Wednesday, May 27, 2020

Munajat seorang hamba kepada Tuhannya.

"Tuhan, karena aku yakin Engkau hanya memberi yang terbaik. Maka aku tidak berani meminta kesembuhan atas penyakitku, tidak berani meminta kelapangan atas kesempitanku dan tidak berani meminta disegerakan terkabulnya doaku.

Kalaupun aku boleh meminta, sudilah kiranya Engkau memberiku kesabaran, kekuatan dan keikhlasan untuk menjalani itu semua.

Terima kasih wahai Tuhan. Atas segalanya. Apapun fenomena dan bentuknya semuanya adalah buah tangan-Mu. Walaupun bara yang menyakitkan yang Engkau sentuhkan dalam diriku melalui kehidupan yang Engkau desain tapi yang kupandang hanya "tangan-Mu". Hanya "tangan-Mu". Hanya Engkau...

Maka untuk semua hal, Alhamdulillah wa syukurillah"



Setiap hari kita berdoa “Ihdina shiraathal mustaqiim” di dalam shalat. Memohon agar ditunjukkan kepada Shiraathal Mustaqiim. Apakah kita sudah merasa dibimbing ke dalam shiraathal mustaqiim? Apa itu shiraathal mustaqiim? Jangan-jangan kita belum paham betul tentang hal yang kita minta. Sehingga kalaupun Allah memberi petunjuk kita tidak merasakannya.


Petunjuk (huda) Allah itu hanya bisa dibaca oleh hati manusia. Akal pikiran bisa saja menebak-nebak tapi yang memverifikasi adalah hati kita. Allah Ta’ala berfirman dalam QS Ath Thagabuun [64]: 11

“Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah, dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”


Jadi syarat petunjuk itu turun ke hati adalah ketika sudah ada cahaya iman (nur iman) di dalam hati, walaupun hanya setitik. Karena kehadiran cahaya adalah mutlak adanya untuk membaca sesuatu. Seperti halnya kita tidak bisa membaca apapun dalam sebuah ruang yang gelap gulita, tapi begitu ada cahaya walaupun sebesar nyala lilin maka kita mulai bisa melihat sekitar.


Pada ayat Al Quran di atas keberadaan cahaya dikaitkan dengan kehadiran musibah. Dengan demikian bisa jadi bentuk pengabulan doa kita “ihdina shiraathal mustaqiim” adalah dengan terlebih dahulu dimunculkan musibah. Bisa itu berupa sakit yang lama, kehilangan harta benda, masalah di kantor atau di keluarga. Apapun itu adalah sesuatu yang Allah izinkan untuk membersihkan hati demi menyongsong bersinarnya secercah cahaya di hati. Yang dengan cahaya itu si hamba tidak lagi hidup dalam kegelapan, hanya meraba-raba kehidupan sambil berasumsi dirinya sudah melakukan ibadah dengan baik. Padahal ia jauh dari shiraathal mustaqiim. Sebuah jalan kebahagiaan hakiki yang Allah anugerahkan kepada mereka yang mau berserah diri kepada-Nya. 


Disini pentingnya kita mengkaji Al Quran. Untuk melihat peta kehidupan dan bagaimana cara Allah menurunkan “treatment” dalam kehidupan. Agar kita paham bahwa di balik sebuah kesempitan, kesulitan atau belum dikabulkannya sebuah doa itu semata-mata karena ada sesuatu yang menghalangi. Karena Allah pada dasarnya Dzat Yang sangat gemar memberi. Tapi bagaikan wadah yang tertutup oleh lapisan tebal, sebanyak apapun curahan air hujan dari langit tidak akan dapat memenuhinya maka satu-satunya jalan adalah menyingkirkan tutup wadah itu. Demikian pula berbagai hijab hati yang tidak kita sadari akan Allah kelupas satu persatu melalui pintu musibah. Sakit memang, tapi yang berteriak adalah hawa nafsu dan syahwat kita. Sedangkan jiwa kita akan berbahagia begitu lapisan itu lepas dan cahaya Allah menerpa hati. Insya Allah[]

Tuesday, May 26, 2020

“It’s you, it’s not you and it’s not not you.” kata Ibnu Arabi.

Bingung? Jangan khawatir, Anda tidak sendirian. Bangunan agama itu kompleks, untuk memahaminya diperlukan waktu, kesabaran dan pertolongan-Nya.

Jadi jangan heran, begitu seseorang bertekad untuk taubat dan kembali kepada agama, justru di awal-awal waktu dia akan terpapar oleh angin kencang berupa kebingungan yang kadang bercampur pasir yang membuat mata perih hingga tidak bisa melihat jalan dengan baik. Wajar kalau orang kemudian emoh beragama. “Tidak menyenangkan!” katanya. Tentu tidak akan menyenangkan hawa nafsu dan syahwat karena agama justru turun untuk menaklukkan kedua oknum itu di dalam diri. Tapi yang kebanyakan orang tidak pahami adalah bahwa sakit dan kebingungan yang dialami di awal waktu adalah sebuah gejala dari sebuah proses “detoksifikasi”. Yang kita anggap sesuatu yang tidak menyenangkan itu adalah semata efek samping dari sebuah proses penyembuhan dan pembersihan dari racun-racun kehidupan yang sekian lama mengendap di dalam diri.

Mereka yang sabar dan teguh dalam pencarian Tuhan akan bertahan sementara yang kurang tabah dan tergiur kembali untuk menenggak racun-racun dunia akan otomatis terlempar dari program pembersihan Ilahiyah tersebut.

Kebingungan adalah suatu tahapan yang penting dalam proses belajar. Jika tidak muncul kebingungan seseorang praktis tidak timbul keinginan dalam dirinya untuk mencari tahu. Dan kalau boleh jujur kita sebenarnya tidak bisa melarikan diri dari kebingungan. Hanya sebagian besar orang mengacuhkan kebingungan itu. Malas untuk bertafakur tentangnya dan menenggelamkan diri dalam kesibukan dunia yang tidak ada habisnya.

Kebingungan itu sifat hamba. Karena kebingungan bersumber dari ketidaktahuan. Hamba adalah ciptaan yang fakir yang tidak tahu. Untung kita punya Tuhan Yang Maha Tahu, maka kepada-Nya lah kita meminta pertolongan.

Ada satu ayat Al Qur’an yang telak menyatakan tentang keadaan “kebingungan” ini. Allah Ta’ala berfirman,

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah Maha Mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al Baqarah: 216)


Tuesday, May 19, 2020

PULANG KAMPUNG

Tahun ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup kita pulang kampung adalah hal yang tidak disarankan. Walaupun harus mengorbankan keinginan ingin melepas rindu bertemu handai taulan, terutama bagi yang kampungnya di daerah yang masih minim kasus wabah Corona. Maka kebesaran hati dia untuk tidak pulang kampung adalah sebuah keputusan yang baik. Mencegah menzalimi orang saudara terutama orang tua atau saudara yang sudah berusia sepuh atau sakit yang lebih rentan untuk menimbulkan gejala berat jika tertular virus Covid-19.

Pulang kampung tidak sekadar ide tentang tempat, tapi lebih kepada orang yang kita tuju disana. Terutama orang tua kita. Apalagi jika jarang bertemu dan jauh jaraknya. Orang tua, merekalah yang terutama memberi makna pada sebuah perjalanan pulang kampung. Dari merekalah kita berasal. Tanpa mereka kita tidak ada di dunia ini. Tanpa kasih sayang yang Allah curahkan melalui mereka, maka kita tidak akan ada di titik ini. Karena orang tua yang menjadi tujuan utama pulang kampung, tidak sedikit yang kemudian tidak pulang kampung ketika orang tuanya sudah tiada. Sudah pudar daya tarik dan motivasinya.

Tapi, bicara tentang dari mana kita berasal. Manusia sebagai raga memang terlahir dari ibu dan ayah kita. Akan tetapi manusia sebagai jiwa terlahir dari alam yang lebih tinggi yang lebih dekat dengan Sang Pencipta. Itu kenapa jiwa selalu diliputi oleh dahaga, karena bagaimanapun arena dunia ini adalah hal yang asing baginya. Sang jiwa akan selalu mencari jejak yang berkaitan dengan dunia langitnya, apakah itu berupa nubuwah yang diberitakan dalam kitab suci, hikmah maupun mengikuti urusan (‘amr) dari Tuhan. Itu adalah hal-hal yang berbau “kampung halaman” dan menyegarkan si jiwa.

Karena itu kita menjadi paham bahwa selama jiwa memuaskan perasaan rindunya untuk pulang kampung. Selama itu juga kita sebagai manusia akan merasakan sebuah celah di hati, sebuah kerinduan yang tak akan hilang dan tak lenyap dipuaskan oleh apapun juga. Karena memang tidak ada satu obyek alam bumi ini yang bisa memuaskan jiwa. Dia hanya bisa terhibur dengan obyek-obyek langit, sebuah kesegaran ketika menerima berita dari Tuhannya.

Untuk yang sibuk berkutat dengan dunia, hal ini akan terasa sumbang dan tidak masuk akal. Tapi bagi para pencari-Nya maka informasi seperti ini akan ditemukan bertebaran di dalam kitab suci-Nya. Sesuatu untuk menghibur dan menguatkan sang jiwa. Seperti yang dikabarkan oleh salah satu utusan-Nya,

“Wahai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini adalah kesenangan sementara. Dan sesungguhnya akhirat itu adalah negeri tempat kembali.” (QS Ghafir: 39)

Kalau kita demikian serius mempersiapkan mudik kita di dunia, mestinya persiapan mudik yang hakiki ke akhirat harus lebih serius lagi. Apalagi saat itu tidak akan ada lagi arus balik.[] 


Thursday, May 14, 2020


“Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz)”  (QS Al An’aam [6]: 59)


Masa depan masih gelap untuk kita. Apakah kita masih bekerja di tempat yang sama? Apakah bisnis kita akan bertahan lama? Apakah anak-anak akan sekolah dengan baik? Apakah masih akan tinggal di kota yang sama? Atau, apakah kita masih hidup lima tahun lagi, setahun lagi, sebulan lagi atau bahkan sehari lagi?


Sebelum wabah Corona yang mendunia ini, isu kematian kerap dianggap enteng. “Ah, masih lama” asumsinya demikian. Padahal Rasulullah mengatakan tidak ada yang lebih dekat kepada manusia selain kematiannya. 


Kematian bukan sesuatu yang mengerikan. Kita harus terbiasa membincangkan topik kematian menjadi bagian dari pengingat akan kehidupan yang berdampak positif. Bukan malah jadi lemes kalau ingat mati. Bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir – demikian dalam Al Quran sering digandengkan antara dua keimanan itu – maka kematian adalah sebuah keniscayaan untuk menjelang kehidupan yang akan datang. Cepat atau lambat ia akan datang.

Yang mengerikan seharusnya bukan pada kematiannya, tapi pada bagaimana nasib kita setelah jasadnya dimatikan sementara jiwa kita masih meneruskan perjalanan di alam lain. Sementara alam barzakh baru sebuah alam perantara, setelah itu masih ada kehidupan di akhirat yang jauh lebih lama, jika tidak selamanya. 


Allah menyatakan di ayat di atas bahwa kunci-kunci yang gaib ada pada-Nya, pernyataannya bahwa Dia mengetahui bahkan sehelai daun yang jatuh pun yang tidak terpantau oleh manusia, apalagi pergerakan sebiji benih di dalam kegelapan tanah pun dinamika ada permukaan yang basah atau kering. Semua dalam pengetahuan-Nya dengan detil. 


Mari coba berhenti sejenak. Bertafakur sesaat. Kalau hal yang nampaknya “remeh-temeh” seperti itu saja semua dalam pengetahuan, pemantauan dan kendali-Nya apalagi detil kehidupan manusia yang merupakan ciptaan-Nya yang paling mulia ini yang Dia pandangi dengan penuh rasa sayang dan mengharapkan kita semua kembali mengenal-Nya, bangkit dari amnesia saat dilahirkan di bumi untuk melakukan “recollection” dari semua pengetahuan yang sudah diajarkan kepada jiwa dulu.


Jadi, Allah memantau betul semua hidup kita. Saat bayi kita minum susu apa, pernah jatuh dimana, suka makan apa, saat sekolah pernah berbohong dimana, saat pernah menangis sesenggukan sendiri di kamar, ketika pernah jatuh cinta, saat mulai pusing memikirkan kuliah, ketika sibuk bekerja, saat mulai menikah, saat bercerai, saat sendiri di kamar dengan semua aktivitas fisik dan pikiran yang ada. Semua “basah-kering”nya hidup kita Allah tahu. Demikian pun Allah tahu apakah kita akan selamat melalui zaman wabah ini atau tidak. Semua sudah tertulis di Lauh Mahfuz.


Pertanyaan berikutnya, kalau semua sudah tertulis maka apakah apa peran manusia disana? Pertanyaan yang serupa pernah disampaikan oleh sahabat Rasulullah SAW bernama Abdullah bin Amr (dalam hadits riwayat Ahmad no.6563) saat Rasulullah memperlihatkan dua buku, satu berisi nama-nama penghuni surga dan yang lain berisi nama-nama penghuni neraka. Abdullah bertanya, “Kalau begitu apa maksud amalan jika semuanya sudah ditetapkan?” Perhatikan baik-baik jawaban Rasulullah SAW,


“Berusahalah dan mendekatlah karena sesungguhnya penduduk surga akan ditutup dengan amalan ahli surga meskipun ia mengamalkan apa saja…”


Jadi tugas kita adalah untuk mengoptimalkan ikhtiar. Berusaha mensikapi sebaik mungkin setiap yang Allah berikan dalam diri dan kehidupan kita. Yang biasanya merusak kesempurnaan usaha adalah tarikan-tarikan syaithan dari arah horizontal (depan-belakang-kiri-kanan), sedemikian rupa hingga manusia tidak bisa fokus di saat ini. Apa akibatnya? Permata-permata hikmah yang tertimbun di setiap jalan menjadi tidak terkuak karena orang kehilangan hari ininya. Maka dikatakan , there is a reason it called a “Present Moment”, because underneath lies a precious present for each of us.[]

Tuesday, May 12, 2020

Dari kedua orang tua saya diajarkan untuk menghormati "orang-orang kecil". Saya beri tanda kutip, karena itu kata-kata yang saya anggap tidak pas disematkan kepada mereka. Para pejuang kehidupan yang menyambung kehidupan dengan menjadi tukang sampah, berjualan kangkung keliling kota, memikul bakul jamu atau keranjang makanan berkeliling dari rumah ke rumah di bawah terik matahari dan guyuran hujan.

Saya dan almarhum ayah punya kebiasaan jika menginap di luar kota untuk berjalan-jalan ke daerah pasar di pagi hari, saat matahari baru bersinar. Ayah akan mengajak saya naik becak, sepanjang jalan dia akan ajak abang becak mengobrol kadang dengan Bahasa Jawa yang awut-awutan saat Mas Becak kurang fasih berbahasa Indonesia. Dan sepanjang jalan kami akan tertawa karenanya. Ayah akan membawa saya menghampiri mbok penjual gudeg, penjual jamu, kakek penjual mainan dari kayu sambil mengajak ngobrol mereka. Dari ayah saya belajar menghargai setiap orang, tak melihat status ekonomi atau kedudukannya.

Ibu pun tak kurang "ngga tegaan", she has soft spot especially to old people. Beberapa kali saya dan ibu sedang berkendara, beliau tak segan-segan menghentikan kendaraannya dan melambai-lambai memanggil orang tua di pinggir jalan yang dia kebetulan lihat. Kadang membeli sapu yang sebenarnya tak dibutuhkan.  Dan beliau selalu melebihkan pembayarannya.

Kami biasa memperlakukan semua orang equal. Pembantu yang tinggal di rumah kami mendapat menu makanan yang sama dan dihormati. Saya marah dimarahi kalau menyuruh "Bibi", demikian panggilan  saya bagi para asisten rumah tangga saat itu, jika tidak sopan dan harus disertai kata "Tolong". Maka asisten rumah tangga dulu sudah seperti keluarga saja. Mereka tinggal bersama atau bekerja di rumah lebih dari satu dekade lamanya.

Bagi saya mereka adalah guru-guru kehidupan.

 Dari tukang roti Carirasa yang biasa bersepeda puluhan kilometer setiap hari saya belajar tentang keindahan sebuah senyuman. Setiap kali bertemu beliau selalu tersenyum. Walaupun hari panas dan kaosnya basah oleh keringat, pun walau saya tak membeli rotinya seperti biasa.

Dari pasangan tukang nasi goreng di depan Rumah Sakit Cikini Jakarta saya belajar tentang kekompakan dalam mencari nafkah. Mereka melakoni bersama berjualan nasi goreng setiap malam selama 15 tahun lamanya.

Dari ibu tua pemulung kertas yang tidur di depan emperan toko saya belajar bahwa kenikmatan hidup itu adalah sesuatu yang pikiran kita ciptakan. Saya malu jika mengeluh kurang ini-itu dan ingin ini-itu, sementara ada seorang ibu tua yang belasan tahun tidur di lantai beralaskan karton dan kain-kain tipis, hidup di atas gerobaknya dan mandi di masjid terdekat. And yet, beliau masih bisa tersenyum renyah.

Dari ibu penjual makanan bungkus di gang Raden Saleh saya belajar tentang ketulusan. Saya biasa membeli makan malam kepada beliau nasi dan telur dadar seharga empat ribu rupiah (itu harga sekitar tahun 2009) saya suka ibu ini karena ramah sekali, selalu tersenyum dan menyapa. Dan saya selalu memberinya uang 5000 rupiah dan tak mau diberi kembalian. Saya kaget ketika saya menikah di Bandung ibu ini datang beserta keluarganya, padahal ongkos Jakarta-Bandung pasti besar untuknya.

Ah, terlalu banyak kisah-kisah kehidupan yang bisa kita pelajari dari mereka. Para pejuang kehidupan yang menjalani kehidupan dengan gagah. Apa adanya dijalani saja tanpa keluh kesah.

"Jalani saja"
"Yang kecil jadi besar kalau kita bersyukur"
"Bahagia itu di hati"
"Yang penting masih bisa usaha"

Itu salah satu dari pesan yang mereka sampaikan. Tanpa harus berkata-kata pun kita sudah langsung menyerap kekuatannya. Karena mereka sudah menjalaninya sehari-hari.

Maka jangan sungkan-sungkan untuk berinteraksi dan belajar dari mereka yang sering kita sebut "orang kecil" itu. Dan kita akan menyadari bahwa mereka sebenarnya adalah orang-orang yang "sangat besar"

Keterangan foto: bercengkrama dengan grup pengamen di salah satu warung di kota Solo sekitar tahun 2009.

Monday, May 4, 2020

“Gara-gara dia rumah tangga ini berantakan!”
“Gara-gara dia bisnis ini bangkrut!”
“Gara-gara dia saya jadi merasa tidak nyaman!”

Refleks pertama manusia ketika dipaparkan oleh kesulitan dan musibah adalah mencari penyebab. Itu sangat wajar, demikianlah cara pikiran kita bekerja. We have to make sense of things. Otak kita didesain untuk bisa melakukan tindakan penyelamatan. Maka manusia adalah salah satu ras yang bisa bertahan lama di muka bumi melalui bermacam zaman dari zaman es, zaman wabah, zaman perang dan lain-lain. Kita mencari solusi dari permasalahan yang ada. Dan langkah pertama adalah mengidentifikasi penyebab agar kemudian dapat merumuskan jalan keluarnya.  Itu terjadi dalam tataran pikiran.

Tapi bukankah manusia tidak hanya terdiri dari otak dan jasad? Agama membawa kita kepada kesadaran tentang adanya entitas lain seperti hati (qalb) dan jiwa (nafs). Dari khazanah agamalah kemudian kita berkenalan dengan adanya alam barzakh, alam akhirat dan lain-lain. Sebuah rangkaian perjalanan panjang setelah dunia yang singkat ini. Bahwa kematian bukan akhir dari segalanya. Ia hanya pintu gerbang menuju ke kehidupan yang lain yang lebih kompleks dan mencengangkan.

Kalau diri kita terdiri dari aspek yang fisik dan aspek yang bersifat spiritual. Sebenarnya demikian pula seluruh kejadian yang melingkupi kita. Bahwa fenomenanya dompet itu hilang oleh pencopet iya. Tapi kalau hanya berhenti disana, kita rugi. Hanya dapat kemarahan pada si pencopet dan hilang aspek batin di balik kenapa itu terjadi pada diri kita. Kita menjadi tidak belajar dari sebuah keadaan. Karena tidak ada satu daun pun jatuh di bumi tanpa Dia izinkan dan Allah Maha Mengetahuinya. Tauhid kita mengajarkan bahwa ketika sesuatu itu Allah izinkan pasti ada kebaikan di dalamnya. Sesuatu yang harus kita gali betul agar tidak hanya tertambat pada hiruk-pikuk fenomena lahiriyah.

Sekarang mari kita cermati baik-baik apa yang Dia izinkan dalam hidup. Barangkali keadaan ekonomi yang itu, barangkali sebuah perceraian, barangkali kondisi fisik tertentu, barangkali situasi rumah tangga yang demikian, barangkali perilaku anak yang merepotkan, barangkali tingkah orang dekat yang kita rasa menjengkelkan. Perhatikan baik-baik. In slow motion. Lihat dekat-dekat. Perhatikan bahwa mereka tidak akan bergerak tanpa “invinsible hand” yang mendorong mereka semua. Ketika hal ini tertangkap maka perhatikan bagaimana hati bisa menjadi lebih bisa menerima. Kita menjadi tidak begitu dikuasai amarah. Kita bisa menjadi lebih pengertian dan memaafkan. Kita bisa tunduk dan berurai air mata merasa tidak berdaya dengan semua “treatment” yang Dia berikan.

Di titik itu, baru istighfar kita nyaring bunyinya di langit. Ketika menyadari bahwa kesulitan dan ujian yang kita alami semata-mata adalah basuhan lembut dari-Nya untuk membersihkan jiwa dan diri kita. Astaghfirullahaladziim…


Saturday, May 2, 2020

Apakah Al Quran Bicara Tentang Depresi? (1)


Sebagaimana kita tahu perubahan yang terjadi di tengah wabah Covid-19 ini luar biasa. Kematian banyak orang di seluruh belahan dunia bisa jadi hanya gelombang tsunami awal dari sebuah resesi ekonomi yang memiliki dampak yang lebih besar. Banyak bisnis akan kolaps, gelombang pengangguran akan meningkat, kemiskinan meningkat tajam, biasanya diikuti oleh angka kriminalitas yang juga meroket. Demikian kelabu gambaran ekonomi masa depan, barangkali juga yang sempat diraba oleh Thomas Schaefer, menteri keuangan Jerman yang memutuskan mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri. Naudzubillah.


Gelombang depresi tak terelakkan makin meningkat utamanya di tengah krisis dan ketidakpastian ini. 


Sebelum kita lihat tuntunan Allah dalam Al Quran untuk keluar dari depresi. Kita lihat dulu  definisi “Depresi” menurut American Psychiatric Association.


What is depression?

It is a common and serious medical illness that negatively affects how you feel, the way you think and how you act.


Pertama, ini sebuah penyakit medis yang cukup umum. Barangkali seumum darah tinggi dan diabetes yang sering kita dengar sehari-hari. Tapi depresi bisa berakhir fatal karena ia secara negatif memengaruhi perasaan, pikiran dan perilaku kita.


Gejala depresi bisa bervariasi dari yang ringan sampai yang berat. Tapi intinya satu, menunjukkan respon tidak normal. Karena manusia normalnya itu beraktivitas, berfungsi. Kata Nabi Daud dalam Injil, “Sebagaimana burung diciptakan untuk terbang dan ikan untuk berenang maka manusia diciptakan untuk bekerja atau beraktivitas”. Di ayat lain bahkan lebih keras lagi dikatakan manusia yang “idle” alias nganggur itu jadi santapan syaithan. Artinya dia akan cenderung mengerjakan sesuatu yang ngaco dan sesat. Maka orang-orang yang harus menjalani kehidupan di penjara pun diberikan berbagai pilihan untuk beraktivitas. Pokoknya yang namanya manusia itu wajib menggunakan potensi akal pikirannya kalau tidak mau jadi zombie. Begitulah kira-kira.


What causes depression?

Belum ada yang tahu pasti, ini penyakit masih misteri. Maka tidak jarang yang kecolongan. Orangnya terlihat seperti happy-happy saja, eh tahu-tahu beberapa hari kemudian menembak kepalanya sendiri atau gantung diri. Naudzubillah.

Depresi kemungkinan disebabkan oleh banyak hal, jadi sangat kompleks. Biasanya kombinasi dari hal yang sudah terjadi lama, jadi bukan dua atau tiga hari lalu. Digabungkan dengan jenis kepribadian tertentu yang susah move-on dan inginnya semua serba perfect. Kemudian situasi juga bisa mencetuskan depresi seperti keadaan lockdown di tengah wabah seperti sekarang, kehilangan pekerjaan lalu lama tidak dapat pekerjaan pengganti – karena kalau sekadar hilang pekerjaan lalu seminggu kemudian dapat pekerjaan baru biasanya tidak akan sampai menjerumuskan menjadi depresi. Lalu situasi hubungan yang tidak baik misalkan dengan orang tua, adik-kakak atau antara suami istri.  


Selain kemungkinan penyebab depresi diidentifikasi juga kemungkinan keadaan yang menjadi faktor risiko depresi. Misal ada anggota keluarga lain yang terkena depresi maka bertambah kemungkinan kita lebih rentan feeling blue juga. In addition to that, kombinasi mematikan dengan penggunakan drugs dan alkohol saling memicu timbulnya depresi ini. So, when you are feeling blue stay away from drugs and alcohol. Selain haram dan tidak disukai Allah itu malah membuat keadaan kita makin terpuruk.


Depression in Al Quran

Al Quran tidak secara “letterlijk” menyebutkan kata depresi tentunya, kata “depresi” berasal dari Bahasa Latin “deprimere” yang artinya “to press down”. Kata “depresi” baru menjadi tren setelah digunakan oleh seorang penulis Inggris bernama Richard Baker di tahun 1665. Kata yang sama dipakai di dalam kasus psikologi juga ekonomi, like “great depression”.


Dulu, orang sudah mengendus mengenali gejala-gejala depresi. Di masa Yunani kuno hal ini disebut sebagai “melancholia” – orang menjadi berpenampakan mellow, yang diduga juga karena ada ketidakseimbangan di dalam diri seseorang. Hippocrates, the father of medicine sudah mulai menuliskan itu di buku Aphorisms yang menjelaskan sebuah rasa takut dan kesedihan yang berlarut-larut.


Kata “kesedihan” ini yang ada padanannya dalam Al Quran, yaitu “tahzan” artinya berduka cita. Kata yang memiliki akar kata yang sama ada 42 kali dalam Al Quran.

Sebuah kesedihan yang dalam karena kehilangan Yusuf, anak lelaki yang dicintainya misalkan digambarkan membuat mata Yaqub as menjadi putih (QS 12:84). 


Kesedihan ibunda Musa as yang harus menghanyutkan anaknya di dalam keranjang di sungai Nil dengan perintah Tuhan untuk menghindari pembantaian bayi laki-laki Bani Israil di seantero negeri Mesir yang saat itu dititahkan oleh Firaun. (QS 28:13)


Lantas bagaimana petunjuk dari Al Quran untuk keluar dari kesedihan?


Kita lanjut di tulisan berikutnya insya Allah. 

Friday, May 1, 2020


Mengapa sulit bersabar? Karena kebanyakan kita masih dikuasai oleh hawa nafsu, syahwat dan pikiran yang salah. 


Hawa nafsu yang enggan mengalah, ingin selalu dihormati, gila pujian dan selalu ingin terlihat lebih dari yang lain membuat sulit kita menerima kenyataan bahwa dunia itu kadang di bawah dan kadang di atas. Sulit melihat bahwa dibalik celaan yang ditujukan kepadanya sebenarnya adalah sebuah obat pahit yang menyembuhkan penyakit di dalam hati yang bernama kesombongan. Hawa nafsu juga yang cenderung menghembuskan keinginan untuk selalu menonjol dan mendapat perhatian, ingin dipandang lebih dari yang lain, takut dipandang gagal dan takut dikatakan miskin dan tak berdaya. Padahal kegagalan adalah bagian dari perjalan dan kalau ia benar-benar paham. Sungguh tidak ada manusia nomor dua di dunia ini. Karena setiap orang diciptakan dengan keunggulannya masing-masing. Jadi tidak ada ruang untuk beradu unggul. Itu hanya arena untuk orang-orang bodoh.


Syahwat kita yang terbiasa makan enak, biasa dimanjakan dengan segala macam fasilitas, biasa tidak hidup susah dan ingin yang serba mudah membuat kita mengikat diri kita sendiri dalam penjara ilusi kenikmatan. Padahal hidup selalu punya cara untuk membuat kita tidak nyaman. Bahwa kesulitan dan ketidaknyamanan adalah bagian dari perjalanan menjadi dewasa.


Sedangkan pikiran yang tidak dikelola dengan benar hanya akan menghembuskan hawa panas dalam dada dengan sekian mantra salah seperti. “Coba kalau saya punya ini”, “Andai saja aku tidak mengambil keputusan itu.” Atau ajian ketakutan seperti, “Bagaimana nasib anak-anak? Bagaimana saya bisa membiayai orang tua saya?” dan lain-lain. Lupa kalau ia datang dulu tanpa membawa apa-apa dengan dipinjamkan seluruh potensi dan kemampuan hingga menjadi seperti sekarang adalah karena ada Tuhan Yang Mengatur semua. Tuhan yang sama yang akan mengurus anak-anak dan orang tuanya, tentunya. 


Pikiran yang tidak dikelola dengan baik cenderung mencerabut seseorang dari panggung dunianya per saat ini dengan hanya menginginkan apa yang belum tiba, mempertakuti dia dengan apa yang tidak nyata, menghantui dengan bayangan masa lalu, memoles keburukan agar tampil seolah-olah baik dan menutupi kebaikan dengan selubung yang buruk. Apapun itu hingga manusia menjadi makhluk yang tidak bersyukur.


Lantas bagaimana mengendalikan tiga kekuatan yang membuat jiwa kita lumpuh karenanya? 


Kuncinya dengan bersujud.

Seperti firman-Nya, “…masukilah gerbangnya dengan bersujud…” (QS Al Baqarah: 58)


Sujud itu menempatkan pikiran beserta segala komponen yang dikendalikan hawa nafsu dan syahwat pada posisi di bawah hati. Sujud itu kembali membuat hati kita sebagai Baitullah, rumah Allah. Agar ia tidak ditempati berhala-berhala yang merupakan bentukan dari alam pikiran, hawa nafsu dan syahwat. Agar manusia kembali benar-benar mengagungkan Allah. Bukankah itu yang tiap kali kita ucapkan saat shalat. “Allahu Akbar”. Allah seharusnya yang menjadi lebih penting dari segalanya. Allah seharusnya yang lebih dapat diandalkan dibanding semua perhitungan dunia kita. Allah seharusnya yang lebih ditakuti dibanding ketakutan sebesar apapun yang mencengkeram kita.


Oleh karenanya, kenapa kita masih sulit bersabar bisa jadi karena sujud yang kita lakukan dalam shalat yang banyak itu masih sujud raganya saja. Belum diikuti dengan sujud dari hati yang terdalam. Karena selama kita masih mengandalkan pikiran dalam membaca dan menganalisa kehidupan dengan menomorduakan pertimbangan Allah, saat itu pula kita masih belum bersujud. Posisi kepala kita masih ada di atas hati.[]