“What’s wrong with being different?”
Pertanyaan itu sempat mengusik pikiran saya
selama beberapa tahun lamanya terutama di dua dekade awal kehidupan mulai
memasuki masa sekolah karena kadang saya merasa berbeda dengan stereotype anak
perempuan kebanyakan. Dan sedihnya kerap kali masyarakat kerap memandang miring
anak yang berbeda.
Anak perempuan biasanya main boneka dengan
sesama teman perempuannya, suka dandan, rambut pake berbagai aksesoris, and I’m
anything but that. Sejak TK teman bermain saya satu geng terdiri dari 5 orang
anak laki-laki dan saya satu-satunya perempuan. Saya lebih senang bermain
bersama mereka, berbagai jenis permainan bersifat fisik yang kerap membuat
badan saya luka-luka karena terjatuh dari sepeda, terpeleset saat berlari main
boy-boyan atau jari teriris benang gelasan saat main layangan. Persahabatan di
antara kami terus berlanjut selama masa Sekolah Dasar. We are almost inseparable. Pergi
sekolah bersama, pulang sekolah pun bersama. Teman-teman saya sering nebeng saya
naik becak. Kalau dipikir-pikir kasihan juga Mang becak itu, yang bayar satu tapi
total yang naik enam anak. Padahal berat kan ya, tapi Mang Begadang ini–
demikian kami selalu memanggilnya, sampai sekarang tak pernah tahu siapa
namanya – tak pernah menolak mengantarkan kami ke tempat tujuan. Beliau kami
panggil Mang Begadang karena sepanjang jalan selalu bersenandung lagu Rhoma
Irama, “Begadang jangan begadaaaang, kalau tiada artinya…” Demikian beliau
senantiasa riang mengeluarkan senandung dari mulutnya yang mulai ompong karena
gigi mulai bertanggalan karena usia beliau sudah tua. Semoga Allah merahmati
beliau di alam barzakh.
Demikianlah periode 12 tahun awal kehidupan
saya tercelup oleh “nuansa maskulin”. In addition to that saya lebih sering
diasuh oleh ayah saya dan bermain dengan adik saya satu-satunya yang notabene
seorang anak laki-laki. Memasuki periode SMP teman sebangku saya pun anak
perempuan tomboy dengan potongan rambut cepak. Jadi saya tumbuh sampai memasuki
usia remaja praktis tidak punya referensi untuk berdandan dan do all girly
things. Dalam testimoni ibu saya, beliau berkata pernah mencoba mendandani saya
dengan rok dan dandanan girly, “Tapi ngga pantes.” Gitu katanya. Memang nasib. *shrugging
shoulders.
Saya mulai belajar dandan ketika bekerja
sebagai Training Manager di sebuah perusahaan farmasi multinasional di Jakarta.
Pekerjaan itu mengharuskan saya memberikan presentasi formal. Mau ngga mau harus
dandan. Mulailah pake bedak, lipstik dengan warna senatural mungkin karena saya
tidak suka warna-warna mencolok, dan kadang memakai pensil alis. Xixi . Itu
baru transformasi tahap awal. Karena menurut saya esensi menjadi seorang
perempuan yang utama itu bukan terletak pada kemampuannya dandan secara
lahiriyah, tapi bagaimana ia bisa memancarkan sifat kasih sayang (rahim) kepada
semestanya. Dan itu Allah ajari melalui kehadiran dua anak saya yang berjarak hampir
dua tahun dari kelahiran anak pertama bulan Juni 2012 ke kedatangan anak kedua
di bulan April 2014.
Teman-teman dekat saya yang bisa bersaksi
bagaimana transformasi besar terjadi pada seorang Tessa setelah ia menjadi ibu.
Namun demikian bawaan “karakter maskulin” yang sempat mencelup saya di dua
dekade awal kehidupan saya masih ada. Dan sekarang saya mulai bisa membaca
kenapa kehidupan saya didesain seperti itu.
You see, kehidupan rumah tangga yang saya
harus arungi adalah blended family, karena saat saya menikah dengan suami –
yang notabene teman sekelas selama dua tahun di SMA dulu – beliau sudah dalam
keadaan bercerai dengan satu anak. Saat awal hendak menikah dulu sempat
mendapat resistensi dari ibu dan beberapa anggota keluarga, karena kebanyakan
orang masih punya stigma yang negatif tentang menikah dengan duda apalagi
dengan duda dengan anak. Tapi saya pahami kekhawatiran mereka, karena tingkat
kompleksitasnya memang lebih tinggi. Secara statistik 60% pernikahan kedua berakhir
dengan perceraian. Dan dalam kasus blended family, lima tahun pertama adalah
masa penyesuaian yang penuh guncangan dan tak jarang berakhir dengan perceraian.
Kesulitan itu memang saya alami. Tapi - nyambung dengan “pendidikan non formal”
yang menempa saya di masa kecil itu - ternyata membuat saya tumbuh menjadi
seorang perempuan yang lebih kuat nuansa rasionalnya. Barangkali karena jam
terbang yang tinggi bergaul dengan kaum
Adam yang warna pikirannya praktis.
Pembawaan praktis ini membantu sekali dalam
saya berinteraksi dalam blended family ini. Misal bagaimana membangun hubungan
dengan mantan istri suami dan anak tiri. Butuh waktu, trial and error dan
kegigihan untuk akhirnya bisa menemukan ritme yang tepat so we can dance
without stepping onto each other’s toes. Pembawaan saya yang praktis dan
cenderung kuat aspek logika dibanding aspek emosional ini sangat membantu dalam
menjalankan peran saya sebagai elemen pemersatu di konstruksi blended family.
Teman-teman saya bahkan yang orang Belanda sekali pun kerap dibuat tercengang dan
kagum oleh interaksi yang baik di antara kami. Bayangkan, jarang rasanya ada
kasus mantan istri interaksinya dekat dengan keluarga baru yang dibangun oleh mantan
suaminya, sedemikian dekat sehingga kami setiap tahun selalu pergi liburan
bersama dan tinggal di bungalow sewaan bersama. Alhamdulillah, dengan pertolongan
Gusti Allah semata. Dalam kasus keluarga kami mantan istri suami saya terima
untuk menginap di rumah kami kalau datang ke Amsterdam mengantarkan anak
perempuannya. Anak-anak pun memanggilnya tante dan sudah seperti bagian dari
keluarga lapis kedua saja. Sebaliknya, kami pun kerap menginap di rumah mantan
istri suami tersebut di Groningen. Actually saat saya menuliskan ini, anak-anak
dan suami tengah menginap di rumahnya untuk menghabiskan akhir pekan bersama.
Saya tidak ikut karena harus kerja di akhir pekan, and yes I need “my space” as
well ;).
Once again, I’m being practical. Banyak
interaksi dalam model rumah tangga seperti ini yang awalnya saya rasakan jengah
kalau mau menuruti emosi. Tidak mudah memang, I have to admit. Tapi tidak ada
yang sulit and nothing is impossible in life bersama Allah. Dan betul, Allah
tidak pernah memberikan sesuatu di luar kapasitas kita. Gambarannya mirip saat
berlatih di bawah bimbingan personal trainer di pusat kebugaran. Di masa-masa
awal itu paling berat karena tubuh masih harus beradaptasi dengan perubahan,
tapi begitu otot-otot kita terlatih maka daya kekuatan kita menjadi bertambah.
Demikian pun dalam kehidupan. Semua hal baru akan dirasa sulit di awal.
Sayangnya kebanyakan orang sudah menyerah duluan, layu sebelum berkembang dan
kurang sabar.
Begitulah bagi-bagi sedikit perenungan saya
malam ini semoga bisa diambil pesannya bahwa tidak ada yang sia-sia dalam semua penggal kehidupan kita.
Lebih dari itu, semua yang Allah persiapkan di masa lampau berfungsi sebagai
bekal di hari esok. Luar biasa skenario-Nya canggih sekali. Kalaupun kita masih
bingung dan belum bisa menangkap makna atau hikmahnya bersabarlah sambil berdoa
memohon agar dibukakan pemahamannya. Karena kebingungan itu sungguh awal dari
pengetahuan jika kita gali terus. Di balik sebuah pertanyaan sederhana seperti
pertanyaan saya “what’s worng with being different?” sudah tersedia khazanah
jawaban yang melimpah. Asal kita tekun dan sabar dalam menggalinya maka
perlahan-lahan rahasia takdir kehidupan akan mulai terkuak. Insya Allah.
Amsterdam, Sabtu dini hari jam 1.38
No comments:
Post a Comment