Monday, June 29, 2020


“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Demikian janji Allah Ta’ala dalam Surat Al Baqarah ayat 286. Dan siapa yang lebih bisa memenuhi janji dibanding Allah Ta’ala?

Semestinya satu ayat ini saja sudah sanggup mengubah penyikapan kita terhadap berbagai ujian yang menimpa kita, seberat apapun itu terasanya. Keyakinan bahwa Allah tidak akan menimpakan sesuatu di luar kapasitas seseorang akan membawa sebuah kekuatan tersendiri dalam mental pikiran kita. Keyakinan itu akan memperkuat kesabaran dalam memikul cobaan itu dari hari ke hari. Dan bahkan keyakinan itu yang bisa membuka selubung hijab yang membuat kita tidak paham akan adanya kebaikan dan hikmah di balik sebuah kepahitan kehidupan sekalipun.

Barangkali kita harus menelan pil pahit dalam kehidupan berupa perceraian orang tua atau rumah tangga kita sendiri, tak tega melihat anak-anak yang menangis meraung-raung karenanya.
Barangkali kita harus menelan pil pahit yang berkaitan dengan mencari nafkah atau jatuh bangun membangun usaha.

Barangkali kita diuji sedemikian rupa dengan kelakuan keluarga: orang tua atau mertua kita sendiri dan tak jarang dibuat susah adengan perilaku anak-anak kita.

Apapun kesulitan yang tengah dihadapi sekarang. Berbesar hatilah. Jangan meragukan pertolongan-Nya yang akan datang di saat yang tak terduga dan sering dalam bentuk yang di luar apa yang kita bayangkan. Semua dinamika dalam hati kita yang halus itu yang justru akan mengubah dunia kita dengan ajaib. Raihlah janji Allah berupa diberikannya sebuah jalan keluar dari apapun kesempitan dan musibah yang melingkupi kita dengan taqwa.

“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, maka akan selalu diberikan jalan keluar.” QS At Thalaq:2




Sebelum Dia memberikan pemahaman akan sesuatu, yang harus kita lakukan adalah mengalirkan diri saja dalam ketetapan-Nya. Apa yang Dia hadirkan di dalam jangkauan tangan kita disikapi dengan sebaik-baiknya.

Tentang pekerjaan kita, tentang rumah tangga kita, tentang usaha kita, tentang nasib anak-anak kita, tentang orang tua kita, tentang sanak saudara kita, tentang negeri ini, tentang masa depan dunia di tengah wabah ini.

Mengalir, hari demi hari dalam karsa-Nya. Hingga suatu saat Dia sendiri yang menyingkap satu persatu makna di balik semua fenomena yang ada. Pengetahuan itu yang membuat hati tersenyum lebar dan terang seterang-terangnya. Menyadari bahwa tak ada satu pun penggal kehidupan kita yang tidak datang dari goresan tinta Dia – Sang Khanzun Mahfiy – Yang Rindu untuk dikenal…

Amsterdam, 29 Juni 2020
17.31

Semua orang tua tentu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Tapi kerap kali bayangan "yang terbaik" itu adalah versinya sendiri. Bahwa harus sekolah di sekolah bergengsi itu, pekerjaan yang itu, les yang itu, pasangan yang itu, rumah yang itu, pakaian yang itu dsb.

Padahal yang paling tahu yang terbaik untuk setiap ciptaan ya tentulah Sang Maha Pencipta. Jadi seharusnya sebelum memutuskan ini dan itu untuk sang anak, adab sebagai seorang hamba yang baik tentu dengan memohon terlebih dahulu kepada Yang Punya anak-anak kita. Khawatir kita salah asuhan dan keliru dalam membentuk mereka. Na'udzubillahimindzaalik...

Friday, June 26, 2020

"Wahai orang-orang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah itu agar kamu beruntung.

Dengan minuman keras dan judi itu, syaithan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari dzikrullah dan melaksanakan shalat. Maka tidakkah kamu mau berhenti?

QS Al Maa'idah : 90-91

Sekilas kalau membaca ayat itu seolah-olah kita aman darinya. Toh tidak minum minuman keras dan tidak pula berjudi pikirnya. Hati-hati, Al Quran itu punya berlapis makna. Setiap ayat selalu aktual untuk kita.

Coba perhatikan baik-baik. Yang diseru disini adalah orang beriman. Dalam definisi Al Quran, orang beriman adalah orang yang sudah diberikan cahaya iman. Kecil kemungkinan orang beriman berkubang dari minuman keras dan perjudian. Kemudian lihat kembali akibat yang ditimbulkan adalah terhalang dari dzikrullah dan shalat. Nah, barangkali mabuk kita bukan jenis mabuk oleh minuman keras, tapi mabuk dunia, mabuk oleh pekerjaan, mabuk oleh sosial media, mabuk oleh tontonan, mabuk oleh berbagai aktivitas online, mabuk oleh kegiatan sosialita dan apapun itu yanh melalaikan kita dari dzikrullah dan shalat. Maka boleh dibilang kita hakikatnya masih berkutat dengan "minuman keras dan berjudi". Na'udzubillahimindzaliik.

"...Barangsiapa beriman kepada Allah (iman billah), kepada hari akhir dan beramal shalih, maka tidak ada rasa khawatir padanya dan mereka tidak bersedih hati." QS Al Maa'idah:69

Jadi saat kita terjangkit kekhawatiran dan kesedihan, coba cek tiga hal kunci di atas.

Apakah imannya betul kepada Allah atau malah mengimani pekerjaan, mengimani pasangan, mengimani gaii tetap, mengimani tabungan, mengimani angan-angan?

Apakah kita beriman kepada hari akhir? Bahwa apa-apa yang luput di dunia akan diganti di alam nanti? Atau kita melulu dipusingkan oleh pasang surut kehidupan di dunia ini?

Apakah amal shalihnya cukup? Atau banyak potensi diri yang Allah berikan yang belum dialirkan?

Kaidahnya sesimpel itu untuk menghilangkan kekhawatiran dan kesedihan. Jadi seolah sulit karena biasanya hati kita masih cinta dunia...Na'udzubillahimindzaalik.

Thursday, June 25, 2020


Catatan Kajian Suluk Online, 25 Juni 2020

TASBIH MERETAS JALAN MENUJU SHIRAATHAL MUSTAQIIM

Bertahun-tahun kita melakukan shalat dan melayangkan sebaris doa “Ihdina shiraathal mustaqiim” (tunjukkanlah aku kepada jalan yang lurus). Akan tetapi apakah kita sudah merasa ditunjuki dan makin mendekat kepada shiraathal mustaqiim?

Tulisan ini tidak akan mengupas lebih jauh tentang apa itu shiraathal mustaqiim. Akan tetapi kita akan menyoroti sebuah tahapan yang ada di dalam Al Quran agar kita ditunjuki shiraathal mustaqiim. Tahapan itu adalah “bunuhlah dirimu atau keluar dari kampungmu” (QS An Nisaa [4]: 66) sebagai rangkaian awal dari ayat 69 yang kemudian menyatakan “dan pasti Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan yang lurus.”

Secara sekilas yang dinamakan “shiraathal mustaqiim” adalah jalan kebahagiaan yang hakiki dari setiap manusia. Ia adalah urat jalan yang sangat halus yang sangat sulit ditemukan tanpa pertolongan Allah. Dengan kata lain, selama seseorang masih belum kokoh berpijak dalam shiraathal mustaqiim-nya masing-masing maka selama itu juga hidupnya masih belum mencapai kedamaian yang hakiki, jika saja ia mau jujur mendengarkan kata hatinya yang cenderung mencari Allah melalui jalan tersebut. Hanya saja manusia biasanya menutupi kegalauan hatinya ini dengan berbagai upaya kesenangan dunia dan pencapaian-pencapaian duniawi yang berfungsi tak lain bagaikan obat yang bersifat simptomatik semata. Menghilangkan gejala sesaat tapi tak pernah menyembuhkan akar penyakitnya.

Setelah bertahun-tahun merasa doa “ihdina shiraathalm mustaqiim” tidak dijawab. Jangan keburu menyalahkan Allah, karena bisa jadi kita tidak paham persyaratan turunnya sebuah petunjuk menuju shiraathal mustaqiim adalah dengan “membunuh diri atau keluar dari kampung halaman”. Keduanya mensyaratkan sebuah keberserahan diri yang absolut. Sebelum seseorang bersedia menyerahkan diri, kehidupan, masa depan, cita-cita, dan segala kemanusiaan kepada Rabbul ‘alamiin maka praktis tidak ada gunanya ia diberikan hujan petunjuk sekalipun. Karena tanpa keberserahdirian, kesediaan untuk diatur dalam pengaturan Ilahiyah, maka semua petunjuk yang hadir akan sia-sia.

Disini kita betul-betul belajar membumikan tasbih yang sering kita ucapkan di tataran lisan agar ia diserap dalam karakter, perilaku, cara pandang dan keseharian kita. Tasbih (subhanallah) adalah dzikir yang bermakna mensucikan-Nya dari segala hal yang tidak layak bagi-Nya. Secara bahasa “as-sabh” bermakna “kosong”, sedangkan “sabaha” artinya mengalir. Dalam sebuah hadits Rasulullah pernah berjalan menuruni sebuah bukit dan beliau SAW mengucapkan tasbih dalam sebuah medan yang menurun, mengalirkan diri dalam tarikan gravitasi.

Istilah “work with flow” pada prinsipnya adalah sebuah tasbih, karena kita mencoba mengalir sesuai dengan aliran takdir kehidupan, tidak berontak atau mencoba berenang di arah yang berlawanan dengan aliran sungai. Sesuatu bisa mengalir mengikuti arus seperti daun yang jatuh terbawa arus sungai, karena ia tidak mengeluarkan daya untuk berenang sendiri. Ada sebuah nuansa “kematian” dan kekosongan dalam sebuah keberaliran, karena selama seseorang sulit untuk mati dari ego dan agenda pribadi akan sulit untuk bisa mengalir dalam desain kehidupan terbaik yang Allah persiapkan untuknya.

Maka perintah “membunuh diri” erat kaitannya dengan tegaknya kualitas tasbih dalam diri kita. Yang dibunuh tentu bukan jasad secara fisik, karena itu malah menyalahi kaidah agama. Tetapi yang dibunuh adalah kekuatan dan dominansi hawa nafsu dalam diri kita. Agar dengannya sang jiwa bisa kembali bertahta di dalam diri dan mengendalikan jasad beserta seluruh komponen diri dalam tuntunan-Nya.

Mensucikan-Nya dalam ribuan tasbih yang diucapkan tentu tidak akan menambah seatom pun kesucian Allah Sang Quddus, Dzat Yang Maha Suci. Jika demikian apa maksud dipanjatkannya dzikir-dzikir termasuk tasbih yang Rasulullah ajarkan kita untuk melakukannya setidaknya setiap habis shalat? Siapa yang sedang disucikan disini, jika ternyata trilyunan tasbih pun tak memiliki efek menambah derajat kesucian-Nya? Maka pada hakikatnya manusia lah yang sedang disucikan melalui dzikir kepada-Nya dan segenap takdir yang berfungsi mensucikan, karena seiring dengan makin dekat seseorang kepada-Nya, semakin ingin mengenal-Nya, semakin timbul rasa rindu kepada-Nya, semakin ingin mengenal-Nya maka tingkat kesucian hatinya pun akan otomatis meningkat.
Kemudian, jika aspek “rasa” ubudiyah ini mulai timbul dan makin menguat maka itu bagaikan wadah yang semakin siap untuk menerima limpahan air dari langit. Air itu adalah petunjuk Ilahiyah. Dan petunjuk yang kita cari itu adalah agar kita menemukan shiraathal mustaqiim itu. Wallahu’alam[]

Tuesday, June 23, 2020

"Sesungguhnya orang-orang yang kafir, seandainya mereka memiliki segala apa yang ada di bumi dan ditambah dengan sebanyak itu lagi untuk menebus mereka dari azab pada hari Kiamat, niscaya semua itu tidak akan diterima dari mereka. Mereka (tetap) mendapat azab yang pedih."QS al-Maaidah :36

Sepanjang sejarah bisa jadi belum pernah ada yang memiliki kekayaan semua yang ada di bumi dua kali lipat. Harta sebanyak itu pun tak mampu membebaskan mereka dari azab yang pedih pada hari Kiamat.

 Sementara banyak diantara manusia sekadar mengejar nilai segenggam kekayaan dunia atau beberapa takaran saja dibanding seluruh kekayaan bumi - mereka mengorbankan akhirat karenanya.

Sungguh, sebuah perniagaan yang merugi. Menukar kehidupan akhirat dengan dunia. Padahal Allah telah menyiapkan rezeki yg terbaik jika seseorang bertaqwa. Pertanyaan penting berikutnya tentu bagaimana kita mengetahui bahwa diri ini sudah menegakkan ketaqwaan kepada-Nya? Apa ciri-ciri orang yang bertaqwa dalam Al Quran? Apa yang Allah janjikan kepada orang yang bertaqwa dalam Al Quran?
Semua kunci-kunci kehidupan ada di dalam kitab suci warisan Rasulullah Muhammad SAW, tinggal terserah kepada kita apakah mau serius mengkaji dan menerapkannya?
"Pernah merasa down ngga mbak?"

"Oh iya lah, sering. Namanya juga hidup. Life somehow always find a way to knock us down. Not the real us, but our ego."

"Terus, gimana caranya bangkit lagi?"

"Simple. Yaitu dengan ambil air wudhu dan shalat. Kalau sedang bingung, galau, kecewa, sakit hati, deg-degan hendak presentasi penting, jelang job interview, ide mandeg dsb sudah tinggalkan simpan saja dulu semua itu. Kemudian wudhu dan bersimpuh kepada Allah Ta'ala di atas sajadah. Nikmat sekali. Not trying to play God. Sekadar menyerahkan kembali semua apa yang Dia berikan agar Allah sendiri yang menyelesaikan, menuntun, melapangkan jalan, memberi inspirasi dsb. Dan saksikan bagaimana Dia merespon kebutuhan kita kerap kali melalui cara yang sangat tak terduga."🥰

-With God all things are possible-

Sunday, June 21, 2020


Selama hikmah atas suatu ujian belum Allah bukakan kepada seseorang maka selama itu pula ia bagaikan di dalam neraka kehidupan karena belum paham akan kebaikan yang tersimpan di balik kesulitan dan kesempitan yang Allah izinkan menimpa dirinya.


Rasulullah SAW bersabda bahwa “Hikmah adalah naungannya orang-orang beriman.” Yang dimaksud dengan “naungan” adalah sesuatu yang melindungi seseorang. Seperti orang bernaung di bawah pohon di siang hari yang panas terik, maka naungan itu akan membuatnya nyaman dan tidak merasa tersiksa.


Demikian pula ketika hikmah telah diraup oleh hati seseorang. Maka sirnalah kebingungan dan kekhawatiran di hati. Bisa jadi secara fenomena dan jasadiyah ia masih tetap menjalani ujian yang sama, masih tetap diberi penyakit yang sama, masih tetap berkutat pada kekurangan dan kesempitan yang serupa. Tapi dengan terbukanya hikmah, dia menjadi paham maksud Allah menjalankan dia dalam keadaan seperti itu. Pemahaman akan hikmah yang tersimpan dalam jalinan kehidupan yang tidak linier itu akan membuat kesabaran seseorang menguat. Sehingga ia bisa berdamai dengan semua ketetapan Allah, bahkan menjalaninya dengan suka cita. 

Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala,

“Dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu sedang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” (QS Al Kahfi [18]: 68)






"...Allah tidak menzalimi mereka, justru mereka yang menzalimi diri sendiri." QS Al Anfaal [16]:33

Apa diantara makna "menzalimi diri sendiri"?

Tentu tidak ada orang yang waras yang mau menyakiti dirinya sendiri. Akan tetapi dalam suluk ketika orang tidak mau berubah. Merasa itu memang setelan dirinya sambil berkata, "Ya, aku memang begini dari dulu juga." Berarti dia sudah menzalimi jiwanya sendiri. Karena natur bersuluk adalah harus berubah. Bertransformasi menjadi lebih baik dalam memancarkan akhlakul karimah. Jadi lebih penyabar, lebih pemaaf, lebih penyantun, lebih tawakal, jadi kurang panikan, jadi berkurang kekhawatiran kepada dunia dsb. Itulah karakter-karakter cahaya. Sesuatu yang bertentangan dengan kegelapan (kezaliman)

Friday, June 19, 2020

Saya mulai serius belajar agama sejak SMP kelas 2. Saat itu ada teman sekelas les Bahasa Inggris di BBC jalan Buah Batu yang berjualan buku-buku agama di halaman rumahnya yang tak jauh dari tempat les. Hampir setiap minggu saya membeli beberapa buku darinya. Selain itu, setiap akhir pekan saya mengikuti kuliah dhuha yang disampaikan oleh KH Miftah Farid. Gairah saya kepada agama itu juga yang mengantarkan saya menjadi ketua Sekbid I (bidang agama) di OSIS SMPN 2 Bandung, beberapa kali memberi sambutan di sekolah saat ada hari-hari besar seperti Isra’ Mi’raj dll. Di malam perpisahan kelas pada malam terakhir di depan api unggun saya memimpin doa dan perenungan. Entah kenapa, spontan saja begitu. Tidak ada rencana sebelumnya. Gadis tomboy berambut pendek (saaat itu belum berjilbab) dengan celana jeans dan kaos oblong – pakaian favorit saya. Sama sekali ngga ada potongan spiritual yang memimpin doa dan perenungan . Padahal saya punya teman perempuan sekelas yang saat SMP sudah rajin berjilbab.

Pindah ke SMA gairah saya belajar agama semakin bertambah dan  mendapat wadah melalui kegiatan mentoring agama yang dibimbing oleh kakak-kakak kelas. Saya intensif belajar agama dan mengkaji Al Quran di beberapa jamaah pengajian. Tak jarang hingga saya menginap di mesjid. Sedemikian seriusnya saya mencari jalan hingga bersedia mengakadkan diri untuk dibaiat dalam sebuah jamaah. Walaupun setelah kuliah tidak berhubungan lagi dengan jamaah tersebut karena kendala waktu dan jarak dikarenakan saya kuliah di Fakultas Kedoteran yang berkampus di Jatinangor.

Perlu saya tambahkan faktor pemicu penting yang mendorong saya lebih mencari Tuhan melalui agama saat SMA yaitu melalui kondisi rumah tangga orang tua yang sudah mulai diwarnai banyak keributan. Hati saya sempat hancur, sedih dan tidak mengerti. Dunia indah yang saya bangun di benak saya seperti bangunan istana pasir di tepi pantai yang luruh begitu saja disapu ombak laut dalam seketika. Saya mulai mempertanyakan esensi kehidupan. Naluri saya mengatakan ada sesuatu yang abadi yang bisa kita pegang. Looking back now, sekian puluh tahun kedepan. Saya bisa mensyukuri diberi keadaan orang tua yang demikian karena tanpa itu barangkali saya hanya menjadi anak manja yang terlena oleh sekian banyak fasilitas dan kenyamanan hidup serta tak tersirat sebuah keinginan mencari kesejatian hidup.

Masuk periode kuliah, lagi-lagi passion saya belajar agama tak terbendung. Saya kembali mengikuti kegiatan mentoring agama yang dipandu oleh kakak-kakak angkatan dan sesekali mendatangkan pembicara dari luar. Selain itu di akhir pekan saya menyempatkan mengikuti pengajian hari Ahad di Daarut Tauhiid yang dipandu oleh KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym).
Ada peristiwa lain yang menurut saya juga menggelikan. Yaitu sewaktu terjadi pemilihan ketua Keputrian Akhwat di angkatan saya. Terus terang saya ngepér karena diajukan menjadi salah satu kandidat oleh teman-teman saya, lha wong calon-calon yang lain itu setelan akhwat-akhwat yang berjilbab panjang rapi dan kemayu. Saya ini satu-satunya yang pake jilbab kaos (dasar ngga mau ribet) dan masih terlihat tomboynya walaupun diwajibkan menggunakan rok di Fakultas Kedokteran. Tapi hasil pemungutan suara menjadikan saya menjadi ketua keputrian akhwat FK Unpad angkatan 96 🤦‍♀️🤦‍♀️. Well I cannot help it. Saya memang suka cuap-cuap, memberi kultum, membagikan selembaran agama, membuat kisah-kisah hikmah dsb. I feel so alive when I do that. Dan Allah pun memudahkan jalannya.

Saat di bangku kuliah itu pencarian agama saya mencapai titik puncaknya seiring dengan kegelisahan saya mencari makna kehidupan. Kegelisahan yang membuat saya sulit tertidur bermalam-malam. Di kepala saya senantiasa berputar skenario kehidupan: lulus kuliah, dapat pekerjaan bagus, menikah, punya anak, hidup mapan,punya cucu, hidup tua dalam sejahtera dan bahagia and that’s it. Wis ngono tok? Kalau kata orang Jawa. Apakah hidup untuk sekadar menjalani siklus seperti itu? Tampaknya garing banget. Kurang memuaskan. There’s gotta be something more than that, pikir saya.

Pertanyaan dasar saya itu yang membawa saya menggelandang dari satu pesantren ke pesantren lain. Dari satu majelis ta’lim ke majelis ta’lim lain. Saya rajin melihat papan pengumuman pengajian atau pelatihan agama di Masjid Salman atau Masjid Istiqomah. Biasanya saya kejar kesana, walaupun sesekali harus menginap di mesjid. Betul-betul menggelandang.
Ternyata Allah kemudian membukakan jalan tidak jauh dari tempat pijakan kaki saya. Lewat sahabat kuliah sayalah pertama kali saya bersentuhan dengan dunia thariqah. Walaupun saya sempat diwanti-wanti agar tidak ikut tarekat-tarekatan dan juga sempat membaca beberapa buku tentang tasawuf sesat dll. Tapi saya tipe orang yang ingin membuktikan sendiri, tidak puas dengan mendengarkan penuturan sumber kedua atau ketiga.
Lama kelamaan, saya menemukan banyak pertanyaan hidup saya terjawab sangat memuaskan ketika membaca buku-buku yang ditulis oleh para sufi. Seperti kitab Al Hikamnya Syaikh Ibnu Athaillah, Ihya Ulumuddinnya Imam Ghazali, buku-bukunya Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, At Tirmidzi, Fariduddin Attar dan banyak lagi. Perlahan tapi pasti semua keping puzzle mulai menemukan keping lain yang berdekatan dan saya mulai bisa mengenal pola-pola yang disusun oleh setiap keping puzzle kehidupan.

Alhamdulillah sejak pertengahan tahun 2001 saya pun resmi menjadi murid seorang Mursyid Tasawuf. Awalnya orang tua saya skeptis dengan pilihan stream pengajian saya. Maklum, banyak orang yang masih salah paham tentang ajaran tasawuf. Tapi ketika melihat perubahan perilaku saya -yang kata ibu saya menjadi lebih sabar dan lebih tenang maka kedua orang tua saya mulai bertanya-tanya diajarin apa saja anak ini di pengajian. Karena pernah misalnya mobil kami ditabrak orang saat macet sampai bagian belakang penyok. Ketika itu saya yang mengendarai mobil keluar melihat keadaan mobil dan si mbak yang menabrak saya mendatangi memohon maaf sambil kedua tangannya direkatkan di depan dadanya. “Well, accident happened” saya bilang sambil berkata “Tidak apa-apa mbak, lain kali hati-hati ya.” Ibu dan adik saya yang juga ada di dalam mobil dan siap untuk nggelabrak si mbak itu jadi melongo lihat respon saya. “Lho kok? Ngga diminta ganti rugi?” tanya mereka. Saya jawab, “Tidak usah, ini musibah untuk semua. Semoga Allah ganti dengan yang lebih baik.” Kejadian serupa seperti itu tidak sekali dua kali. Setiap kali ada orang yang bertindak merugikan kami, saya cenderung menjadi lebih mudah memaafkan. Dan itu kerap membuat keluarga saya geleng-geleng kepala, gagal paham.

Puncaknya adalah ketika almarhum ayah saya terkena serangan stroke dan harus dirawat di ICU berminggu-minggu lamanya dengan biaya puluhan juta hingga hampir ratusan juta rupiah. Uang sebanyak itu membuat tabungan saya sebagai dokter umum yang praktek di klinik-klinik kecil terkuras habis. Saya tahu persis bagaimana galaunya perasaan keluarga yang menunggui pasien yang dirawat di ICU tanpa asuransi. Setiap hari deg-degan saat visite dokter harus menebus resep yang nilainya jutaan rupiah. Belum biaya perawatan di ICU yang mahal. Pernah saat hampir dinyatakan sembuh tagihan mulai diberikan. Ibu saya hanya bisa menatap kertas tagihan dengan mata nanar. Saya tahu beliau dalam keadaan tidak berdaya, bisnisnya kandas ditipu orang dan terkena hantaman krisis moneter di tahun 1998. “Ada uangnya Mbak Acha?” katanya lirih. “Belum ada ma.” Jawab saya apa adanya. “Tapi tenang saja, Allah Maha Memberi Rezeki.” Kita berdoa ya. Pas hari saat saya harus membayar tagihan itu pada pagi harinya uang yang harus disediakan belum ada. Saya sudah mempersiapkan strategi terakhir untuk mendatangi direktur rumah sakit yang kebetulan kakak kelas, untuk meminta keringaan agar bisa diangsur. Tapi belum sempat rencana itu dilaksanakan, telepon saya berbunyi. Seorang sahabat memberi kabar bahwa ada beberapa sahabat lain yang berinisiatif mengumpulkan dana untuk pengobatan ayah saya, dan dana itu berupa pemberian. Sehingga saya tidak perlu membayar kembali. Allahu Akbar! Benar kiranya Allah Maha Memberi Rezeki. Siapa lagi yang menggerakkan hati sahabat-sahabat saya itu, padahal saya tidak woro-woro minta diberi bantuan.

Tepat satu bulan setelah ayahanda terjatuh terkena stroke beliau pun berpulang ke Rahmatullah. Sekali lagi saya entah kenapa diberi ketenangan mengurus semuanya. Termasuk keringanan hati untuk melepas kepergian ayah tercinta. My father and my best friend. Hal itu juga yang kemudian diperhatikan oleh ibu saya. Beliau lagi-lagi terkesan dengan ketenangan saya menghadapi badai ujian kehidupan. Akhirnya suatu hari beliau berkata kepada saya, “Mama ingin ikut pengajian Mbak Acha, ingin tahu diajarkan apa saja kok bisa begitu.” Setelah itu mama saya jadi lebih sering shalat sunnah, setiap malam tahajjud dan setiap hari mengaji Al Quran.

Begitulah, di balik apa yang kita pandang sebagai tragedi atau musibah dalam kehidupan ada sebuah kebaikan dan hikmah yang tinggi yang seringkali baru kita pahami setelah  kita bersabar dulu menjalaninya.

Dalam kisah hidup saya, ketidakharmonisan rumah tangga orang tua yang mendorong saya mencari makna kehidupan. Lalu tanpa bisnis orang tua saya dibuat hancur, maka saya dan keluarga akan luput menyaksikan demonstrasi nyata betapa Allah Yang Maha Memberi Rezeki. Jika kita pernah mengalami momen dimana kita dalam keadaan nyaris dan tak berdaya tapi kemudian pertolongan-Nya datang secara tidak disangka, maka keyakinan kita tentang Rabb Sang Pemelihara alam semesta menjadi lebih teguh dan tidak sekadar wacana di akal pikiran saja.

Sebenarnya banyak detil-detil menakjubkan sepanjang perjalanan hidup itu. Tapi saya cukupkan sampai disini dulu sharingnya ya. Supaya tidak bosan membacanya. Lagipula ini sudah jelang waktu shubuh di Amsterdam. Semoga bermanfaat dan bisa memberi semangat sahabat-sahabat untuk mencari-Nya. Sungguh Dia Maha Menjawab doa kita. Selalu. Hanya bentuk jawabannya itu yang kita kerap tidak paham. Maka Rumi berpesan,

Jika engkau belum mempunyai ilmu, hanya prasangka. Maka milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan. Begitulah caranya!

From Amsterdam with love
20 June 2020 pukul 2.52 dini hari

Baru saja beberapa menit setelah saya menulis tentang "Bahaya Pikiran" kontan saya dapat teguran-Nya.

Saat bergegas keluar dari rumah bersepeda memanfaatkan jeda waktu sebelum jemput si kecil untuk berbelanja. Saya tiba-tiba terjatuh dari sepeda. Jalannya adalah lewat tas belanjaan yang tiba-tiba melorot yang saya gantungkan di tang sepeda kiri. Tak sengaja saya tarik terlalu keras tali tas itu karena pikiran sibuk membuat skema apa saja yang harus dibeli, jadi kurang perhitungan. Akibatnya tang sepeda tertarik ke kanan dan sepedapun hilang keseimbangan sehingga saya sukses terjerembab sampai nyungsep ke pagar semak-semak tetangga depan rumah. Benturannya ternyata cukup nyaring hingga membuat tetangga lain yang berjarak dua rumah dari lokasi jatuh berlari keluar dan memeriksa keadaan saya.

Semua terjadi begitu cepat. Setelah kembali mengayuh sepeda saya baru merasakan darah yang mulai merembes dan ternyata celana saya bagian lutut sampai terkotak karenanya.

Astaghfirullah...
What was happening? Sambil istighfar saya berusaha flashback proses yang terjadi pagi ini. Karena biasanya kalau Allah memberikan saya sakit di tataran fisik seperti ini adalah sebuah teguran yang juga berupa pembersihan.

Saya telaah kembali, barangkali ada pikiran, perasaan atau angan-angan yang tidak pafa tempatnya. Dan...ya! Saya bisa mengidentifikasi satu-dua hal yang bisa jadi menjadi penyebab penarik musibah ini. Astaghfirullah. Saat mengingat lagi saya pun menyadari ada sepersekian detik saat saya berpikir tentang sesuatu lalu nurani saya berkata "Hey, stop! Jangan berpikir seperti itu!" Tapi dasar masih ngeyel, untuk beberapa detik saja saya memilih to entertain my mind. And one thing lead to another. Pikiran yang lalai membuat kita menjadi kurang khidmat melakukan sesuatu. Biasanya sebelum keluar rumah doa saya agak panjang dan berusaha dipanjatkan sekhidmat mungkin. Tapi tadi karena pikiran saya sibuk melayang ga karuan. Doanya pun sebatas "bismillah" di lisan saja. Dan Allah Maha Tahu. Hanya berjarak beberapa meter kemudian saya pun dibuat jatuh dari sepeda yang tengah saya kendarai.

Masya Allah. Itu baru beberapa pikiran yang tidak benar. Bagaimana dengan keinginan, cita-cita bahkan perbuatan yang tidak Dia ridhoi? Kalau mau kontan semua dibersihkan di alam dunia ini serta tanpa rahmat dan ampunan-Nya maka habis sudah kita rasanya. Pantas Rasulullah mengatakan istighfar itu pembuka rezeki. Karena rezeki kita sangat bisa jadi terhalang oleh tumpukan dosa harian yang berasal dari pikiran, perasaan dan keinginan yang liar.

Sambil mengelus lutut yang luka saya mengucap alhamdulillah. Masih untung dibersihkan di dunia ini dibanding dibersihkan di alam nanti yang lebih menyakitkan...naudzubillah

Thursday, June 18, 2020

BAHAYA PIKIRAN LIAR

Kalau ditilik-tilik, hal yang membuat kita kesal, sakit hati bahkan menderita itu bukan situasi atau kejadiannya tapi pikiran kita sendiri yang menginterpretasikan sesuatu itu.

Kita perhatikan gambaran sederhana yang terjadi sehari-hari. Misalnya suatu saat saya titip mengambil sesuatu kepada suami kemudian dia lupa melakukannya. Pikiran yang liar akan membuat drama dengan berkata, “Tuh, kan dia ngga perhatian sama kebutuhan aku” Akibatnya kita membuang menambah dedak kekesalan di hati dan membuat hati semakin sempit. Akan tetapi pikiran yang tertata akan mencoba memahami, “Oh, mungkin dia sedang sibuk di kantor sehingga banyak yang ada di pikirannya sehingga lupa. Besok coba lagi saja.” Beres. Hati pun ringan.

Di saat lain kita coba telepon suami yang sedang di luar rumah, beberapa kali ditelepon tapi tidak diangkat. Pikiran yang liar akan meracuni hati dengan buruk sangka dan berkata, “Nah, lagi apa nih dia. Jangan-jangan…” Sambil hati ga karuan memikirkan “the worst case scenario”. Sementara jika kita memilih mengambil pikiran yang logis, dia akan berkata. “Oh mungkin dia sedang ada meeting.” Hati lepas dari fenomena itu dan kita bisa move-on melakukan kewajiban hidup masing-masing.

Dalam hal peribadatan pun keliaran pikiran bisa mengakibatkan tauhid kita tercederai. Misal saja doa kita tidak dikabulkan setelah sekian lama. Lalu pikiran liar datang menghembuskan kewaswasan dan berkata, “Ah, memang Allah tidak menjawab doaku. Bosan sudah aku meminta” Tidak hanya ia berprasangka buruk kepada Dzat Yang telah memberinya kehidupan, tapi juga ia sudah memutuskan sikap untuk berhenti meminta. He give up on God. Sementara Tuhan, tidak pernah give up on any creation. Rasulullah SAW bersabda, “Allah tidak akan bosan hingga orang tersebut bosan.” Jadi yang biasanya pertama memalingkan wajah dari –Nya adalah kita sendiri. Astaghfirullah…

Jadi, hati-hati dengan segenap manuver pikiran. Dia akan liar tanpa diawasi oleh akal jiwa dan nurani. Karena pikiran akan cenderung nyeblak tanpa kendali. Kendali itu adalah agama. Tanpa agama, akal pikiran akan tersesat dalam rimba belantara keliarannya. Seperti berpikir “Kalau Tuhan menciptakan semuanya, maka siapa yang menciptakan Tuhan?” Sekilas sepertinya pertanyaan yang filosofis. Tapi kalau kalimat itu dicerna oleh nurani, pastilah ia bahkan tak sudi untuk melontarkannya. Adab itu bisa mengekang pikiran. Sesuatu yang sebenarnya menjadi akar dan pondasi dari semua ilmu.

Itu sebabnya para mahasiswa dari jenjang S1 sampai S3 diajari filsafat ilmu. Filsafat itu dari Bahasa Yunani. “Philia” berarti cinta dan “sophia” artinya kebijaksanaan. Filsafat dengan demikian berarti cinta kebijaksanaan. Orang yang bijak pasti adabnya tinggi. Demikian pula orang yang paham filsafat ilmu yang sesungguhnya akan terpancar dari adabnya yang tinggi terhadap ilmu yang didalaminya, terhadap kehidupan dan juga terhadap sesama. Jenjang paling tinggi studi adalah jenjang Doktor, atau PhD (Philosophiae Doctor) artinya orang yang ahli kebijakan atau hikmah. Dengan kata lain mestinya makin tinggi pendidikan adabnya harus semakin baik. Karena pada hakikatnya pembentukan adab akhlak atau karakter yang baik adalah output utama dari sebuah pendidikan. “Knowledge is power but character is more.”

Dengan demikian ada kaitan antara kemampuan seseorang mengendalikan pikirannya dengan kebijaksanaan dan adab yang terpancar dari diri orang itu.  Hal itu bisa dimengerti karena pikiran akan membangkitkan cita-cita yang kemudian akan mewujud menjadi tingkah laku, kata-kata, raut wajah, penyikapan dan bahkan karakter – jika hal itu dilakukan berulang-ulang.

Tentu yang namanya orang hidup, pikirannya akan selalu aktif. Tapi kita bisa belajar menyaring pikiran mana yang hendak kita ambil. Dan upayakan selalu mengambil pikiran yang positif. Dia lebih membawa ketenangan, energi,  dan kebaikan. Serta jauhi pikiran atau prasangka buruk. Ia hanya membawa penyakit, kesempitan dan penderitaan yang tak perlu.

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berburuk sangka, karena sebagian dari berburuk sangka itu dosa.” (QS Al Hujurat: 12)

Amsterdam, 18 Juni 2020
13:07

Wednesday, June 17, 2020


Ayat QS Thahaa [20]: 82 ini diberitakan oleh Rasulullah SAW terpampang bercahaya di pintu Arsy. Sebuah ayat yang dahsyat, mari kita perhatikan:


“Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, kemudian tetap dalam petunjuk.”


Sebuah statement penerimaan yang besar sekali dari Ar Rahman dan Ar Rahim. Kesempatan sekali seumur hidup selama hayat masih di kandung badan. Agar kita taubat, yaitu kembali mencari-Nya. Agar terbangun dari kelalaian angan-angan panjang dan perlombaan semu mencari dan mengumpulkan dunia, lalu kembali mengabdi kepada-Nya. Menjadi seseorang yang Dia kehendaki. Berjuang mencari amal shalih dalam langkah kita bertransformasi menjadi jati diri yang sejati. Bukan jati diri palsu yang dibentuk oleh orang tua dan lingkungan.


Dengan taubat maka seseorang dianugerahi cahaya iman. Cahaya iman itu menjadi sarana untuk mengenali amal shalih, amal yang Dia ridhoi. Bukan sekadar asumsi, tapi sebuah keyakinan yang teguh dengan hujjah yang nyata. Dan demikianlah tercipta sebuah hubungan yang erat dengan Rabb alam semesta yang senantiasa menuntun setiap yang mencari-Nya. Agar mereka “tetap dalam petunjuk.”


Amsterdam, 17 Juni 2020. Pkl 13.37
MEMBACA  PERNIKAHAN

“Pernikahan adalah jalan kematian” begitu kata Jalaluddin Rumi.

Semua yang menikah akan sepakat bahwa menjalani rumah tangga bersama, menyatukan dua dunia yang berbeda itu tidak mudah. It’s definitely not a walk in a park. Sementara waham kita terlanjur dicekoki oleh kehidupan pernikahan yang romantis ala Hollywood atau telenovela dan terkaget-kaget serta tidak siap begitu terkonfrontasi oleh sekian gerindaan dalam interaksi di dalamnya. Tidak heran secara statistik lebih dari separuh pernikahan kandas di periode lima tahun pertama.

Awalnya saya berpikir menikah itu sekali seumur hidup saja. Makanya saya demikian pilih-pilih menjatuhkan pilihan pasangan hidup. I want to get marry with the one till the end of time. Begitu pikir saya. Tapi, ternyata konsep perjodohan tidak sesimpel itu. Karena saya juga membaca ada fenomena bercerai di sekitar saya, beberapa nabi seperti Ismail as bahkan dikunjungi oleh sang ayahanda  Ibrahim as sekian lama setelah ditinggal di tengah padang pasir untuk membimbing ihwal mengganti pasangannya.

Saya pernah mendengar kisah tentang seorang wali songo yang dihampiri oleh seorang perempuan shalihah yang melamarnya untuk bersedia dijadikan suami. Sang waliyullah menolak sambil berkata, “Kamu memang jodohku, tapi bukan di dunia ini melainkan di alam nanti.”

Untuk melengkapi khazanah perjodohan, coba amati hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra berikut:
Suatu hari Rasulullah –saw- masuk menemui Khadijah, istri beliau yang tengah sakit yang membawa kepada kewafatannya.
Beliau –saw- berkata kepada istrinya, “Wahai Khadijah, jika engkau bertemu dengan wanita-wanita yang menjadi madumu, sampaikan salaam kepada mereka dariku.”
Khadijah bertanya, “Ya Rasulullah, apakah engkau pernah menikah sebelumku?”
Beliau –saw- menjawab, “Tidak, akan tetapi Allah telah menikahkan aku dengan Maryam binti Imran, Asiyah binti Muzahim dan Kultsum saudara perempuan Musa –as-“

Nah, mind blowing kan? Rasulullah –saw- telah Allah nikahkan dengan Siti Maryam, ibunda Isa al-Masih –as, Asiyah salah seorang istri Fir’aun dan Kultsum atau Miryam yang merupakan kakak perempuan Musa as.
Menikah dimana? Bukankah mereka semua tidak hidup sezaman dengan Rasulullah? Ya menikah di alam lain. Alam jiwa. Ini membawa kita kepada sebuah kesadaran bahwa ada realita lain di balik alam dunia yang kita kerap dibuat pontang-panting di dalamnya.

Saya jadi merenung, betapa rumitnya membaca takdir jika tanpa ada panduan dari-Nya. Seseorang bisa saja berjodoh dengan pasangan yang menyakitinya bahkan setara Fir’aun sekalipun seperti Asiyah ra. Tapi jika dijalani dengan sabar dan syukur, ternyata bisa jadi diganjar dengan mendapat pasangan yang lain di akhirat. I mean, lihatlah Asiyah yang mulia itu, kesabaran dan keteguhan imannya Allah ganjar dengan dinikahkan kepada manusia termulia, Muhammad –saw-. Masya Allah.

Informasi hadits di atas betul-betul mengubah cara pandang saya terhadap pernikahan. Tadinya saya ingin pernikahan yang sempurna, “sakinah- ma waddah wa rahmah” dalam versi waham saya. Ternyata Allah mengajarkan dengan cara lain. Akhirnya saya sadar bahwa kesempurnaan pernikahan itu bukan terletak pada fenomenanya. Tapi pada penerimaan kita dan keberserahdirian pada takdir-Nya. Keadaan pasangan yang ada diterima dan dijalani dulu apa adanya. Adalah mudah untuk menyerah dan bercerai, everybody can do that. Tapi untuk bertahan di dalam situasi rumah tangga yang seperti duduk di atas bara kemudian hati kita dibuat merasa nyaman bisa sambil nyeruput kopi dan berkarya saat menjalaninya. Itulah surga.

Kalaupun memang tak bisa lagi dipertahankan, itu masalah lain. Dan kalau pun skenario itu yang terjadi, Allah memberi janji dalam Al Quran, “Dan jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari karunia-Nya.” QS An Nisaa [4]: 130.

Akhirnya saya mulai memahami pernikahan sebagai sebuah peribadatan yang harus diletakkan dalam kerangka keberserahdirian, seperti halnya ibadah yang lain. Rumah tangga yang nampaknya harmonis tapi tidak membawa pasangan itu kepada keberserahdirian dan malah terlena oleh dunia bagi saya lebih membahayakan untuk keselamatan dunia dan akhirat. Artinya apapun keadaan dunia kita seharusnya satu parameternya, apakah itu membawa hati kita menjadi semakin dekat kepada-Nya? Semakin berserah diri kepada-Nya? Semakin tawakal kepada-Nya? Semakin takjub kepada-Nya? Semakin merindu-Nya? Semakin ingin berjumpa dengan-Nya?

Jika Allah yang menjadi sasaran pandang kita, maka gejolak dunia sepanas apapun tak akan terasa. Karena Allah yang menjaga diri kita. Seperti Ibrahim as yang dibakar dalam kobaran api yang besar dan Allah berfirman kepada sapi, “Wahai api, menjadi dinginlah!” Demikianpun api kehidupan dan ujian dalam rumah tangga yang orang lain lihat demikian menyiksa tapi hati kita mampu menjalaninya.

Saya jadi ingat kisah seorang ibu yang suaminya berselingkuh tiga tahun lamanya dengan orang lain hingga terinfeksi HIV/AIDS. Dan orang lain itu bukan perempuan pula, tapi seorang laki-laki. Hebatnya sang ibu tetap mau mempertahankan rumah tangganya, justru karena merasa iba dengan laki-laki yang menyakiti hatinya itu. Dia tahu suaminya walaupun demikian perilakunya, sangat dekat dengan anak-anak dan bahwa perceraian hanya akan membuat dia semakin hancur. Akhirnya mereka mencoba melanjutkan lagi pernikahan yang telah terkoyak. Mencoba menambal kerusakan bersama. Sang istri berdoa siang dan malam. Akhirnya suami pun insaf dan setiap malam shalat taubat. Allahu Akbar! Kesabaran sang istri menjadi jalan hidayah untuk suaminya.

Begitulah, sekali lagi tidak mudah membaca dinamika sebuah pernikahan. Ia adalah bagian dari Grand Design dari Sang Maha Kuasa. Jangankan membaca pernikahan orang lain, membaca pernikahan diri dan keadaan diri sendiri saja kita masih tergagap-gagap. So, please quit judging other people’s marriage. 

Akan tetapi indahnya, ketidakberdayaan itu membawa kita kepada sebuah keadaan faqir yang mutlak – jika kita mau menyadarinya. Dan itu pada hakikatnya adalah sebuah tangga mi’raj menuju-Nya. Di setiap takdir yang Dia letakkan di hari ini adalah anak tangga untuk lebih mendekat dan mengenal-Nya. So, just enjoy the ride, no matter how bumpy the road is 😉;)