Thursday, November 22, 2018

“Gimana dong mbak pasangan saya jarang shalat, boro-boro ikut pengajian, lantas bagaimana seharusnya sikap saya?”
Pertanyaan semacam ini kerap saya jumpai tidak hanya bagi pasangan yang ada di Indonesia tapi lebih lagi beberapa orang yang menikah dengan orang luar negeri, mereka yang bersyahadat sebelum nikah akan tetapi seiring dengan waktu tidak menjalani ibadah ritual seperti laiknya seorang muslim.
Idealnya memang suami-istri bagaikan sepasang sayap yang kompak mengepakkan sayapnya mi’raj bersama menuju Allah. Namun ada beberap situasi yang memang keadaannya demikian apa adanya, sang pasangan memang belum diberi taufiq dan hidayah untuk berjalan menuju-Nya. Tapi Allah kan Maha Kuasa, buat Dia tidak perlu sepasang kepakan sayap untuk membawa seorang hamba yang merindukan-Nya naik ke cakrawala langit menjumpai-Nya. Dia bisa mengutus para malaikat seperti yang telah terjadi pada seorang nabi bernama Idris as.
“Ah tapi itu kan level nabi”
Lho, Rasulullah juga nabi tertinggi tapi bukan berarti jejak langkah dan akhlakul karimah yang dicontohkannya tidak dapat diikuti.
Selain itu perkataan “ah kita kan manusia biasa sedangkan mereka nabi” seolah mengerdilkan kemampuan Allah yang bisa melakukan apapun dengan “kun” maka jadilah.
Kembali ke persoalan pasangan diatas. Tugas kita bersikap baik terhadap sesama, apalagi pasangan yang sudah Allah takdirkan menikah. Ada skenario besar di balik itu yang kerap luput kita baca. Barangkali kalau bukan beliau yang mendapat hidayah, adalah keturunannya yang shalih yang mendapat hidayah himgga para keturunannya hingga level cucu bisa mendoakan orang tuanya. Kalaupun takdirnya tidak mendapatkan keturunan berupa anak, bisa jadi berkah Allah diturunkan melalui berbagai amal shalih yang dilakukan di bumi tempat kita berpijak masing-masing.
Apapun keadaannya, kita pantang mencampakkan takdir hidup yang Allah sudah turunkan per saat ini. Pamali. Makan saja dengan baik semua hidangan dari langit, walaupun hawa nafsu meronta dan meminta hidangan lain yang sesuai keinginannya. Ingat adab Rasulullah dalam menyantap makanan, beliau hanya mengambil makanan yang ada dalam jangkauan tangannya. Tidak memaksakan diri mengambil makanan yang jauh. Itu adab. Etika dalam berkehidupan. Apa yang ada di kehidupan kita saat ini adalah makanan-makanan yang menyehatkan jiwa. Percayalah pada Dia yang mengirim itu semua. Jangan ngoyo menginginkan sesuatu yang tidak ada di hadapan kita, itu bisa melemahkan jiwa dan membuat kita tidak mensyukuri rezeki yang ada. Malah sepatutnya kita bersyukur masih diberi makanan…

(Amsterdam, 22 Nov 2018 di musim gugur yang makin dingin - temperature feeling 0 derajat Celcius)

Sunday, November 18, 2018

"Wah hebat dia sekarang sudah jadi CEO di PT. Sukses Banget!"
"Keren ya sudah berhasil dia punya lima perusahaan berhasil!"
"Luar biasa ibu itu sukses mengurus anak, semuanya jadi 'orang'"
Masyarakat umumnya mengaitkan definisi sukses dengan pencapaian duniawi. Yang namaya sukses itu kalau sudah punya ini-itu, mencapai ini-itu, melakukan ini-itu. Wajar saja, kebanyakan perlu dihibur dan berpengharapan dengan melihat bukti yang nyata. Tapi kalau hal itu dijadikan satu-satunya parameter ya repot. Karena secara logika dalam perusahaan tidak semua bisa jadi CEO, dalam bisnis tidak semua yang meroket. Hukum dunia mengenal piramida rezeki, seperti halnya rantai makanan di alam, ada yang lemah dan ada yang kuat yang jumlahnya lebih banyak. Oleh karenanya orang yang berkemampuan lebih berfungsi untuk menebarkan kemampuannya, apapun itu, baik berbentuk materi atau non material, kepada mereka yang berkekurangan. Demikianlah dunia dicipta dalam harmoni untuk saling berbagi dalam kasih sayang.
Semua memiliki perannya masing-masing. Oleh karenanya menjadi sangat penting untuk terlebih dahulu mengenali peran yang Gusti Allah berikan sebelum terburu-buru naik pentas dan memakai kostum yang salah serta memerankan skenario orang lain, pasti tidak pas, kalaupun dipaksakan bernyanyi pasti fals.
Negeri ini hanya akan makmur jika setiap orang tidak mengkhianati perannya masing-masing. Yang petani bertanilah dengan rajin, yang pedagang berdaganglah dengan jujur, yang politisi berkiprahlah dengan adil, yang penulis menulislah dengan hati, yang kerja di kantor bekerjalah dengan rajin, yang mengurus anak rawatlah dengan cinta. Tidak ada manusia yang tidak memiliki peran. Jangan tertipu oleh pandangan "peran besar atau kecil", itu hanya kepicikan hawa nafsu. Pahami bahwa setiap peran bernilai besar jika dilakukan dengan ikhlas. Ganjaran utuhnya memang baru terlihat nanti, sebagian di alam barzakh dan sebagian di alam akhirat, walaupun ada sebagian yang sudah bisa mencicipi manisnya karunia itu yang berjejak di kehidupan dunia. Baru nanti di alam ketika tirai dunia diturunkan terlihat siapa-siapa yang sukses memerankan peran yang diembannya masing-masing. Dan itulah kesuksesan yang sejati...

Hadirnya khazanah Langit mensyaratkan pengeringan di tingkat bumi.
Sang Maha Pemberi hanya akan melimpahkan anugerah-Nya kepada tangan yang membuka ke langit.
Suasana fakir membuat beda potensial langit dan bumi berada pada titik optimal.
Karena yang turun adalah anugerah-Nya yang suci, yang mengubah makna sebutir debu menjadi intan bernilai tinggi.
Kehadiran bayi yang mulia, Muhammad saw, disimpan di keluarga termiskin di sukunya,
Yang menyusuinya pun keluarga yang termiskin di kabilahnya,
Tapi bayi yang membawa khazanah langit membuka pintu keberkahan buminya.
Susu sang Halimah yang surut tiba-tiba mengalir deras, ternak yang kering susu tiba-tiba mengeluarkan air susu yang berlimpah, padang yang gersang berubah menjadi oase yang sejuk dan subur.
Ada kunci terbukanya khazanah Ilahiyah dibalik kemiskinan dan kekurangan.
Miskin tak selalu berarti kekurangan harta, kadang seseorang dimiskinkan pergaulannya, dibuat sepi hatinya, dibuat bingung mengambil keputusan, didera rasa frustasi dengan keadaannya, dilepas dari hal-hal yang pernah membuatnya bahagia, apapun yang menarik seseorang hingga jatuh dalam kondisi fakir, mutlak membutuhkan pertolongan Allah. Itulah saat bumi dikeringkan. Tinggal sabar menunggu hujan dari langit, ketimbang sibuk menggali sumur di padang pasir atau menunggu kabilah lain datang membawa air yang belum tentu kapan datangnya.
Sumber air kita masing-masing begitu dekat, di atas kepala kita masing-masing. Kepala yang sama yang lebih sering menunduk ke bawah mencari “harta karun” dibanding menengadah ke langit meminta hujan bagi dirinya.
“Tapi aku sudah lelah menunggu dikabulnya doaku!”
“Aku sudah muak dengan keadaanku ini!”
“Aku sudah tak tahan lagi menanggung kesulitan hidup ini.”
Astaghfirullahaladziim...
Begitu lantangnya suara hawa nafsu yang bernuansa tak sabaran itu.
Baru diuji begitu saja sudah meraung-raung, padahal proses pengeringan diri yang dianggap menyakitkan itu adalah untuk kebaikan dirinya sendiri.
Karena agar tumbuh cepat sebiji benih harus dikeringkan sebelum ditanam.
Dia adalah Sang Penanam Terbaik,
paling tahu cara menumbuhkan benih yang ada dalam diri seseorang hingga akhirnya berbuah dan menyenangkan Sang Penanam.
Jauh memang jarak pengetahuan sebuah biji untuk memahami apa makna dijemur di bawah terik matahari dengan munculnya sebuah buah yang manis dan bisa dinikmati makhluk lain dan bijinya memungkinkan menumbuhkan buah lain. Ada sekian jenjang proses dari bertahan di sebuah proses pengeringan hingga masuk ke kegelapan tanah dan menumbuhkan pohon yang dahannya menjulang ke langit. Terlalu panjang untuk diterangkan dalam panjang bacaan selama tiga menit. Maka sabar saja. Pada saatnya semua akan menjadi terang.
Belajar dari kisah bayi mulia Muhammad saw yang ditakdirkan hadir di bumi yang serba kekurangan, akan tetapi berkah kesucian jiwanya bisa membuat suasana buminya berbalik seratus delapan puluh derajat. Sekarang, apa kebutuhan yang paling urgen saat ini, keinginan yang paling menghias doa di setiap malam atau yang mewarnai nuansa hati kita dari hari ke hari? Sebelum sibuk mencari solusi horizontal, menengadahlah dulu ke langit masing-masing, tempat jiwa kita berada. Disitu letak kunci-kunci perubahan kehidupan. Karena keadaan bumi diri kita baru berubah jika kita mengubah keadaan jiwa sendiri.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang ada di dalam anfus (jiwa-jiwa) mereka” QS Ar Ra’d:11

Di tempat kerja saya ada seorang kolega yang juteknya ga ketulungan. Pokoknya setiap kali ketemu dia pengennya cepat-cepat mlipir supaya berjauhan dengan energi negatifnya. Beliau kalau bicara ketus dan kerap melempar lirikan mata tajam yang bikin hati ciut. Saya bukan satu-satunya orang yang merasa hal seperti ini. Yang lain juga merasa demikian, pokoknya “stay away from her!”
Hingga suatu malam di acara makan malam bersama rekan kantor. Ndilalah bu jutek ini out of many places memilih duduk di hadapan saya. Saya coba melempar senyuman saat dia menarik kursi untuk duduk, dan seperti biasa beliau tidak pernah membalas senyum dan sapa saya. (Mengelus dada). Saya coba fokus saja dengan menu udang dan kepiting goreng nikmat yang ada. Sampai pada satu titik dimana dia coba selfie - mengambil foronya sendiri dan saya menawarkan diri untuk ambil beberapa foto dari berbagai sudut. Ternyata dia sangat suka difoto dan minta saya ambil beberapa foto lagi dan dia suka! Dan akhirnya sesi makan malam berubah diselingi sesi foto karena saya arahkan gaya dia bersama rekan lain untuk ambil beberapa gambar yang menarik. Saat itu suasana mulai mencair, dia berkisah banyak, tentang perjuangan hidupnya, tentang masa-masa getirnya. Saya jadi paham bahwa kemasaman wajah yang beliau tampakkan adalah residu dari perjuangannya melawan dirinya sendiri melalui ujian kehidupan.
Bukan sekali ini saya berinteraksi dengan orang yang sangat masam awalnya tapi kemudian jadi berkawan akrab setelah mereka membuka dirinya, dan selalu didahului dengan kita yang membuka diri dan menawarkan sesuatu kebaikan yang akhirnya mereka terima.
Ada kegetiran tersembunyi di balik perilaku tidak sopan dan menjengkelkan seseorang. Itu yang kadang kita luput melihatnya karena tersentak oleh aura sifat buruknya semata.
“Everybody fights their own battle, so be kind” begitu kata orang bijak.
Oh, dan mbak yang tadinya jutek itu setiap kali bertemu saya jadi super duper ramah dan mengembangkan senyum lebar. It’s amazing how things can change over a small favour of taking somebody else’s picture.

“Aku berkarya apa dong ya? Nulis kurang bakat. Berorganisasi gagap. Mau kesana-sini terbatas kemampuan dan waktunya...”
Saya bilang begini,
Tidak ada seorang manusia pun yang kosong dari potensi dan bakat,
Yang semua itu harus dialirkan agar semakin tumbuh jiwa dalam diri.
Kalau jiwa tumbuh, dia makin pintar,
Tidak mudah terombang-ambing oleh riak kehidupan,
Tidak mudah patah semangat,
Tidak gampang tersinggung,
Tidak bingung putung oleh kenyataan kehidupan.
Jiwa yang berakal selalu bisa melihat kebaikan bahkan yang terselip dalam sebuah tragedi sekalipun.
Karena Allah Ta’ala yang langsung mengajarinya.
Sekarang, jangan bermentalitas “saya tidak bisa apa-apa” atau “saya tidak punya bakat”. Hati-hati jangan membuat tersinggung Sang Maha Pencipta.
Bukankah kita masih hidup per saat ini?
Itu adalah modal utama
Karena mereka yang sudah habis masa pakai raganya sudah tak bisa beramal lagi. Bagi mereka adalah waktu menuai amalan yang telah mereka lakukan. Jika rajin beramal maka besar panennya, jika malas-malasan ya...semoga Allah mengampuni.
Sekarang lihat diri sendiri. Ragamu sudah dirawat baikkah? Sudah mandi bersih? Potong kuku seminggu sekali seperti yang disunnahkan Rasulullah?
Lihat sekitar, anak-anakmu sudah beres kau rawat? Pasanganmu sudah diberi haknya dengan baik? Lalu orang tuamu, sudahkah menyapa mereka? Juga adik dan kakak walau sekadar sapa melalui whatsapp. Belum terhitung tetanggamu, rekan kerjamu. Semua punya haknya masing-masing. Juga termasuk mejamu yang sudah berdebu, wc rumahmu yang berjamur, tanaman di kebun yang sudah berhari-hari tak diairi. Semua itu adalah apa-apa yang Dia hadirkan dalam semestamu. Disitulah kau harus berkarya.
Jangan terpaku pada bentuk kekaryaan monumental seperti membuat proyek, membuat buku, bicara sana-sini, membuat mesjid dll. Silakan lakukan jika memang Allah memudahkan langkahmu ke sana. Tapi jangan persempit makna sebuah kekaryaan sebagai sesuatu yang harus diakui orang dan mendapat jempol dan decak kagum orang banyak. Itu ilusi. Anak tangga kekaryaan kita masing-masing ada di kehidupan yang tengah kita pijak saat ini. Tak perlu jauh-jauh. Dan yang menentukan nilai sebuah karya hanya keikhlasan hati kita masing-masing saat menjalaninya.
So let’s get back to work!
Mari kita bangun tangga menuju Allah dari dunia kita hari ini

Sunday, November 11, 2018

Ada rahasia di waktu malam,
Kehidupan langit lebih sibuk dibanding siang hari,
Lima belas berbanding seribu*,
Demikian perbandingan kesibukan para malaikat yang diutus di siang dan malam hari.
Waktu malam adalah waktu yang dinanti oleh para pecinta sejati
Mereka yang menjauhkan lambung dari tempat tidurnya**,
Saat mata jasad harus diistirahatkan sesaat, mata jiwa memiliki kebutuhan lain,
Menanti Sang Kekasih yang makin mendekat*** di sepertiga malam terakhir,
Inilah saat yang dinantikan
“Bohong!” Kata Sang Kekasih. “Mereka yang mengaku mencintai-Ku akan tetapi terlelap pada saat ini.”

* Pada siang hari, lima belas miriad malaikat berjaga, dan di malam hari seribu miriad malaikat menjaganya. (Kitab Nabi Idris (2). Ayat 12)
** “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedangkan mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap.”(QS As Sajadah: 16)
*** “Keadaan paling dekat seorang hamba dengan Rabbnya adalah di tengah malam terakhir. Jika engkau bisa menjadi bagian dari orang yang berdzikrullah ketika itu, lakukanlah.”(HR Tirmidzi)

(Amsterdam, 11 November 2018. Menuai inspirasi saat menerjemahkan Kitab Nabi Idris (2))

Saturday, November 10, 2018


SEKILAS TENTANG NABI DANIEL AS

Ketika pasukan yang dipimpin oleh Abu Musa Al Asy’ari berhasil melumpuhkan istana Iskandariyah, para tentara menemukan sebuah tempat tersembunyi yang dikunci dengan gembok besi. Kemudian mereka membukanya dan menemukan sebuah tempat tidur yang diatasnya terdapat sesosok jenazah yang di atas kepalanya terdapat sebuah kitab. Anehnya kitab tersebut dalam bahasa Arab, bahasa orang yang pertama kali membacanya.

Jenazah itu adalah jenazah Nabi Daniel. Abu Aliyah dikutip oleh Ibnu Katsir mengatakan bahwa “Sesungguhnya daging para nabi itu tidak akan dihancurkan oleh bumi dan tidak juga dimakan oleh binatang buas.”

Nama Nabi Daniel memang tidak tercantum dalam Al Quran. Akan tetapi beliau adalah seorang nabi yang pernah berdoa kepada Allah agar dikuburkan oleh umat Muhammad. Menggambarkan pengetahuannya akan ketinggian derajat seorang Rasulullah saw, hingga menyatakan cukup dikubur oleh tangan mulia umatnya saja.

Rasulullah saw pernah menyebut namanya suatu ketika, “Barangsiapa yang menunjukkan Danial (Daniel) maka sampaikanlah berita gembira berupa surga baginya.”

Dan yang menemukan jenazah beliau adalah seseorang bernama Harqush. Lalu Abu Musa Al Asy’ari mengirimkan surat kepada Umar bin Khaththab untuk menyampaikan penemuan  ini. Maka Umar membalasnya dengan menuliskan: “Kuburkanlah ia dan kirimkan utusan kepada Hirqus bahwa Nabi shallalahu ‘alaihi wassalaam menyampaikan kepadanya berita gembira berupa surga.” Adapun jawaban Umar tentang bejana berisi lemak daging yang ditemukan di sisi sang nabi adalah, “kirimkan sebagiannya kepada kami dan perintahkanlah kaum muslimin yang ada bersamamu untuk menyembuhkan penyakit dengannya.”

Diriwayatkan bahwa Abu Musa menyuruh para tawanan untuk membendung sebuah sungai dan menguburkan jenazah Nabi Daniel as disana dan tidak ada yang mengetahui hal tersebut kecuali beliau.

Demikianlah sepenggal kisah Nabi Daniel, nama yang berarti “Tuhan adalah hakimku.”                             

(Referensi: Ibnu Katsir. Kisah Para Nabi)

Ada sebuah tempat di surga yang sangat indah.

Tempat itu dipersiapkan bagi mereka yang bersabar menjalani ujian kehidupan,

Melalui sakit yang harus didera,

Perih hati yang harus dibasuh,

Penantian lama yang kadang terasa tak berujung,

Kesulitan menyambung kehidupan dari hari ke hari.

Tapi para penghuni tempat ini melalui semua itu dengan hati yang bernyanyi,

Seperti para malaikat di sekitar Rabb yang senantiasa menyenandungkan lagu

Dalam pengabdiannya kepada Sang Penguasa Kehidupan.

Badan boleh hancur,

Hidup boleh berbolak-balik,

Kepala bisa jadi kaki-kaki jadi kepala,

Tapi hati,

Hati sang hamba tetap tersucikan untuk-Nya,

Tak ternoda oleh jejak usang dunia,

Tak terkontaminasi oleh hawa alam fana.

Setiap orang harus belajar menahan rasa sakitnya,

Karena hanya melalui itu sang jiwa akan tumbuh dan mengenal-Nya

Dia Sang Sumber Kebahagiaan.



-          Terinspirasi dari Kitab Nabi Idris – buku kedua- ayat 9
Amsterdam, 10 November 2018. Sabtu siang hari 14.27 yag hening, saat anak-anak diajak papanya berlibur ke Groningen :)
Tauhid itu jangan sekadar menjadi ilmu di pikiran kita.
Mengaku bahwa Tuhan itu Ahad,
Meyakini secara lisan bahwa tidak ada yang tercipta tanpa kehendak-Nya,

Tapi kenyataannya begitu kita ditimpa kekurangan rezeki, musibah, penyakit, kehilangan, ujian, huru-hara, dan sekian banyak masalah baik dalam rumah tangga, keluarga, kantor atau di lingkungan sekitar, kita tidak pernah melihat itu semua sebagai yang Allah izinkan, tidak pernah melihat itu sebagai sesuatu yang Allah kehendaki.
Dan kita tidak bersabar hingga akhirnya menyalahkan ini-itu.
Kenyataannya kita belum bertauhid secara ahwal (keadaan), baru di lisan saja…

( Adaptasi dari kajian hikmah Al Quran yang disampaikan oleh Zamzam AJT, 26 Maret 2005)

Wednesday, November 7, 2018

Sekilas kulihat seorang ibu bermain dengan anak balitanya di taman bermain,

Sang anak minta ayunannya didorong entah keberapa puluh atau ratus kalinya.

Tiba-tiba sekilas rasa rindu menghunjam tak disangka,
Baru kemarin sepertinya menemani anak-anak bermain setiap hari di taman,

Menemani langkah-langkah kecilnya yang tertatih-tatih di sepanjang trotoar,
Suddenly i missed my little men.
Well, it’s not thay they are already a grown up now 😊
Yang satu masih empat tahun – masih hitungan balita,
Si kakaknya sudah merayakan enam ulang tahun dan sedang asyik belajar membaca.
Tapi keduanya sudah mulai sekolah penuh waktu, senin sampai jumat, pagi sampai sore.

Lucunya jadi ibu, kadang kita ingin agar anak-anak cepat sekolah agar kita punya lebih banyak waktu luang, tapi saat mereka sekolah kita merindukannya.
Kadang ketika liburan sekolah usai, semangat kita ingin membawa mereka kembali ke sekolah, you know what they said about school vacation, it’s pretty much like a bootcamp for mamas. Makanya banyak orang tua berseloroh, “Kita perlu liburan setelah liburan sekolah”. Tapi saat mengantar si kecil ke kelasnya masing-masing dan berucap selamat tinggal, somehow kita masih cari cara mengintip kegiatan mereka dan melakukan “goodbye ritual” yang cukup panjang.

Phew…parenthood, is really a roller coaster 😊
Senang dan capenya itu terasa lahir-batin. Kita bisa dibuat sangat bahagia dan penuh cinta dan di sisi lain jika ada emosi negatif yang muncul, kita bisa dibuat lelah tak terkira. Karena anak bagaimanapun adalah bagian dari diri kita. Secara jiwa memang tidak saling berkaitan, karena jiwa tidak dilahirkan melalui jiwa lain. Akan tetapi ikatan darah adalah sebuah ikatan takdir yang melingkupi kehidupan seseorang. Kita tidak bisa memilih mau memiliki anak yang seperti apa, seperti halnya kita tidak bisa memilih dari orang tua mana kita dilahirkan. Ada sekian banyak rahasia Ilahiyah yang ada di sana dan hikmah yang melimpah.

Melihat sang ibu bermain bersama anaknya. Aku jadi ingat saat hati banyak mengeluh saat lelah mengurus anak-anak dan tak jarang terlontar kata “Kapan kamu gedenya nak?” Nah, sekarang kena batunya. Setiap saat yang ada adalah yang terbaik, dengan tempo terbaik, dan ritme yang paling pas untuk kita masing-masing. Malu aku ya Allah. Mohon maaf atas banyaknya sampah keluhan yang kukeluarkan baik secara lisan, apalagi yang batin. Padahal Engkau selalu memberi yang terbaik. Adalah hamba yang kerap luput melihat kebaikan yang ada karena hawa nafsu dan kurang bersyukur.

Terima kasih telah mengirimkan pesan indah kepadaku siang ini.
Melalui sang ibu dan anaknya yang bermain ayunan.
Aku ingin melayani-Mu dengan lebih baik lagi.
Dengan apapun yang Engkau amanahkan kepadaku per saat ini. Insya Allah.

- Amsterdam, 7 November 2018
Jelang jemput anak-anak dari sekolah di Rabu siang.