Thursday, July 30, 2020

Pernah mendapat mimpi buruk? Mimpi itu sedemikian nyata hingga kita terbangun tengah malam berteriak dan mendapati jantung kita berdebar begitu cepat. Setelah kita sadar bahwa itu hanya mimpi, legalah hati kita.

Jika anak kita bermimpi buruk, kita sebagai orang tua akan menghiburnya dan berkata, “Itu cuma mimpi nak.” Mimpi adalah bukan kenyataan, kita tahu betul itu. Tapi, kalau boleh jujur berapa banyak yang sudah bangun dari mimpi di alam dunia yang melenakan ini, hingga ia dianggap menjadi sebuah kenyataan satu-satunya?

Rasulullah Saw bersabda, “Manusia itu tertidur, ketika mereka mati barulah mereka bangun.”

Tapi jika bangunnya menanti kematian raga, maka saat itu sudah tidak ada lagi kesempatan untuk beramal shalih, berdzikir, berderma dan mengenal Allah melalui semua perbuatan-Nya di alam dunia ini. Sudah terlambat…

Maka bagi mereka yang Allah rahmati, kehidupannya akan dijungkirbalikkan, disempitkan, diputar sedemikian rupa sehingga merasakan hawa-hawa kematian. Ada yang didera oleh kesempitan kehidupan, ada yang harus menjalani perpisahan atau perceraian, ada yang harus menanggung sakit sekian lama. Semua itu berfungsi untuk mematikan elemen hawa nafsu dan syahwat yang sudah terlanjur menggurita di dalam diri dan meninabobokan seseorang dalam buaian ilusi bahwa dunia ini adalah satu-satunya tempat dimana semuanya dipertaruhkan.

Padahal dunia hanya negeri mimpi. Dimana kita dipertakuti oleh kurang ini-itu, khawatir tidak cukup, takut tidak dapat jodoh, takut tidak bisa membahagiakan anak-anak, takut gagal dan sekian banyak ketakutan yang kebanyakan bersifat ilusional. Hantu-hantu ketakutan yang kita ciptakan di dalam alam pikiran kita sendiri. Akibatnya banyak manusia yang tenggelam dalam upaya menyelamatkan kepentingan hidup alam mimpinya dengan membangun bangunan pasir di tepi pantai, sesuatu yang pasti akan hilang diterpa ombak lautan. Sesuatu yang tidak akan dibawa menjadi bekal perjalanan ke alam berikutnya ketika ia tiada. Kemudian karena sibuk oleh hal-hal yang bersifat ilusional, ia menjadi lupa akan tugas hakikinya di muka bumi ini.

Karenanya Allah Ta’ala mengirim sekian banyak utusan-Nya ke muka bumi untuk memberikan kabar dan peringatan, agar manusia tidak terjebak dalam oase kebahagiaan sesaat. Supaya manusia terbangun dari tidur lelapnya dan mulai mempersiapkan diri jelang realita yang lebih mencengangkan yang sudah menanti yang setiap saat kita bisa berpindah kesana.


Wahai Dzat Yang Maha Indah
    yang keindahan-Mu tak terbayang.

Wahai Dzat Yang Maha Agung
    yang keagungan-Mu tak terbatas.

Wahai Dzat Yang Maha Baik
    yang kebaikan-Mu meliputi segalanya.

Lidahku kelu mendekat dengan-Mu
Mataku memburam tertutup oleh limpahan air mata
Rasa haru yang tak terjelaskan
Rasa rindu yang tak tergambarkan

Hamba sadar, tak ada pengabdianku yang layak untuk mendekat kepada-Mu
Hamba tahu, tak ada amalan yang cukup untuk membeli surga-Mu

Tapi itu tak berarti hamba berhenti mencoba
Tapi itu tak berarti hati berpaling dari menggenggam asa.

Apapun boleh hilang dari hamba wahai Tuhan
Tapi tidak harapan itu, untuk berjumpa dengan-Mu...

Amsterdam, 31 Juli 2020
Idul Adha, 10 Dzulhijjah 1441 H
8.00 pagi

Tuesday, July 28, 2020


Sejak SD saya sudah memicingkan mata dengan doktrin “agama kita yang paling benar” dengan sambil merendahkan penganut agama lain. Rasanya kurang pas di hati. Nurani saya mengatakan itu bertentangan dengan keimanan kepada Tuhan itu Maha Adil. Maka kemudian hati saya menemukan ketenangan ketika mempelajari Islam dari pendekatan tasawuf yang tidak memfokuskan kepada perbaikan diri sendiri karena orang lain itu di luar jangkauan kita. Hati orang siapa yang tahu? Namun tidak berarti kita cuek dan tidak beramar ma’ruf nahi munkar. Tidak sama sekali. Titik beratnya adalah pada penghakiman bahwa kita paling benar sedangkan yang lain salah dan pasti masuk neraka. I mean who are we to judge?

Saya kira sampai akhir masa pun akan selalu ada umat Nasrani dan umat Yahudi. Karena dengan ada contoh-contoh dalam kehidupan kita menjadi lebih paham apa makna kenasranian dan keyahudian dalam Al Quran. Begitu pun saya menduga walaupun sekarang era digital, bentuk catatan dalam lembaran kertas dan buku-buku akan diabadikan hingga hari akhir untuk memberi sebuah gambaran tentang apa itu kitab, mushaf, lauh-lauh, gambaran tinta tulisan yang mengering dsb.

Mursyid saya berpesan sebagai berikut tentang hikmah keberagaman agama:
“Bagi kita keberadaan ahlul kitab, kaum Yahudi dan Nashara adalah sebuah tahapan perjalanan. Ada orang yang ke Yahudi dulu kemudian ke agama Nasrani kemudian ke agama Islam. Di Islam pun bertingkat-tingkat tahapan perjalannya.

Contoh misalnya Umar bin Khaththab ra khalifatullah fil ardh berkunjung ke Yerusalem yang pada saat itu merupakan pusat Nasrani, di sana ada katedralnya. Karena orang-orang Nasrani yang diusir oleh tentara Romawi hanya mau menyerahkan kunci kota ke khalifah langsung. Akhirnya Umar berjalan dari Madinah ke Baitul Maqdis berdua tanpa pengawalan hanya dengan mengendarai sebuah unta yang dikendarai secara bergantian. Sampai di gerbang kota semua menyangka bahwa yang di atas unta adalah sang khalifah padahal itu adalah pelayannya. Karena pada saat itu pas jatah Umar menuntun unta. Orang kaget ketika mengetahui bahwa sang khalifah adalah yang menuntun unta itu.

Saat tiba waktu shalat, pendeta Nasrani menyilahkan Umar untuk shalat di katedral mereka. Dan Umar sang sahabat Nabi itu menyanggupi. Ia bergerak masuk ke gereja untuk shalat dengan menghadap kiblat. Tapi tak lama ia keluar dan tak jadi shalat di jalannya karena ia tidak mau sepeninggalnya nanti umat Islam mengubah gereja menjadi masjid. Bayangkan bagaimana orang yang berpengetahuan tinggi, para sahabat nabi juga memelihara hak kafir dzimmi. Itu kemuliaan Islam."

Katakanlah, “Apakah (patut) aku mencari tuhan selain Allah padahal Dialah Tuhan (Rabb) bagi segala sesuatu…” (QS Al An’aam [6]: 164)

Secara tidak sadar di dalam hati banyak tuhan palsu yang kita bertawakal dan demikian membanggakan serta bergantung kepadanya serta menjadi mengatur segenap kehidupan kita: tuhan berupa nama baik, tuhan berupa gaji tetap, tuhan berupa skema pensiun, tuhan berupa gelar akademik, tuhan berupa pasangan hidup yang terlalu dicintai melebihi cinta kepada Allah, tuhan berupa kenyamanan kehidupan, tuhan berupa takut gagal dan takut miskin, tuhan berupa takut tidak bisa membahagiakan anak, tuhan berupa kekhawatiran tidak bisa memberi masa depan yang baik bagi anak cucu, tuhan berupa ingin pencerahan spiritual, tuhan berupa ingin hidup sehat dan takut sakit, tuhan berupa obat atau terapi tertentu, tuhan berupa takut mati, tuhan berupa tabungan, investasi, warisan dan deposito, tuhan berupa ingin dipandang sukses, tuhan berupa takut sendiri, tuhan berupa mazhab tertentu, … dan banyak lagi.



Apapun yang mengendalikan kita, yang kita takut kehilangannya dan merasa tenteram jika ia ada maka itu berpotensi jadi tuhan dalam hati. Maka harus banyak istighfar, menyadari betapa mudah hati kita berpaling dalam ketergelinciran yang halus dan ‘berselingkuh’ di depan Dzat Yang Maha Memelihara kita.


Monday, July 27, 2020

Suluk itu pada hakikatnya adalah sebuah perjalanan membaca ke dalam diri kita. Jadi kalau kita masih tertawan dongkol oleh perlakuan orang lain, kesal tak habis-habis oleh perilaku pasangan atau orang tua atau oleh segenap takdir kehidupan yang menimpa, masih marah yang berkelanjutan karena merasa disakiti atau ditipu. Maka kita secara telak telah gagal berkaca ke dalam diri melalui kaca pembesar yang Allah kirim melalui semua fenomena itu.

Kita demikian sibuk tertawan oleh fenomena, seperti seseorang yang menerima surat cinta, alih-alih membaca isi suratnya ia sibuk menganalisis kenapa suratnya terlambat diterima, mengapa amplopnya berwarna begitu, mengkritisi bentuk kertas dan tulisan serta semua hal yang tidak esensial dan lalai dalam menangkap pesan cintanya.

Demikian pun untaian takdir kehidupan kita tak lain adalah sebuah rangkaian indah surat cinta yang Dia kirim dan tuliskan secara personal ke setiap orang. Tidak ada surat yang sama. Mengagumkan! Tapi berapa banyak yang dimampukan bahkan sekadar membaca isinya dan menangkap pesan yang tersembunyi?

Amsterdam, Senin 27 Juli 2020
16.25 di musim panas yang mendung
Agama itu akhirnya dibangun agar kita bisa merahmati semestanya masing-masing dengan cara yang Allah kehendaki bagi setiap individu. Tidak pernah ada dalam sejarah nabi-nabi, para wali atau orang-orang yang benar (shiddiqiin) membangun keagamaan untuk mencari ketenangan pribadi semata. Sebaliknya, mereka mempertaruhkan nyawa, bersimbah keringat bahkan darah untuk mengejawantahkan sebuah skenario Ilahiyah Yang Agung.

Maka iman yang ada bukan hanya sekadar untuk menikmati ibadah harian, membangun keshalihan pribadi atau mengejar surga untuk diri sendiri dan keluarga saja. Tapi lebih dari itu iman yang laksana sinar matahari itu harus dikonversi menjadi energi seperti tumbuhan berfotosintesis menghasilkan makanan untuk dirinya sendiri yang kemudian digunakan oleh binatang dan manusia untuk melangsungkan kehidupan.

Proses fotosintesis menyerap dua unsur dari langit, yaitu sinar matahari dan karbondioksida, dan mengambil satu unsur dari bumi yaitu air. Manusia pun seperti itu sejatinya. Dari langit jiwanya ia menyerap cahaya matahari keimanan yang Allah anugerahkan dan hasil proses alam yang Allah siapkan dalam setiap penggal takdir kehidupannya yang berupa karbondioksida. Bersamaan dengan itu dari bumi dimana ia dipijak, ia harus mampu menyerap air pengetahuan bahkan dari hal sepele dan terlihat rutin sekalipun. Apalagi dari sebuah guncangan berupa ujian kehidupan. Karena tidak ada tajalli Allah yang berulang, sadarilah bahwa di setiap saat dan setiap hari Allah memberikan air-air pelajaran yang patut kita serap agar jiwa kita bertumbuh dan menghasilkan makanan berupa amal shalih.



Artinya takdir yang kita tempuh pada saat ini adalah wahana yang paling ideal bagi pertumbuhan sang pohon diri. Ya, takdir yang kita keluhkan keberadaannya itu. Keadaan yang kita tidak sukai itu. Situasi yang belum kita pahami itu. Terima dulu semuanya, serap dalam-dalam limpahan karbondioksida dan air yang melimpah yang mengalir di balik tanah bumi kita masing-masing. Hanya dengan kebersyukuran kita bisa mengubah semua hal yang Dia berikan menjadi buah-buah segar. Semoga ini yang dikatakan dalam Al Quran, “Setiap kali mereka diberi rezeki buah-buahan dari surga, mereka berkata, “Inilah rezeki yang diberikan kepada kami dahulu.” Mereka telah diberi (buah-buahan) yang serupa.” (QS Al Baqarah: 25)


Sunday, July 26, 2020


TENTANG WAFAT

Selama ini saya mengira kata “wafat” sama dengan meninggal dunia. Ternyata kata “wafat” dan “maut” ada di dalam Al Qur’an dan jika ditelaah lebih dalam ternyata memiliki makna yang berbeda.

Kata “maut”, “mati” atau “ajal” bermakna berakhirnya kehidupan, ditandai dengan keluarnya daya hidup berupa ruh dari tubuh manusia sehingga seluruh fungsi jasad berhenti sampai akhirnya tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Adapun kata “wafat” atau “wafa” artinya menyempurnakan. Misal menyempurnakan janji. Dalam Bahasa Arab ada istilah “awfa daina” artinya menyelesaikan utang. Dalam Surat Ali Imran kata “wafat” ini dinyatakan dalam istilah “mutawafika” yang dikaitkan dengan Nabi Isa as yang diangkat ke langit. Artinya Allah telah menyempurnakan urusan (‘amr) sang nabi pada saat itu hingga ia diangkat ke langit.

Dengan pengertian baru ini, semoga kiranya kita menjadi orang-orang yang diwafatkan, dalam arti jelang habisnya jatah nafas kita di dunia ini semua urusan yang ada di tangan kita telah ditunaikan, semua potensi yang Allah amanahkan telah tuntas dialirkan. Agar kita tidak sekadar mati, berakhir kehidupan tapi wafat dalam arti telah digenapkan semua urusannya. Aamiin.

Amsterdam, Ahad pukul 12.50 siang
26 Juli 2020 / 5 Dzulhijjah 1441 H


Istilah “Ilah” artinya tuhan atau sebuah kekuasaan tertentu yang mengatur kita, yang menjadi dasar kita mengambil keputusan, yang menjadi sumber ketakutan, atau yang kita benar-benar andalkan untuk menyokong keberlangsungan hidup.

“Ilah” untuk seseorang bisa jadi pekerjaannya yang dari situ ia andalkan betul sebagai penunjang penghidupan bagi diri dan keluarganya. Bisa jadi “ilah” untuk yang lain adalah kerajaan bisnis yang tengah dibangunnya yang dia bekerja siang dan malam untuk itu. Bagi yang lain, “ilah” bisa jadi sebuah pengakuan dari keluarga atau masyarakat, yang dia ketakutan untuk kehilangan hal itu. Atau seseorang bisa menjadi “ilah” manakala ia cintai demikian dalam hingga susah melepaskan sekadar ide untuk berpisah dengannya. Ada “ilah-ilah” lain berupa kepandaian, pangkat atau bisa jadi masalah dalam kehidupan yang ia diperbudak olehnya dalam pusaran tanpa tepi.

Apapun itu, agama membawa kita kepada jalan pembebasan dari segenap “ilah-ilah” palsu yang membelenggu. Hingga akhirnya kita bisa mengatakan betul dari dalam hati “laa ilaaha ilallah”, tidak ada ilah selain Allah. Tidak ada yang lebih mengatur kehidupan kita selain Allah. Serta tidak ada yang lebih penting dibanding Dia.[]




Friday, July 24, 2020

Tidak ada yang namanya pekerjaan yang hina atau kurang keren. Itu semua ilusi yang kita bangun atau tak sengaja terbentuk oleh lingkungan kita dan terlanjur terpatri di alam pikiran masing-masing. Bukankah setiap orang memiliki fungsi dan perannya masing-masing?

Dalam sebuah organisasi tidak mungkin semua menjadi pemimpin, akan kacau roda organisasi kalau tidak ada sebuah jenjang kepemimpinan. Tidak semua harus jadi direktur atau manager. Tidak semua harus memiliki menjadi business owner. Kalau memang dimudahkan silakan, syukuri dan gunakan untuk kepentingan orang banyak – agar nikmat Allah tidak dinikmati oleh hanya sekelompok orang saja. Bukankah Islam itu tujuannya menjadi rahmatan lil ‘alamiin. Rahmat bagi semesta alam, tanpa membedakan agama, suku dan ras. Semua mesti diayomi, semua berhak mendapat kasih sayang.

Dalam konteks menjadi “rahmatan lil ‘alamiin” itulah setiap kita bergerak. Ada yang dalam sepi di dalam rumah tangga, tanpa seorang pun tahu bagaimana kesibukannya mengurus seorang anak manusia dan segala kegiatan rumah. Ada yang dalam hening mengukur jalanan seharian mencari nafkah, menjajakan dagangannya dengan hasil yang kadang membuat senyum dan kadang membuat dirinya mengelus dada.

Apapun pekerjaan yang Allah mudahkan ke tangan kita masing-masing, kemuliaan dari sesuatu itu hanya akan muncul ketika kita ikhlas menjalaninya. Karena pekerjaan keren dan tampak sukses di mata manusia sekalipun jika dikerjakan dengan hati yang riya dan ujub percayalah tidak akan kemana-mana itu semua. Hanya akan dicampakkan ke wajah sang pelaku. Seperti yang dikisahkan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Mu’adz bin Jabbal tentang tujuh penjaga langit. Sebaliknya, jika sesuatu yang dikerjakan lillahi ta’ala sesederhana mengganti popok anak, membantu membersihkan selokan di daerah perumahan, berjalan menjajakan dagangan walaupun sepi pembeli, tapi Gusti Allah sungguh Maha Menyaksikan hati mereka yang menyeru-Nya.



Jadi akhirnya kemuliaan dan kerennya suatu pekerjaan itu hanya diukur dari apakah melalui pekerjaan itu hati seseorang menjadi semakin memandang Allah Ta’ala atau malah berpaling dari-Nya.[]


Saturday, July 18, 2020


“What’s wrong with being different?”

Pertanyaan itu sempat mengusik pikiran saya selama beberapa tahun lamanya terutama di dua dekade awal kehidupan mulai memasuki masa sekolah karena kadang saya merasa berbeda dengan stereotype anak perempuan kebanyakan. Dan sedihnya kerap kali masyarakat kerap memandang miring anak yang berbeda.

Anak perempuan biasanya main boneka dengan sesama teman perempuannya, suka dandan, rambut pake berbagai aksesoris, and I’m anything but that. Sejak TK teman bermain saya satu geng terdiri dari 5 orang anak laki-laki dan saya satu-satunya perempuan. Saya lebih senang bermain bersama mereka, berbagai jenis permainan bersifat fisik yang kerap membuat badan saya luka-luka karena terjatuh dari sepeda, terpeleset saat berlari main boy-boyan atau jari teriris benang gelasan saat main layangan. Persahabatan di antara kami terus berlanjut selama masa Sekolah Dasar. We are almost inseparable. Pergi sekolah bersama, pulang sekolah pun bersama. Teman-teman saya sering nebeng saya naik becak. Kalau dipikir-pikir kasihan juga Mang becak itu, yang bayar satu tapi total yang naik enam anak. Padahal berat kan ya, tapi Mang Begadang ini– demikian kami selalu memanggilnya, sampai sekarang tak pernah tahu siapa namanya – tak pernah menolak mengantarkan kami ke tempat tujuan. Beliau kami panggil Mang Begadang karena sepanjang jalan selalu bersenandung lagu Rhoma Irama, “Begadang jangan begadaaaang, kalau tiada artinya…” Demikian beliau senantiasa riang mengeluarkan senandung dari mulutnya yang mulai ompong karena gigi mulai bertanggalan karena usia beliau sudah tua. Semoga Allah merahmati beliau di alam barzakh.

Demikianlah periode 12 tahun awal kehidupan saya tercelup oleh “nuansa maskulin”. In addition to that saya lebih sering diasuh oleh ayah saya dan bermain dengan adik saya satu-satunya yang notabene seorang anak laki-laki. Memasuki periode SMP teman sebangku saya pun anak perempuan tomboy dengan potongan rambut cepak. Jadi saya tumbuh sampai memasuki usia remaja praktis tidak punya referensi untuk berdandan dan do all girly things. Dalam testimoni ibu saya, beliau berkata pernah mencoba mendandani saya dengan rok dan dandanan girly, “Tapi ngga pantes.” Gitu katanya. Memang nasib. *shrugging shoulders.

Saya mulai belajar dandan ketika bekerja sebagai Training Manager di sebuah perusahaan farmasi multinasional di Jakarta. Pekerjaan itu mengharuskan saya memberikan presentasi formal. Mau ngga mau harus dandan. Mulailah pake bedak, lipstik dengan warna senatural mungkin karena saya tidak suka warna-warna mencolok, dan kadang memakai pensil alis. Xixi . Itu baru transformasi tahap awal. Karena menurut saya esensi menjadi seorang perempuan yang utama itu bukan terletak pada kemampuannya dandan secara lahiriyah, tapi bagaimana ia bisa memancarkan sifat kasih sayang (rahim) kepada semestanya. Dan itu Allah ajari melalui kehadiran dua anak saya yang berjarak hampir dua tahun dari kelahiran anak pertama bulan Juni 2012 ke kedatangan anak kedua di bulan April 2014.

Teman-teman dekat saya yang bisa bersaksi bagaimana transformasi besar terjadi pada seorang Tessa setelah ia menjadi ibu. Namun demikian bawaan “karakter maskulin” yang sempat mencelup saya di dua dekade awal kehidupan saya masih ada. Dan sekarang saya mulai bisa membaca kenapa kehidupan saya didesain seperti itu.

You see, kehidupan rumah tangga yang saya harus arungi adalah blended family, karena saat saya menikah dengan suami – yang notabene teman sekelas selama dua tahun di SMA dulu – beliau sudah dalam keadaan bercerai dengan satu anak. Saat awal hendak menikah dulu sempat mendapat resistensi dari ibu dan beberapa anggota keluarga, karena kebanyakan orang masih punya stigma yang negatif tentang menikah dengan duda apalagi dengan duda dengan anak. Tapi saya pahami kekhawatiran mereka, karena tingkat kompleksitasnya memang lebih tinggi. Secara statistik 60% pernikahan kedua berakhir dengan perceraian. Dan dalam kasus blended family, lima tahun pertama adalah masa penyesuaian yang penuh guncangan dan tak jarang berakhir dengan perceraian. Kesulitan itu memang saya alami. Tapi - nyambung dengan “pendidikan non formal” yang menempa saya di masa kecil itu - ternyata membuat saya tumbuh menjadi seorang perempuan yang lebih kuat nuansa rasionalnya. Barangkali karena jam terbang yang tinggi  bergaul dengan kaum Adam yang warna pikirannya praktis.

Pembawaan praktis ini membantu sekali dalam saya berinteraksi dalam blended family ini. Misal bagaimana membangun hubungan dengan mantan istri suami dan anak tiri. Butuh waktu, trial and error dan kegigihan untuk akhirnya bisa menemukan ritme yang tepat so we can dance without stepping onto each other’s toes. Pembawaan saya yang praktis dan cenderung kuat aspek logika dibanding aspek emosional ini sangat membantu dalam menjalankan peran saya sebagai elemen pemersatu di konstruksi blended family. Teman-teman saya bahkan yang orang Belanda sekali pun kerap dibuat tercengang dan kagum oleh interaksi yang baik di antara kami. Bayangkan, jarang rasanya ada kasus mantan istri interaksinya dekat dengan keluarga baru yang dibangun oleh mantan suaminya, sedemikian dekat sehingga kami setiap tahun selalu pergi liburan bersama dan tinggal di bungalow sewaan bersama. Alhamdulillah, dengan pertolongan Gusti Allah semata. Dalam kasus keluarga kami mantan istri suami saya terima untuk menginap di rumah kami kalau datang ke Amsterdam mengantarkan anak perempuannya. Anak-anak pun memanggilnya tante dan sudah seperti bagian dari keluarga lapis kedua saja. Sebaliknya, kami pun kerap menginap di rumah mantan istri suami tersebut di Groningen. Actually saat saya menuliskan ini, anak-anak dan suami tengah menginap di rumahnya untuk menghabiskan akhir pekan bersama. Saya tidak ikut karena harus kerja di akhir pekan, and yes I need “my space” as well ;).

Once again, I’m being practical. Banyak interaksi dalam model rumah tangga seperti ini yang awalnya saya rasakan jengah kalau mau menuruti emosi. Tidak mudah memang, I have to admit. Tapi tidak ada yang sulit and nothing is impossible in life bersama Allah. Dan betul, Allah tidak pernah memberikan sesuatu di luar kapasitas kita. Gambarannya mirip saat berlatih di bawah bimbingan personal trainer di pusat kebugaran. Di masa-masa awal itu paling berat karena tubuh masih harus beradaptasi dengan perubahan, tapi begitu otot-otot kita terlatih maka daya kekuatan kita menjadi bertambah. Demikian pun dalam kehidupan. Semua hal baru akan dirasa sulit di awal. Sayangnya kebanyakan orang sudah menyerah duluan, layu sebelum berkembang dan kurang sabar.

Begitulah bagi-bagi sedikit perenungan saya malam ini semoga bisa diambil pesannya bahwa tidak ada yang sia-sia dalam semua penggal kehidupan kita. Lebih dari itu, semua yang Allah persiapkan di masa lampau berfungsi sebagai bekal di hari esok. Luar biasa skenario-Nya canggih sekali. Kalaupun kita masih bingung dan belum bisa menangkap makna atau hikmahnya bersabarlah sambil berdoa memohon agar dibukakan pemahamannya. Karena kebingungan itu sungguh awal dari pengetahuan jika kita gali terus. Di balik sebuah pertanyaan sederhana seperti pertanyaan saya “what’s worng with being different?” sudah tersedia khazanah jawaban yang melimpah. Asal kita tekun dan sabar dalam menggalinya maka perlahan-lahan rahasia takdir kehidupan akan mulai terkuak. Insya Allah.

Amsterdam, Sabtu dini hari jam 1.38

Friday, July 17, 2020

Rugi kita kalau hidup hanya sekadar sebagai pemenuhan hasrat dan cita-cita duniawi atau terdera dalam kesibukan menyelesaikan persoalan yang tak pernah kunjung usai.

Urusan beruntun terus sejak usia sekolah, bekerja, menikah, punya anak, punya cucu, belum masalah rumah, keuangan, ini dan itu. Sampai mati kita hanya sibuk mengurus utusan-utusan-Nya tanpa pernah menengok Tangan Mulia, Sang Sumber yang mengirimkan itu semua.

Akibatnya semakin bertambah umur, semakin memutih rambut, semakin lemah kekuatan diri yang tersisa hanya kisah-kisah dan bekas-bekas kejayaan yang kebanyakan malah tidak terbawa ke alam berikutnya. Bahkan ia gagap untuk menjawab pertanyaan pertama saat ia membuka mata dari kematian awal di alam kubur, yaitu "Man Rabbuka?" - siapa Rabb kita? Yang memelihara kita, yang memberi kita rezeki, yang mengurus tubuh kita dan semesta ini siang dan malam. Jika jiwa tak pernah mencecap rasa pengenalan saat di penggal kehidupan ini, mungkinkah kiranya ia menjawab satu pertanyaan sederhana itu?

Amsterdam,17 Juli 2020
21.44
Semua hal yang Allah pinjamkan kepada kuta pada dasarnya ada zakatnya. Harta harus dikeluarkan minimal 2,5%, zakatnya perut adalah dengan shaum, bahkan Sunan Kalijaga mengemukakan hawa nafsu pun harus dizakatkan.

Bisa menebak apa kira-kira zakatnya hawa nafsu?

Coba lihat sesuatu yang dizakatkan pasti bersifat mengeluarkan atau menahan sesuatu, intinya memotong sebagian kecil agar ia sehat.

Zakat hawa nafsu adalah dengan bersabar menghadapi kesusahan, sakit hati, atau perlakuan tertentu dari semesta masing-masing. Yang sabar ya...🙏

Wednesday, July 15, 2020

"The worst thing about a plague is the dejection of ephemeral."
- Thucydides

Thucydides yang karyanya banyak dikaji sebagai sumber sejarah Yunani pada awalnya adalah seorang jenderal yang kemudian dalam masa tawanannya di penjara, beliau menuliskan banyak pengalamannya yang pada masa itu Athena tengah bertempur melawan Sparta dalam Perang Peloponesia selama hampir tiga dekade lamanya.

Pada tahun kedua perang terjadilah wabah yang merenggut hampir separuh penduduk Athena. Thucydides menuliskan pengalaman dan pengamatannya menghadapi wabah itu. Dia mengamati bahwa manusia yang mengklaim tubuh dan kehidupan ini miliknya kemudian menjadi bagaikan runtuh semua kehidupan beserta waham angan-angan panjangnya dengan kedatangan wabah yang tiba-tiba ini.

Dalam pandangannya, kematian atau kehilangan harta benda bukan hal terburuk yang terjadi ketika wabah menyerang. Akan tetapi yang lebih parah dari itu adalah bahwa manusia demikian sulitnya menerima kenyataan bahwa kehidupan di dunia ini fana dan hanya sementara saja. Kenapa hal itu lebih buruk? Karena manusia jadi kehilangan esensi kemanusiaannya yang sebenarnya entitas jiwanya merupakan makhluk langit yang tinggi yang diciptakan abadi untuk menjelang alam-alam berikutnya yang lebih mencengangkan dan menakjubkan.
Dengan kata kain, jika manusia hanya berkutat memenuhi hawa nafsu dan syahwat saja, itu yang disebut dalam Al Quran sebagai "kal an'aam" - bagaikan binatang ternak. Atau bahkan lebih buruk lagi. Na'udzubillah...

Thursday, July 9, 2020


“Barangsiapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Demikianlah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. QS Al An’aam : 125

Manusia itu mutlak perlu ditunjuki hidupnya oleh Allah Ta’ala agar tidak salah pilih. Pilihan itu banyak, sejak mulai membuka mata di pagi hari kita sudah dipaparkan oleh pilihan, mau tidur lagi atau segera bangun, kemudian mau sarapan apa – makanan yang kita konsumsi akan memiliki dampak bagi kesehatan dan vitalitas tubuh kita. Lalu pakaian yang mana yang hendak kita pakai. Dan sekian banyak pilihan keseharian yang kita anggap “biasa” tapi sebetulnya tidak biasa sama sekali kalau kita sadar bahwa setiap pilihan itu memiliki konsekuensi dan bahwa setiap hal akan diminta pertanggungjawabannya nanti. Di hari audit akbar, dimana bahkan kaki dan jari kita Allah izinkan bisa bicara, sehingga kita tidak bisa mengelak akan hal-hal yang pernah kita kerjakan di masa lampau. Apalagi kemudian pilihan-pilihan besar macam memilih jodoh, pekerjaan, rumah, dsb.

Di ayat 125 surat Al An’aam dikatakan bahwa jika Allah menghendaki seseorang diberi petunjuk maka Dia akan terlebih melapangkan shadrnya untuk berserah diri. Jadi kunci kita bisa paham mekanisme penuntunannya adalah seimbang dengan kualitas keberserahdirian hati kita yang itu adalah konsekuensi dari dikembangkannya shadr seseorang. Apakah ia lebih bisa berdamai dengan qadha dan qadar-Nya? Bisa lebih memaafkan? Bisa lebih move-on? Bisa berkurang khawatirnya? Bisa cepat reda jengkelnya? Bisa lebih legowo dengan perilaku orang lain yang menyebalkan? Dsb. Semakin lebar shadr seseorang itu bagaikan samudera yang tetap suci airnya walaupun ribuan sungai membuang sampah ke dalamnya. Ia tetap tidak berubah menjadi kotor tapi tetap bening.

Semua dengan kehendak-Nya. Itu kuncinya. Karena jika Allah kehendaki seseorang sesat maka dadanya sempit. Disenggol sedikit marahnya mudah meledak, berbeda sedikit dengan apa yang dia inginkan emosinya lantas tumpah, semua sepertinya serba salah berinteraksi dengan orang yang dadanya sempit. Orang pun enggan untuk berdekatan dengan orang dalam keadaan hati seperti ini. Karena bagaikan berjalan di atas medan ranjau, salah menempatkan kaki sedikit saja bisa meledak. Tentu tipe seperti ini jauh dari karakter seorang yang berfungsi sebagai “Rahmatan lil ‘alamiin”.

Padahal Rasulullah SAW diutus untuk menebarkan rahmat bagi semesta alam. Artinya kita sebagai umat Rasulullah Muhammad Saw pun wajib mengikuti jejak langkahnya. Maka dalam sejarah Rasulullah kita bisa menemukan banyak kisah tentang bagaimana pemurahnya Rasulullah, kerahaman beliau, kesantunan beliau dsb. Banyak orang memeluk Islam karena keluhuran akhlak yang dipancarkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat.

Tapi memang sulit untuk bisa berakhlak baik jika dadanya sempit. Ada saja hal yang membuatnya kesal, marah, emosi, sakit hati, tidak tenang dsb. Semua itu adalah definisi sebuah “rijsa”, siksaan yang dia buat sendiri. Yang sebenarnya Allah Yang Maha Kasih tidak pernah menyiksa, tidak ada sifat-Nya yang maha penyiksa misalkan. Karena hal-hal yang seseorang alami sebagai sebuah siksaan sebenarnya karena pikiran dan hatinya lebih banyak berkubang dalam kegelapan (kezaliman) dan berpaling dari Allah dan seruan-seruan-Nya. Itu mengapa ayat itu diakhiri dengan “Allah menimpakan rijsa kepada orang-orang yang tidak beriman.” Wallahu’alam

Amsterdam, Kamis 9 Juli 2020
19.48

Wednesday, July 8, 2020

Ini pengalaman saja. Kalau fokus kita mengejar rezeki, ibadah biasanya keteteran dan kewajiban hidup apalagi misi hidup pribadi boro-boro kebaca. Waktu, tenaga dan pikiran yang ada habis dari hari ke hari memperjuangkan hal yang sebenarnya Allah sudah jaminkan kalau dengan cara taqwa.

Sebaliknya, kalau kita fokus memperbaiki ibadah, banyak merenung, banyak istighfar, banyak memaafkan, mencoba memperbaiki hubungan dengan Allah dan sesama maka roda dunia kita akan berputar dengan sendirinya. Urusan dan masalah beres dengan sendirinya bahkan di hal-hal yang tak sanggup kita raih dan tak ada harta di dunia pun yang bisa menebusnya. Aneh bin ajaib! Tapi itu bukti memang bahwa Allah Rabb semesta alam yang semua dalam genggaman-Nya.

Dua-duanya sama-sama kerja keras, butuh pengorbanan dan susah payah. Tapi hasilnya jauh berbeda antara bumi dan langit.

Jadi silakan pilih mau menjalani kehidupan dengan pe-de , percaya (kemampuan) diri atau pe-De, percaya (kemampuan) Dia?

Sunday, July 5, 2020

Kurban yang kita coba sisihkan harta untuknya secara berkala itu baru latihan saja untuk kurban yang sesungguhnya. Adalah lebih mudah menyerahkan harta yang sebetulnya pada hakikatnya sesuatu yang Allah titipkan. Ada kurban lain yang lebih Allah sasar, sesuatu yang sangat melekat dengan hakikat kita yang kita sudah terbiasa menggunakannya sejak hari pertama berada di alam ini, yaitu diri kita sendiri.

Beranikah kita mengorbankan perasaan diri? Keinginan diri? Ambisi diri? Cita-cita pribadi? Ego diri dll demi Allah. Untuk melebur dalam karsa-Nya. Ridho mengalir dalam ketentuan-Nya? Menerima apa yang Dia tetapkan untuk diri ini sepahit dan sesulit apapun itu kelihatannya di awal waktu. Sebagaimana tidak mudahnya manusia menerima sebuah perubahan. Tapi, perubahan itu perlu dilakukan agar kita melangkah menuju orbit diri yang sebenarnya yang disitu terletak surga dunia akhirat kita. Allahu Akbar. Allahu Akbar wa lillahil hamd.

Saturday, July 4, 2020

"Dan kehidupan dunia ini, hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Tidakkah kamu mengerti?" QS Al-An'aam: 32

Orang yang bertaqwa akan tenang dengan apapun ketetapan pembagian Allah di dunia ini, tentang rezeki, tentang jodoh, tentang usia, tentang nasib dll. Karena ia yakin apa-apa yang dia luput dapatkan di dunia akan diberikan di akhirat nanti.

Orang yang tidak bertaqwa akan kelimpungan dan panik memaksakan ingin bahagia - versi dirinya- dengan jalan mendapatkan apa-apa yang dia inginkan. Padahal keinginan sekuat apapun tak akan mampu mengoyak tirai takdir-Nya.
Allah itu selalu memberi yang terbaik untuk semua ciptaan-Nya. Tidak pernah memberi yang kw 2 apalagi kw 3.
Hanya saja yang diberi sering belum paham mana hal-hal yang benar-benar berkualitas.

Thursday, July 2, 2020

Jelang penyelenggaraan qurban. Agar tidak sebatas ritual semata. Coba renungi kualitas hewaniyah apa yang masih bercokol dalam diri dan sangat menghambat pertaubatan kita.

Barangkali malesnya ga ketulungan, mungkin emosi dan amarahnya masih meletus-letus seperti gunung berapi, bisa jadi sombong dan bangga dirinya ampun-ampunan. Apapun itu saya yakin setiap kita kalau jujur punya jawabannya masing-masing. Persembahkan itu untuk disembelih lewat hewan qurban atas nama kita yang membutuhkan pensucian diri.

Lebih afdhal kabarnya kalau bisa menyembelih sendiri, biar sampai terbawa ke aspek jasad prosesnya. Tapi kalaupun tidak, setidaknya ijab qabul dengan panitia penyembelihan harus khidmat dan serius, dengan akad yang jelas. Persembahkan itu dari hati yang tulus. Karena yang sampai kepada Allah adalah penghadapan hatinya, bukan daging dan darahnya.

Bismillah...
Seorang dokter memberi terapi berdasarkan sebuah diagnosa yang ditegakkan. Sebuah penyakit harus dikenali dulu sebelum mengambil langkah berikutnya.

Dalam hidup pun demikian. Selama kita belum mengenali apa penyakit-penyakit hati masing-masing, maka semua kedukaan, kesempitan, dan penyakit yang Allah hadirkan hanya akan dikeluhkan saja tanpa paham bahwa itu semua adalah obat mujarab yang Allah turunkan untuk mengobati penyakit-penyakit hati tertentu.

Yang kita alami sebagai sebuah kehilangan, difitnah, dizalimi, disakiti, ditipu, dirugikan dll adalah sebuah fenomena lahiriyah saja dari keadaan di dalam hati yang sedang disucikan. Barangkali hati kurang taubat, kurang mencari Allah dan terlampau sibuk dunia, kurang khusyu shalat, kurang jihad, kurang sabar dan banyak sifat-sifat Allah Yang Mulia yang kurang bertumbuh karena tertutup oleh sekian hama penyakit dalam hati.

Allah Ta'ala bukan sama sekali Dzat yang menzalimi hamba-Nya. Tapi kadang orang harus dipaksa untuk menelan pil pahit bahkan dilakukan padanya operasi yang menyakitkan untuk bisa mencegah dia dari sebuah musibah yang lebih besar...
Sudahlah berhenti membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Cape lahir batin....
Setiap orang kan punya kadar rezeki dan amanahnya masing-masing. Seperti rembulan dan matahari jadi indah karena masing-masing tak bersaing dan adu unggul. Yang satu menerangi malam hari dan yang lain di siang hari. Rembulan tak perlu minder punya cahaya tak seterang matahari, karena kalau cahayanya sama terang kita sulit tidur di malam hari.

Semua sudah Allah kadar dengan sangat sempurna. Yang membuat itu jadi tak sempurna ya pikiran kita yang cenderung membanding-bandingkan itu...