Tuesday, September 29, 2020

 Hidup itu harus mengalir, untuk bisa mengalir kita harus fleksibel. Open up for a change of plan. Saya belajar itu hari ini. Saat jemput anak-anak, biasanya kami bergegas pulang. Waktu antara bubaran sekolah jam 15.15 sore hingga makan malam jam 18.00 sore itu cepat sekali. Karena padat diisi dengan kegiatan membantu anak-anak mandi, merapikan cucian dan memasak. Jadi saya tidak pernah janjian sama seseorang diantara jam itu, karena kegiatannya sangat padat. Tapi hari ini berbeda, saya khusus menyediakan waktu untuk perempuan ini walaupun dengan konsekuensi acara memasak agak terlambat. 


Sebutlah namanya Evy, seorang single mother dengan satu anak laki-laki. Saat bubaran sekolah tadi saya tak sengaja mendengar dialog antara dia dengan anaknya. 


“Where are we going now mom?”

“I don’t know sweetie, we still have two hours before your swimming lesson.”


Rumah mereka terbilang jauh, jadi biasanya jika ada waktu luang sebelum melakukan kegiatan ekstrakurikuler mereka suka keliling entah ke toko atau bermain di taman sekitar.


Saat Evy melihat kiri dan kanan masih mencoba mencari jawaban untuk anaknya, ia melihat saya. Dan saya paham saat itu bahwa dia ingin mengajak Rumi, anak saya yang sekelas dengan anaknya itu ikut main bersama. Tapi kan budaya orang Belanda sungkan kalau ngajak sesuatu dadakan. Dan sebenarnya saya terbilang tidak punya waktu untuk menemani mereka bermain, tapi entah kenapa saat itu saya rasa dia betul-betul butuh teman. Akhirnya saya kabari suami bahwa saya dan anak-anak akan terlambat, juga makan malam akan terhidang agak terlambat hari ini. 


Di luar dugaan Evy sangat terbuka bicara tentang kesulitan yang dihadapinya, tentang pekerjaannya yang tak menentu karena terkena dampak pandemi, tentang ayah dari anaknya yang tidak mau sama sekali menemui bahkan kontak dengan anak lelakinya, dan tentang pergulatan yang dialami anak lelakinya itu merasa diabaikan (abandoned) oleh ayahnya. Anak ini jadi banyak berulah, kadang masih ngompol, lonjakan emosinya kerap tak terkendali. Evy sudah berupaya membawa anaknya dalam penanganan psikiater anak. Tapi tidak ada yang menggantikan kehadiran seorang ayah dalam hidup anaknya. Evy kerap menitikkan air mata jika anaknya yang baru berusia enam tahun itu menangis dan berkata, “My father doesn’t want me.” It’s painful to hear your child say that. Saya pun menunduk dalam-dalam. Tidak tahu harus bilang apa. 


Dalam keadaan yang sangat menyakitkan seperti itu kadang tidak pada tempatnya kita memberikan wejangan-wejangan dan ceramah motivasional. Sometimes all the other want to hear is “It’s tough”, yaitu kita akui itu berat. Dan pengakuan itu somehow magically put  the other person into a recognition spot. Dia merasa dilihat, diakui. Selebihnya semesta akan punya jalan untuk memompakan kembali semangat kepada dia, sometimes even effortlessly.


Kami berpisah tak lama kemudian. Tampak Evy lebih ringan hatinya setelah bisa curhat. Dia bilang “Thank you”, tapi tampaknya saya yang seharusnya mengatakan terima kasih kepadanya. Untuk mengingatkan bahwa kita semua punya medan perjuangannya masing-masing dan bersyukurlah dengan apa yang ada. My – what so called – struggle as a mom tampak menjadi tak ada apa-apanya dibanding perjuangan dia mengurus anak sendirian dengan keluarga jauh di negara lain. Terima kasih Evy, semoga Tuhan melapangkan jalan kebahagiaanmu.

Saturday, September 26, 2020

 Dalam kajian suluk online pertemuan keenam kemarin, salah seorang peserta berbagi sebuah kesaksian hidup bagaimana ketika kita meniatkan sesuatu untuk Allah Ta'ala walaupun jalan yang ditempuh dirasa berat pada awalnya, ternyata Allah akan selalu menolong dengan cara-Nya yang misterius dan luar biasa. Dalam kasus beliau adalah ketika dihadapkan dengan menikah dengan seseorang yang sebenarnya bukan seleranya, kalau boleh dikatakan tidak ada cinta di awal perkenalan sekalipun. Dengan berbekal niat untuk mendapat ridho Allah Ta'ala maka pernikahan pun dilangsungkan.


Satu tahun pertama guncangan mulai terasa intens. Sempat beberapa kali berpikir untuk mengakhiri pernikahan, akan tetapi keluarga tetap menahan agar jangan sampai pecah. Terseok-seok beliau mencoba melanjutkan bertahan di dalam bahtera pernikahan hingga akhirnya kesabaran beliau mulai menuai hasil. Saat ini pernikahan sudah menginjak tahun ke-14 (please correct me if i'm wrong) dan sudah dikarunai 3 orang anak plus satu anak lagi yang insya Allah akan hadir di bumi.


Saat ditanya, "Mbak, sekarang bisa melihat pasangan ini adalah yang terbaik dari Allah."

Tanpa ragu ia bisa menjawab, "Iya."


Masya Allah. Tidak akan dibiarkan mereka yang mempersembahkan sesuatu sekecil apapun untuk-Nya. Kita yang hanya berjalan sedangkan Dia datang berlari, sebuah simbol bahwa apa-apa yang kita persembahkan sebaik apapun itu kelihatannya sebenarnya tak sebanding dengan semua anugerah, karunia dan pertolongan yang Dia berikan. Dia sungguh Maha Penyantun.


Al-Baqarah : 207


وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ


Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.



Monday, September 21, 2020

 

Bapak tua itu datang lagi malam ini. Tampaknya memang setiap akhir pekan dia biasa beli makanan di luar. Setiap kali selalu dengan nadanya yang ketus dan sama sekali tak bersahabat dan suara parau seperti suara seorang perokok berat.

Para crew restoran sudah mafhum dengan tabiatnya. Beliau bisa naik pitam hanya gara-gara hal sepele. Yah sudah terima saja, hitung-hitung latihan sabar.

Tapi malam ini sebuah keajaiban terjadi. Sayalah yang kebagian menyerahkan pesanan kepada beliau. Terus terang agak deg-degan dan sudah pasang kuda-kuda kalau disemprot dengan energi negatifnya😅.

Dengan senyuman dan berusaha sesopan mungkin saya berikan pesanan beliau sambil tak lupa menyapa beliau "Goedenavond" alias selamat malam. Dan diduga beliau membalas dengan anggukan dan senyuman. Iya, senyuman! It was really a slow motion moment for me and also jaw dropping experience. Kolega saya yang ikut menyaksikan hal ini sampai geleng-geleng kepala sambil bilang, "He never smile! EVER!"

Saya jawab dengan lagu, "There can be miracle when you believe..." 🧚‍♀️Maklum, hobi menyanyi sejak kecil masih terbawa sampai sekarang.

Saya belajar melalui pengalaman hidup beberapa kali menemukan individu-individu unik seperti ini. Orang yang galak, ketus, masam muka, mudah marah dan bentak-bentak di depan umum itu biasanya terjadi karena mereka punya isu-isu dalam kehidupan mereka yang belum tuntas, ia masih mengganjal. Seperti kerikil-kerikil yang mengisi sepatu dan membuat langkah kita tidak nyaman. Saat orang tidak merasa nyaman dengan dirinya  lantas bagaimana mungkin dia bisa menampilkan wajah yang cerah? Apalagi baik terhadap orang lain.

Maka kemarahan, kekesalan, sifat galak yang muncul bahkan marah-marah sama orang itu sebenarnya hanya proyeksi dari kemarahan dia kepada dirinya sendiri atau kekesalannya pada situasi kehidupan yang belum dia terima dengan ikhlas. Hal ini bisa terjadi kepada siapa saja dan kerap tanpa disadari.

Saya percaya orang pada dasarnya baik. Tapi kemudian apa yang muncul ke permukaan sebagai sikap, raut wajah dan akhlak adalah hasil dari bagaimana ia memproses dan merespon alamnya masing-masing.

Maka, hal terbaik menghadapi "toxic individual" seperti itu adalah dengan memberi penawarnya yaitu berupa sifat kasih sayang. It's the only way. Karena kalau kita ikut muring-muring, ikut terpancing emosi bahkan kemarahan. Itu seperti kita membuka diri kita teracuni oleh polutan yang dia bawa. Jadinya sebelas dua belas. Tidak ada kebaikan yang dapat dituai dari sebuah pertikaian dan memendam kekesalan apalagi dendam kepada orang. Itu hanya meracuni diri kita sendiri. Penyakit yang daya tularnya jauh lebih tinggi dibanding Covid-19, karena tanpa ada di satu ruangan bahkan di dua benua yang berbeda pun kita bisa tertular penyakit negatifnya.

I have learned another lesson last night to always try to bring out the best in you. Especially when dealing with difficult person. Just like Platon said, "Be kind. Everyone you meet is fighting a hard battle."

Friday, September 18, 2020

 GENGSI


Keinginan liar itu yang seringkali menjadi sumber kesengsaraan kita. Disebut liar karena tidak berpijak pada keadaan dan kenyataan yang ada. Karena ingin dihormati, ingin dipandang sukses, ingin dianggap suci, ingin terkenal, ingin dihargai, dsb sambil diraih dengan memoles sedemikian banyak bedak dan kosmetik ke dalam wajah kehidupan kita sedemikian rupa untuk kepentingan “show” agar mengagumkan dalam pandangan orang. Demikian tebalnya kosmetik itu hingga dirinya tidak mengenali wajahnya sendiri. Ia melarutkan diri di dalam ramuan apa kata orang, apa kata dunia.

Seiring dengan itu kita mulai meracuni diri sendiri dengan berbagai pikiran:
“Gengsi dong, masa dokter mobilnya itu!”
“Gengsi dong, masa anaknya orang sukses ngga bisa mengimbangi orang tuanya!”
“Gengsi dong, masa direktur rumahnya disitu!”
“Gengsi dong, masa lulusan perguruan tinggi terkenal hanya kerja begitu!”

Rasa gengsi yang dituruti ini yang biasanya membawa malapetaka dalam hidup. Seperti kisah miris yang dituliskan oleh Guy de Maupassant, seorang penulis Perancis yang hidup pada tahun 1850 hingga 1893. Ceritanya tentang seorang perempuan bernama Matilda yang berasal dari keluarga menengah. Sudah sekian lama ia bergulat dengan dirinya sendiri, dengan perasaan rendah diri dan malu karena melihat dirinya tidak sesukses teman-temannya yang lain. Sungguh sebuah perasaan yang merusak hari-harinya, sedemikian rupa ia pupuk perasaan itu hingga menimbulkan kemarahan yang membara, yang membuatnya semakin sulit untuk menerima keadaan kehidupannya sendiri.

Suatu hari Matilda menerima undangan untuk menghadiri sebuah pesta yang biasanya dihadiri oleh orang-orang yang kaya dan terpandang di kota itu. Matilda selalu ingin menjadi bagian dari orang-orang itu, yang ia anggap sebagai sebuah pencapaian kesuksesan. Matilda tentu ingin sekali menghadiri pesta tersebut, tapi ia tidak memiliki perhiasan untuk dikenakan sebagai simbol sebuah status tertentu.

Berhari-hari Matilda menangis meratapi nasibnya, sang suami pun tak berdaya memenuhi keinginannya untuk membeli perhiasan karena keadaan ekonomi yang tidak memungkinkan. Matilda sempat berpikir untuk tidak menghadiri pesta itu. Ia mutung.
Akhirnya tercetus sebuah ide untuk meminjam perhiasan intan dari teman dekatnya. “Semalam saja, nanti dikembalikan.” Demikian ujar Matilda penuh harap. Sang teman yang baik hati tak sampai hati menolak permintaan itu. Akhirnya malam itu Matilda menghadiri pesta dengan dagu diangkat tinggi-tinggi untuk memerlihatkan kepada dunia bahwa ia mengenakan perhiasan berbalut intan permata. Untuk beberapa lama Matilda demikian tenggelam dalam dunia yang ia selama ini impikan, untuk sekian lama ia menjadi bagian dari “warga kelas atas”.

Tapi, hal itu tidak berlangsung lama. Malam itu, tiba-tiba Matilda menyadari bahwa kalung perhiasan pinjaman dari temannya itu hilang, tak lagi menempel di lehernya! Rasa panik menyelimuti Matilda di penggal terakhir pesta, upayanya mencari kalung tak membuahkan hasil. Ia seperti lenyap ditelan bumi.

Matilda pulang menangis tersedu-sedu. Untuk memberitakan kepada temannya bahwa kalung itu telah hilang bukan pilihan baginya, rasa gengsi sekali lagi menyelubungi pikirannya untuk mengatakan apa adanya. Lalu apa yang Matilda dan suaminya lakukan? Mereka membeli kalung yang serupa dari toko perhiasan yang terkemuka seharga 40.000 franc. Jumlah uang yang sangat fantastis bagi mereka hingga mereka harus menguras tabungannya dan meminjam uang yang dikembalikan dalam jangka waktu 10 tahun. Selama satu dekade itu Matilda dan suaminya habis-habisan bekerja untuk mengembalikan utang dan tidak bisa menikmati gaya hidup yang sebelumnya mereka miliki.

Sepuluh tahun telah berlalu, selama kurun waktu itu Matilda selalu punya alasan untuk tidak bertemu temannya yang telah meminjami ia kalung. Rasa malu, bersalah, kesal dll tidak bisa ia tutupi. Maka Matilda memilih untuk tidak bertemu saja. Padahal mereka pernah menjadi teman baik. Akhirnya, setelah utangnya lunas Matilda mulai berani untuk mengunjungi kembali teman lamanya ini.

“Akhirnya, kamu berkunjung juga. Lama sekali kita tidak bersua. Penampilanmu sekarang berbeda Matilda.” Kata temannya mengungkapkan rasa senang bercampur aneh dan sedikit kegetiran melihat penampilan Matilda.

“Ya, gara-gara kamu aku jadi sempat sengsara selama 10 tahun.” Sahut Matilda.

“Lho, kok gara-gara aku? Memangnya apa yang terjadi?”

Matilda pun menceritakan kejadian kalung yang hilang 10 tahun lalu dan bahwa sebenarnya ia dan suami membeli kalung baru yang serupa dengan kalung pnnjaman itu tapi karenanya harus bekerja keras banting tulang 10 tahun lamanya.

Mendengar penututan Matilda, meledaklah tawa sang teman, “Ya ampun, Matilda. Jadi, kamu membelikan kalung intan asli untukku? Tahu ngga, kalau kalung yang kamu hilangkan itu sebenarnya imitasi dan harganya tidak lebih dari 500 franc!”

Matilda melongo. Membayangkan 10 tahun yang ia jalani dalam sebuah penderitaan yang sia-sia. Sebuah harga yang mahal untuk membayar sebuah rasa gengsi.[]


Friday, September 11, 2020

'Surviving' Corona


Dua hari setelah sekolah mengumumkan ada orang tua murid teman sekelas anak saya yang terkena Corona di malam hari dia muntah sekali. Tidak ada demam atau diare yang menyertai. Awalnya saya pikir masuk angin biasa karena perubahan suhu yang tiba-tiba dingin dan berangin kencang walaupun masih terhitung musim panas. Tapi, atas pertimbangan ada kemungkinan kontak dengan anak yang bisa jadi tertular Covid-19 maka kami putuskan untuk membawanya tes. Caranya mudah, tinggal telp, menyebutkan nomor penduduk, identitas diri dan boleh memilih tempat tesnya dimana, juga gratis. Jika kita naik mobil kesana bahkan tak perlu turun dari mobil (drive thru).  Dalam waktu 48 jam hasil tes akan diberitahu lewat telepon apakah negatif atau positif. Jika positif, akan mendapat email berisi instruksi lanjutan prosedur karantina. Dan setiap beberapa hari ada orang dari GGD - lembaga yang mengawasi penyakit menular - menelepon untuk memeriksa riwayat kontak dan perkembangan kondisi ybs serta orang yang serumah. 


Di luar dugaan hasil tes anak saya positif. Tadinya saya pede akan negatif, karena anak konon cenderung tidak menularkan. Tapi ya, it is what it is. Tiba-tiba kami sekeluarga harus melakukan swakarantina, tak boleh keluar rumah selama 18 hari sejak anaknya menunjukkan gejala.


Dua hari pertama adalah yang paling berat. Karena setiap kami bersin atau batuk saja pikiran langsung melayang, "Aku kena Corona barangkali?" It's a beginner's paranoia. Belum lagi ditambah anaknya yang nangis tersedu-sedu di hari pertama menjalani isolasi. Merasa kesepian, karena selama 7 hari dia harus berdiam dan melakukan semua aktivitas di kamarnya. Hanya boleh keluar kamar jika perlu ke wc.


Banyak hal terjadi dalam dinamika karantina. I will save that for another chapter😉 to make the story short, saat ini alhamdulillah kami baik-baik saja. Anak saya sudah kembali bersekolah, walau sempat ditunda tiga hari karena tidak berani ke sekolah sendiri. Maklum kebiasaan diantar mamanya. Sedangkan saya tidak bisa antar karena masih harus dikarantina. Untungnya Allah mendatangkan lagi pertolongan tak terduga. Ibu dari sahabat anak saya menawarkan bantuan untuk antar jemput. Alhamdulillah. Benar kiranya, dimana ada masalah pasti jalan keluarnya sudah Allah sediakan tinggal sabar dan cermat mencari jalannya.


Aside from that, saya mau berbagi fenomena-fenomena mengharukan lain. Saat dalam keadaan disempitkan begini dan tidak boleh keluar bahkan untuk belanja. Tiba-tiba tawaran untuk dibantu belanja datang dari tetangga dan teman-teman. Sama sekali tak terduga. Bahkan ada yang menawarkan bakso ala GM dikirim langsung dari pusat kota Amsterdam! 


Terharu sekali melihat teman-teman bersepeda bahkan ada yang berjalan jauh demi mengantarkan beberapa kantung belanja kebutuhan sehari-hari kami. 


Terharu melihat kartu-kartu ucapan yang dikirim oleh teman-teman sekelas kedua anak saya. Juga dari teman-teman kami.


Terharu mendapat dukungan dari tetangga sebelah rumah yang jika saya keluar rumah sebentar untuk membuang sampah, dia selalu menyemangati , "Komt goed hoor!" Alias it will be okay. Dengan senyum khasnya yang manis menyeruak diantara keriput kulit yang menampakkan kewibawaan.


Sekali lagi Allah menampilkan kuasa-Nya lewat segenap ciptaan-Nya. Sebuah pelajaran berharga untuk keluarga yang sedang mengembara jauh dari sanak saudara, entah itu ke kota yang lain, ke pulau yang berbeda atau ke negeri seberang. Kita tuh sebenarnya tak perlu merasa kesepian. Memang keluarga kita jauh. Tapi Tuhan yang sama yang menciptakan keluarga kita di kampung halaman punya kuasa untuk menciptakan keluarga-keluarga lain untuk kita di bumi-Nya yang manapun.


Toh keluarga bukan sekadar didefinisikan oleh sebuah hubungan darah. Siapapun yang tulus membantu kita otomatis jadi keluarga. Cause it's not blood that makes you family, it's love. ❤

 

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (Q.S. At-Thalaq : 2-3).

Mendapat rezeki tak terduga itu tanda seseorang yang bertaqwa. Jika selama ini hidup terduga terus, aman terus, lancar terus. Otomatis sesungguhnya tidak terbukti ketaqwaannya.

Dengan kata lain sebenarnya kita mesti mengalami sebuah episode kehidupan ketika jalan keluar dari permasalahan itu tidak terbayangkan. Tabungan sudah habis, orang yang biasanya bisa diandalkan tak mampu menolong, seluruh upaya yang dikerahkan sepertinya tak membuahkan hasil. Itulah “hari Tuhan”. Hari ketika Allah memperkenalkan kuasa-Nya secara personal kepada kita.

Ada yang sakit dan divonis tidak bisa sembuh. Dia berdoa dan dalam beribadah. Lalu tiba-tiba Allah angkat penyakitnya. Dokternya pun sampai geleng-geleng kepala menyaksikannya.

Ada yang sudah hampir drop-out kuliah karena kehabisan biaya. Tiba-tiba last minute ada pertolongan tak terduga dari kerabat jauh.

Ada yang anaknya bermasalah, sudah coba terapi sana-sini, tampaknya tidak ada perkembangan. Si ibu bersimpuh dalam shalat tahajjud khusus mendoakan anaknya. Tiba-tiba didatangkan terapis yang paham betul cara mengatasi kondisi anak seperti itu.

Sahabat. Kehidupan ini papan caturnya Allah. Jangan hanya terpaku mengandalkan solusi horizontal dalam menghadapi tantangan kehidupan dengan tanpa melibatkan Dia dalam setiap langkah. Karena tanpa kehadiran-Nya kita hanya akan tenggelam dalam samudera kesibukan dunia yang mematikan potensi jiwa untuk bisa mengenal-Nya dan meraup kebahagiaan yang hakiki.

Libatkan Dia dalam setiap pengambilan keputusan. Seorang Sufi bahkan berkata, “Bahkan di perkara sebutir garam dalam hidupmu, mintalah kepada-Nya”. Itu adabnya. Dia ingin selalu dilibatkan, karena Dia siap dan yang paling layak untuk dilibatkan. Agar kita tidak jalan berjalan dengan percaya diri, tapi lebih percaya Dia. Itulah PD yang paling afdhal.

Wallahu’alam[]

 

Wednesday, September 9, 2020

Bencana & Spiritualitas


Ada penelitian yang meninjau literatur dari tahun 1978 sampai 2019. Literatur yang dibaca juga tidak main-main, berasal dari website yang bereputasi seperti PubMed, Medline, Springer, Elsevier, Science Direct,  dll baik dalam Bahasa Inggris dan bahasa lain. Mereka mencari artikel yang memiliki kata kunci "spirituality", "prayer" dan "some religious advice were assessed in times of crisis."


Kesimpulannya?


Sepertinya spiritualitas dapat membantu orang dalam melalui situasi krisis dan bahaya.

Dalam menghadapi wabah Covid-19 ini juga dianjurkan kepada para tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit untuk memerhatikan lebih aspek spiritualitas dan agama agar lebih tenang dalam menjalaninya.


Okay, let sink that in for a moment...


Orang lebih 'mudah' dibuat tunduk saat menghadapi bencana alam seperti wabah yang kita tengah hadapi sekarang, atau gunung meletus, atau tsunami, atau gempa. Mudah tunduk karena terlihat 'tangan Tuhan' yang menggerakkan itu semua. Rasanya musykil membayangkan manusia dengan ditempel teori konspirasi apapun mampu untuk menimbulkan bencana dengan skala sedemikian besar. 


Ya, kita akan dibuat bertekuk lutut ketika dihadapkan dengan fenomena alam yang dahsyat. Yang di saat itu bahkan seorang atheis pun akan mulai menjerit, "God, or whatever You are outthere... please help!" 


Akal kita mengatakan, fenomena sedahsyat itu pasti Dia yang mendatangkan. Tapi, apa iya Dia yang bisa menghadirkan kejadian spektakuler seperti itu tidak berkontribusi dalam menghadirkan sebuah fenomena keseharian?


Kita dengan mudah bisa mengaitkan sebuah bencana alam dengan kuasa Tuhan, tapi pada saat yang sama masih kesulitan untuk melihat bahwa Tuhan yang sama juga yang menghadirkan rekan kerja yang menyebalkan itu, resesi ekonomi, jualan yang ngga laku,  bisnis yang gagal, pasangan yang bikin makan ati, mantan pasangan yang bikin pusing kepala, pekerjaan yang orang anggap ngga keren, situasi rumah tangga yang bikin sesak nafas, kelakuan anak yang bikin pusing tujuh keliling, ada wanita idaman lain atau pria idaman lain, fitnah dan cacian orang yang tak ada habis-habisnya. Semua itu hadir, apa mungkin God has nothing to do with it?


Nah, kita mulai mengangguk...


Tapi pertanyaan berikutnya. Kalau memang Tuhan mengizinkan sebuah derita terjadi, mengizinkan sebuah kesulitan menghimpit, mengizinkan sebuah kepayahan menimpa. Lantas apa maksudnya?


And that is the one million dollar question. A question worth to ask.  Patut diberi ruang untuk direnungkan di sekat-sekat diri masing-masing. Mungkin butuh waktu bertahun-tahun bahkan seumur hidup untuk mencernanya. But at least we start somewhere.


Agar kita bisa berdamai dengan episode hidup kita sekelam apapun itu. Agar kita bisa menjadi paham bagaimana Dia mengorkestrasikan segenap kehidupan kita sejak lahir hingga mati nanti. Karena hanya dengan pemahaman itu kita menjadi lebih bersuka cita dalam menjalaninya.


Saya tutup tulisan ini dengan sebuah pertanyaan lain. Jika Adam memang diciptakan untuk meraih kebahagiaan surga. Kenapa beliau harus diturunkan ke dunia, terpisah bertahun-tahun dengan kekasihnya di dunia benua yang berbeda. Mengalami kesulitan di dunia, disulitkan oleh kelakuan anak-anaknya dsb. Kenapa tidak berikan saja semua yang beliau inginkan di surga. And live happily ever after...


Why?


Saya tahu, pertanyaan itu membawa perasaan tidak nyaman. Tapi kadang jiwa perlu dibangunkan oleh sebuah rasa ketidaknyamanan agar ia bangkit dari tidur panjangnya.


"The unexamined life is not worth living" - Socrates

 

Kisah Nabi Ayyub as yang diuji Allah dengan kehilangan anak, istri, harta dan dibuat rusak tubuhnya bukan hal yang asing bagi kita. Kita bisa mengenal beliau adalah seorang nabi berdasarkan informasi dari kitab-kitab suci. Tapi jika kita hidup sezaman dengan beliau, apakah kita termasuk yang dapat beriman kepada kenabian beliau atau ikut yang lain untuk mencacinya? Bahkan para muridnya pun saat itu mempertanyakan beliau dengan berkomentar, “Barangkali ada dosa yang engkau belum istighfari.”

Sang Nabi tidak bergeming, beliau tahu ini bukan saatnya menyampaikan klarifikasi kepada siapapun. Karena beliau sadar bahwa ini adalah urusan Allah yang tengah dimanifestasikan di semestanya. Hal yang sebenarnya berawal dari pertanyaan Iblis kepada Allah, bahwa pantas saja seorang Ayyub bisa bersyukur kepada-Nya karena ia memiliki semuanya. Tapi Allah menolak persangkaan itu dengan berkata bahwa jika diambil apapun dari hamba-Nya Ayyub, tetap ia akan memuja-Nya dengan sepenuh hati. Maka mulailah makar itu, Ayyub diberitahu tentang hal tersebut, bahwa semua yang Allah berikan akan diambil. Saat itu hanya satu saja permohonan Ayyub sang Nabiyullah, “Tolong ya Allah sisakan hatiku dan lisanku. Agar dengannya aku masih bisa berdzikir kepadamu.” Beliau rela diambil apapun, asal disisakan hati dan lisan yang bisa berdzikir. Masya Allah.

Maka ketika ujian itu bergulir, satu persatu miliknya yang ia sayangi mulai hilang dari sisinya. Orang mulai mencemooh, mencaci, lari darinya dan memfitnah. Barangkali di benak mereka, nabi macam apa ini? Lebih mirip seperti orang yang terkena kutukan dibanding seorang nabi. Demikian besar fitnahnya, kalaupun kita ada di masa itu jangan-jangan kita termasuk yang melempar cacian kepadanya. Na’udzubillahimindzaalik.

Salah satu pelajaran penting dari kisah Nabi Ayyub as adalah. Bahwa dalam penggal hidu akan ada masanya kita menerima cacian, ejekan, dan fitnah. Ketika kita ada di saat itu, apapun yang kita lakukan akan dibaca salah saja. Bahkan sebuah pembelaan yang baik pun akan didengar sebagai sebuah suara yang sumbang. Jika ini terjadi maka saatnya sabar dan taqwa. Itu kunci agar semua cacian itu tidak mendatangkan madharat bagi kita. Karena justru yang menimbulkan keburukan sering kali justru karena respon kita akan hal itu yang terpancing emosi.

Jika episode fitnah itu datang, jalani dengan sabar. Pada saatnya Allah akan membuka pintu-pintu klarifikasi. Tapi sambil menunggu saat itu datang, yang lebih utama dibanding sekadar sebuah klarifikasi adalah justru bertumbuhnya pohon sabar dan taqwa di hati kita. Karena jika itu telah tumbuh maka seperti dalam peristiwa Ayyub, Allah akan mengalirkan mata air penyembuhan yang muncul dari bawah telapak kakinya sendiri. Artinya solusi semua permasalahan itu akan tidak jauh dari dunia kita. Hanya belum Allah bukakan saja. Dengan kata lain kita harus belajar menelan pil pahit dalam kehidupan agar jiwa kita menjadi dewasa. Wallahu’alam[]



Tuesday, September 8, 2020

 Beberapa hari terakhir Elia intensif membaca kisah rasul-rasul dan akal pikiran seorang anak usia 8 tahun berusaha mencerna kisah tentang seorang Yunus yang diselamatkan dari dalam perut ikan paus, tentang Adam yang dilarang memakan buah khuldi dan terlempar dari surga, tentang dialog dengan iblis, tentang unta nabi shalih yang keluar dari batu dsb.


Pagi ini, sambil mengunyah cerita lain dia terdiam dan bertanya, "Mama, are these stories real?" Ibunya bilang, "Tentu saja, itu pernah terjadi di masa lalu". Sang ibu masih menahan diri untuk tidak bercerita bahwa semua hal itu juga terjadi dalam diri kita. It's probably superfluous for an eight year-old boy, i don't want him to bite off more than he can chew.


 Semoga masih ada rezeki usia untuk kita berbincang tentang hal ini lebih dalam ya nak...

Sunday, September 6, 2020

“Now I see if I wear a mask I can fool the world

But I cannot fool my heart…”

Reflection – soundtrack of Mulan


Sejak lahir dia merasa berbeda dari yang lain. Dan sedihnya, yang lain biasanya mempersepsikan perbedaan sebagai sesuatu yang buruk. Maka demikianlah ia tumbuh mendapat julukan “si bebek yang jelek” karena ia tumbuh tidak seperti bebek-bebek lain. Warna bulunya berbeda, paruhnya agak berbeda, selaput dan bentuk kakinya pun berbeda. Dan biasanya sesuatu yang berbeda akan jadi sasaran bullying dari sekitarnya. Itu terjadi pada si anak bebek ini. Bulan demi bulan ia jalani dalam penderitaan. 


Sampai suatu saat ia tak tahan lagi dan ingin mencari tempat dan lingkungan yang lebih baik untuk dirinya. Bertemulah ia dengan sekawanan angsa. Awalnya dia ragu, apakah seorang bebek bisa berkawan dengan kelompok angsa yang berbulu putih terang dan pandai terbang? Tapi ia memberanikan dirinya. Sampai ke sebuah sungai saat ia berkaca dan mendapati dirinya selama ini ternyata adalah seekor angsa yang entah bagaimana terlahir di tengah kalangan bebek.


Dia baru sadar bahwa tidak ada yang salah dengan dirinya selama ini. Semua perbedaan, semua keinginan yang berbeda, selera yang tidak sama, bentuk tubuh yang lain dari yang lain. Semua karena ia hanya menjadi dirinya. Seekor angsa, bukan seekor bebek!


*****

Kita seringkali bertumbuh dengan sebuah persepsi yang salah tentang diri kita sendiri. Barangkali karena pengaruh orang tua dan lingkungan yang demikian kuat kemudian menggiring kita ke sebuah bidang studi atau pekerjaan yang sebetulnya hati kita tidak bernyanyi di dalamnya. Barangkali karena malu kalau dibilang gagal dan kurang sukses oleh keluarga dan masyakarat maka kita memaksakan diri mengambil proyek atau pekerjaan yang sebenarnya bukan bidang kita yang sesungguhnya. 


Seumur hidup kita memakai topeng hanya untuk terlihat keren, sukses, mapan dll. Seperti seniman yang harus tampil di panggung dan menghibur orang lain. Tapi bedanya, bahkan para seniman hanya memakai topeng saat naik panggung. Selepas itu, mereka hanya menjadi dirinya sendiri. Sedangkan topeng-topeng yang kita pakai untuk menjaga persona diri dan atas nama pencitraan itu kita pakai setiap saat. Betapa melelahkannya!


Lebih enak jujur menjadi diri sendiri apa adanya. Lebih ringan, lebih melegakan, lebih bisa tidur nyenyak di malam hari. Because really, who are we fooling here? 

Christina Aguilera bersenandung, “aku bisa saja menipu seluruh dunia, tapi aku tidak bisa menipu nuraniku…”

Thursday, September 3, 2020

 BELAJAR DARI SITI HAJAR


Ketika ketetapan Allah itu tiba, sang Nabiyullah Ibrahim as harus meninggalkan istri dan anaknya yang masih bayi di titik yang diperintahkan. Maka berkatalah Siti Hajar, mukminat yang mulia itu, 


"Apakah Allah yang memerintahkanmu, wahai suamiku?"


Dengan satu kata "Iya" yang meluncur dari lisan Ibrahim as sang kekasih Allah. Maka tenanglah hati Siti Hajar. Beliau pun berkata, "Kalau begitu, Tuhan pasti tidak akan membiarkan kami."


Demikianlah ciri orang beriman. Yakin  seratus persen kepada Tuhannya. Yakin Dia tidak akan meninggalkannya. Yakin Dia selalu menolong. Yakin Dia tidak akan menzalimi hamba-Nya.


Apapun kejadian atau ujian yang menimpa orang beriman, karena dia yakin itu terjadi karena Allah yang mengizinkan maka ia pun tenang. Karena di balik izin-Nya pasti tersimpan kebaikan dan hikmah yang berlimpah.


Sekarang mari kita berkaca kepada segenap permasalahan yang tengah kita hadapi. Apakah ada satu saja dari semua problematika hidup itu yang terjadi diluar kendali Allah? Apakah ada satu saja kejadian yang menimpa diri kita yang terjadi tanpa izin-Nya?


Tidak mungkin bukan? Karena Dia adalah Tuhan Penguasa seluruh alam. Tak ada satu atom pun, satu daun pun jatuh, satu biji basah dan kering yang Dia tidak ketahui dan tidak tertulis di Lauh Mahfuzh.


Karena semua terjadi dengan kehendak dan dalam takaran keadilan-Nya. Patutlah kita berujar seperti yang Siti Hajar katakan saat menghadapi masa-masa genting dalam hidup,

"Tuhan pasti tidak akan membiarkan kami..."

 Manusia itu betapa rentannya diprasangkai.

Suatu hari, saat hendak turun dari kereta di stasiun terakhir. Saya lihat di sebelah saya ada orang yang membuang kaleng bir sembarangan. Saya spontan mengambil kaleng bir itu dengan niat membuangnya di tempat sampah yang di sediakan di peron. Saat berjalan keluar dan membuang kaleng bir berukuran cukup panjang dan berwarna emas menyala itu, sekilas ada orang yang melirik dengan tatapan aneh, barangkali dilihatnya kok ada perempuan berhijab membuang kaleng bir! Jangan-jangan…

Yah risiko, diprasangkai. Orang memang akan selalu begitu. Yang mereka lihat sebatas informasi yang sangat dangkal. Jangankan orang lain, pasangan kita yang tinggal sehari-hari bersama selama bertahun-tahun pun kadang masih bingung untuk menangkap aspirasi terdalam kita. Tanpa komunikasi yang baik biasanya yang ada cekcok terus dalam berumah tangga.

Kadang prasangka orang yang dilontarkan juga sering membuat saya panas telinga. Misal, celetukan macam, “Eh, kamu kan dokter ngapain cuma kerja di restoran? Malam-malam lagi?” atau komentar lain yang tak kalah menyakitkan “What a waste of talent!”. Duh kayanya kok ya ngga dihargai gitu dan tidak bahkan mencoba melihat the big picture atau sekadar alasan saya menjalani itu. Tapi setelah saya belajar suluk, saya makin paham bahwa derajat sakit hati kita terhadap apa kata orang itu sebanding dengan derajat kemelekatan kita terhadap dunia. Semakin hati kita berjarak dengan dunia maka otomatis apapun kata masyarakat tak membuat riak di cermin hati kita.

Lama-lama saya menjadi bisa menikmati posisi diprasangkai. Sekalian untuk mengetes tingkat basahnya hati kita dengan elemen dunia. Hanya kita – dengan pertolongan Allah -yang bisa mengukur sejauh mana tingkat iritabilitas kita terhadap prasangka buruk orang lain, apalagi prasangka dari keluarga dekat dan orang yang kita harapkan lebih memahami kita.

Bercermin kepada Rasulullah Saw dan kehidupan nabi-nabi dan para hamba-Nya dulu mereka pun biasanya tak lepas dari prasangka buruk sekitarnya. Bayangkan seorang nabi besar seperti Nuh as yang diolok-olok oleh umatnya dengan perkataan, “Dalam pandangan kami engkau tidak punya kelebihan atas kami” alias dianggap biasa-biasa aja. Atau seorang Maryam yang selama hidupnya membaktikan diri di rumah suci dan ditakdirkan hamil. Beliau menanggung dicemooh, difitnah dan digunjing orang sekitarnya perkara kehamilan dan kelahiran Isa, hingga sang Isa lahir dan menjelaskan sendiri ihwal keajaiban alam itu. Sejarah menunjukkan, sering kali kebenaran itu baru tertampakkan di akhir waktu. Jadi kalau masih sedang dalam fase perjuangan dan bercocok tanam banyak yang protes ini-itu bahkan mencaci kita, ya biar saja itu mulut mereka. We have no control over it. “Lisanmu harimaumu”, begitu kata peribahasa. Artinya masing-masing akan bertanggung jawab atas prasangka yang dimilikinya. Tugas penting kita adalah memastikan bahwa langkah kita sudah benar, tertuntun oleh-Nya. Maka pasti aman.

Ah, saya sih rasanya masih jauh levelnya dibanding manusia-manusia yang mulia itu. Tapi minimal saya ingin memiliki hal yang sama. Yaitu ingin mendekatkan diri kepada-Nya. Walau sekadar dengan membuang sampah berupa kaleng bir yang orang simpan sembarangan. Dengan diiringi doa, semoga dengan upaya ini dibereskan pula hidup ini. Walaupun tanpa sadar konsekuensinya diprasangkai telah meminum isi kaleng bir itu. Ya nasib…

Wednesday, September 2, 2020

 "Coba ini dok, investasi menjanjikan dan pasti untung!"


"Ah, maaf saya agak skeptis dengan janji manusia. Lebih percaya dengan janji Allah, pasti tidak akan meleset dan telah terbukti."


#zakatinfaqshadaqah