Manusia itu betapa rentannya diprasangkai.
Suatu hari, saat hendak turun dari kereta di stasiun terakhir. Saya lihat di sebelah saya ada orang yang membuang kaleng bir sembarangan. Saya spontan mengambil kaleng bir itu dengan niat membuangnya di tempat sampah yang di sediakan di peron. Saat berjalan keluar dan membuang kaleng bir berukuran cukup panjang dan berwarna emas menyala itu, sekilas ada orang yang melirik dengan tatapan aneh, barangkali dilihatnya kok ada perempuan berhijab membuang kaleng bir! Jangan-jangan…
Yah risiko, diprasangkai. Orang memang akan selalu begitu. Yang mereka lihat sebatas informasi yang sangat dangkal. Jangankan orang lain, pasangan kita yang tinggal sehari-hari bersama selama bertahun-tahun pun kadang masih bingung untuk menangkap aspirasi terdalam kita. Tanpa komunikasi yang baik biasanya yang ada cekcok terus dalam berumah tangga.
Kadang prasangka orang yang dilontarkan juga sering membuat saya panas telinga. Misal, celetukan macam, “Eh, kamu kan dokter ngapain cuma kerja di restoran? Malam-malam lagi?” atau komentar lain yang tak kalah menyakitkan “What a waste of talent!”. Duh kayanya kok ya ngga dihargai gitu dan tidak bahkan mencoba melihat the big picture atau sekadar alasan saya menjalani itu. Tapi setelah saya belajar suluk, saya makin paham bahwa derajat sakit hati kita terhadap apa kata orang itu sebanding dengan derajat kemelekatan kita terhadap dunia. Semakin hati kita berjarak dengan dunia maka otomatis apapun kata masyarakat tak membuat riak di cermin hati kita.
Lama-lama saya menjadi bisa menikmati posisi diprasangkai. Sekalian untuk mengetes tingkat basahnya hati kita dengan elemen dunia. Hanya kita – dengan pertolongan Allah -yang bisa mengukur sejauh mana tingkat iritabilitas kita terhadap prasangka buruk orang lain, apalagi prasangka dari keluarga dekat dan orang yang kita harapkan lebih memahami kita.
Bercermin kepada Rasulullah Saw dan kehidupan nabi-nabi dan para hamba-Nya dulu mereka pun biasanya tak lepas dari prasangka buruk sekitarnya. Bayangkan seorang nabi besar seperti Nuh as yang diolok-olok oleh umatnya dengan perkataan, “Dalam pandangan kami engkau tidak punya kelebihan atas kami” alias dianggap biasa-biasa aja. Atau seorang Maryam yang selama hidupnya membaktikan diri di rumah suci dan ditakdirkan hamil. Beliau menanggung dicemooh, difitnah dan digunjing orang sekitarnya perkara kehamilan dan kelahiran Isa, hingga sang Isa lahir dan menjelaskan sendiri ihwal keajaiban alam itu. Sejarah menunjukkan, sering kali kebenaran itu baru tertampakkan di akhir waktu. Jadi kalau masih sedang dalam fase perjuangan dan bercocok tanam banyak yang protes ini-itu bahkan mencaci kita, ya biar saja itu mulut mereka. We have no control over it. “Lisanmu harimaumu”, begitu kata peribahasa. Artinya masing-masing akan bertanggung jawab atas prasangka yang dimilikinya. Tugas penting kita adalah memastikan bahwa langkah kita sudah benar, tertuntun oleh-Nya. Maka pasti aman.
Ah, saya sih rasanya masih jauh levelnya dibanding manusia-manusia yang mulia itu. Tapi minimal saya ingin memiliki hal yang sama. Yaitu ingin mendekatkan diri kepada-Nya. Walau sekadar dengan membuang sampah berupa kaleng bir yang orang simpan sembarangan. Dengan diiringi doa, semoga dengan upaya ini dibereskan pula hidup ini. Walaupun tanpa sadar konsekuensinya diprasangkai telah meminum isi kaleng bir itu. Ya nasib…
No comments:
Post a Comment