah Ta'ala mengeluarkannya dari surga dan berkata, "Wahai Adam, saat aku menghukummu karena kesalahan yang engkau perbuat, mengapa tidak engkau mempertanyakannya? Bukankah engkau mempunyai pembelaan yang ampuh. Engkau bisa saja mengatakan, 'Wahai Tuhanku, bukankah segala sesuatu berasal dari-Mu. Engkau adalah Sang Pencipta segalanya. Apapun yang Engkau kehendaki pasti akan terjadi, sedangkan apapun yang tidak Engkau kehendaki tidak akan mewujud.'
Mengapa engkau tidak mengungkapkan pembelaan itu?"
Adam menjawab, "Oh Tuhanku, tentu hamba mengetahuinya, tetapi bagaimana mungkin hamba berlaku tidak sopan di hadapan-Mu (dengan mempertanyakan kebijakan Tuhan). Sungguh cintaku pada-Mu melingkupi diriku sehingga aku tidak mampu berdalih dengan-Mu."
-----
Banyak kebijakan-Nya yang belum kita mengerti dalam penggal kehidupan ini. Sesungguhnya kehidupan dunia niscaya menyeret jiwa ke dalam alam kebingungan dan kesulitan dan satu-satunya cara untuk bisa menempuh semua itu dengan tanpa merasa tersiksa adalah dengan mencinta. Mari kita belajar mencintai-Nya...
(Terjemahan dan adaptasi dari Fihi ma Fihi: Discourse 23. Jalaluddin Rumi)