Friday, June 19, 2020

Saya mulai serius belajar agama sejak SMP kelas 2. Saat itu ada teman sekelas les Bahasa Inggris di BBC jalan Buah Batu yang berjualan buku-buku agama di halaman rumahnya yang tak jauh dari tempat les. Hampir setiap minggu saya membeli beberapa buku darinya. Selain itu, setiap akhir pekan saya mengikuti kuliah dhuha yang disampaikan oleh KH Miftah Farid. Gairah saya kepada agama itu juga yang mengantarkan saya menjadi ketua Sekbid I (bidang agama) di OSIS SMPN 2 Bandung, beberapa kali memberi sambutan di sekolah saat ada hari-hari besar seperti Isra’ Mi’raj dll. Di malam perpisahan kelas pada malam terakhir di depan api unggun saya memimpin doa dan perenungan. Entah kenapa, spontan saja begitu. Tidak ada rencana sebelumnya. Gadis tomboy berambut pendek (saaat itu belum berjilbab) dengan celana jeans dan kaos oblong – pakaian favorit saya. Sama sekali ngga ada potongan spiritual yang memimpin doa dan perenungan . Padahal saya punya teman perempuan sekelas yang saat SMP sudah rajin berjilbab.

Pindah ke SMA gairah saya belajar agama semakin bertambah dan  mendapat wadah melalui kegiatan mentoring agama yang dibimbing oleh kakak-kakak kelas. Saya intensif belajar agama dan mengkaji Al Quran di beberapa jamaah pengajian. Tak jarang hingga saya menginap di mesjid. Sedemikian seriusnya saya mencari jalan hingga bersedia mengakadkan diri untuk dibaiat dalam sebuah jamaah. Walaupun setelah kuliah tidak berhubungan lagi dengan jamaah tersebut karena kendala waktu dan jarak dikarenakan saya kuliah di Fakultas Kedoteran yang berkampus di Jatinangor.

Perlu saya tambahkan faktor pemicu penting yang mendorong saya lebih mencari Tuhan melalui agama saat SMA yaitu melalui kondisi rumah tangga orang tua yang sudah mulai diwarnai banyak keributan. Hati saya sempat hancur, sedih dan tidak mengerti. Dunia indah yang saya bangun di benak saya seperti bangunan istana pasir di tepi pantai yang luruh begitu saja disapu ombak laut dalam seketika. Saya mulai mempertanyakan esensi kehidupan. Naluri saya mengatakan ada sesuatu yang abadi yang bisa kita pegang. Looking back now, sekian puluh tahun kedepan. Saya bisa mensyukuri diberi keadaan orang tua yang demikian karena tanpa itu barangkali saya hanya menjadi anak manja yang terlena oleh sekian banyak fasilitas dan kenyamanan hidup serta tak tersirat sebuah keinginan mencari kesejatian hidup.

Masuk periode kuliah, lagi-lagi passion saya belajar agama tak terbendung. Saya kembali mengikuti kegiatan mentoring agama yang dipandu oleh kakak-kakak angkatan dan sesekali mendatangkan pembicara dari luar. Selain itu di akhir pekan saya menyempatkan mengikuti pengajian hari Ahad di Daarut Tauhiid yang dipandu oleh KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym).
Ada peristiwa lain yang menurut saya juga menggelikan. Yaitu sewaktu terjadi pemilihan ketua Keputrian Akhwat di angkatan saya. Terus terang saya ngepér karena diajukan menjadi salah satu kandidat oleh teman-teman saya, lha wong calon-calon yang lain itu setelan akhwat-akhwat yang berjilbab panjang rapi dan kemayu. Saya ini satu-satunya yang pake jilbab kaos (dasar ngga mau ribet) dan masih terlihat tomboynya walaupun diwajibkan menggunakan rok di Fakultas Kedokteran. Tapi hasil pemungutan suara menjadikan saya menjadi ketua keputrian akhwat FK Unpad angkatan 96 🤦‍♀️🤦‍♀️. Well I cannot help it. Saya memang suka cuap-cuap, memberi kultum, membagikan selembaran agama, membuat kisah-kisah hikmah dsb. I feel so alive when I do that. Dan Allah pun memudahkan jalannya.

Saat di bangku kuliah itu pencarian agama saya mencapai titik puncaknya seiring dengan kegelisahan saya mencari makna kehidupan. Kegelisahan yang membuat saya sulit tertidur bermalam-malam. Di kepala saya senantiasa berputar skenario kehidupan: lulus kuliah, dapat pekerjaan bagus, menikah, punya anak, hidup mapan,punya cucu, hidup tua dalam sejahtera dan bahagia and that’s it. Wis ngono tok? Kalau kata orang Jawa. Apakah hidup untuk sekadar menjalani siklus seperti itu? Tampaknya garing banget. Kurang memuaskan. There’s gotta be something more than that, pikir saya.

Pertanyaan dasar saya itu yang membawa saya menggelandang dari satu pesantren ke pesantren lain. Dari satu majelis ta’lim ke majelis ta’lim lain. Saya rajin melihat papan pengumuman pengajian atau pelatihan agama di Masjid Salman atau Masjid Istiqomah. Biasanya saya kejar kesana, walaupun sesekali harus menginap di mesjid. Betul-betul menggelandang.
Ternyata Allah kemudian membukakan jalan tidak jauh dari tempat pijakan kaki saya. Lewat sahabat kuliah sayalah pertama kali saya bersentuhan dengan dunia thariqah. Walaupun saya sempat diwanti-wanti agar tidak ikut tarekat-tarekatan dan juga sempat membaca beberapa buku tentang tasawuf sesat dll. Tapi saya tipe orang yang ingin membuktikan sendiri, tidak puas dengan mendengarkan penuturan sumber kedua atau ketiga.
Lama kelamaan, saya menemukan banyak pertanyaan hidup saya terjawab sangat memuaskan ketika membaca buku-buku yang ditulis oleh para sufi. Seperti kitab Al Hikamnya Syaikh Ibnu Athaillah, Ihya Ulumuddinnya Imam Ghazali, buku-bukunya Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, At Tirmidzi, Fariduddin Attar dan banyak lagi. Perlahan tapi pasti semua keping puzzle mulai menemukan keping lain yang berdekatan dan saya mulai bisa mengenal pola-pola yang disusun oleh setiap keping puzzle kehidupan.

Alhamdulillah sejak pertengahan tahun 2001 saya pun resmi menjadi murid seorang Mursyid Tasawuf. Awalnya orang tua saya skeptis dengan pilihan stream pengajian saya. Maklum, banyak orang yang masih salah paham tentang ajaran tasawuf. Tapi ketika melihat perubahan perilaku saya -yang kata ibu saya menjadi lebih sabar dan lebih tenang maka kedua orang tua saya mulai bertanya-tanya diajarin apa saja anak ini di pengajian. Karena pernah misalnya mobil kami ditabrak orang saat macet sampai bagian belakang penyok. Ketika itu saya yang mengendarai mobil keluar melihat keadaan mobil dan si mbak yang menabrak saya mendatangi memohon maaf sambil kedua tangannya direkatkan di depan dadanya. “Well, accident happened” saya bilang sambil berkata “Tidak apa-apa mbak, lain kali hati-hati ya.” Ibu dan adik saya yang juga ada di dalam mobil dan siap untuk nggelabrak si mbak itu jadi melongo lihat respon saya. “Lho kok? Ngga diminta ganti rugi?” tanya mereka. Saya jawab, “Tidak usah, ini musibah untuk semua. Semoga Allah ganti dengan yang lebih baik.” Kejadian serupa seperti itu tidak sekali dua kali. Setiap kali ada orang yang bertindak merugikan kami, saya cenderung menjadi lebih mudah memaafkan. Dan itu kerap membuat keluarga saya geleng-geleng kepala, gagal paham.

Puncaknya adalah ketika almarhum ayah saya terkena serangan stroke dan harus dirawat di ICU berminggu-minggu lamanya dengan biaya puluhan juta hingga hampir ratusan juta rupiah. Uang sebanyak itu membuat tabungan saya sebagai dokter umum yang praktek di klinik-klinik kecil terkuras habis. Saya tahu persis bagaimana galaunya perasaan keluarga yang menunggui pasien yang dirawat di ICU tanpa asuransi. Setiap hari deg-degan saat visite dokter harus menebus resep yang nilainya jutaan rupiah. Belum biaya perawatan di ICU yang mahal. Pernah saat hampir dinyatakan sembuh tagihan mulai diberikan. Ibu saya hanya bisa menatap kertas tagihan dengan mata nanar. Saya tahu beliau dalam keadaan tidak berdaya, bisnisnya kandas ditipu orang dan terkena hantaman krisis moneter di tahun 1998. “Ada uangnya Mbak Acha?” katanya lirih. “Belum ada ma.” Jawab saya apa adanya. “Tapi tenang saja, Allah Maha Memberi Rezeki.” Kita berdoa ya. Pas hari saat saya harus membayar tagihan itu pada pagi harinya uang yang harus disediakan belum ada. Saya sudah mempersiapkan strategi terakhir untuk mendatangi direktur rumah sakit yang kebetulan kakak kelas, untuk meminta keringaan agar bisa diangsur. Tapi belum sempat rencana itu dilaksanakan, telepon saya berbunyi. Seorang sahabat memberi kabar bahwa ada beberapa sahabat lain yang berinisiatif mengumpulkan dana untuk pengobatan ayah saya, dan dana itu berupa pemberian. Sehingga saya tidak perlu membayar kembali. Allahu Akbar! Benar kiranya Allah Maha Memberi Rezeki. Siapa lagi yang menggerakkan hati sahabat-sahabat saya itu, padahal saya tidak woro-woro minta diberi bantuan.

Tepat satu bulan setelah ayahanda terjatuh terkena stroke beliau pun berpulang ke Rahmatullah. Sekali lagi saya entah kenapa diberi ketenangan mengurus semuanya. Termasuk keringanan hati untuk melepas kepergian ayah tercinta. My father and my best friend. Hal itu juga yang kemudian diperhatikan oleh ibu saya. Beliau lagi-lagi terkesan dengan ketenangan saya menghadapi badai ujian kehidupan. Akhirnya suatu hari beliau berkata kepada saya, “Mama ingin ikut pengajian Mbak Acha, ingin tahu diajarkan apa saja kok bisa begitu.” Setelah itu mama saya jadi lebih sering shalat sunnah, setiap malam tahajjud dan setiap hari mengaji Al Quran.

Begitulah, di balik apa yang kita pandang sebagai tragedi atau musibah dalam kehidupan ada sebuah kebaikan dan hikmah yang tinggi yang seringkali baru kita pahami setelah  kita bersabar dulu menjalaninya.

Dalam kisah hidup saya, ketidakharmonisan rumah tangga orang tua yang mendorong saya mencari makna kehidupan. Lalu tanpa bisnis orang tua saya dibuat hancur, maka saya dan keluarga akan luput menyaksikan demonstrasi nyata betapa Allah Yang Maha Memberi Rezeki. Jika kita pernah mengalami momen dimana kita dalam keadaan nyaris dan tak berdaya tapi kemudian pertolongan-Nya datang secara tidak disangka, maka keyakinan kita tentang Rabb Sang Pemelihara alam semesta menjadi lebih teguh dan tidak sekadar wacana di akal pikiran saja.

Sebenarnya banyak detil-detil menakjubkan sepanjang perjalanan hidup itu. Tapi saya cukupkan sampai disini dulu sharingnya ya. Supaya tidak bosan membacanya. Lagipula ini sudah jelang waktu shubuh di Amsterdam. Semoga bermanfaat dan bisa memberi semangat sahabat-sahabat untuk mencari-Nya. Sungguh Dia Maha Menjawab doa kita. Selalu. Hanya bentuk jawabannya itu yang kita kerap tidak paham. Maka Rumi berpesan,

Jika engkau belum mempunyai ilmu, hanya prasangka. Maka milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan. Begitulah caranya!

From Amsterdam with love
20 June 2020 pukul 2.52 dini hari

No comments:

Post a Comment