“Barangsiapa dikehendaki
Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk
(menerima) Islam. Dan barangsiapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan
dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit.
Demikianlah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” QS Al An’aam : 125
Manusia itu mutlak
perlu ditunjuki hidupnya oleh Allah Ta’ala agar tidak salah pilih. Pilihan itu
banyak, sejak mulai membuka mata di pagi hari kita sudah dipaparkan oleh
pilihan, mau tidur lagi atau segera bangun, kemudian mau sarapan apa – makanan yang
kita konsumsi akan memiliki dampak bagi kesehatan dan vitalitas tubuh kita.
Lalu pakaian yang mana yang hendak kita pakai. Dan sekian banyak pilihan
keseharian yang kita anggap “biasa” tapi sebetulnya tidak biasa sama sekali
kalau kita sadar bahwa setiap pilihan itu memiliki konsekuensi dan bahwa setiap
hal akan diminta pertanggungjawabannya nanti. Di hari audit akbar, dimana
bahkan kaki dan jari kita Allah izinkan bisa bicara, sehingga kita tidak bisa
mengelak akan hal-hal yang pernah kita kerjakan di masa lampau. Apalagi
kemudian pilihan-pilihan besar macam memilih jodoh, pekerjaan, rumah, dsb.
Di ayat 125
surat Al An’aam dikatakan bahwa jika Allah menghendaki seseorang diberi
petunjuk maka Dia akan terlebih melapangkan shadrnya untuk berserah diri. Jadi
kunci kita bisa paham mekanisme penuntunannya adalah seimbang dengan kualitas
keberserahdirian hati kita yang itu adalah konsekuensi dari dikembangkannya
shadr seseorang. Apakah ia lebih bisa berdamai dengan qadha dan qadar-Nya? Bisa
lebih memaafkan? Bisa lebih move-on? Bisa berkurang khawatirnya? Bisa cepat
reda jengkelnya? Bisa lebih legowo dengan perilaku orang lain yang menyebalkan?
Dsb. Semakin lebar shadr seseorang itu bagaikan samudera yang tetap suci airnya
walaupun ribuan sungai membuang sampah ke dalamnya. Ia tetap tidak berubah
menjadi kotor tapi tetap bening.
Semua dengan
kehendak-Nya. Itu kuncinya. Karena jika Allah kehendaki seseorang sesat maka
dadanya sempit. Disenggol sedikit marahnya mudah meledak, berbeda sedikit
dengan apa yang dia inginkan emosinya lantas tumpah, semua sepertinya serba
salah berinteraksi dengan orang yang dadanya sempit. Orang pun enggan untuk
berdekatan dengan orang dalam keadaan hati seperti ini. Karena bagaikan
berjalan di atas medan ranjau, salah menempatkan kaki sedikit saja bisa
meledak. Tentu tipe seperti ini jauh dari karakter seorang yang berfungsi
sebagai “Rahmatan lil ‘alamiin”.
Padahal
Rasulullah SAW diutus untuk menebarkan rahmat bagi semesta alam. Artinya kita
sebagai umat Rasulullah Muhammad Saw pun wajib mengikuti jejak langkahnya. Maka
dalam sejarah Rasulullah kita bisa menemukan banyak kisah tentang bagaimana
pemurahnya Rasulullah, kerahaman beliau, kesantunan beliau dsb. Banyak orang
memeluk Islam karena keluhuran akhlak yang dipancarkan oleh Rasulullah Saw dan
para sahabat.
Tapi memang
sulit untuk bisa berakhlak baik jika dadanya sempit. Ada saja hal yang
membuatnya kesal, marah, emosi, sakit hati, tidak tenang dsb. Semua itu adalah
definisi sebuah “rijsa”, siksaan yang dia buat sendiri. Yang sebenarnya Allah Yang
Maha Kasih tidak pernah menyiksa, tidak ada sifat-Nya yang maha penyiksa
misalkan. Karena hal-hal yang seseorang alami sebagai sebuah siksaan sebenarnya
karena pikiran dan hatinya lebih banyak berkubang dalam kegelapan (kezaliman)
dan berpaling dari Allah dan seruan-seruan-Nya. Itu mengapa ayat itu diakhiri
dengan “Allah menimpakan rijsa kepada orang-orang yang tidak beriman.” Wallahu’alam
Amsterdam,
Kamis 9 Juli 2020
19.48
No comments:
Post a Comment