Thursday, July 9, 2020


“Barangsiapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Demikianlah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. QS Al An’aam : 125

Manusia itu mutlak perlu ditunjuki hidupnya oleh Allah Ta’ala agar tidak salah pilih. Pilihan itu banyak, sejak mulai membuka mata di pagi hari kita sudah dipaparkan oleh pilihan, mau tidur lagi atau segera bangun, kemudian mau sarapan apa – makanan yang kita konsumsi akan memiliki dampak bagi kesehatan dan vitalitas tubuh kita. Lalu pakaian yang mana yang hendak kita pakai. Dan sekian banyak pilihan keseharian yang kita anggap “biasa” tapi sebetulnya tidak biasa sama sekali kalau kita sadar bahwa setiap pilihan itu memiliki konsekuensi dan bahwa setiap hal akan diminta pertanggungjawabannya nanti. Di hari audit akbar, dimana bahkan kaki dan jari kita Allah izinkan bisa bicara, sehingga kita tidak bisa mengelak akan hal-hal yang pernah kita kerjakan di masa lampau. Apalagi kemudian pilihan-pilihan besar macam memilih jodoh, pekerjaan, rumah, dsb.

Di ayat 125 surat Al An’aam dikatakan bahwa jika Allah menghendaki seseorang diberi petunjuk maka Dia akan terlebih melapangkan shadrnya untuk berserah diri. Jadi kunci kita bisa paham mekanisme penuntunannya adalah seimbang dengan kualitas keberserahdirian hati kita yang itu adalah konsekuensi dari dikembangkannya shadr seseorang. Apakah ia lebih bisa berdamai dengan qadha dan qadar-Nya? Bisa lebih memaafkan? Bisa lebih move-on? Bisa berkurang khawatirnya? Bisa cepat reda jengkelnya? Bisa lebih legowo dengan perilaku orang lain yang menyebalkan? Dsb. Semakin lebar shadr seseorang itu bagaikan samudera yang tetap suci airnya walaupun ribuan sungai membuang sampah ke dalamnya. Ia tetap tidak berubah menjadi kotor tapi tetap bening.

Semua dengan kehendak-Nya. Itu kuncinya. Karena jika Allah kehendaki seseorang sesat maka dadanya sempit. Disenggol sedikit marahnya mudah meledak, berbeda sedikit dengan apa yang dia inginkan emosinya lantas tumpah, semua sepertinya serba salah berinteraksi dengan orang yang dadanya sempit. Orang pun enggan untuk berdekatan dengan orang dalam keadaan hati seperti ini. Karena bagaikan berjalan di atas medan ranjau, salah menempatkan kaki sedikit saja bisa meledak. Tentu tipe seperti ini jauh dari karakter seorang yang berfungsi sebagai “Rahmatan lil ‘alamiin”.

Padahal Rasulullah SAW diutus untuk menebarkan rahmat bagi semesta alam. Artinya kita sebagai umat Rasulullah Muhammad Saw pun wajib mengikuti jejak langkahnya. Maka dalam sejarah Rasulullah kita bisa menemukan banyak kisah tentang bagaimana pemurahnya Rasulullah, kerahaman beliau, kesantunan beliau dsb. Banyak orang memeluk Islam karena keluhuran akhlak yang dipancarkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat.

Tapi memang sulit untuk bisa berakhlak baik jika dadanya sempit. Ada saja hal yang membuatnya kesal, marah, emosi, sakit hati, tidak tenang dsb. Semua itu adalah definisi sebuah “rijsa”, siksaan yang dia buat sendiri. Yang sebenarnya Allah Yang Maha Kasih tidak pernah menyiksa, tidak ada sifat-Nya yang maha penyiksa misalkan. Karena hal-hal yang seseorang alami sebagai sebuah siksaan sebenarnya karena pikiran dan hatinya lebih banyak berkubang dalam kegelapan (kezaliman) dan berpaling dari Allah dan seruan-seruan-Nya. Itu mengapa ayat itu diakhiri dengan “Allah menimpakan rijsa kepada orang-orang yang tidak beriman.” Wallahu’alam

Amsterdam, Kamis 9 Juli 2020
19.48

No comments:

Post a Comment