Thursday, January 31, 2019

Mungkin perjalanan ini bukan semata untuk menjadi sesuatu.
Mungkin (perjalanan) ini adalah untuk melepaskan hal-hal yang bukan dirimu yang sejati,
Agar dengannya engkau bisa menjadi dirimu yang sebenarnya.

Kadang kita mengambil keputusan yang salah.
Kadang menikah dengan orang yang tidak tepat.
Kadang menjalani pekerjaan yang tidak menginspirasi.

Tidak ada yang salah dengan itu.
Semua adalah bagian dari menjadi.
Tak jarang dalam prosesnya kita harus menanggalkan sesuatu yang lama-lama kita rasa tidak pas.

Keluar dari zona nyaman memang menakutkan.
Tapi itu satu-satunya cara kita berkembang.
Kalau sang ulat tak pernah mau keluar dari kepompongnya yang nyaman, ia tak akan pernah tahu rasanya terbang dengan sepasang sayap yang Allah beri.

Terbanglah!
===

Run from what's comfortable. Forget safety. Live where you fear to live. Destroy your reputation. Be notorious. I have tried prudent planning long enough. From now on I'll be mad.

-Rumi


Takdir Ditentukan Untuk Sebuah Alasan

Raga dan empat hal yang melingkupi setiap manusia sudah ditentukan.
Untuk sebuah alasan.
Karena itu adalah formula yang paling baik untuk pertumbuhan jiwanya.
Empat unsur pembentuk raga.
Empat ketetapan hidup yang menyehatkan jiwa.
Empat rukun di ka'bah yang dijaga oleh empat nabi. Semoga sang hamba mencapai ka'bah dalam dirinya.
Maka berat konsekuensi orang yang mengeluhkan takdir atau bahkan menolaknya. Karena itu sama dengan menolak pertumbuhan dirinya sendiri dan bahkan membinasakannya.
===
"Sesungguhnya setiap orang di antaramu dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya empat puluh hari berupa nutfah, kemudian menjadi segumpal darah, (empat puluh hari kemudian), kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula (40 hari berikutnya). Kemudian diutuslah kepadanya malaikat, lalu meniupkan ruh kepadanya dan diperintahkan atasnya menuliskan empat hal; ketentuan rejekinya, ketentuan ajalnya, ketentuan amalnya, dan ketentuan celaka atau bahagianya …”(HR Bukhari No. 3208)

Belajar Dari Orang Galak

Sejak kecil saya alergi sama orang yang suka marah-marah dan bengis. Cara saya protes kalau tidak langsung konfrontasi orang itu ya dengan walk-away. Maka saya pernah terlibat perseteruan dengan dua orang laki-laki sekelas yang kerap berbuat onar, sekali saat TK nol besar dan sekali lagi hampir berkelahi di pematang sawah saat SD kelas 1. Waktu SMP sempat walk-out, berhenti les piano klasik yang sebenarnya saya sukai gara-gara gurunya galak setengah mati. Saat masuk universitas pernah kabur dari acara - what so called by- Ospek -seharusnya berisi materi Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus -karena setengah hari hanya disuruh berdiri di lapangan dan dibentak-bentak. (I didnt sign up for this, i said to myself). Demikian pun saat ospek jurusan satu-satunya yang tidak ikut bukan karena masalah kesehatan, tapi karena menolak jadi bagian dari acara dibentak-bentak ga jelas itu. Sampai saya diancam tidak akan mendapatkan ijazah, dan terbukti ancaman itu kosong belaka😉
Refleks itu berlanjut hingga saya bekerja. Kalau kebetulan dapat big boss yang galak ya nda betah. Suasana meeting jadi penuh ketegangan bahkan lebih menyeramkan dibanding ke kuburan di tengah malam gelap. Ah, repotnya berhadapan dengan orang yang galak.
Sekarang refleks saya berubah, barangkali sejak punya anak dan keluar rahwana marah-marah yang ada dalam diri saya. Masya Allah. Saya lebih pengertian kepada orang-orang jutek, galak atau bahkan toxic people. Kalau diteropong lebih dalam, mereka juga tak kuasa mengendalikan dirinya. Mereka begitu karena hatinya sakit, kebanyakan karena trauma masa lalu. Mereka galak begitu karena di dalam hatinya masih ada amarah dan dendam yang membara yang itu terpercik keluar menjadi perilaku yang galak dan kerap marah-marah.
Suatu saat saya pernah bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran. Kebetulan satu shift sama anak pemilik restoran yang super duper galak. Semua orang sudah tahu siapa dia. Tak sedikit orang yang berhenti kerja karena tak tahan dengan kata-kata dan perilakunya yang menyakitkan. Dan malam itu hanya saya dan dia melayani ratusan pengunjung restoran. Bisa dibayangkan habis hati saya digerinda😂 Alhamdulillah, latihan sabar (sambil mengusap dada). Saya paham apa yang dia sampaikan benar, hanya cara penyampaiannya saja sebetulnya yang bisa diperhalus. Saya belajar untuk menghadapi orang seperti ini. Pribadi yang ibunyapun bahkan kerap dibuat geleng-geleng kepala. Tapi dari penuturan sang ibu justru saya paham bahwa anak ini telah mengalami banyak gelombang kehidupan. Perilakunya saat itu mungkin bagian dari self-defensenya, that’s how she has survived all this time. By being tough, being hard to herself kemudian jadi keras buat orang sekitarnya. Tapi saat dia melepaskan semua kuda-kuda self-defensenya kita akan lihat dia sebagai seseorang yang suka melawak, ceria dan baik. Maka saat dia berulang tahun saya kasih kejutan hadiah buat dia, yang membuatnya terkejut, bahkan ibunya kaget ada ya yang mau kasih hadiah untuknya😅
Itulah saya makin yakin bahwa setiap orang pada dasarnya baik. Dibalik topeng galak, bengis, dan amarah yang ditontonkan, ada hati yang lembut yang hanya menunggu saat yang tepat untuk kembali teraktivasi. “Don’t fight fire with fire” kata pepatah. Menghadapi orang seperti ini kita yang harus cool, tenang, agar tidak sama-sama memercikkan api hingga membakar diri serta sekitarnya.

Wednesday, January 30, 2019

Potensi paling besar manusia adalah menjadi lokus tajalli-Nya. Hanya manusia, makhluk yang bisa mengenal Allah dengan sebaik-baik makrifat. Tugas mengenal-Nya ini yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dalam ayat QS Adz Dzaariyaat [51]: 56, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”

Sayangnya waktu yang ada di dunia kebanyakan dihabiskan dalam kesibukan mengumpulkan harta dan bermegah-megahan. Selalu ingin lebih banyak, lebih tinggi, lebih baru, lebih keren, lebih ini dan lebih itu. Hingga satu-satunya penghenti adalah tibanya kematian.
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.”(QS At Takaatsur[102]:1-2)

Mencari rezeki dan ikhtiar itu wajib, itu bagian dari menjalankan kewajiban dan memenuhi hak raga dan keluarga di dunia. Akan tetapi tidak perlu ngoyo melakukannya. Tidak perlu sampai menerobos pagar-pagar kehidupan. Tak perlu juga sebenarnya dibuat susah oleh pembagian rezeki-Nya di dunia.

Rezeki itu mengejar manusia sesuai dengan kecepatan kematian, karena Allah Maha Teliti maka ketika seseorang habis waktu hidupnya di dunia maka secara bersamaan kadar rezekinya memang pas habis. Jadi kalau merasa rezeki kurang barangkali gaya hidup kita yang harus disesuaikan. Bisa jadi tidak perlu mengejar ingin rumah yang itu, kendaraan yang itu, sekolah yang itu, pakaian yang itu, gadget yang itu, liburan kesitu dsb. Mohonlah kepada Allah agar dikaruniai sifat qana’ah, mensyukuri apa adanya. Itu adalah kunci kebahagiaan. Dengannya kita legowo menerima keadaan kita per saat ini. Lalu jelanglah kunci-kunci rezeki yang baik dengan taqwa.

Rasulullah saw bersabda, “Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah. Carilah (rizki) dengan cara yang baik. Maka sesungguhnya manusia itu tidak akan mati hingga rizkinya terpenuhi. Maka bertakwalah kepada Allah. Carilah (rizki) dengan cara yang baik. Ambillah yang halal, tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah)



Monday, January 28, 2019

Setiap anak punya kepintaran masing-masing. Bukan sekadar parameter yang dibaca dengan alat ukur yang biasa dilakukan melalui sebuah ujian di sekolah. Itu tidak memadai untuk mengukur potensi diri anak yang seluas jagad raya.
Kalau kebetulan anak-anak mudah belajar dan nilai akademiknya sangat memuaskan ya syukur, karena kebetulan ia punya kepintaran di bidang itu. Tapi anak-anak yang nilainya biasa-biasa saja bukan berarti bodoh, duh sama sekali tidak! Hati-hati melabel buruk kepada makhluk yang Allah ciptakan dengan sempurna.
Tapi justru disitu masalahnya, kesempurnaan versi kita kerap tidak pas dengan kesempurnaan versi Sang Pencipta. Apa daya sejak kecil pikiran kita sudah dicacah dalam sekat-sekat mata pelajaran dan rangking sekolah (setidaknya zaman saya dulu). Akibatnya kita jadi gagap dalam melihat gambaran besar kehidupan dan terpasung- atau memasungkan diri- juga anak-anak kita dalam sekat-sekat profesi, gelar atau kedudukan dalam masyarakat.
Secara tidak sadar namun sistematis kita mematahkan sayap-sayap jiwa kita sendiri dengan merayap dalam kubangan bernama dunia. Disibukkan oleh satu persoalan ke persoalan lain. Ke satu pencapaian ke pencapaian lain. Ke sebuah mimpi ke mimpi lain. Tapi kehilangan orientasi akan apa yang sebenarnya jiwa kita yang sudah lemah dan patah sayapnya itu hendak menuju.
Akibatnya di manusia menyemut di pasar-pasar dunia, di peluncuran produk baru yang menggiurkan, mengantri di toko-toko, restoran-restoran dan obyek-obyek wisata dalam upaya membasuh kekeringan jiwa, sebuah rasa hampa kronis yang dicoba dihalau dengan berbagai obyek kesenangan, pencapaian, prestasi dan sekian banyak obyek lain yang berbau dunia. Bagaikan mengobati gigi yang membusuk dengan hanya meminum obat anti sakit. Rasa sakit memang hilang sementara tapi penyebab sakitnya akan selalu ada selama belum dicabut.
Kita, juga anak-anak kita punya lahannya masing-masing yang di atas lahan itulah jiwa dan dirinya akan menemukan kebahagiaan yang sejati. Yang tak bisa diukur dengan sekadar pencapaian lahiriah, tak bisa dinalar dengan logika semata, pun tak bisa dipersepsi dengan pembacaan panca indera yang terbatas.
Di dalam diri anak-anak kita ada potensi semesta yang menakjubkan. Sesuatu yang Allah firmankan “...maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa” (QS Fussilat:11). Tantangan orang tua adalah membidani mereka agar bertumbuh sesuai fitrah dan mempersiapkan mereka dalam bimbingan Allah untuk menjelang kelahiran dirinya yang kedua. Semoga…



Thursday, January 24, 2019

Iman adalah ungkapan membenarkan


“Iman itu ungkapan tentang membenarkan.”

-          Imam Al Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin

Jika kita membenarkan sesuatu berarti di dalamnya terkandung unsur kesepakatan dengan sesuatu tersebut. Jika kita mengaku beriman kepada Allah berarti sepakat dengan apa-apa yang Dia tetapkan. Karena yakin bahwa Allah hanya menetapkan yang terbaik.

Mudah kiranya kalau sepakat dengan hal-hal yang cenderung kita sukai. Tapi apakah kita sudah sepakat bahwa raga ini kurang-lebihnya di mata kita adalah yang terbaik. Apakah kita menerima bentuk tubuh ini? Kita terlahir dalam sebagai laki-laki atau seorang perempuan? Membenarkan bahwa kita lahir dari orang tua yang terbaik? Dari keluarga yang terbaik? Menikah saat ini dengan pasangan yang terbaik? Atau belum menikah pada saat ini adalah sesuatu yang terbaik? Memiliki pekerjaan yang terbaik per saat ini? Dikaruniai anak yang terbaik? Diberikan tubuh yang walau sakit-sakitan adalah yang terbaik? Sejauh mana kita membenarkan terutama dalam hal yang bersifat ujian hidup, di situ justru iman kita tengah diuji, tentang sejauh mana kita sepakat dengan ketetapan-Nya.


Anakmu bukanlah milikmu

Beberapa hari lalu bertemu dengan seorang kawan yang baru melahirkan di sebuah cafe. Bayinya sangat lucu dan baru berusia sekitar 2 bulan. Sepanjang dua jam dia tertidur pulas di strollernya yang empuk dan hangat, tak peduli pada suara kencang kami yang beberapa kali lepas tertawa. Sekalinya bayi itu terbangun hanya minnum 200 ml ASI yang sudah tersedia di botol, setelah ditepuk-tepuk sebentar tidur lagi. Saya sempatkan menggendong tubuh mungilnya. So adorable, seperti menggendong boneka!

Saya jadi ingat saat anak-anak masih seusia dia dulu, it’s way easier. Tidur sepanjang waktu, lalu bangun hanya untuk makan dan diganti popok. Lalu datang saat ia sudah bisa merangkak dan meraih apapun yang dia anggap menari, lalu dia bisa memanjat boxnya sendiri, tahu-tahu sudah bisa jalan dan kadang kita tergopoh-gopoh mengejar dia yang ngeloyor sendiri menyeberangi jalan tanpa peduli potensi bahaya sekitarnya. Dunia anak sangat impulsif, dia akan merespon apapun yang ada di sekelilingnya. Kemudian tiba saat dia mulai menolak makanan yang kita sodorkan, lalu ada saatnya pakaian pun sudah ingin memilih keinginannya sendiri. Makin besar anak semakin dia punya jalannya sendiri. Kadang sebagai orang tua kita tidak siap menerima perbedaan itu, apalagi kalau anak sudah remaja dan mulai bisa diskusi masalah-masalah prinsip dalam kehidupan.

Di Belanda ada pepatah “kleine kinderen kleine zorgen, grote kinderen grote zorgen”, kira-kira artinya semakin anak dewasa semakin repot ngasuhnya 😉. Kalau masih kecil orang tua dibuat lelah oleh urusan logistik; makan, minum, mandi, berpakaian dsb. Semakin dia bertambah umurnya semain merambah ke area lain untuk berkembang. Kalaupun secara fisik dia mulai mandiri tapi ada ‘kelelahan’ lain yang kerap dialami orang tua, yaitu ‘lelah hati’. Apalagi saat diuji dengan anak yang menurut persepsi orang tuanya tidak nurut. Disitu kita dipaparkan oleh sebuah realita, a bitter truth, bahwa mereka adalah individu tersendiri, seperti yang dikatakan oleh Kahlil Gibran:

Anakmu bukanlah milikmu
Mereka adalah putra putri Sang Hidup
Yang rindu akan dirinya sendiri

Mereka lahir lewat engkau
Tetapi bukan dari engkau
Mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.

Anak-anak kita akan menjelang dunia yang sangat berbeda dengan apa yang pernah kita alami, waktu yang berbeda dengan masa yang kita pernah arungi. Tidak pas tentunya mengenakan mereka pakaian dari masa lalu kita dengan dalih “ini yang akan membuatmu berhasil” sementara arena kehidupan yang mereka akan lalui sudah berbeda.  Karena kita tidak tahu tentang masa depan, maka selaiknya kita serahkan mereka kepada Dia Sang Perancang kehidupan.

Episode diamanahi anak betul-betul sebuah pembelajaran untuk menjadi faqir, tak berdaya. Hati kita pun dibolak-balik sedemikian rupa, belajar untuk mencintai mereka dengan sepenuh hati lalu pada saatnya harus melepas itu semua. Because to love is to let go. Membiarkan mereka tumbuh sepenuhnya menjadi dirinya sendiri, menjadi untuk apa mereka dicipta.
***
Renungan mellow seorang emak selepas mengantarkan kedua anaknya sekolah menembus tumpukan salju di pagi hari. Sambil menggenggam erat kedua tangannya yang masih kecil dan berbisik “Ya Allah, mereka milik-Mu, Engkau sebaik-baik Pendidik, sebaik-baik Penjaga dan sebaik-baik Pemelihara. Aku serahkan mereka sepenuhnya dalalam Pengawasan-Mu”

Wednesday, January 23, 2019

Bisakah kita menjawab pertanyaan "Man Rabbuka?"

Akan datang kepada manusia saat kematiannya. Ketika jasadnya dimasukkan ke dalam liang lahat dan pengantar terakhir sudah beranjak dari kuburan maka datanglah dua malaikat Munkar dan Nakir mengajukan enam pertanyaan. Pertanyaan pertama adalah “Man Rabbuka?” (Siapakah Tuhanmu?). Untuk menjawab pertanyaan ini sungguh tidak bisa hanya mengandalkan ingatan yang tertanam di sel-sel saraf otak yang sudah mati dan hanya menunggu waktu menjadi makanan para cacing tanah. Lalu siapa yang menjawab jika jasad manusia sudah mati?
Inilah pentingnya kita melakukan tazkiyatun nafs, upaya mensucikan jiwa kita dengan mengikuti syariat dan seluruh ketentuan yang Allah turunkan. Karena takdir yang menyelubungi setiap orang sudah suci dan ia bersifat mensucikan jiwa, jika sang manusia itu bersabar menjalaninya.
Rabb artinya adalah pemelihara dan penguasa. Tapi kalau boleh kita jujur siapa yang tengah menguasai diri kita saat ini? Apakah ambisi ingin menjadi sesuatu? Apakah keinginan yang tak ada habisnya itu? Atau apa kata orang yang menguasai setiap keputusan yang kita ambil, yang karenanya orang menjadi tawanan “apa kata orang” dan membelitkan dirinya dalam kekang pandangan manusia. Juga kalau boleh jujur siapa yang kita rasa memelihara diri dan keluarga? Apakah gaji bulanan yang kita takut setengah mati kalau kehilangannya? Apakah harta warisan atau bisnis yang kita kangkangi sedemikian rupa agar tidak habis? Apakah pasangan yang memelihara kita yang kita sangat tidak mau kehilangan dirinya?
Allah sebagai Rabb sangat halus, Dia sangat tersembunyi. Walaupun Dia pada hakikatnya yang memelihara setiap nafas, detak jantung kehidupan dan perputaran roda dunia tapi Dia Maha Sabar untuk diacuhkan oleh para ciptaan-Nya. Bahkan dikhianati dengan manusia melekatkan diri erat-erat kepada sekian banyak obyek yang ia pikir menjadi sandaran kehidupannya.
Maka bisa jadi ada orang yang menjawab pertanyaan para malaikat di kubur tentang “Siapa Tuhanmu?” akan dijawab dengan jujur oleh sang jiwa dengan “Suamiku atau istriku atau pekerjaanku atau karirku atau anak-anakku atau bisnisku atau nama baikku atau kepintaranku…”dan seterusnya.


Menghayati Saat Hujan

Cobalah tengok keluar saat hujan tengah turun dengan deras, kalau perlu julurkan tangan dan rasakan setiap titik air hujan menerpa kulit tangan kita. Rasakan kesegarannya. Hujan adalah simbol sesuatu yang baru turun dari langit, nuansa ‘kebaruan’ ini dirayakan oleh Rasulullah saw dengan bersuka cita atasnya, seperti yang dikatakan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ”Kami pernah kehujanan bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap bajunya hingga terguyur hujan. Kemudian kami mengatakan, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan demikian?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Karena hujan ini baru saja Allah ciptakan.” (HR Muslim No. 898)

Hujan adalah limpahan air karunia-Nya yang turun dari langit. Dalam riwayat lain disabdakan oleh Rasulullah saw bahwa setiap titik air hujan dibawa oleh satu malaikat. Bayangkan satu malaikat ditugaskan untuk mengawal satu titik air yang berjumlah trilyunan bahkan mungkin lebih yang tersebar dalam satu area hujan yang Allah tetapkan.

Lantas, apa makna kabar sang nabi bahwa bahkan dalam satu titik air hujan malaikat pun Allah tugaskan untuk manjatuhkannya di muka bumi? Setidaknya, dengan informasi ini kita menjadi lebih meyakini Kuasa Allah. Bagaimana segala hal yang terjadi di muka bumi tidak ada yang kebetulan, tidak ada yang di luar kendali atau rencana-Nya dan mustahil mengandung unsur kesia-siaan.

Jika satu titik air hujan saja sudah diatur sedemikian rupa, apalagi kehidupan seorang manusia. Sesuatu yang kita anggap kebetulan, hal yang kita pandang sebagai sebuah ‘kecelakaan’, masa lalu yang kita persepsi sebagai sebuah kesalahan juga semua suka dan duka kehidupan dihadirkan silih berganti seperti pergantian siang dan malam. Manusia itu tidak selamanya lapang, kadang ada masa sempit. Tak selamanya sehat, kadang dihadirkan sakit. Tak selamanya lancar, kadang kehidupan dibuat sulit sedemikian rupa. Kadar-kadar itu sudah ditakar dengan presisi oleh Allah, seperti Dia menakar air hujan, agar sang hamba tumbuh raga dan jiwanya.

Kalau pertumbuhan raga dapat dipantau dengan jelas, seorang balita ditimbang badannya secara berkala untuk memantau pertumbuhan. Kita dapat menyaksikan dengan jelas perubahan bentuk seseorang dari bayi hingga dewasa. Tapi bagaimana dengan pertumbuhan jiwa? Apa yang dipakai sebagai parameter pertumbuhan jiwa? Jawabannya panjang, bisa untuk satu sesi lain. Tapi yang pasti makanan jiwa beda dengan makanan raga. Kalau raga makannya nasi, soto, mungkin bakso dll – jelas karena raga terbuat dari unsur-unsur bumi maka ia hanya akan menginginkan sesuatu yang merupakan unsur pembentuknya. Adapun jiwa kita bukan berasal dari bumi ini, ia adalah elemen alam malakut, alam yang sangat berbeda dengan alam raga yang merupakan bayangan jiwanya sendiri itu. Jiwa bertumbuh dengan memakan kehendak-Nya, menelan qadar-qadar kehidupan dengan ikhlas. Kaitannya dengan air hujan di atas. Terimalah apa-apa yang Allah hadirkan per saat ini. Terutama hal-hal yang hati kita masih sulit dirasa untuk menjalaninya. Karena tentu mudah untuk menerima hal yang kita sukai, akan tetapi bersyukur dan masih mengucap alhamdulillah saat harus menjalani sakit atau kesulitan dan kesempitan sungguh membutuhkan perjuangan.
Ingatlah firman-Nya,

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216).



Tuesday, January 22, 2019

Dukungan Untuk Para Ibu

Ingat dulu waktu lajang pernah saya melayangkan tatapan tajam seorang ibu yang menghardik kasar anaknya di sebuah supermarket karena si anak merengek-rengek terus. Dalam hati berkata, "Duh kalau saya punya anak ngga akan memperlakukan dia seperti itu".
Fast forward, sepuluh tahun kemudian saya melakukan hal yang persis sama😝.
Menjalankan peran ibu itu berat and it's really a serious business. Sayangnya kebanyakan perempuan tidak cukup bekal pengetahuan yang cukup untuk menjalankan peran ini. Tidak jarang oleh karenanya yang dibuat kaget dan pontang-panting dengan sekian perubahan yang terjadi pada tubuhnya dan perasaannya ketika harus all-out merawat manusia bertubuh mungil yang baru keluat dari rahimnya.
Dalam dunia pendidikan standar kita perempuan diajarkan dengan mata pelajaran yang sama dengan laki-laki. Memang pernah ada sedikit pelajaran keputrian, memasak atau menjahit. Tapi tak pernah saya ingat ada saat bahkan di mata pelajaran agama pun yang memberikan visi tentang peran seorang perempuan. Tentang apa tantangan yang akan dihadapi dan bagaimana me-manage semua itu. Kebanyakan perempuan harus belajar lewat pengalaman, lengkap dengan episode jatuh bangunnya. Padahal perempuan itu tiang negara. Bayangkan tegaknya masyarakat di sebuah negara bahkan kejatuhannya itu kuncinya pada peran perempuan yang menjadi pondasi di keluarganya masing-masing. Maka saya mendukung betul adanya posisi menteri peranan wanita. Bukan untuk memaksa perempuan menjadi gagah agar bisa berperan seperti laki-laki, its absurd, lha wong bentuk tubuh dan fungsinya saja sudah beda. Tapi lebih kepada menempatkan perempuan kepada fitrahnya masing-masing baik sebagai ibu, wanita karir, dokter, pengacara, pengusaha apapun peran di masyarakat yang dimudahkan silakan laksanakan dengan taqwa. Tanpa mengabaikan peran yang paling utama seorang perempuan yang dititip asmaNya Ar Rahiim dalam bentuk rahim yang sesungguhmya, tempat anak-anaknya bertumbuh di dalamnya hingga ia lahir dua kali. Sebagaimana kata Nabi Isa as "Setiap manusia harus terlahir dua kali." Kelahiran pertama adalah saat ia keluar dari rahim ibunya dan kelahiran kedua adalah saat dia keluar dari kepompong diri yang menyelimutinya setidaknya selama 40 tahun lamanya. Maka pepatah menyebutkan "Life begins at 40".
Ibu berperan sentral dalam merawat anak-anaknya, lahir dan batin. Dalam doa tulus yang dipanjatkan setiap hari. Dalam kasih sayang yang menyelubungi anak-anaknya melalui satu persatu pendidikan Ilahiyah yang dirancang rapih olah Allah dalam setiap detil kehidupan.
Memang tidak mudah mengemban tugas menjadi ibu. Kita harus dukung betul para ibu dalam menjalankan fungsinya. Setidaknya lain kali saat melihat seorang anak yang meraung-raung di pusat perbelanjaan jangan cibir ia dan ibunya atau melayangkan tatapan tajam seperti saya dulu😓 astaghfirullah. Be kind, lemparkan senyum yang bersahabat, "it's gonna be okay" kind of smile. 😊

Sombong Tanda Tak Tahu Diri

“Kaidah suluk yang terpenting yang harus dipahami adalah bahwa kita tidak punya apa-apa!”
- Mursyid Zamzam AJT, 18 November 2018
Kita lahir dalam bentuk raga yang dipinjamkan, dengan ruh dan jiwa yang dipinjamkan. Segenap kemampuan yang ada juga dipinjamkan. Kita bisa cerdas berpikir karena Allah pinjamkan kecerdasan itu. Kita bisa diberi kemampuan bergerak dan sigap dalam kehidupan karena Allah beri kecergasan itu. Karir yang melonjak sungguh pada hakikatnya bukan karena kita yang yang jago. Pintar menulis, memasak, bernyanyi, mencipta lagu, pandai berjualan semuanya Allah yang pinjamkan. Dan yang namanya pinjaman suatu saat harus dikembalikan kepada Yang Punya. Hidup kita, nafas kita, segenap harta juga anak-anak dan keluarga adalah amanah yang dipinjamkan. Buktinya tidak ada seorang pun yang kuasa mencegah saat perpisahan berupa kematian. Buktinya tidak ada seorang pun yang bisa merekayasa hidupnya agar dilahirkan dari orang tua tertentu di hari tertentu dan dengan memiliki sekian kemampuan tertentu. Faktanya kita adalah makhluk ciptaan, dan Dia adalah Sang Pencipta.
Pahamilah posisi ini, jangan sombong dengan kekayaan yang ada, jangan merasa lebih tinggi kedudukan karena kemampuan yang ada, jangan merasa diri lebih hebat dibanding yang lain, karena sifat bangga diri hanya cermin ketidaktahuan dirinya akan posisi diri. Oleh karena itu dikatakan “Hamba yang terpercaya adalah mereka yang mengembalikan semua kepada Allah Ta’ala”.



Saat Harus Menentukan Pilihan

Ada kisah menyentuh hati dalam episode Ibrahim as yang diuji dibakar di tengah kobaran api yang panasnya biasanya dapat langsung melumat kulit dan daging seketika. Kita, umat yang hidup beribu tahun jarak dengan peristiwa ini kemudian mendapatkan pelajaran bahwa bahkan api pun pada dasarnya adalah makhluk Allah, dia tidak akan mampu membakar sesuatu jika tidak Allah ijinkan. Tapi tersebutlah dalam satu riwayat bahwa ada seekor semut yang berjuang ingin membantu Ibrahim as dengan jalan melemparkan sepercik air dari apa yang dapat dibawa oleh tubuh kecilnya. Ketika ia ditanya untuk apa repot-repot membawa setetes air yang pasti tidak akan dapat mengurangi jilatan api apalagi memadamkannya itu, sang semut bijak berkata "Setidaknya Tuhanku akan tahu di sisi mana aku berada."
Jelang perhelatan besar pemilihan presiden republik Indonesia kita tercinta. Kita yakin siapapun yang diamanahi menjadi nakhkoda bangsa ini ke depan sudah ditentukan jauh -jauh hari, bahkan sebelum semesta dicipta, ia sudah tertulis di lauh mahfuz. Lalu apa gunanya berikhtiar? Ya seperti semut tadi, setidaknya kita menunjukkan posisi kita utamanya di hadapan Tuhan. Karena kita pada akhirnya akan mempertanggungjawabkan setiap nafas yang diberikan di hadapan-Nya.
Karenanya memilih apapun, mau itu pilih jodoh, pilih rumah, pilih pekerjaan, pilih lurah atau pemimpin bangsa dalam berbagai skala: daerah atau pusat, etika yang lebih didahulukan adalah istikharah dengan baik. Matikan sejenak gejolak ambisi, preferensi, dan semua kebisingan dunia luar. Bertanyalah kepada Allah dari lubuk hati terdalam dalam hening malam dengan menghadirkan hati yang ihsan, membayangkan Dia betul-betul hadir di depan kita. Tanya terus hingga teguh hati kita. Panggil Dia, sungguh Allah Maha Mendengar dan menjawab semua doa. Lalu rasakan dan perhatikan bimbingan-Nya dari arah yang bisa jadi tak disangka.
Hasil akhir secara fenomena bukanlah ukuran kesuksesan doa, terkabul atau tidaknya sebuah doa sering disalahartikan oleh hati yang masih dibawah pengaruh hawa nafsu. Adapun Allah seperti janjinya selalu mengabulkan setiap doa, hanya saja bentuk pengabulannya yang kerap tak terjangkau oleh akal manusia. Sungguh Dia Maha Mengabulkan, karena sifatnya adalah selalu memberi yang terbaik. Tentu terbaik versi-Nya yang paling mutlak, bukan versi manusia yang terbatas daya jangkaunya. Jadi, siap untuk melempar 'air'?

Monday, January 21, 2019

Rindu Ini

kumulai pahami asal rasa sakit ini
ruang kosong yang terasa hampa di hati
berdekade lamanya

kucoba mengisinya dengan semua obyek-obyek kecintaan
tapi tak ada yang bertahan lama
tak seperti dengan-Mu Tuhan
sama sekali berbeda dengan kehadiran-Mu
walau sekejap tapi membawa kehangatan hati
selamanya

hari ini aku sangat terharu
karena Engkau pun meratapi hal yang sama
tentang kerinduan itu

terima kasih...

* Amsterdam di musim dingin (minus 3 derajat Celcius) jam 10.55
Terisak-isak setelah mendengar penjelasa Fusus Hikam dari Mursyid Zamzam, Fash Muhammadiyyah paragraf 8 yang mengutip syair

"yang tercinta rindu untuk melihat-Ku
dan sesungguhnya Aku dalam kerinduan yang lebih kuat kepadanya

jiwa-jiwa melambung tinggi merindukan Al Haqq
tetapi qadha menghalangi

maka Aku meratapkan rintihan kerinduan
dan dia meratapkan rintihan kerinduan..."

Friday, January 18, 2019

Telaah Surat An Nuur [24]: 35 (Ayat Cahaya)

“Allah adalah cahaya petala langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat yang di dalamnya terdapat mishbah (pelita terang). Pelita tersebut di dalam zujaajah (kaca)…”

Tiga kata kunci dalam ayat di atas : misykat, zujaajah dan mishbah adalah tentang manusia.
Misykat adalah lubang tidak tembus - zaman dulu saat penerangan hanya menggunakan lampu atau lilin, orang menoreh lubang di dinding agar dapat menyimpan lilin disana. Misykat adalah lambang dari raga - yang terdiri dari empat unsur : tanah, air, api dan udara, unsur yang sama yang membentuk tubuh manusia yang diciptakan dari bumi, alam mulk.

Zujaajah adalah bola kaca, bening seperti langit yang melambangkan jiwa manusia yang berasal dari alam malakut.
Mishbah adalah api, yang melambangkan ruh al quds, yang berasal dari alam jabarut.

Mari sejenak merenung dan berkaca ke dalam diri. Bagaimana diri kita sebenarnya bukan sekadar wajah yang ita lihat di cermin sehari-hari. Bukan sekadar raga yang kita rawat dengan baik. Bukan sekadar persona yang kita bentuk agar terlihat sukses di mata manusia. We have tob e able to see the big picture. Supaya tidak tertinggal dalam permainan kehidupan dunia, agar tidak terseret dalam ilusi sebab-akibat. Jangan sampai salah mengejar fatamorgana, obyek-obyek tertentu yang kita anggap mendatangkan kebahagiaan, tetapi sampai disana kita tersadar telah tertipu oleh optical illusion.
Ayat ini mengajak kita merenung bahwa kehidupan yang sebenarnya bukan sekadar hiruk pikuk dunia alam mulk yang kita persepsi per saat ini. Karena jika itu saja yang kita sasar maka bersiap-siap dibuat pontang-panting oleh kesibukan yang tak ada ujungnya, dibuat lelah oleh sebuah pencarian yang tak akan berakhir, a pursuit of what so called by happiness.

Seseorang tidak akan pernah bisa bahagia selama dia belum mengenal jiwanya, entitas diri yang sebenarnya.  Itu yang diseru oleh ayat di atas bahwa ada elemen "zujaajah" dalam diri manusia. Sesuatu yang dilambangkan dengan  bola kaca, yaitu perlambang qalb (hati) yang ada di dalam jiwa manusia. Hati ini yang bisa me-‘rasa’. Dia yang mengetuk sanubari saat sepertinya hidup dalam kelimpahan tapi ada yang kosong dan merasa hampa. Tidak sedikit orang yang merasa kesepian dalam kerumunan, tidak sedikit yang merasa miskin dalam kelimpahan dan ada beberapa yang bahkan memutuskan mengakhiri hidupnya ketik dunianya lebih dari cukup, karena manusia bukan hanya terdiri dari raga yang hanya cukup diberi makan dan dimanja oleh berbagai fasilitas kesenangan dunia. Manusia punya jiwa dan qalb yang ada di jiwa itu juga punya hak untuk dirawat. Seperti halnya kita memberi makan dan merawat raga kita, mestinya jiwa pun diberi makanan yang sesuai agar dia tumbuh dengan baik.

Tidak berhenti disana, QS An Nuur ayat 35 juga memperkenalkan khazanah alam jabarut yang diwakili oleh kata “mishbah” (pelita). Artinya setiap manusia tanpa kecuali memiliki potensi untuk meraih makrifatullah. Alam jabarut adalah alam yang terdekat dengan Arsy tempat Allah berada. Seseorang yang sudah menyala “mishbah” dalam diri menandakan dirinya sudah menjalin hubungan yang khusus dengan Allah sedemikian rupa hingga Allah berkenan mengamanahkan mengirim utusannya dari alam jabarut berupa ruh qudus yang berfungsi untuk menuntun si hamba dengan lebih akurat dalam kehidupan. Oleh karena itu ayat di atas ditutup dengan,
“…Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki …”
Wallahu’alam