Wednesday, January 23, 2019

Menghayati Saat Hujan

Cobalah tengok keluar saat hujan tengah turun dengan deras, kalau perlu julurkan tangan dan rasakan setiap titik air hujan menerpa kulit tangan kita. Rasakan kesegarannya. Hujan adalah simbol sesuatu yang baru turun dari langit, nuansa ‘kebaruan’ ini dirayakan oleh Rasulullah saw dengan bersuka cita atasnya, seperti yang dikatakan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ”Kami pernah kehujanan bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap bajunya hingga terguyur hujan. Kemudian kami mengatakan, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan demikian?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Karena hujan ini baru saja Allah ciptakan.” (HR Muslim No. 898)

Hujan adalah limpahan air karunia-Nya yang turun dari langit. Dalam riwayat lain disabdakan oleh Rasulullah saw bahwa setiap titik air hujan dibawa oleh satu malaikat. Bayangkan satu malaikat ditugaskan untuk mengawal satu titik air yang berjumlah trilyunan bahkan mungkin lebih yang tersebar dalam satu area hujan yang Allah tetapkan.

Lantas, apa makna kabar sang nabi bahwa bahkan dalam satu titik air hujan malaikat pun Allah tugaskan untuk manjatuhkannya di muka bumi? Setidaknya, dengan informasi ini kita menjadi lebih meyakini Kuasa Allah. Bagaimana segala hal yang terjadi di muka bumi tidak ada yang kebetulan, tidak ada yang di luar kendali atau rencana-Nya dan mustahil mengandung unsur kesia-siaan.

Jika satu titik air hujan saja sudah diatur sedemikian rupa, apalagi kehidupan seorang manusia. Sesuatu yang kita anggap kebetulan, hal yang kita pandang sebagai sebuah ‘kecelakaan’, masa lalu yang kita persepsi sebagai sebuah kesalahan juga semua suka dan duka kehidupan dihadirkan silih berganti seperti pergantian siang dan malam. Manusia itu tidak selamanya lapang, kadang ada masa sempit. Tak selamanya sehat, kadang dihadirkan sakit. Tak selamanya lancar, kadang kehidupan dibuat sulit sedemikian rupa. Kadar-kadar itu sudah ditakar dengan presisi oleh Allah, seperti Dia menakar air hujan, agar sang hamba tumbuh raga dan jiwanya.

Kalau pertumbuhan raga dapat dipantau dengan jelas, seorang balita ditimbang badannya secara berkala untuk memantau pertumbuhan. Kita dapat menyaksikan dengan jelas perubahan bentuk seseorang dari bayi hingga dewasa. Tapi bagaimana dengan pertumbuhan jiwa? Apa yang dipakai sebagai parameter pertumbuhan jiwa? Jawabannya panjang, bisa untuk satu sesi lain. Tapi yang pasti makanan jiwa beda dengan makanan raga. Kalau raga makannya nasi, soto, mungkin bakso dll – jelas karena raga terbuat dari unsur-unsur bumi maka ia hanya akan menginginkan sesuatu yang merupakan unsur pembentuknya. Adapun jiwa kita bukan berasal dari bumi ini, ia adalah elemen alam malakut, alam yang sangat berbeda dengan alam raga yang merupakan bayangan jiwanya sendiri itu. Jiwa bertumbuh dengan memakan kehendak-Nya, menelan qadar-qadar kehidupan dengan ikhlas. Kaitannya dengan air hujan di atas. Terimalah apa-apa yang Allah hadirkan per saat ini. Terutama hal-hal yang hati kita masih sulit dirasa untuk menjalaninya. Karena tentu mudah untuk menerima hal yang kita sukai, akan tetapi bersyukur dan masih mengucap alhamdulillah saat harus menjalani sakit atau kesulitan dan kesempitan sungguh membutuhkan perjuangan.
Ingatlah firman-Nya,

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216).



No comments:

Post a Comment