Sunday, June 30, 2019

Seorang ustadz berkata, "Diamnya perempuan di rumah adalah ibadah" sambil kemudian mengutip hadits Rasulullah saw yang menggambarkan derajat pahala shalatnya perempuan yang paking tinggi itu justru ketika ia berada di ruang pribadinya sendiri, sebuah wilayah yang paling dalam di area rumahnya.

Setiap sabda Rasulullah ada kandungan batin lain yang berharga. Sebagaimana Al Quran pun memiliki tujuh tingkatan makna. Bukankah Rasulullah saw adalah Al Quran yang berjalan. Artinya setiap gerak langkah dan perkataannya adalah pengejawantahan dari kitab suci yang tercipta jauh hari sebelum pagelaran kehidupan dunia ini dibentangkan.

Perempuan dalam Al Quran diidentifikasikan sbg "An Nisaa" kata dalam Bahasa Arab yang hanya memiliki makna jamak, artinya perempuan-perempuan. Dalam tasawuf, aspek perempuan ada dalam seseorang baik itu yg gendernya perempuan atau laki-laki. "Perempuan2" itu adalah syahwat.

Syahwat itu adalah suatu energi pendorong yang membantu seseorang utk beribadah jika dikendalikan dengan benar.

Maka terkait sabda Rasulullah saw di atas perempuan yang lebih utama ibadahnya di ruangnya sendiri adalah agar aspek syahwat berkiprah di areanya saja. Karena jika syahwat dibiarkan bebas tanpa batas ia bisa mengambil alih diri manusia. Sehingga manusia bergerak lebih cenderung karena mengikuti syahwatnya.

Dalam konteks pengendalian ini pula kenapa Allah Ta'ala berfirman "ar rijalu qowwamuna ala nisaa" lelaki itu pemimpin bagi perempuan-perempuan. Makna lainnya adalah manusia lebih dikendalikan oleh akal sehatnya dibanding syahwatnya.

Wallahu'alam bishowwab.

Thursday, June 27, 2019


Apakah nikmat itu?

Kita bisa membayangkan berbagai hal yang menyenangkan dalam mendefinisikan sebuah nikmat. Tapi ketika kata “ nikmat” disandingkan dalam doa sakral yang dipanjatkan saat kita beraudiensi dengan Sang Maha Pencipta di dalam shalat. Dugaan saya adalah kata “ nikmat” tersebut pastinya memiliki kedalaman arti yang lain, melebihi kenikmatan jasadiyah.

Penelusuran ini dimulai dengan menelaah apa itu definisi Shiraathal Mustaqiim, sebuah jalan lurus menuju Tuhan yang sering diidentifikasikan dengan sebuah jalan bagaikan titian rambut dibelah tujuh, untuk menggambarkan betapa tidak mudahnya berjalan menuju Tuhan. Tapi kenapa menjadi tidak mudah? Apakah Tuhan jual mahal? Rasanya sifat itu tidak mungkin ada dari Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Lalu kenapa jalan menuju-Nya menjadi tidak mudah sehingga tidak banyak yang bisa menapakinya?

Lalu, siapa yang Allah identifikasi sebagai golongan yang ada di shiraathal mustaqiim? QS Al Fatihah memberikan penjelasannya sendiri di ayat ketujuh, “ Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat (an’ amta), bukan jalan mereka yang dimurkai (maghdub) dan bukan pula jalan mereka yang sesat (dhaaliin).

“An’ amta” , jalan mereka yang diberi nikmat. Mari kita telaah lebih dalam disini. Di dalam konkordansi Al Quran hanya ada empat kali penyebutan kata yang persis “ an’ amta” . Satu ayat di QS Al Fatihah ayat tujuh yang berkaitan dengan shiraathal mustaqiim. Dua ayat berkaitan dengan syukur dan doa usia empat puluh tahunan (QS [27]: 19 & [46]: 15). Dan satu ayat berkaitan dengan doa Musa as ketika ia terkena musibah secara tidak sengaja membuat nyawa seseorang melayang, sebuah titik balik yang membuat ia keluar dari negeri Mesir dan membuatnya dipertemukan dengan Nabi Syu’aib as yang kemudian memandunya hingga bertemu diri.

Kalau dilihat dari predikat shiraathal mustaqiim sebagia jalan yang sulit sekali ditempuh kecuali oleh orang yang mendapat pertolongan Allah, maka bisa dibaca empat ayat yang saling berkait melalui kata kunci “ an’amta” (mereka yang diberi nikmat) itu saling menjelaskan satu sama lain.

Kita menggunakan logika matematika sederhana berikut:

Jika A = B dan B = C, maka A = C

Maka, jika shiraathal mustaqiim adalah jalan orang-orang yang diberi nikmat (QS [1]: 7) dan kenikmatan berkaitan dengan kebersyukuran (QS [27]: 19 & [46]: 15), maka dengan kata lain shiraathal mustaqiim adalah jalan kebersyukuran itu sendiri.

Syukur adalah kata-kata yang besar, sesuatu yang paling dicegah oleh Iblis hingga ia bersumpah untuk mencegah manusia agar tidak menjadi orang yang bersyukur, dalam dalam sumpahnya sang iblis sendiri yang mengaitkan syukur dengan shiraathal mustaqiim.

“(Iblis menjawab), “ Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari shiraathal mustaqiim, kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.”

Shiraathal mustaqiim adalah sebuah jalan yang lurus. Dalam ilmu geometri, garis lurus adalah jarak terdekat antara dua buah titik. Dua titik itu adalah Allah dan para hamba-Nya, yang jika kedua titik itu sejajar akan terbentuk sebuah garis lurus. Sebuah garis arah vertikal yang tidak tersentuh oleh iblis. Persis seperti arah dimana ubun-ubun yang digenggam oleh Sang Penguasa.

“ Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak satu pun makhluk bergerak (dabbah) melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sungguh, Tuhanku di atas shiraathal mustaqiim.” (QS Huud [11]: 56)

Dengan demikian sebetulnya kita setiap saat berada di atas shiraathal mustaqiim, jika mau berserah diri total dalam pengaturan-Nya. Akan tetapi kenyataannya hal ini tidak mudah karena hawa nafsu dan syahwat seringnya meronta, ingin kehidupan yang seperti ini, ingin jodoh seperti itu, malu dengan pekerjaan yang ini, meronta dengan ujian yang itu, khawatir tidak cukup, takut dikhianati, ingin dipandang baik di hadapan manusia dan lain-lain yang tak lain berupa tarikan dari depan, belakang, kiri dan kanan yang diorkestrasi oleh Iblis dan pasukannya dengan memanfaatkan bahan potensi hawa nafsu dan syahwat yang belum berserah diri di dalam diri setiap manusia.

Oleh karenanya nikmat yang kita mohonkan setidaknya 17 kali dalam sehari itu adalah untuk mengembalikan dan meneguhkan kita dalam  garis lurus optimal kita dalam berhadapan dengan-Nya, sebuah shiraathal mustaqiim yang merupakan jalan kebersyukuran yang harus ditempuh dengan terlebih dahulu menembus tembok penghalang di dalam diri. Karena pada dasarnya jalan suluk ini adalah sebuah jalan panjang untuk menaklukkan ego diri sendiri yang telah demikian menggurita tanpa kita sadari. Hasbunallah wani’mal wakiil ni’ mal mawlaa wa ni’ mannasiir. Cukuplah ALLAH sebagai penolong kami, dan ALLAH adalah sebaik-baik pelindung”.

Tuesday, June 25, 2019

Aqidah itu perkara yang berat dan tidak mudah tanpa pertolongan-Nya. Karena jika sampai ada kekuatan yang melampaui kekuatan dan kekuasaan Allah dalam diri seseorang itu sudah sebagai tanda rusaknya aqidah seseorang.

Jika terlalu tenggelam dalam kesibukan mencari nafkah dan melalaikan shalat,

Jika terlalu mencintai seseorang hingga seolah tak kuasa hidup tanpanya,

Jika terlalu mengandalkan tabungan, investasi, harta, asuransi, kerabat yang berkecukupan untuk menopang kehidupan.

Bahkan jika terlalu tenggelam dalam dharma atau misi hidup dan amal shalih tapi hati terpeleset dalam kelalaian berdzikir dalam nama-Nya.

Maka semua itu tinggal menunggu didatangkannya sebuah keputusan Allah, baik yang disegerakan di dunia atau lebih bahaya lagi ditunda di alam berikutnya.

Katakanlah: jika bapak-bapakmu, anak-anakmu,
saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu,
harta kekayaan yang kamu usahakan,
perdagangan yang kamu kuatirkan kerugiannya,
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai,
lebih kamu cintai daripada Allah dan RosulNYA
serta jihad di jalanNYA, maka tunggulah sampai
Allah memberi keputusanNYA. Dan Allah tidak
memberi petunjuk bagi orang-orang yang fasik.
(QS. At Taubah : 24).

Beristighfarlah banyak-banyak karena kita berhadapan dengan Dzat Yang Maha Suci dan tidak menerima noda kefasikan sedikitpun yang disebabkan karena kurang ikhlasnya hati sang hamba.


Monday, June 24, 2019

Kalau bisa, Allah tentu akan berkomunikasi lamgsung kepada semua manusia. Tapi karena tingkat akal untuk memahami bahasa-Nya berbeda-beda, bahkan sebagian besar tak paham dengan segenap isyarat-Nya yang halus. Maka diutuslah sekian utusan berupa manusia yang dapat berkata-kata dalam bahasa kaumnya.

Yang harus dipahami adalah bahwa ketika Allah Ta'ala mengangkat seorang manusia menjadi penyampai pesan (the messenger) titah atau 'amr yang turun pada dasarnya dapat dikenal oleh seluruh semesta alam. Ini yang diisyaratkan oleh hadits Rasulullah saw bahwa kalau seorang yang berilmu (tentang Allah) meninggal dunia, maka bersamaan dengan itu hilang pula akses semesta kepada pancaran ilmu Ilahiyah. Maka hal itu yang ditangisi oleh burung-burung, ikan-ikan dan gunung-gunung. Kalau alam semesta adalah ciptaan yang berserah diri dan selalu rindu mengenal-Nya.

Dalam dunia tasawuf pernah ada kisah seorang waliyullah yang sangat miskin. Sedemikian miskinnya beliau hingga tak mampu membeli alas kaki, hingga ia berjalan kemana-mana dengan tanpa alas kaki. Dikabarkan bahwa semasa beliau hidup bahkan binatang tak berani buang hajat di jalanan yang menjadi rute perjalanan jalan kaki sang waliyullah itu sehari-hari. Hingga suatu hari datanglah seorang waliyullah dari kota lain dan berkunjung memasuki kota itu. Akan tetapi terkejutlah ia melihat kondisi beberapa jalanan yang dipenuhi kotoran hewan. Maka pahamlah ia bahwa sang waliyullah telah tiada...

Bagaimana kita mengetahui di antara beberapa pilihan yang mana yang merupakan pilihan yang Allah ridhoi?

Kuncinya adalah mengaktivasi qalb (hati), karena hati adalah tempat dimana Allah akan memberikan petunjuk-Nya.

“ …dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada qalbnya…” (QS Ath Thagabun [64]: 11)

Kalau hati belum diaktivasi, tidak dibiasakan dimintakan pendapatnya atau didengar suaranya maka akan sulit untuk membaca mana petunjuk-Nya.

Lalu bagaimana cara mengaktivasi hati?

Pertama niat dulu, lakukan ijab qabul dengan Allah. Niatkan bahwa kita memang ingin Allah tunjuki dalam setiap aspek kehidupan. Sebetulnya sesuatu yang selalu kita panjatkan dalam doa shalat “ Ihdina shiraathal mustaqiim” (tunjukilah aku kepada jalan yang lurus). Kemudian optimalkan fungsi akal untuk mempertimbangkan semesta kita. Akan tetapi ketika hendak mengambil keputusan biarkan hati menjadi hakim dalam mengambil keputusan. Karena tidak jarang terjadi walaupun semua pertimbangan logika tampaknya baik, tapi hati kecil berkata yang sebaliknya.

Rasulullah saw memberikan beberapa panduan dalam mengambil keputusan, diantaranya ambillah urusan yang paling sedikit mudharatnya, jangan ambil keputusan saat ragu. Kemudian ambil keputusan yang hati paling dirasa mantap dan tenang dengan konsekuensi yang ada setelah mengambil keputusan itu. Karena jika ada rasa gelisah atau tidak tenang berarti ada sesuatu yang tidak baik disana. Rasulullah saw bersabda, “Kebajikan ialah apa saja yang apa saja yang menjadikan jiwa tenang dan hati menjadi tenteram. Dan dosa ialah apa saja yang menjadikan jiwa tidak tenang dan hati tidak tenteram kendati para pemberi fatwa berfatwa kepadamu.” (HR. Ahmad).

Ini adalah hal yang prinsip, memberi ruang kepada hati untuk memberikan keputusan, jangan hanya menyerahkan pengambilan keputusan kepada pertimbangan logika dan hitung-hitungan manusia yang sangat terbatas. Itu artinya kita tengah mempertimbangkan faktor Tuhan.


(Adaptasi dari sesi diskusi dalam kajian kitab Al Hikam yang disampaikan oleh Mursyid Zamzam AJ Tanuwijaya, 30 Desember 2012)

Thursday, June 20, 2019

“ Kamu kenal sama Barrack Obama?”

“ Yah cukup kenal.”

“ Wuih, kenal dimana?”

“ Hmm…anu...aku pernah baca biografinya”

#yeeey #eyes rolling

Mengetahui dan mengenali sesuatu adalah dua hal yang berbeda. Untuk bisa mengenali seseorang kita harus pernah banyak meluangkan waktu bersama. Spend some quality times.
Mengetahui Tuhan dan mengenal Tuhan juga dua hal yang berbeda. Kita mengetahui sifat-sifat Tuhan yang diberitakan oleh para utusannya dan seperti yang tertera di banyak kitab suci. Tapi mengenal, well that’s a whole different idea. Padahal yang pasti akan ditanya oleh para malaikat yang tegas di alam barzakh nanti saat kita pertama kali membuka mata di setelah meninggalkan dunia ini kemudian pindah kea lam lain adalah “ Man Rabbuka?”, - “ Siapa Tuhanmu?”  sebuah pertanyaan yang hanya akan dijawab oleh dia yang telah mengenal siapa Sang Rabb.

Setiap saat sebenarnya Allah senantiasa membuka pintu pengenalan akan dirinya. Cuma kita saja yang fokusnya kemana-mana kecuali kepada-Nya. Setiap saat Dia menjalankan fungsi sebagai Rabb, Sang Pemelihara segenap alam. Bahkan tubuh kita pun, semesta yang paling dekat dengan diri sendiri Dia uruskan semuanya. Kita hanya berkontribusi sebiji sawi dari sekadar pengurusan raga kita sendiri. Coba saja lihat saat kita makan, sekadar mengunyah lalu ditelan. Adapun nasib makanan setelah ia melalui kerongkongan kan tidak pernah kita pikirkan. Sang Rabb mengaturkan melalui system saraf otonom yang berjalan otomatis, gratis pula! Kita kan tidak perlu diam sejenak sambil merem sambil bilang, “Bentar ya aku harus konsentrasi mendorong combro yang baru kumakan agar ia melewati lambung, lalu ke usus dua belas jari, usus halus, usus besar dan …” Ya, you know the rest. Belum lagi detak jantung, sudah otomatis, tak perlu kita berhenti sesaat untuk mompa-mompa jantung sendiri. Juga dengan sekitar 15 trilyun sel yang ada di dalam tubuh kita, ngga pernah tuh kita pikirin. Tinggal pakai saja. Lantas siapa yang mengorkestrasikan itu semua?

Nah, karena manusia itu banya lalainya, sering lupa kepada Tuhannya. Maka Allah membuat mekanisme lain agar Dia dikenal. Sayangnya banyak yang emoh menghadapi hari-hari perkenalan dengan Tuhan semesta ini. Karena wujudnya dirasa tidak mengenakkan – tentu dalam persepsi hawa nafsunya yang selalu ingin hidup enak dan tak ada masalah.

Allah Yang Maha Penyembuh memperkenalkan Dirinya dengan membuat sakit seseorang. Allah Yang Maha Pengampun memperkenalkan Dirinya dengan menjerumuskan seseorang dalam sebuah dosa dan khilaf. Allah Yang Maha Pemberi Rezeki memperkenalkan Dirinya dengan himpitan ekonomi. Allah Yang Maha Sabar memperkenalkan Dirinya dengan mengirimkan orang yang kalau kata orang Sunda “ pikasebeleun” (alias menyebalkan atau mengesalkan tingkah lakunya), agar kita menyerap sifat sabar dari-Nya.

Demikianlah sekian banyak takdir kehidupan terbentang di hadapan kita, pahit-manisnya adalah dari Dia. Karena tidak ada satu makhluk pun yang mampu merancang sebuah kehidupan satu milimeterpun. Jadi nikmatilah hidup ini dengan suka cita. Belajar menelan rasa sakit, karena itu pil pahit yang menyehatkan jiwa. Agar nanti kita berpulang di alam barzakh bisa pede menghadapi pertanyaan para malaikat apakah kita kenal dengan Rabb seluruh alam. Dan semoga kita tidak menjawab kenal semata-mata hanya membaca dari “ biografi-Nya”.