Wednesday, April 29, 2020

Pernah mencoba berjalan dengan sepatu yang alasnya retak atau terlepas sebagian? Tentu tidak nyaman. Atau mencoba minum dari gelas yang retak. Tentu sulit, karena airnya akan keburu tumpah mengalir dari retakan yang ada. Dalam tradisi orang Jawa bahkan dianggap ‘pamali’ minum dari mulut gelas yang rusak.

Sesuatu yang retak dan pecah membuat apapun itu menjadi tidak berfungsi dengan baik. Gelas yang retak menjadi tidak berfungsi menampung air. Cermin yang retak bahkan pecah menjadi tidak berfungsi memantulkan bayangan dengan baik. Kacamata yang retak menjadi agak buram penglihatannya.
Lalu bagaimana dengan diri kita yang retak dan belum menyatu? Pikiran ingin A tapi hati ingin C, sedangkan keadaannya lain juga. Tidak harmoni antara pikiran, perasaan dan keadaan. Inginnya menjadi hamba Allah dan masuk ke surga-Nya, tapi diri masih dikuasai hawa nafsu dan syahwat. Badan terseok-seok menjalani rutinitas harian sementara hati inginnya berada di dalam keadaan lain.  Mulut boleh tersenyum atau wajah dibuat ceria, tapi tatapan mata yang kosong tidak bisa dibuat-buat dan hati yang hampa tidak bisa disembuhkan oleh polesan dunia apapun. Karena hati dicipta sebagai Baitullah, rumah Allah.

Selama hati masih mendua, mencintai Allah juga mencintai dunia. Kita masih terpecah pada hakikatnya. Belum fokus. Dan belum layak menampung air anugerah-Nya.
Melekatkan sesuatu yang pecah itu di dalam diri itu hanya bisa dilakukan oleh Sang Pencipta. Yang kita bisa lakukan sebagai ikhtiar seorang hamba adalah mendekatkan semua serpihannya. Tapi tak ada satu makhluk pun di dunia, tak ada satu kursus pun dan tidak ada pendidikan apapun yang mampu merekatkan dengan erat serpihan-serpihan diri. Padahal ikhtiarnya sangat bisa untuk dilakukan, yaitu melalui shalat yang baik.

Dalam shalat kita dilatih untuk menyatukan semua elemen tubuh, pikiran, perasaan, beserta seluruh sel yang ada. Itu adalah sebuah proses pentauhidan diri yang penting. Oleh karenanya kekhusyukan di dalam shalat akan tercermin dalam perilaku di luar shalat. Jika dalam shalat pikiran masih kabur kemana-mana. Maka jangan aneh kalau kita masih kesulitan mengontrol perasaan. Masih mudah terbawa emosi dan rapuh dipaparkan oleh dinamika dunia.

Kuncinya di dalam shalat. Selama shalat kita berantakan, maka jangan berharap diri dan kehidupan kita akan rapi. Kalaupun merasa hidup baik-baik saja seperti tidak ada masalah, itu pun hanya fatamorgana. Hanya menunggu waktu bom waktu kerapuhan diri akan terkuak. Pecahnya diri akan juga mendatangkan penyakit, baik itu secara psikologis ataupun fisik. Karena retakan-retakan yang belum menyatu akan saling menggesek satu sama lain. Seperti kalau kita berjalan dengan sepatu yang retak tadi. Tidak nyaman dan hanya menunggu waktu kaki kita sakit. Padahal solusinya dekat sekali. Karena Allah Maha Dekat, dan Dia yang sanggup memperbaiki apa-apa yang pecah.

When there is a will there’s a way.

Tuesday, April 28, 2020


Mendekat kepada Allah itu tidak bisa ngoyo.

Sama sekali tidak bisa dengan mencampakkan dunia kita.


Sebagai ibu yang pernah mengasuh dua anak balita yang berbeda usia 2 tahun. Saya mengalami jatuh bangun dalam membangun ketaatan saya kepada-Nya. Satu sisi saya ingin shalat dengan baik, tepat waktu, bisa dzikir dengan tenang dll. Hal yang masih relatif mudah saat anak-anak masih bayi dan banyak tertidur di dalam ranjang bayinya. Tapi ketika mereka mulai merangkak, belajar berjalan dll maka sangat sulit. Kita hilang sebentar dari penglihatan mereka untuk wudhu saja, mereka sudah menangis. Kadang akhirnya untuk mengejar awal waktu shalat, saya shalat sambil menggendong dan menenangkan mereka. 


Repot memang, tapi anehnya justru itulah anak tangganya ternyata. Karena beberapa kali saya mencoba “memotong jalan” dengan cara menyewa baby sitter dengan ide agar saya lebih tenang beribadah lalu saat itu mengejar deadline menulis terjemahan buku. Tapi apa yang terjadi, dzikir saya malah terasa hambar dan ide-ide untuk menulis jadi tersendat-sendat jalannya.


Sebaliknya, kalau saya beres mengurus anak-anak walau sampai kelelahan tertidur di atas sajadah. Tapi justru di saat itu entah kenapa dzikir yang dipanjatkan menjadi sangat menyentuh hingga alas sajadah saya ditetesi banyak air mata. Nikmat sekali merasakan Dia dekat. Bahkan pernah suatu saat anugerah terbesar dalam meneruskan terjemahan Kitab Nabi Idris di saat itu -  turun saat jelang shubuh ketika saya tertidur semalaman di kursi rumah sakit sambil menggendong Rumi, anak bungsu saya yang sakit sesak hingga diopname di rumah sakit.


Sejak saat itu saya mulai paham bahwa jalan menuju kepada-Nya hanya melalui anak-anak tangga yang Dia berikan dalam kehidupan kita. Suami yang itu, anak yang itu, orang tua yang itu, keadaan yang itu, kesehatan yang itu dan semuanya. Sungguh sesuatu yang dekat dan melingkupi kita. Bukan hal yang jauh dari jangkauan dan tidak nyata. 


Dalam sejarah kita juga mengetahui bahwa tindakan-tindakan memuliakan tamu-tamu Allah yang dihadirkan dalam kehidupan masing-masing itu justru malah sesuatu yang efektif mendapatkan perhatian dan pertolongan-Nya. Misal seorang Tirmidzi muda yang menahan hasrat tinggi untuk mengembara dan mencari ilmu seperti teman-temannya demi mengurus ibunya yang sakit-sakitan. Kemudian Allah balas dengan mengirim guru privat. Tidak tanggung-tanggung, setingkat Nabi, yaitu Khidir as.  


Lalu seorang yang sudah menabung sekian lama untuk berhaji, pada saat ia akan berangkat haji kemudian mengurungkan niatnya dan malah memberikan seluruh tabungan hajinya untuk menolong keluarga yang kelaparan. Tapi kemudian dalam riwayat malah dikabarkan bahwa dari semua jamaah yang berhaji saat itu dikatakan hanya amalan haji orang ini yang diterima, padahal beliau sama sekali tidak pergi haji. Tapi niat untuk berhajinya telah sampai dan diterima Allah. Indah sekali.


Demikianlah beragama. Mencari jalan yang dimudahkan dan merahmati semestanya. Tidak ngoyo. Dan harus work with the flow. God’s flow, not ours.
Seorang hamba bertanya kepada Tuhannya.
"Wahai Tuhan, ibadah khusus macam apa yang bisa kupersembahkan untuk-Mu?"

Kemudian sebuah suara di bathinnya berkata,

"Jawabannya ada pada dirimu.

Jika engkau menggenggam pena, maka menulislah.

Jika tenagamu dibuat berlimpah, maka beraktivitaslah membantu orang.

Jika hartamu diberi melebihi kebutuhan keluargamu maka bagikan dengan yang membutuhkan.

Jika suaramu dibuat merdu, maka senandungkanlah puji-pujian untuk-Nya.

Jika otakmu dibuat pintar di suatu bidang maka tekunilah hingga bisa berbuah untuk orang banyak.

Jika lidahmu dibuat jago dalam mencecap maka buatlah makanan yang bisa membuat orang senang.

Jika telingamu dingin untuk mendengar curhat orang, maka jadilah tempat curhat yang baik.

Perhatikanlah. Setiap orang dibekali dengan kemampuannya masing-masing. Kalaupun itu belum juga terbaca karena masih keruhnya hatimu oleh dunia dan takut kepada selain-Nya Maka setidaknya tahan dirimu untuk tidak menyakiti dan merugikan orang lain."


Sunday, April 26, 2020


Di balik setiap keinginanmu, Dia sudah menyediakan obyek-obyek yang hakiki.

Di balik setiap doamu, Dia akan mengabulkan dengan cara dan waktu yang telah ditetapkan.

Di balik ucap terima kasihmu, Dia senantiasa menjawab, "sama-sama..."🥰*

*Allah adalah Dzat yang memiliki adab Maha Tinggi. Dia yang senantiasa menghadapkan seluruh wajah-Nya kepada ciptaan. Tak berkedip sekejap pun.
Dia yang menjawab di setiap panggilan kita "ya Allah..." dengan "Aku disini..." (I'm at your service)

Ahad, 3 Ramadhan 1441 H
Ba'da dhuhaa.
26 April 2020

Wednesday, April 22, 2020

Mengapa petunjuk-Nya seperti sulit untuk dibaca?
Membaca petunjuk “langit” itu bagaikan mempersepsi pola di langit melalui pantulannya di air danau.

Jika air danau keruh maka biru langit tak akan nampak. Begitu pun jika airnya beriak bayangan yang terpantul menjadi tak jelas.

Danau adalah lambang dada (shadr) kita. Semua kotoran hati seperti amarah, dendam kesumat, iri-dengki, kesombongan, riya, ingin dihormati dll bisa mengeruhkan cermin hati.
Kalaupun airnya bening sekalipun tapi masih bergetar dan belum teguh ketika menghadapi ujian hidup dan berbagai dinamika kehidupan. Maka bayangan tak akan dapat terbaca di permukaan air.

Jika airnya bening dan tenang sekalipun tapi mata yang seharusnya mempersepsi tidak bisa melihat atau buta, maka semua bayangan itu tentu seolah tak nampak. Di sisi lain, kalaupun matanya sehat tapi pikirannya “error”, alih-alih melihat pantulan bayangan di langit apa adanya dia malah terbuai oleh halusinasi dari pikirannya sendiri.

Demikian sulitnya membaca petunjuk Ilahiyah dengan benar. Agar tidak terperangkap dalam jebakan syaithan dan hawa nafsu yang dapat mengaburkan atau menyesatkan kita perlu mohon pertolongan Allah Ta’ala. Siapa tahu Dia kemudian mengirimkan seorang pembimbing dalam hidup kita yang bisa membantu membaca (iqra) petunjuk-petunjuk itu.

Monday, April 20, 2020

Seorang pencari Allah sejati tidak akan mengiba dikeluarkan dari sebuah situasi atau keadaan yang dia tidak sukai sebelum ia meraih hikmahnya. Karena seringkali sebuah masalah selesai begitu kita paham inti pengajaran yang Allah selipkan dibalik sesuatu.

Jika kita tidak menyukai sebuah takdir kehidupan. Sikap yang terbaik adalah tidak mengangan-angankan tentang situasi lain. Tapi mohonlah kepada Allah untuk dibukakan ilmu dan diberikan kemampuan untuk mengunyah dengan baik apapun yang tengah Dia hadirkan. Itulah sikap hamba yang bersyukur.🙏

Monday, April 13, 2020

Kenapa waktu shubuh adalah kunci untuk meraih rezeki di hari itu? Karena awal hari adalah titik penting yang menentukan ke arah mana hidup kita bergulir. Salah arah satu derajat saja maka kita akan berlabuh di pantai yang berbeda pada akhirnya.

Di awal waktu yang paling utama adalah menyadari diri ini fakir, tak paham tentang apa yang terbaik - jangankan untuk orang lain: anak, pasangan, pekerjaan  dll- bahkan yg terbaik utk diri sendiri saja masih sebatas kira2. Yang kemungkinan salahnya besar.

Tapi kita punya Allah. Yang Maha Tahu. Tempat bersandar yang Maha Kuat dan Paling bisa diandalkan.

Maka sebelum membuat perencanaan di hari ini. Sebelum mengeksekusi sekian niat dan keinginan. Bertanyalah dulu kepada-Nya dan mohon untuk diberikan inspirasi dan keinginan yang haq. Agar tertuntun dalam jalan kebenaran dan keselamatan.

Itu kunci rezeki dunia dan akhirat. Agar jangan kita lalai tentang bagian akhirat dan kurang cergas dalam menjalankan amanah dunia kita.

Allah Maha Dekat sahabat. Mintalah pada-Nya. Dan saksikan bagaimana Dia merespon permohonan kita di hari ini. One step at a time. One day at a time...

Saturday, April 11, 2020

Saya menduga kata "mati kutu" ada hubungannya dengan ungkapan yang muncul di literatur Amerika bagian Selatan di awal tahun 1900-an. Orang daerah Dallas misalkan biasa mendengar seseorang yang sangat lamban dikatakan sebagai, "It's like dead lice dripping off you." Segitu lambannya sampai diasosiasikan dengan kematian. Dan kutu itu parasit, dia hanya bisa hidup selama inangnya juga hidup. Dengan kata lain mati kutu adalah keadaan ketika tempat berpijaknya berakhir, kiamat. Musnah. Maka matilah pula ia.

Orang dalam keadaan mati kutu itu menggambarkan sebuah ketidakberdayaan yang mutlak. Sebagaimana kutu tak bisa hidup kecuali di atas badan jasad hidup, maka kehidupan kita pun sebenarnya ditopang oleh Yang Maha Hidup. Yang selama ini kita acuhkan. Yang selama ini kita persekutukan. Yang selama ini kita jarang memalingkan wajah kepada-Nya.

Dulu, ada di Mesir. Allah mempertontonkan sebuah peristiwa dahsyat ketika seluruh rakyat dibuat mati kutu oleh serangkaian peristiwa bencana alam. Kejadiannya diawali dengan deklarasi Fir'aun sang penguasa Mesir saat itu yang teriak dengan pongah , "Bukankah aku Tuhan seluruh alam?" Dan Sang Tuhan yang sejati kemudian "mengundurkan diri" dari beberapa fungsi pengaturan alam. Seakan berkata. Baik kalau kamu memang yang benar-benar mengatur alam. Maka Dia lepaskan satu persatu pengaturannya. Dan walhasil satu persatu wabah berdatangan. Mulai dari wabah yang dikira oleh para pakar saat itu sebagai gangguan keseimbangan ekosistem karena belalang, kutu dan katak bermunculan secara aneh.* Hingga wabah yang otak mereka sudah mentok habis untuk memikirkannya. Yaitu ketika air sungai dibuat menjadi darah. Doesn't make any senses isn't it?

Tapi hidup itu memang begitu. Sebagian besar malah "doesn't make any sense". Bukankah sering kita mendengar orang terkesiap melihat berbagai fenomena yang di luar nalar sambil berkata, "kok bisa ya?" Iya bisa. Karena banyak hal yang menopang kehidupan justru sesuatu yang tidak bisa kita persepsi. Makanya ciri orang taqwa adalah yang beriman kepada kegaiban. Bukan masalah percaya klenik. Itu mah dunia gelap. Tapi gaib artinya tak tertangkap oleh indera jasad. Akan tetapi ia bisa diraba oleh indera batin.

Dengan kata lain kegaiban melatih kita untuk mengasah indera yang lebih dalam. Seperti halnya kita dipaksa berpikir dalam dan strategis untuk menghadapi koronavirus yang menurut mata biasa kita "gaib". Dia hanya bisa dideteksi dengan alat dan metoda tertentu. Kehadiran makhluk "gaib" ini sontak membuat dunia lumpuh. Tapi sebagaimana kegelapan yang hadir agar kita bisa mengenal terang. Maka ketidakberdayaan yang syariatnya dikondisikan melalui kehadiran makhluk Tuhan yang mulia ini ada agar potensi batiniyah kita melejit. Agar kita tidak mati kutu dibuatnya. Semoga...

*Maka Kami kirimkan kepada mereka topan, belalang, kutu, katak dan darah (air minum berubah menjadi darah) sebagai bukti-bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa.

QS Al A'raaf : 133

Orang yang mengimani Al Qur’an akan menjadikan ia menyatu dalam setiap nafas hidupnya. Artinya Al Qur’an bukan hanya kitab yang dibaca di saat-saat tertentu tanpa paham artinya apalagi untuk diamalkan dalam keseharian. Jangan sampai kitab Al Qur’an hanya sebagai pajangan di rumah tanpa diraup manfaatnya. 


Jika kita beriman kepada Hari Akhir, maka ketahuilah bahwa syafaat tertinggi itu diberikan oleh Al Qur’an. Dia juga yang akan menemani dan menyinari alam kubur seseorang yang sejak di dunia ini memang sudah berikhtiar untuk mengakrabkan diri dengannya. Bukan saja sekadar membaca atau menghafal –walaupun itu sudah bagus. Tapi lebih bermanfaat lagi jika seluruh panduan Al Qur’an dalam kehidupan kita amalkan dalam keseharian.


Misal dalam mengadapi kesulitan suasana di tengah wabah seperti ini, bagaimana kita mengimplementasikan firman Allah Ta’ala, “..jadikan sabar dan shalat sebagai penolongmu” (QS Al Baqarah : 153). Saat kita di tengah kebingungan, saat didera oleh sakit, ketika kesempitan terasa mencekik. Jangan panik dan emosi, coba tarik nafas dan sabar. Lalu berwudhulah dan serahkan semua permasalah hidup ke dalam pengaturan-Nya. Satu ayat saja dulu dilakukan. Sabar dulu lalu ikuti dengan shalat. Lalu sabar juga sambil menunggu hasil dan jalan keluar yang Allah mudahkan. Sambil menunggu dengan mengisi shalat-shalat sunnah yang lebih dari biasanya.


Sabar dan shalat. Lalu sabar dan shalat. Dan bersabarlah kemudian dirikan shalat. Jadikan itu sebagai sebuah kebiasaan dan lama-kelamaan akan menjadi karakter kita jika dalam menghadapi sesuatu. Bersamaan dengan itu. Perhatikan bagaimana Allah mengubah kehidupan kita dan melapangkannya dengan cara yang luar biasa. 


Satu ayat amalkan. Lalu lihat bagaimana ia mengubah kehidupan kita. Semoga ayat itu menjadi syafaat di dunia dan akhirat. Kemudian lanjutkan dengan ayat lainnya. Perlahan tapi pasti hingga seluruh detak kehidupan kita dihiasi dengan cahaya Al Qur’an. Aamiin.


Thursday, April 9, 2020

Hidup itu bagaikan denyut jantung. Ia memiliki irama dan masing-masing irama memiliki fungsinya tersendiri. Untuk bisa berfungsi dengan baik, jantung harus mengosongkan dirinya terlebih dahulu agar darah bisa mengalir masuk ke dalam billik-biliknya untuk kemudian diteruskan ke tempat-tempat peruntukannya. Dan ia harus terus berdenyut. Jantung tidak menahan isinya. Ia terus mengalirkan.

Kita pun harus punya saat ketika diri dikosongkan. Kosong sesaat dari rencana masa depan. Kosong sesaat dari keinginan yang selalu menggunung. Kosong sesaat dari hawa nafsu dan syahwat yang senantiasa menggurita.

Tidak mudah untuk bisa “kosong” itu. Maka Allah bantu dengan “dikosongkan” kehidupannya. Apa-apa yang terlampau menyibukkannya tiba-tiba diambil. Bisnis dibuat bangkrut. Rumah tangga dibuat bermasalah. Anak dibuat berulah. Dia tak pernah kehabisan akal untuk menurunkan “rencana pengososngan” kepada milyaran manusia sedunia. Dan setiap orang dibimbing dengan jalan yang unik. Disesuaikan dengan kapasitas dirinya masing-masing. Karena Allah tidak pernah menzalimi ciptaan-Nya.

Tubuh kita akan sehat jika jantung berdenyut dalam ritme normalnya. Jika terlalu lama kontraksi atau terlalu lama relaksasi bisa biru wajah kita dibuatnya, bahkan mati. Hidup juga begitu. Berjalan saja. Berdenyutlah mengikuti ketukan irama semesta. Ada saatnya kita memberi dan ada saatnya kita menerima. Ada saatnya kita di tengah keramaian dan ada kalanya kita harus mendera sepi. Ada saatnya kita dalam kecukupan dan ada masa dimana kita dalam kesempitan. Apapun itu, terima saja dengan suka cita. Berdenyutlah. Jangan terlalu tegang tapi jangan pula terlalu relaks. Semua harus dalam keseimbangan yang baik.

Bicara tentang keseimbangan ini. Kalau boleh jujur kita sebenarnya tidak tahu bagaimana membuat keseimbangan dalam kehidupan kalau Dia tidak menuntun. Bukankan hawa nafsu kita cenderung tergesa-gesa dan cenderung sesat jalannya? Maka keseimbangan kita raih dengan mengikuti denyut Ilahiyah yang disetel dalam ritme shalat. Setidaknya, sekuat mungkin jaga awal waktu shalat. Karena itu adalah hal yang paling Dia cintai. Dia ada disana. Right on time. Saat adzan bergema. Itulah shiraathal mustaqiim yang kita minta agar ditunjukkan setiap hari itu. Yang lain belum tentu dapat. Setidaknya di awal waktu shalat. Kejarlah!


Tuesday, April 7, 2020

Dalam shalat bara'ah, shalat saat nisyfu sya'ban itu ada dua penekanan utama. Pertama, banyak-banyak minta ampun juga minta maaf terhadap sesama. Kedua, perbanyak membaca surat al ikhlas.

Kata "ikhlas" ini dahsyat, karena ketika Rasulullah SAW bertanya kepada Jibril as, sang malaikat muqarrabuun pun tidak bisa menjawab dan malah bertanya kembali kepada Allah yang dijawab oleh Allah kira-kira begini,

"Ikhlas adalah rahasia antara Aku dan hamba-Ku."

Momen nisyfu sya'ban ini melalui shalat bara'ah kita diajak untuk bercermin ke dalam hati meneropong keikhlasan kita. Tak heran surat al ikhlas digaungkan sampai 500 sampai 1000 kali, tergantung riwayatnya. Mari kita lihat sekali lagi terjemahan surat yang mulia tersebut:

Katakan, Huwa (Dia)lah Allah yang Ahad.
Allah tempat meminta segala sesuatu.
Tidak beranak dan tidak dipernakkan.
Dan tak ada sesuatu yanh setara dengan Dia

Momen yang pas untuk kontemplasi dalam di tengah pandemi koronavirus ini. Ketika Dia mendemonstrasikan kekuasaan-Nya, satu jenis virus saja sudah membuat dunia guncang. Satu virus kecil dari alam dunia. Padahal bala tentara-Nya banyak yang lebih bisa mendatangkan kerusakan yang lebih dahsyat. Misal, dalam Kitab Nabi Idris kedua digambarkan ada malaikat ciptaan Allah yang besar sekali tubuhnya, demikian besar hingga ia bisa menelan bola dunia dalam satu kali telan.

Begitu banyak hal yang tidak kita tahu di alam raya ini sahabat. Apalagi kita terlalu tersibukkan oleh dunia. Tentang karir, tentang jodoh, tentang bisnis dll yang kita pikirkan siang dan malam dengan lupa menelusuri dari mana semua itu berasal dan kembali. Pun lalai meminta kepada Sang Sumber alam semesta, terkungkung oleh selubung gaji tetap, bonus pencapaian, dan skema ini-itu.

Dia yang demikian sabar kita acuhkan selama ini. Dia yang demikian menahan diri kita sekutukan. Dia yang meredam cemburu melihat kita berasyik-masuk dengan selain-Nya.

Kemudian, tiba-tiba satu ciptaan-Nya yang berserah diri dilepas. Merespon kezaliman manusia yang dikerjakan di luat batas yang dampaknya dirasakan oleh manusia sedunia. Rasulullah SAW mengatakan eabah bisa menjadi azab atau bisa menjadi rahmat bagi manusia. Dua-duanya sejatinya adalah sebuah kebaikan. Azab bersifat membersihkan dan rahmat bersifat perangkulan. Semuanya bertujuan satu agar kita kembali menghadapkan wajah sepenuhnya kepada-Nya. Agar bisa berkata dengan benar.
"Huwa Allah hu ahad."

Sunday, April 5, 2020


Sahabat-sahabat, ingat hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bagaimana setiap titik air hujan yang jatuh ke bumi dibawa oleh satu malaikat? Dunia ini SELURUHNYA berada dalam kendali Allah Sang Penguasa seluruh alam.

Adakah satu hal pun di dunia ini yang diluar kendalinya?

Tauhid kita mengatakan tidak ada.

Virus sekalipun patuh hanya mengerjakan perintah-Nya.

Seperti setiap titik hujan diperintahkan jatuh ke koordinat tertentu di bumi. Sang virus pun patuh hanya menimbulkan penyakit kepada mereka yang Allah kehendaki. Bukan berarti tidak perlu berikhtiar. Ikhtiar adalah salah satu adab dalam penjagaan diri. Tapi takut berlebihan pun tidak pada tempatnya.

Kalaupun seseorang Allah izinkan terkena virus, bahkan sampai itu yang mengantarkan ia pada ajalnya pun. Berarti memang sesuatu yang telah ditetapkan di Lauh Mahfuz. Jika ia bersabar menerima ujian ini maka rahmat-Nya akan dijelang.

Kita tengah menjelang sebuah perubahan besar di dunia ini. Kehidupan yang Allah jungkir balikkan melalui kehadiran makhluk-Nya yang kasat mata. Semata-mata untuk mengingatkan kita, yang betul-betul mencari-Nya untuk menghadapkan wajah hati kita sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Bukan setengah-setengah. Apalagi berpaling sama sekali. Semoga Allah menyelamatkan kita semua. Aamiin.


Saturday, April 4, 2020

Iman memerlukan dua pasang mata. Mata yang bisa melihat dan mata yang tak bisa melihat. Mata lahiriyah tidak bisa melihat iman, butuh mata batiniyah untuk melihatnya. Sebagaimana akal lahiriyah kesulitan untuk membaca kehendak-Nya, dibutuhkan akal jiwa untuk paham pengaturan takdir Ilahiyah. Sebagaimana selubung kelopak mata diperlukan untuk melindungi mata, maka kegelapan dunia diperlukan agar penglihatan kita tidak dibuat buta oleh intensitas cahaya yang terlalu terang. Orang bilang, “Take the leap of faith” Lompatan keimanan hanya berlaku saat hidup dihadapkan dengan kegaiban. Gaib akan jatah usia kita, gaib akan apakah kita bertemu jodoh kita di dunia ini atau nanti di alam lain, gaib akan bagaimana pertolongan Allah akan hadir di saat kesempitan hidup terasa mulai menyesakkan dada. Di saat-saat genting itulah jiwa tengah dipaparkan pada “Hari Raya”-nya. Ketika ia merasakan lagi dengan kesegaran yang tiada tara bagaimana pertolongan Allah datang di luar dugaan kita. Bagaimana kesempitan menjadi longgar karena hal yang tidak kita mengerti. Betapa kehidupan mudah diputarbalikkan oleh-Nya dalam sesaat. How fragile we are… Firman-Nya, “Aku bersama hati hamba-Ku yang remuk.” Remuk oleh ujian kehidupan. Remuk oleh kekecewaan. Remuk oleh kesedihan. Remuk seremuk-remuknya. Dan setelah itu Dia akan melekatkan kembali setiap pecahan hati. Dibentuk menjadi hati yang lebih baik. Hati yang lebih mengimani-Nya. Bukan mengimani tuhan-tuhan palsu. Raihlah kegaiban hari ini. Ketidaktahuan masa depan. Ketidakpastian hidup. Inilah jalan yang baik untuk pertumbuhan jiwa.[]