Friday, November 29, 2019

CHASING SHADOWS Kita paham sebuah metafora yang disebut "mengejar bayang-bayang". Yaitu sebuah pekerjaan yang sia-sia, karena bayang-bayang akan selalu terbentuk menjauhi obyek aslinya dan ia bukan material yang sesungguhnya, melainkan sebuah gambaran yang nampak ketika sumber cahaya menerpa obyek yang tak tembus cahaya. Tapi tidak sedikit orang yang terperangkap oleh bayang-bayang yang berasal dari waham pikirannya sendiri. Bayang-bayang kebahagiaan versi pikiran yang berkata, "Kalau kau menikah dengan dia pasti hidupmu bahagia" Lalu setelah menikah, setelah masa bulan madu usia dan masing-masing dipaparkan dengan realitas yang ada. Kebahagiaan yang dia bayangkan ternyata mulai terasa asam buat seleranya. Lalu si waham berkata lagi, "Barangkali kalau punya anak akan semakin mempererat ikatan rumah tangga dan menambah ceria suasana" Tapi kemudian setelah hadir momongan, hidup makin repot dan masing-masing terkapar lelah alih-alih membawa kebahagiaan yang dia bayangkan. Tak berhenti disitu, si waham akan terus menghembuskan ide baru. "Barangkali kalau punya gaji sekian kamu akan lebih tenang hidup. Atau, batang kali kalau pindah rumah di kompleks elit itu akan lebih aman. Oh, tunggu barangkali kalau menyekolahkan anak di sekolah mahal itu pendidikannya akan lebih terjamin. Atau...bagaimana kalau..." si waham tak akan pernah berhenti memberi masukan sepanjang kita hidup. Perhatikan karakteristik waham, dia akan selalu memberi arahan untuk mengejar sesuatu yang belum ada saat ini. Di satu sisi itu adalah sebuah daya dorong yang bagus agar ada "drive" untuk melakukan sesuatu. Tapi jika semua perkataannya kita ikuti, sungguh kita telah terjebak pada sebuah permainan mengejar bayangan. Sebuah ilusi yang mengatakan bahwa objek-objek kebahagiaan terletak di luar dunia hari ini kita. Sedemikian rupa hingga itu harus dikejar seumur hidup. Maklum, waham dilahirkan di dunia ilusi. Sejak kecil ia hanya tahu bayang-bayang sebagai obyek yang nyata. Seperti kisah yang dipaparkan oleh Platon dalam buku Politeia, yang ringkasannya sebagai berikut: "Ada sebuah gua, di mana ada beberapa tawanan yang diikat menghadap ke dinding belakang gua. Mereka sudah berada di sana seumur hidup dan tidak bisa melihat ke mana-mana, hanya bisa melihat ke depan saja. Akan tetapi mereka bisa melihat bayang-bayangan orang di dinding belakang gua. Bayang-bayangan ini disebabkan oleh sebuah api yang berkobar di depan, di lubang masuk ke gua ini dan orang-orang di luar gua yang berjalan berlalu lalang. Para tawanan bisa melihat bayang-bayangan orang ini dan suara-suara mereka yang menggema di dalam gua. Maka pada suatu hari, salah seorang tawanan dilepas dan dipaksa keluar. Ia disuruh melihat sumber dari bayangan ini semua. Akan tetapi api membuat matanya silau, ia lebih suka melihat bayangannya. Lama kelamaan ia bisa melihat api dan lalu ia mulai terbiasa dan melihat orang-orang yang lalu lalang. Kemudian ia keluar dari gua dan melihat matahari dan banyak objek lain yang sebelumnya hanya sedikit bayangannya yang terlihat seperti sungai, padang dan sebagainya. Lalu ia kembali ke gua lagi dan hal pertama yang dilakukannya adalah membebaskan kawan-kawannya. Akan tetapi kawan-kawannya akan marah karena hal ini akan mengganggu mereka. Akhirnya mereka bukannya terima kasih tetapi akan sangat marah dan membunuhnya." Dalam diri kita ada suara yang meneriakkan kebenaran yang kerap terkalahkan nyaringnya oleh suara waham. Suara kebenaran itu adalah dari-Nya yang menunjukkan jalan kebahagiaan yang hakiki. Sebuah kebahagiaan yang tak terikat oleh sebuah sebab, tak perlu dicapai oleh sebuah pengorbanan yang tak masuk akal, dan tak perlu dengan cara seperti mengejar bayangan. Kebahagiaan yang kita cari bukan terletak pada bonus atau uang proyek yang belum turun. Bukan pada momongan yang belum didapat. Bukan pada gelar yang belum diraih. Bukan pada hal ini dan itu yang masih belum mewujud. Kebahagiaan ada di setiap nafas kita. Sesuatu yang Dia turunkan dengan kadar-kadar yang tepat. Hanya jika sumber cahaya yang sesungguhnya belum kita kenali, maka akal kita hanya mengenal natur kebahagiaan itu berupa bayangan saja yang hitam dan kadang menakutkan. Karena ia bisa hadir menjadi sebuah kesakitan tertentu, penantian tertentu atau fenomena lain yang tentu tak diinginkan oleh hawa nafsu kita yang inginnya hidup nyaman saja. Maka Allah Ta'ala berfirman, “Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah yang paling mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:216)

Tuesday, November 26, 2019

"Tidak ada manusia yang sempurna". Kita sering dengar itu. Tentu saja tidak ada manusia yang sempurna tanpa "kesempurnaan" yang Dia Sang Pencipta sematkan kepada seorang insan. Karena bagaimana mungkin manusia, makhluk yang dulunya bahkan tak punya ruh, tak punya jiwa dan tak punya raga bisa mewujud menjadi sempurna tanpa hadirnya Kuasa Sang Maha Pencipta? But the good news is, Allah berkehendak menjadikan setiap kita sempurna. Hanya saja kita sering salah memahami makna sebuah kesempurnaan. Karenanya banyak yang terjebak oleh fatamorgana yang mereka pikir sebagai sebuah oase kesempurnaan padahal bukan, karenanya mereka tidak bahagia. Orang yang mencapai kesempurnaan penciptaan, menjadi untuk apa dia dicipta pasti ia meraih kebahagiaan sejati, sebaliknya orang yang bahagia belum tentu telah menjadi orang yang sempurna di mata Allah. Tapi sekali lagi, sepertinya kita harus meredefinisi ulang makna kesempurnaan, dengannya kita secara otomatis memaknai kembali apa itu kebahagiaan yang sebenarnya. Karena kesempurnaan hidup sama sekali bukan terletak pada pencapaian-pencapaian material, status dan kejayaan semata ataupun terpenuhinya beragam keinginan yang kebanyakan bersumber dari nafsu dan syahwat itu. Kesempurnaan kita sebagai manusia tercapai ketika kita hidup dalam garis kehidupan yang Dia inginkan. Dalam kenyataannya, menjadi hamba yang sempurna di mata Allah bisa jadi menyakitkan mata kebanyakan manusia. Kita ambil contoh manusia-manusia mulia yang hidupnya dibentuk sedemikian rupa oleh Allah Ta'ala. Mereka yang harum namanya di langit hingga diabadikan kisahnya dalam Kitab Suci. Satu benang merah yang nampak nyata, semua menjalani hidup yang tidak mudah. Seorang Nabi Ayyub as harus memerankan seorang yang nampak seperti 'dikutuk' dengan berbagai ujian kehilangan harta, keluarga hingga berpenyakit menjijikkan di sekujur tubuhnya yang bahkan membuat para muridnya berceletuk, "Barangkali engkau harus bertaubat wahai nabi..." Demikian fitnah kala itu. Seorang Nabi Ismail as harus menjalankan kehidupan yang tumbuh tanpa ayah dan ditempatkan di gurun pasir sejak bayi bersama ibunda. Sekian tahun tak bertemu sang ayah, tahu-tahu ayahnya datang berkunjung untuk menyampaikan ihwal perintah penyembelihan dirinya yang kemudian menjadi tonggak ritual kurban. Tidak selesai sampai disitu beberapa tahun kemudian ketika Ismail telah dewasa dan mempunyai istri, sang ayah - Ibrahim as - kembali datanh mengunjunginya, namun mereka tak sempat bertemu. Lalu sang ayah menitipkan sebuah pesan kepadanya lewat istrinya bahwa ia harus mengganti "daun pintu"nya. Sebuah isyarat bahwa ia harus menceraikan istrinya. Begitulah tantangan kehidupan yang harus seorang Ismail alami. Juga lihat bagaimana pengorbanan seorang Asiyah yang ditakdirkan menikah dengan orang lalim seperti Firaun. Tapi melaluinya bayi Musa menjadi selamat dan diterima menjadi bagian kerajaan Mesir dan kelak membebaskan Bani Israil dari perbudakan. Walaupun Asiyah yang mulia harus membayar dengan menjelang hukuman mati yang mengenaskan. Mereka adalah orang-orang yang sempurna hidupnya, sedemikian rupa hingga namanya tertoreh dengan tinta emas dalam Kitab Suci. Tapi lihatlah warna kehidupannya jauh dari definisi kesempurnaan secara hawa nafsu dan syahwat yang inginnya hanya berenang dalam kesenangan dan kemudahan hidup. Pretty much a definition of happiness for a small children. Mereka yang akalnya bekum tumbuh dewasa. Maka untuk bisa membaca kebahagiaan perlu akal dalam. Tidak cukup dengan akal pikiran yang diasah walaupun dengan sepuluh gelar Doktor. Tidak akan terjangkau dengan itu. Kode-kode Ilahiyah terlalu halus dan kompleks untuk dibaca dengan hukum sebab akibat yang sangat terbatas. Panduan-Nya sangat gamblang, "...Allah akan menimpakan rijsa (kemalangan) kepada orang-orang yang tidak menggunakan akalnya." QS Yunus:100 Dia bukan Dzat yang menebar murka kepada ciptaan-Nya. Semua yang Allah berikan adalah yang terbaik dan sempurna. Hanya itu tadi, jika kesempurnaan takdir-Nya dibaca dengan logika jiwa yang seperti anak kecil, maka apa daya yang terbaca hanyalah sebuah penderitaan dan ketidaksempurnaan semata. Wallahu'alam

Saturday, November 23, 2019

PELAJARAN DARI GIGI SUSU YANG TANGGAL Pagi ini anakku menunjukkan gigi susu keduanya yang tanggal dengan bahagia. Sudah berminggu-minggu dia goyang-goyangkan dalam ritual paginya. Aku ingat dua gigi susu yang lebih dulu tumbuh di awal waktu, saat dia mendekati usia 6 bulan – usia saat pencernaannya siap menerima makanan lunak. Sekarang, setelah bertugas sekitar 7 tahun lamanya, sang gigi susu “mengundurkan diri”. Ia melepaskan dirinya untuk memberi tempat bagi gigi tetap yang akan mengemuka. Demikian tubuh kita bekerja dalam harmoni mengikuti sunatullah, dengannya kita bisa nyaman berkarya dalam kendaraan raga ini. Gigi susu tahu kapan harus tanggal dan tidak ngoyo mempertahankan posisinya. Kulit ari tahu kapan harus mengelupas dan tidak “susah move on” lengket terus di permukaan kulit. Semua sel dalam tubuh kita pun rata-rata berusia 40 hari mati agar diganti dengan sel-sel baru yang lebih segar. Maka sejak zaman nabi-nabi dulu ada ritual puasa 40 hari dengan harapan setelah itu jiwa dan raganya tertransformasi menjadi baru dan lebih suci. Kembali ke gigi susu tadi, secara struktur dia punya bentuk yang berbeda dengan gigi permanen. Lapisan enamel gigi susu lebih tipis karena fungsi mengunyahnya tidak seberat fungsi gigi permanen. Juga bentuk akar gigi susu lebih pendek dengan desain sedemikian rupa agar ia mudah dicabut jika saatnya tiba untuk lepas. Dengan membaca aspek fisik yang Allah hadirkan dalam hidup kita pun mestinya bisa membaca takdir yang tengah kita hadapi jalannya kemana, termasuk perkara penting untuk menelaah dan mengenal siapa diri kita yang sebenarnya dan apa misi hidup kita yang sejati. Wallahua’lam.

Friday, November 22, 2019

Beberapa waktu lalu diskusi online dengan salah satu teman yang terbilang sukses secara material, dia punya semuanya kecuali satu hal: kedamaian hati. Dibalik ketegaran dia di mata orang, tersimpan kerapuhan jiwa. Dibalik ketegasan pembawaan dia di masyarakat, terselip keragu-raguan yang dalam. Dibalik kelimpahan secara material, tersemat kemiskinan secara spiritual. Sebagian orang mencoba mengobati kehampaan hati dengan menenggelamkan diri lebih jauh kepada kesibukan dunianya. Ada yang mencoba menambal dengan melakukan sekian banyak kegiatan sosial. Tidak sedikit yang terjerumus dalam jerat permainan seks, minuman keras dan narkoba. Semua pada dasarnya ingin menghilangkan rasa sakit itu yang kerap menyelinap saat semua hingar-bingar penggal kehidupan itu usai. Ketika ia sendiri, dicekam sepi di ruangnya di malam hari. Karenanya bagi sebagian orang hadirnya malam bagaikan hantu yang mengerikan yang mengingatkan akan kehampaan hidupnya. Maka tidak sedikit yang memilih meramaikan malamnya dengan menghadirkan kembali hiruk-pikuk dunia dalam ruang hidupnya. Berpesta, bekerja, having fun till you drop! Sedemikian rupa agar si raga bisa segera tertidur lelap dan lupa tentang rasa hampa itu. Dan keesokan harinya ia bangun disapa matahari dengan pikiran yang sudah penuh dijejali oleh daftar kegiatan – things to do for today, meeting ini-itu, kegiatan ini-itu. Demikian terus, setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, setiap tahun. Hingga hanya kematian dan sesuatu yang bernuansa kematian -- seperti sakit, kehilangan sesuatu yang berharga dll - yang bisa mencabutnya dari “rat race of life” yang demikian menenggelamkan banyak manusia. Seperti teman saya yang akhirnya mulai menemukan kedamaian setelah “diberhentikan sejenak” oleh Tuhan melalui sebuah peristiwa yang menghentakkan dirinya. Di titik itu dia mulai berpikir tentang hidup dan kehidupan. Kedamaian yang ia cari memang sebuah proses panjang, tapi setidaknya udara segar mulai dirasakan oleh jiwanya yang mulai bangun dari tidur panjangnya. A journey of a thousand miles begins with a single step. - Lao Tze

Friday, November 15, 2019

Ada suara nan halus di dalam diri setiap manusia yang masih hidup hatinya. Suara itu berasal dari suara Ilahiyah, sesuatu yang menyerukan kepada kebenaran dan keselamatan. Dia dinamakan “nurani”, dari kata Arab “nuur” yang berarti cahaya. Sesuai dengan julukannya, nurani ini berfungsi membimbing manusia kepada jalan-jalan setapak yang bercahaya. Dalam kegelapan hutan rimba kehidupan, Allah membantu membimbing semua manusia dengan cara menghembuskan petunjuk-Nya melalui nurani ini. Adalah nurani yang berkata, “engkau curang!” Saat melebihkan pengeluaran biaya dinas agar bisa mendapat reimburse yang lebih besar. Adalah nurani yang berbisik, “engkau sombong!” Saat merasa gaya melengos mengendarai mobil mewah dan mengenakan pakaian yang mahal. Adalah nurani yang menasihati, “engkau mengalahlah!” Saat ego menyeruak ingin menang. Dalam tataran interaksi dengan sesama, nurani pun membimbing dengan sangat teknis. Adalah nurani yang menyeru, “sudah, istirahat dulu, beri waktu untuk keluargamu!” Saat kita sedang tenggelam dalam suatu pekerjaan. Adalah nurani yang membimbing, “minta maaflah!”Saat kita sudah terlanjur marah besar terhadap pasangan atau anak yang jelas di mata kita melakukan kesalahan. Adalah nurani yang menegur, “jangan pelit!” Saat logika kita menolak memberi seorang peminta di jalanan dengan seribu satu alasan. Nurani adalah saluran halus tempat Tuhan berkomunikasi dengan mereka yang betul-betul membutuhkan panduan-Nya. Karena jika nurani sering diabaikan bahkan dibungkam, maka lama kelamaan dia akan mati. Dan manusia menjadi hanya dikendalikan oleh nafsunya semata. Sesuatu yang Allah firmankan dalam Al Quran sebagai “kal an’aam…” (QS Al A'raaf:179) menjadi seperti binatang. Na’udzubillahimindzaliik…
"Membenahi hidup kita itu dimulai dari hal kecil seperti masalah membuang sampah yang baik" petuah seorang guru kepada muridnya. Apa hubungannya membuang sampah dengan baik dengan urusan hidup kita? Keduanya sama-sama pemberian Allah. Kalau kita tidak terbiasa tertib, rapih dan amanah dalam menata segenap kehidupan kita dari semua benda fisik yang kecil yang Allah sampaikan ke tangan kita hingga segenap potensi batin yang Allah amanahkan. Maka selamanya hidup kita akan "acak-acakan", seolah melaju kencang ke satu tujuan tapi sebenarnya tak tentu arahnya. Hanya bergegas dari memenuhi impuls hawa nafsu yang satu ke yang lainnya. Bagaimana seseorang tahu pada akhirnya yang ia kejar adalah sebuah fatamorgana? Sayangnya kebanyakan baru sadar setelah selubung alam mulkiyah atau dunianya dihancurkan, umumnya dalam sebuah momen yang bernama kematian. Disitulah pentingnya mulai menata diri agar tertib dalam hidup. Agar kita mengalir dalam koridor yang Dia kehendaki dan tertuntun menjalani hidup dalam tujuannya masing-masing, yang sesuai dengan maksud mengapa kita dicipta.

Tuesday, November 12, 2019

Lagu "Panjang Umurnya" yang biasanya dinyanyikan saat seseorang ulang tahun sepertinya salah satu yang diserap dari budaya Belanda. Karena lagu dengan arti dan irama yang sama pun sampai saat ini kerap dinyanyikan di negeri kincir angin. Lang zal hij leven Lang zal hij leven Lang zal hij leven in de gloria In de gloria In de gloria Panjang umurnya Panjang umurnya Panjang umurnya serta mulia Serta mulia Serta mulia Lagu yang mirip pun dikenal di daerah Swedia. Iramanya konon sudah dikenal sejak abad ke-18. Sebiah syair yang indah karena berupa doa yang dalam agar seseorang berumur panjang. Tentu bukan umur dunia yang sudah ditakdirkan tak bisa maju atau mundur sedetik pun. Tapi usia di langit, karena seorang melakukan perbuatan yang namanya kekal di langit. Walaupun di bumi sama sekali tak dikenal orang. Itulah keutamaan ikhlas. "Sepi ing pamrih rame ing gawe" kalau kata orang Jawa. Tidak mengharapkan pujian manusia, perhatian media, penghargaan sana-sini, kalaupun kebetulan dapat itu tak sampai membuatnya besar kepala. Ada atau tidak perhatian manusia, ia akan terus berkarya memperbaiki dan memakmurkan bumi. Itulah manusia-manusia yang akan berumur panjang. Insya Allah

Friday, November 8, 2019

Kalau kita diberi kabar akan diamanahi seorang anak tapi diberi tahu bahwa anak itu suatu saat nanti akan membangkang dan tidak akan selamat. Masih maukah menerima amanah itu? Kalau kita diberi kabar bahwa pasangan yang akan kita nikahi suatu saat nanti akan tidak patuh kepada Allah dan mendapatkan hukuman. Masih maukah kita menikahinya? Kalau kita diberi suatu proyek atau pekerjaan, tapi dikabari bahwa proyek itu berjalan lama dan hasilnya akan dipandang gagal oleh kebanyakan manusia. Masih maukah kita mengerjakannya? Itu kenapa banyak hal dalam kehidupan Allah hijab dan dibuat gaib. Masa depan adalah gaib, orang bisa meramal, mengira-ngira atau membuat perhitungan. Tapi kenyataannya satu menit ke depan pun toh masih misteri buat kita. Para nabi dan orang-orang yang berserah diri kepada-Nya sedemikian mentawakalkan segenap diri dan kehidupan dalam pengaturan Ilahiyah. Karena mereka sadar kehidupan adalah sebuah jalinan benang-benang takdir yang disulam untuk menggambarkan sesuatu tentang-Nya. Karenanya mereka menerima takdir hidup pemberian-Nya dengan suka cita. Nabi Adam yang harus menelan kepedihan melihat anaknya dibunuh oleh kakaknya sendiri. Nabi Luth yang menikahi seorang istri yang tidak menuruti apa perintah Allah hingga terkena azab di akhir hayatnya. Nabi Nuh yang berdakwah 950 tahun lamanya dengan hasil hanya segelintir orang yang menyambut seruannya. Sesuatu yang dalam dunia management barangkali tidak memenuhi Key Performance Indicator. Ada maksud di balik kegagalan, keterlambatan, kejatuhan, sakit, perceraian dan musibah lain yang seseorang harus hadapi. Jika kita terpaku pada hasil akhir dalam kacamata kebanyakan orang, maka akan mudah jatuh pada pengkotak-kotakan "berhasil" atau "gagal". Padahal sesuatu yang terlihat berhasil di hadapan manusia banyak, bisa jadi beraroma busuk di langit, sebaliknya hal yang terlihat "gagal" oleh kebanyakan orang malah menjadi sebuah amal yang selamat naik dan diterima oleh Allah Ta'ala melewati 7 lapisan malaikat penjaga langit. Sekali lagi, hidup adalah misteri yang mencengangkan. Jangan terlampau tertambat pada penampakan lahiriyah dan melalaikan yang batin. Be okay dengan hal yang tak kita ketahui, sesuatu yang gaib dalam pandangan kita, sungguh itu sebetulnya sebuah pertolongan dari Allah, khususnya bagi kita-kita yang akal batinnya masih harus diupgrade ini... - renungan pasca tidak lulus ujian SIM di Belanda untuk kedua kalinya. Takdirku...

Wednesday, November 6, 2019

Anak-anak dapat tugas dari gurunya untuk mengumpulkan hal-gal yang berkaitan dengan musim gugur dari alam. Ini tugas yang bagus, dengannya anak diajarkan untuk menghargai dan mengobservasi alam. Daun-daun yang berguguran, biji-bijian yang berserakan di tanah dan ranting-ranting yang mulai menggundul tiba-tiba menjadi obyek-obyek yang menarik untuk mereka kumpulkan. Sementara untuk sebagian besar orang dewasa, tanda-tanda perubahan alam sering dianggap angin lalu saja, karena terlalu terserap perhatiannya dengan pekerjaan atau berbagai aktivitas keseharian. Demikianlah, kita harus menjadi putera Sang Waktu. Artinya betul-betul menjunjung langit dimana bumi kita dipijak. Sedang ditempatkan di daerah tertentu, sedang berada dalam kesempitan, sedang ada di pekerjaan yang kurang disukai, dsb. Semua harus diterima dulu dengan baik, disyukuri sebagai pengajaran dari-Nya. Seorang bijak berkata, "Kalau sedang berada di malam hari jangan meminta buru-buru terbitnya matahari." Kita semua punya "waktu malamnya" masing-masing. Simbol kegelapan. Dibuat bingung, tidak jelas masa depan, kadang khawatir. Tapi toh bahkan dalam kegelapan malam Allah senantiasa memberi petunjuk berupa bintang-bintang. Kalau saja langit tidak ditutupi oleh awan-awan mendung waham di dalam pikiran kita sendiri. Dan keindahan konstelasi bintang-bintang hanya dapat disaksikan oleh mata telanjang kita di malam hari. Jadi, apapun situasi kita per saat ini syukuri, alhamdulillah. Musim dingin pun akan berlalu, sebagaimana malam akan berganti siang. Terima kasih nak, untuk pengingatnya hari ini❤

Tuesday, November 5, 2019

Pagi ini membacakan buku kepada Rumi tentang seorang anak yang baru mendapat hadiah bola sepak dari ayahnya. Diceritakan ia mencari lapangan dengan gawang bola agar ia bisa bermain dengan temannya. Dalam Bahasa Belanda gawang bola disebut dengan "doel" (baca dül) entah apa hubungannya dengan Si Doel Anak Betawi. Tapi kata yang sama diterjemahkan juga sebagai "tujuan". Kurang afdhol bermain bola tanpa tujuan menggolkan bola ke gawang lawang. Di setiap pertandingan juga ada tujuannya. Itu yang membuat permainan menjadi menarik, manakala setiap orang berjuang mencapai tujuan. Hidup kita pun ada tujuannya. Semua takdir yang terjadi ada tujuannya, bahkan di hal yang kita atau orang luar menganggapnya sebagai sebuah "kegagalan". Apakah mungkin Tuhan Yang Maha Teliti merancang kehidupan mengizinkan sesuatu terjadi sia-sia dan tanpa tujuan? Tentu tidak mungkin. Karenanya semua hal berharga. Sayangnya kebanyakan orang mencampakkan pemberian Tuhan yang berharga itu. Untung Dia Maha Pengasih dan Penyayang. Bahkan ciptaan-Nya yang mencela dan menyakiti perasaan-Nya pun masih dengan telaten Dia pelihara dan diberi kehidupan. Kembali ke "doel" tadi. Ada alasannya kenapa si jodoh yang kita minta belum datang, momongan yang kita harapkan belum didapat, usaha yang dibangun dibuat hancur, rumah tangga yang dibina menjadi runtuh. Everything happens for a reason. Kalaupun kita belum paham apa alasan atau bahkan hikmahnya, setidaknya milikilah baik sangka kepada Dia Yang mengirimkan semua itu kepada kita.
"Sungguh aku bermaksiat kepada Allah hingga aku mengetahui hal itu berakibat pada berubahnya perilaku keledai tungganganku, pembantuku, istriku dan munculnya tikus di rumahku." - Fudhail bin Iyadh Respon seorang salik dalam menghadapi hal yang dia tidak sukai atau tidak mengenakkan hatinya adalah tidak melempar kesalahan kepada agen-agen yang Allah Ta'ala kirim untuk memerankan itu semua. Tapi m istighfar, lalu melihat ke dalam diri sendiri karena bisa jadi sesuatu yang kita anggap buruk itu adalah pantulan dari titik kebusukan di dalam hati kita sendiri. Astaghfirullah...
Di Belanda kalau anak diundang merayakan ulang tahun temannya sudah jadi kebiasaan kalau kita bertanya kepada orang tua anak itu tentang apa hadiah yang sang anak sukai. Bahkan pernah ada orang tua yang memberikan daftar wish list anak itu dan kita bebas memilih apa yang kita mau berikan. Memberi hadiah itu harus presisi, agar membuat senang sang penerima hadiah. Agar presisi harus mencari informasi seakurat mungkin. ***** Ibadah kepada Allah juga harus presisi. Setiap saat ada tugas spesifik yang harus setiap orang kerjakan sebetulnya. Mana diantara pilihan kegiatan, membeli barang, membelanjakan uang, membaca buku, memilih rute perjalanan, menentukan tujuan liburan dan lain-lain yang mewarnai kehidupan kita, sesungguhnya Dia, Allah Ta'ala mengharapkan sesuatu yang presisi yang sebagian besar manusia lalai untuk menjalankannya karena dimabukkan oleh keinginan diri sendiri dan terseret oleh arus kehidupan. Oleh karenanya setiap manusia wajib punya ruang kontemplatif. Sebuah ruang hening. Melepaskan sejenak semua daftar "things to do" dan berbagai keinginan yang tak ada habisnya. Berbisik dalam dzikir dari hati kepada Allah Yang Maha Mencipta dan mengamanahkan semua hal kepada diri ini dengan sebuah tujuan, sambil bertanya "Apa yang Engkau ingin aku lakukan ya Allah?" Dengan kesadaran seperti ini doa kita setiap shalat saat meminta "ihdinashiraathal mustaqiim" akan semakin dimaknai. Akhirnya petunjuk-petunjuk-Nya yang tersebar halus itu akan terbaca. Dan setiap manusia akan bertransformasi untuk hidup berdasarkan tujuan awalnya untuk apa dia dicipta. Insya Allah.

Monday, November 4, 2019

Temannya Elia main ke rumah. Dia keturunan Belanda asli, rambutnya coklat-pirang dan seperti kebanyakan keluarga Belanda disini sudah tidak menjalani lagi ritual agama. Siang itu si anak kebetulan melihat saya sedang shalat dhuhur. Dia bertanya sama Elia, “What is your mother doing?” tanyanya penuh rasa ingin tahu. Elia jawab dengan ringan, “She is doing shalat.” “What is shalat?” kejarnya masih penasaran. “It’s a way to say thank you to God” jawab Elia lugas. Jeda hening sejenak. Lalu anak itu bilang, “I would also like to do shalat” ❤️
Segenap takdir yang Allah hadirkan dalam hidup jika dipahami adalah obat mujarab untuk segenap penyakit hati kita. Maka jika kita berberat hati menjalani takdir bahkan menolaknya itu sama dengan menzalimi diri sendiri pada hakikatnya. Sabar, tenang, ikhlaskan semua. Buang semua beban di hati yang tak perlu. Dengannya kita lebih ringan mengalir dalam sungai kehidupan-Nya. Insya Allah🥰

Friday, November 1, 2019

Ingin hidup kita indah dan abadi? Kuncinya hanya tawakal. Menyerahkan diri dan segenap kehidupan, keinginan dan cita-cita dalam pengaturan-Nya. Mereka yang telah berhasil melakukannya dengan menaklukkan hawa nafsu dan syahwat dirinya terukir abadi dengan tinta emas dalam sejarah. Tapi jangan salah, kehidupan mereka tidak selalu nyaman. Nabi Adam harus memerankan seorang yang terusir dari surga dan terpisah ribuan tahun lamanya dengan Siti Hawa. Kemudian hatus diuji dengan kelakuan anaknya, Qabil yang membunuh Habil, saudara kandungnya sendiri. Nabi Nuh harus memerankan orang yang seolah 'gagal' menyeru kaumnya dan harus menyaksikan buah hatinya ditenggelamkan dalam azab. Nabi Ayyub harus memerankan seorang yang kehilangan semuanya; keluarga, harta bahkan dirinya dihinggapi penyakit yang bahkan para muridnya mengira itu sebuah kutukan. Satu-satunya yang bertahan adalah hatinya yang senantiasa bertawakal kepada Allah. Hal itu yang membuat kehidupannya dikembalikan, bahkan dalam bentuk yang lebih baik. Kehidupan kita bukan milik kita. Ada desain Yang Maha Kuasa. Artinya kita mesti pandai-pandai menyesuaikan kehendak diri, keinginan memenuhi harapan diri, orang tua, dan banyak orang, semua itu ditundukkan kepada Karsa Agung Yang Maha Kuasa. Ada peran unik yang Dia ingin kita lakukan. Sebuah peran yang bisa jadi jauh dari harapan kebanyakan orang. Sesuatu yang bahkan kita tidak inginkan. Tapi jika hati mulai disinari iman dari-Nya, ia akan paham betapa semua skenario kehidupan yang Dia berikan kepada diri kita masing-masing adalah yang terbaik dan terindah. Hanya saja kebanyakan manusia luput dari melihat keindahan dan kebaikannya. Bisa jadi karena itu suatu saat nanti semua rekam jejak kehidupan setiap manusia akan ditayangkan ulang dan disaksikan semua manusia. Agar akhirnya semua paham, betapa indah rancangan-Nya dan betapa Maha Penyayangnya Allah Ta'ala.
Malam beranjak makin larut. Pasangan suami istri tua itu menggelar “tempat tidurnya” yang berupa helai-helai kardus bekas di depan sebuah toko yang baru tutup. Sudah tiga dekade mereka menjalani kehidupan demikian. Bagi mereka, pekerjaan sehari-hari mengumpulkan karton dan gelas plastik bekas di ibu kota lebih bisa mencukup kebutuhan diri dan anak-anaknya dibanding hidup di desa tanpa penghasilan sementara jengkal demi jengkal tanah mereka habis dibabat tuan tanah. Mereka orang-orang hebat, para pejuang kehidupan yang menyerah ditundukkan oleh sebuah fenomena kesulitan hidup. Katanya, kesulitan itu untuk dihadapi bukan untuk diratapi apalagi melarikan diri darinya. Saat saya bertanya dimana harus mandi, buang air dan lain-lain. Sang ibu dengan tersenyum berkata bahwa pengurus masjid setempat berbaik hati mempersilakan mereka untuk mandi dll disana. Ia bertutur tanpa nada mengeluh atau minta dikasihani. It is what it is. Menjalani kehidupan apa adanya. And you know what? They can sleep very well at night. Di tengah serangan nyamuk jalanan dan angin malam yang kadang menusuk dingin. Sementara di tempat lain, saya tahu seorang kaya dan melimpah hidupnya, gelisah hampir setiap malam. Entah apa yang dipikirkannya, tapi tidurnya tidak nyenyak bahkan beberapa hari dia harus tidur dengan bantuan pil tidur dari dokter. Ternyata ketentraman hati itu benar tidak seiring dengan banyak atau sedikitnya harta. Seperti kata Ronggowarsito, seorang penasihat Kasunanan Surakarta yang hidup sekitar tahun 1802-1873: “Yèn umpåmå ayem iku mung biså dituku karo akèhé båndhå dahnå rekasané dadi wong sing ora duwé.” Kalau saja ketentraman itu bisa dibeli dengan harta, alangkah sengsaranya orang yang tidak punya. “Untungnya ketenteraman bisa dimiliki oleh siapa saja yang tidak mengagungkan keduniawian, suka menolong orang lain dan menyerahkan hidupnya kepada Tuhan Sang Pencipta.” (Foto diambil sekitar tahun 2009 di daerah Cikini, Jakarta)