Tuesday, December 24, 2019

Dulu, ketika Adam as menyadari bahwa dirinya telah berbuat dosa di surga -dengan melanggar perintah Allah agar tidak memakan buah dari pohon terlarang, maka Adam bernazar untuk memotong bagian dari tubuhnya jika Allah menerima taubatnya. Ketika Allah pun menerima taubatnya maka Adam pun bertekad untuk memenuhi nazarnya, akan tetapi ia tidak mengetahui bagian tubuh mana sebaiknya yang dipotong. Maka Allah pun mengutus Malaikat Jibril untuk menunjukkan bagian tubuh mana yang hendaknya dipotong. Kemudian Adam memotong bagian kulit kulup dari kemaluannya. Demikian kisah yang tertuang dalam Injil Barnabas. Tindakan melukai tubuh sebagai hukuman atas dosa yang dilakukan olehnya ditemukan dalam agama-agama samawi. Sekilas bisa jadi orang memandangnya sebagai sebuah hal yang tidak berperikemanusiaan, tetapi jika saja orang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan yakin akan keselamatan yang teraih dan pertolongan yang turun melalui hukum-hukum tersebut maka hal itu akan dipahami sebagai sebuah rahmat dan kasih sayang-Nya semata. Dalam khazanah Perjanjian Lama misalkan hukuman terhadap pezina demikian keras: “Dan laki-laki yang berzina dengan istri orang lain atau melakukan zina dengan istri tetangganya, maka pezina laki-laki dan pezina perempuan tersebut harus dihukum mati” (Leviticus 20:10) Hukum rajam – dilempar oleh batu hingga mati – juga dikenal dalam agama Yahudi. Begitu juga dalam agama Hindu, setiap kejahatan zina dikenakan hukuman dipotong hidung dan bibirnya, seperti yang ditulis oleh Manu dalam Kitab Smiriti. Bahkan di kitab Medahatithi hukuman bagi yang sudah menikah lalu berzina adalah dengan dimakan oleh anjing-anjing hingga mati. Menyeramkan? Iya. Tapi kalau saja paham akan konsekuensi dari sebuah dosa di alam berikutnya, maka semua itu tidak ada apa-apanya dibanding harus menanggung kegelapan beribu-ribu tahun bahkan lebih. Butuh sebuah pemahaman yang utuh untuk melihat permasalahan ini dengan bijak. Agar kita tidak terjatuh pada kesimpulan dini bahwa Tuhan itu kejam. Sama sekali tidak. Dia Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Kita lihat bukti yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, seorang hamba yang paling banyak menampakkan sifat-sifat-Nya. Pernah suatu kali ada seorang pemuda yang mengaku telah berzina dan minta untuk dirajam. Rasulullah pun tidak langsung saja menghukumnya, bahkan cenderung enggan memberikan hukuman. Disuruhnya pemuda itu kembali lagi dan berkata barangkali engkau mabuk atau khilaf dsb. Tapi pemuda hebat yang memiliki rasa takut yang sangat kepada Allah itu kembali lagi dan bersikeras meminta agar dirinya dirajam. Padahal Rasulullah sudah sedemikian rupa menghindar – dalam riwayat disebutkan empat kali – Baru ketika pemuda itu datang kelima kalinya Rasulullah pun menerima permintaan beliau untuk dirajam. Ketika hukuman rajam dilaksanakan, Rasulullah sempat mendengar ada dua orang bercakap satu sama lain berkata buruk terhadap sang pemuda yang tengah dirajam itu. Mereka berkata, “Lihatlah …ia dirajam layaknya anjing.” Rasulullah saat itu diam, namun saat mereka bersama melintas sebuah lembah yang disana terdapat bangkai seekor keledai, Rasulullah memanggil mereka berdua agar memakan bangkai keledai itu. Keduanya lalu berkata, “Siapakah yang sanggup memakan bangkai keledai ini wahai Rasulullah?” Rasulullah pun berkata, “Apa yang kalian katakan dengan merusak kehormatan teman kalian itu lebih busuk daripada bangkai keledai ini. Demi Dzat yang nyawaku ada dalam genggaman-Nya, sungguh dia (pemuda itu) sekarang sedang ada di sungai-sungai surga, menyelam di dalamnya.” Demikianlah akhlak dan kesantunan Rasulullah kepada seorang pezina yang bertaubat. Tidak boleh mengungkit-ungkit kesalahan orang di masa lampau, karena sungguh jalan hidup setiap orang demikian kompleks. Kita tidak tahu apa yang dapat mendorong seseorang melakukan sebuah dosa dan khilaf. Rasulullah SAW juga mengajarkan dalam mengerjakan sebuah perintah Allah untuk dikerjakan dengan sebuah ketaqwaan di hati, tidak dengan sumpah serapah dan sebuah kebengisan di hati.[]

Tuesday, December 17, 2019

Enaknya zaman internet seperti sekarang, mau download buku banyak tersedia gratis. Bahkan beberapa perpustakaan serta yayasan berlomba membuat digital library dengan akses bebas bagi semua pengguna internet. Salah satunya buku ajar (text book) fisiologi ini. Membaca buku ini membuat ingatan saya melayang ke tahun 1996-1997, yaitu ketika saya baru mulai kuliah di Fakultas Kedokteran. Buku ajar fisiologi yang lumayan tebal ini adalah salah satu buku dari sekian banyak buku ajar anatomi yang saya tidak mampu membelinya. Tahun itu badai krismon (krisis moneter) menghantam usaha orang tua saya, ditambah dengan dicurangi oleh rekan bisnis, maka satu persatu aset hilang. Gaya hidup kami berubah drastis, dari yang setiap akhir pekan nge-mall dan ringan saja membelanjakan jutaan rupiah menjadi sangat prihatin. Jadi boro-boro beli text-book yang harganya jutaan rupiah, untuk foto kopi buku tersebut pun saya tak mampu. Hebatnya orang tua saya, dalam kondisi kekurangan ditambah kejaran utang sana-sini sisa bisnis yang tertipu itu- mereka tak pernah mengeluh atau pesimis terhadap masa depan kuliah saya di Fakultas Kedokteran. Itu membuat saya semangat dan berbesar hati. Untuk belajar saya luangkan banyak waktu di perpustakaan, mempelajari buku-buku ajar edisi lama. Lumayan daripada tidak sama sekali. Selain itu kalau butuh membaca buku-buku yang mutakhir saya siasati dengan tidur lebih awal dan bangun saat teman kost saya tidur untuk meminjam bukunya. Kalaupun harus memfotokopi materi kuliah saya lakukan penghematan makan hanya dengan menu nasi dan kerupuk pedas seharga seribu rupiah untuk bekal buka puasa. Pokoknya where there’s a will, there’s a way. Maka suka gemes lihat generasi muda yang membuang-buang waktunya dengan keluyuran di sosial media ga jelas atau tidak memanfaatkan waktu, kepandaian serta fasilitas internet untuk belajar dengan baik. If you guys keep doing that, i promise you that you will regret it one day. Menyesal karena menyia-nyiakan semua potensi dan fasilitas yang ada dengan hal remeh temeh. Ke depan adalah era pertarungan di bidang ilmu. Jika kita tak punya kehausan mempelajari ilmu di bidang masing-masing, tidak punya gairah untuk belajar dalam, tidak malu kepada Dia Yang memberikan amanah kehidupan ini. Well, what can i say - i won’t sugarcoat it- Shame on you!

Thursday, December 12, 2019

CUCI PIRING & PRODUKTIVITAS MENULIS Apa hubungannya? Sekilas terlihat dua hal yang tidak berhubungan: cuci piring dan menulis. Well, in my case it has a significant impact. Bukan masalah cuci piringnya saja, namun segala hal yang dihadirkan di semesta kita dan perlu dibenahi per saat itu yang kita harus waspada dan menghadap kepada mereka. Pernah satu hari saya coba tunda semua pekerjaan rumah saya plus sewa baby sitter untuk menjaga anak-anak, maksudnya supaya bisa kejar deadline tulisan dan kerja nyaman di perpustakaan. Tapi apa yang terjadi? Inspirasi malah tersendat. Kata-kata yang saya tuliskan jadi terasa hambar. Masya Allah. Disitu saya sadar bahwa Dia Sang Maha Pemberi inspirasi. Kalau keran inspirasi ditutup ya kelabakan. Kita benar-benar fakir, tergantung pada pertolongan Allah. Sementara kunci terbukanya pertolongan Allah adalah dengan kita menolong orang lain, berkontribusi kepada semesta. Kadang didatangkan orang yang minta curhat, kadang ada keluarga yang butuh pertolongan atau kadang sesederhana kita melihat rak buku atau rak sepatu yang berantakan. It's amazing to see how little acts can change our life significantly. Saya sudah berkali-kali mencoba. Semua perkara yang orang lain anggap sulit buat saya dimudahkan. Bukan karena saya jago atau pintar. Sama sekali tidak. Semua dari Allah. Saya sekadar entitas yang dulu pun bahkan tak bernama. Sekadar mencoba menyikapi dengan baik "hal-hal sepele" yang Dia hadirkan di sekeliling kita. Dan Dia pun menggerakkan semesta dengan ajaib. Jadi, jangan berkecil hati dengan kesulitan kehidupan. Sedalam apapun masalah kita, sesulit apapun tugas di hadapan atau segelap apapun ujian kelihatannya. Katakan pada semua itu bahwa kita punya Tuhan Yang Kuasa mendatangkan perubahan. Tuhan yang sama yang menggerakkan siang dan malam. Adalah mudah bagi Dia mengganti kelamnya kehidupan dengan mendatangkan secercah cahaya ataupun sebaliknya. Karena memang dunia dan kehidupan ini bukan kita yang punya...

Sunday, December 8, 2019

Salah satu hal yang paling mencolok kalau sedang mudik ke Indonesia adalah melihat pemandangan tumpukan sampah disana-sini. Saking lamanya hal itu terjadi saya sendiri dulu sudah menganggap itu hal yang biasa. Sampai saya tinggal di Belanda yang terbilang cukup baik manajemen sampahnya. Akhirnya jadi tak biasa lagi melihat pemandangan sampah teronggok di jalan. Tapi untuk menata kota agar bersih butuh biaya untuk membayar personel, truk sampah yang bagus, kontainer underground yang bisa memuat sampah banyak dan tertutup rapih, serta berbagai fasilitas lain. Mau tahu berapa rata-rata warga Amsterdam membayar iuran sampah setiap tahunnya? Sampah dihitung per orang, karena setiap orang yang teregistrasi di alamat tertentu langsung dikenai tagihan tahunan sebesar 276 euro per orang per tahun (sekitar 4juta rupiah). Kalau rumah terdiri dari keluarga dengan anak-anak bayar pertahun sepaket 368 euro (sekitar 5,5 juta). Di Indonesia berapa iuran sampah? Yang saya tahu di kompleks ibu saya tinggal hanya 50 ribu rupiah per bulan. Bayangkan, uang sebesar itu cukup untuk apa? Tak heran sampah tak termanage dengan baik. Ibu saya termasuk orang yang ga tegaan melihat para tukang sampah yang bekerja keras, setiap mereka datang - biasanya 3-4 orang termasuk supir truk- selalu ibu kasih makanan untuk mereka masing-masing dan saya kerap melihat mereka langsung melahap makanan itu di atas tumpukan sampah yang bau dengan tanpa cuci tangan, masya Allah... Jadi, kalau pemerintah mau menaikkan tarif iuran sampah dua kali lipat seperti tempo lalu, saya setuju. Asal penggunaannya jelas. Maklum, korupsi masih menjadi salah satu penyakit kronis di negeri kita. Bicara tentang sampah. Agama jelas menganjurkan “kebersihan sebagian dari iman”. Aneh kiranya kalau kita sibuk beribadah ritual dengan mengabaikan aspek lingkungan hidup. Padahal bukankah tugas kita menjadi khalifah - yang memanage buminya masing-masing? Saya pikir tak ada salahnya para ustadz atau ustadzah selain gencar menyeru membersihkan hati juga membersihkan lingkungan sekitar kita. Untuk Indonesia yang lebih baik❤️
Mengapa sungai berkelok-kelok? Ternyata itu hal yang paling alami, sebuah energi minimal bagi sang sungai untuk membentuk pola seperti itu. Maka ketika ada upaya untuk membuat sodetan agar sungai mengalir lurus yang terjadi malah banjir dan merusak berbagai ekosistem tertentu. Begitulah, manusia kadang membuat "modifikasi" alam dan kehidupan tanpa bekal ilmu dan kebijaksanaan yang mumpuni. Alih-alih membuat perbaikan di bumi malah mendatangkan kerusakan. Memang garis lurus adalah jarak terdekat antara dua titik, tapi dalam kehidupan belok-belok itu hal yang sangat alami. Saya jadi ingat sungai kehidupan saya dibuat "belok" saat tidak lulus ujian ko-asisten dulu di bagian Ilmu Penyakit Dalam. Ndilalah dapat pasien susah diagnosenya dan dosen penguji yang lumayan "killer". Sekian tahun ke depan saya mulai bisa melihat polanya. Jika saja saya dibuat lulus saat itu, tidak akan bertemu si anu, tidak akan mengalami ini, tidak akan pergi ke tempat tertentu yang semua terkait satu sama lain hingga menjadi faktor-faktor yang menentukan dimana saya berada saat ini. Makanya benar kata pepatah, "just work with the flow" God's flow😉

Tuesday, December 3, 2019

Apa yang kita anggap berharga sebenarnya secara tidak sadar itu juga yang kita sembah. Dalam Bahasa Inggris kata "menyembah" berasal dari sebuah kata kuno "weorþscipe" yang kemudian berevolusi menjadi "worth-ship" dan akhirnya menjadi kata yang kita kenal saat ini, yaitu "worship". Yang secara etimologi bermakna menghargai sesuatu. Sesuatu yang kita anggap berharga adalah cenderung kita cintai. Bisa berupa objek yang tampak nyata seperti anak, pasangan, rumah, kendaraan, perhiasan, gadget dll. Atau berupa hal yang bukan fisik seperti penghormatan, pengakuan, status dsb. Di area ini kemudian manusia banyak yang terperangkap dalam sebuah pemujaan terselubung. Di satu sisi mengaku beribadah kepada Tuhan, padahal di hatinya bergeletakan objek-objek lain selain Tuhan yang dia anggap berharga dan ia cintai. Artinya secara hakiki dalam hatinya masih tersimpan berhala-berhala yang dia sembah. Barangkali secara fisik dia tidak musyrik menyembah patung. Tapi ketika ego dan pemikirannya lebih dia anggap penting dibanding perintah Allah maka pada saat itu sebetulnya tengah menyembah tuhan dalam diri berupa ego. Demikianlah licinnya jalan menuju penyembahan yang sebenarnya kepada Allah. Sebuah tauhid yang sejati. Karenanya Allah menurunkan pertolongan kepada umat manusia berupa diturunkannya para juru penerang, petunjuk dalam takdir kehidupan dan kitab-kitab yang memberi arah kepada jalan yang benar. Bukan jalan ilusi yang dianggap dapat menuntunnya ke dalam sebuah kebahagiaan dan keselamatan. Karena selama manusia masih terperangkap menyembah tuhan-tuhan palsu, akhir yang pahit pasti akan dituainya. Naudzubillahimindzalik. Semoga kita dilindungi dari akhir kehidupan yang menyedihkan.

Monday, December 2, 2019

Sejak remaja (sekitar usia 13 tahun) saya diberi rasa gandrung untuk belajar agama. Mencari guru keluar masuk berbagai pesantren. Mengikuti berbagai pengajian dengan berbagai label hingga tidak jarang bergelandang dari masjid ke masjid dan menginap disana. Di kepala saya bergejolak sekian banyak pertanyaan tentang hidup, tentang siapa saya, tentang untuk apa kita hidup, dsb. Saya pun bergumul dengan konsep dosa dan azab kubur dan bagaimana menyandingkannya dengan Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Belum lagi masalah takdir, tentang free will dsb. It's a never ending quest. Kadang terasa lelah memikirkan itu semua. Tak jarang merasa lebih mudah jika saya acuhkan saja semua suara yang bertanya-tanya di dalam hati itu. Numb it. Dan menenggelamkan diri dalam keseharian dan "rat race of the world" yang bagai obat bius bagi perasaan jiwa yang galau. Tapi itu hanya berlangsung sementara, karena di malam hari saat semua hiruk pikuk dunia mulai mereda. Suara-suara itu muncul kembali meneriakkan seribu satu pertanyaan yang belum terjawab, tak jarang terbawa dalam mimpi dan kerap mengganggu serta mengusik ketenangan hati. Hingga pada suatu waktu, di sebuah penghujung malam saya mencoba memanggil-Nya sambil melihat ke langit yang cerah dan ditaburi bintang-bintang. Ingin tahu apakah Dia memang ada dan merespon atau tidak , maka saya tantang dengan meminta menggerakkan salah satu bintang untuk saya sebagai bukti - I know it's a bit too much - Saya pun saat itu tidak begitu berharap. Dan memang saya menunggu lima detik, sepuluh detik, ...hampir satu menit, tidak ada pergerakan dari bintang-bintang di langit. Sampai ketika saya hendak beranjak dari jendela untuk menutupnya, saya melihat sebuah bintang bergerak dari kanan ke kiri. Kontan saya menjulurkan separuh badan saya keluar jendela, memastikan itu bukan sekadar lampu dari pesawat terbang yang biasanya berkelap-kelip. Dan benda bercahaya itu tidak berkelap-kelip! Is it really happening!? Saya melonjak gembira sekaligus menangis seperti orang gila awal pagi itu. Untung tak ada yang melihat. Itulah awal keseriusan pencarian saya tentang-Nya. Sebuah gerak hati yang membawa kepada dipertemukan dengan guru-guru agama yang luar biasa yang menjawab sekian banyak pertanyaan yang telah sekian lama bergelantungan di dalam alam pikiran saya. Guru-guru yang bertujuan hanya satu, yaitu membawa murid-muridnya menjadi seorang yang mencintai Allah. Guru yang menjawab sebuah pertanyaan bernuansa syariat dengan jawaban indah seperti “Yang penting jangan lukai perasaan Allah dan Rasul-Nya”. Buat saya pendekatan seperti itu membuat banyak hal menjadi ‘make sense’. Saya bisa mulai bisa berdamai satu persatu dengan takdir yang ada. Dan kalaupun ada kesempatan untuk melihat kembali langit, kali ini saya paham untuk tidak meminta sesuatu yang terlalu demonstratif dan seakan memaksa Dia mengubah alam luar. Karena keajaiban yang sesungguhnya justru terjadi di dalam diri kita sendiri. <3

Sunday, December 1, 2019

Semua anak sudah bergerak memasuki arena sepakbola di dalam ruangan. Suhu yang semakin dingin - lebih dingin dibanding suhu di dalam kulkas- memaksa latihan dipindah dari lapangan olahraga luar ke dalam. Konsekuensinya anak-anak harus bertukar sepatu, tidak lagi memakai sepati bola yang didesain khusus untuk lapangan rumput, tapi memakai sepatu olahraga biasa. Ketika semua anak sudah asyik bermain bola, tampak seorang anak - usia sekitar 5 tahun- dengan wajah merah penuh emosi kesedihan memeluk tubuh ibunya erat-erat. Sayup-sayup saya mendengar suara lembut sang ibu menenangkan anaknya sambil menjelaskan bahwa hari itu dia harus berganti sepatu Rupanya si anak bersikeras ingin memakai sepatu bola yang biasa ia pakai di atas lapangan rumput. Diam-diam saya kagum dengan ketenangan dan kelembutan ibu itu. Dia tidak menunjukkan emosi. Sangat tenang, mencoba menjelaskan mengapa dia harus mengganti sepatunya. Tanpa mengintimidasi, tanpa mengancam "kalau kamu ngga mau nanti begini...". Tanpa memaksa si anak yang belum siap melepas keinginan untuk memakai sepatu lamanya. Lima belas menit berlalu, latihan bola sudah dimulai. Si anak masih meringkuk di pangkuan ibunya. Hingga akhirnya sang pelatih turun tangan ikut membujuknya. Setelah hampir setengah jam akhirnya anak itu mulai mau memakai sepatu lain dan ikut bermain bola bersama anak lain dengan ceria. What a wonderful display of love and affection❤