Saturday, July 18, 2020


“What’s wrong with being different?”

Pertanyaan itu sempat mengusik pikiran saya selama beberapa tahun lamanya terutama di dua dekade awal kehidupan mulai memasuki masa sekolah karena kadang saya merasa berbeda dengan stereotype anak perempuan kebanyakan. Dan sedihnya kerap kali masyarakat kerap memandang miring anak yang berbeda.

Anak perempuan biasanya main boneka dengan sesama teman perempuannya, suka dandan, rambut pake berbagai aksesoris, and I’m anything but that. Sejak TK teman bermain saya satu geng terdiri dari 5 orang anak laki-laki dan saya satu-satunya perempuan. Saya lebih senang bermain bersama mereka, berbagai jenis permainan bersifat fisik yang kerap membuat badan saya luka-luka karena terjatuh dari sepeda, terpeleset saat berlari main boy-boyan atau jari teriris benang gelasan saat main layangan. Persahabatan di antara kami terus berlanjut selama masa Sekolah Dasar. We are almost inseparable. Pergi sekolah bersama, pulang sekolah pun bersama. Teman-teman saya sering nebeng saya naik becak. Kalau dipikir-pikir kasihan juga Mang becak itu, yang bayar satu tapi total yang naik enam anak. Padahal berat kan ya, tapi Mang Begadang ini– demikian kami selalu memanggilnya, sampai sekarang tak pernah tahu siapa namanya – tak pernah menolak mengantarkan kami ke tempat tujuan. Beliau kami panggil Mang Begadang karena sepanjang jalan selalu bersenandung lagu Rhoma Irama, “Begadang jangan begadaaaang, kalau tiada artinya…” Demikian beliau senantiasa riang mengeluarkan senandung dari mulutnya yang mulai ompong karena gigi mulai bertanggalan karena usia beliau sudah tua. Semoga Allah merahmati beliau di alam barzakh.

Demikianlah periode 12 tahun awal kehidupan saya tercelup oleh “nuansa maskulin”. In addition to that saya lebih sering diasuh oleh ayah saya dan bermain dengan adik saya satu-satunya yang notabene seorang anak laki-laki. Memasuki periode SMP teman sebangku saya pun anak perempuan tomboy dengan potongan rambut cepak. Jadi saya tumbuh sampai memasuki usia remaja praktis tidak punya referensi untuk berdandan dan do all girly things. Dalam testimoni ibu saya, beliau berkata pernah mencoba mendandani saya dengan rok dan dandanan girly, “Tapi ngga pantes.” Gitu katanya. Memang nasib. *shrugging shoulders.

Saya mulai belajar dandan ketika bekerja sebagai Training Manager di sebuah perusahaan farmasi multinasional di Jakarta. Pekerjaan itu mengharuskan saya memberikan presentasi formal. Mau ngga mau harus dandan. Mulailah pake bedak, lipstik dengan warna senatural mungkin karena saya tidak suka warna-warna mencolok, dan kadang memakai pensil alis. Xixi . Itu baru transformasi tahap awal. Karena menurut saya esensi menjadi seorang perempuan yang utama itu bukan terletak pada kemampuannya dandan secara lahiriyah, tapi bagaimana ia bisa memancarkan sifat kasih sayang (rahim) kepada semestanya. Dan itu Allah ajari melalui kehadiran dua anak saya yang berjarak hampir dua tahun dari kelahiran anak pertama bulan Juni 2012 ke kedatangan anak kedua di bulan April 2014.

Teman-teman dekat saya yang bisa bersaksi bagaimana transformasi besar terjadi pada seorang Tessa setelah ia menjadi ibu. Namun demikian bawaan “karakter maskulin” yang sempat mencelup saya di dua dekade awal kehidupan saya masih ada. Dan sekarang saya mulai bisa membaca kenapa kehidupan saya didesain seperti itu.

You see, kehidupan rumah tangga yang saya harus arungi adalah blended family, karena saat saya menikah dengan suami – yang notabene teman sekelas selama dua tahun di SMA dulu – beliau sudah dalam keadaan bercerai dengan satu anak. Saat awal hendak menikah dulu sempat mendapat resistensi dari ibu dan beberapa anggota keluarga, karena kebanyakan orang masih punya stigma yang negatif tentang menikah dengan duda apalagi dengan duda dengan anak. Tapi saya pahami kekhawatiran mereka, karena tingkat kompleksitasnya memang lebih tinggi. Secara statistik 60% pernikahan kedua berakhir dengan perceraian. Dan dalam kasus blended family, lima tahun pertama adalah masa penyesuaian yang penuh guncangan dan tak jarang berakhir dengan perceraian. Kesulitan itu memang saya alami. Tapi - nyambung dengan “pendidikan non formal” yang menempa saya di masa kecil itu - ternyata membuat saya tumbuh menjadi seorang perempuan yang lebih kuat nuansa rasionalnya. Barangkali karena jam terbang yang tinggi  bergaul dengan kaum Adam yang warna pikirannya praktis.

Pembawaan praktis ini membantu sekali dalam saya berinteraksi dalam blended family ini. Misal bagaimana membangun hubungan dengan mantan istri suami dan anak tiri. Butuh waktu, trial and error dan kegigihan untuk akhirnya bisa menemukan ritme yang tepat so we can dance without stepping onto each other’s toes. Pembawaan saya yang praktis dan cenderung kuat aspek logika dibanding aspek emosional ini sangat membantu dalam menjalankan peran saya sebagai elemen pemersatu di konstruksi blended family. Teman-teman saya bahkan yang orang Belanda sekali pun kerap dibuat tercengang dan kagum oleh interaksi yang baik di antara kami. Bayangkan, jarang rasanya ada kasus mantan istri interaksinya dekat dengan keluarga baru yang dibangun oleh mantan suaminya, sedemikian dekat sehingga kami setiap tahun selalu pergi liburan bersama dan tinggal di bungalow sewaan bersama. Alhamdulillah, dengan pertolongan Gusti Allah semata. Dalam kasus keluarga kami mantan istri suami saya terima untuk menginap di rumah kami kalau datang ke Amsterdam mengantarkan anak perempuannya. Anak-anak pun memanggilnya tante dan sudah seperti bagian dari keluarga lapis kedua saja. Sebaliknya, kami pun kerap menginap di rumah mantan istri suami tersebut di Groningen. Actually saat saya menuliskan ini, anak-anak dan suami tengah menginap di rumahnya untuk menghabiskan akhir pekan bersama. Saya tidak ikut karena harus kerja di akhir pekan, and yes I need “my space” as well ;).

Once again, I’m being practical. Banyak interaksi dalam model rumah tangga seperti ini yang awalnya saya rasakan jengah kalau mau menuruti emosi. Tidak mudah memang, I have to admit. Tapi tidak ada yang sulit and nothing is impossible in life bersama Allah. Dan betul, Allah tidak pernah memberikan sesuatu di luar kapasitas kita. Gambarannya mirip saat berlatih di bawah bimbingan personal trainer di pusat kebugaran. Di masa-masa awal itu paling berat karena tubuh masih harus beradaptasi dengan perubahan, tapi begitu otot-otot kita terlatih maka daya kekuatan kita menjadi bertambah. Demikian pun dalam kehidupan. Semua hal baru akan dirasa sulit di awal. Sayangnya kebanyakan orang sudah menyerah duluan, layu sebelum berkembang dan kurang sabar.

Begitulah bagi-bagi sedikit perenungan saya malam ini semoga bisa diambil pesannya bahwa tidak ada yang sia-sia dalam semua penggal kehidupan kita. Lebih dari itu, semua yang Allah persiapkan di masa lampau berfungsi sebagai bekal di hari esok. Luar biasa skenario-Nya canggih sekali. Kalaupun kita masih bingung dan belum bisa menangkap makna atau hikmahnya bersabarlah sambil berdoa memohon agar dibukakan pemahamannya. Karena kebingungan itu sungguh awal dari pengetahuan jika kita gali terus. Di balik sebuah pertanyaan sederhana seperti pertanyaan saya “what’s worng with being different?” sudah tersedia khazanah jawaban yang melimpah. Asal kita tekun dan sabar dalam menggalinya maka perlahan-lahan rahasia takdir kehidupan akan mulai terkuak. Insya Allah.

Amsterdam, Sabtu dini hari jam 1.38

No comments:

Post a Comment